Nikah Beda Agama

D. Nikah Beda Agama

Perkawinan beda agama adalah sebuah perkawinan yang dilakukan oleh orang-orang yang memeluk agama dan kepercayaan yang berbeda antara satu dan lainnya, misalnya perkawinan antara seorang pria muslim dengan

seorang wanita Kristen protestan atau sebaliknya 144 Menurut Siska Lis Sulistiani , perkawinan beda agama terbagi menjadi empat

bentuk 145 :

1. Perkawinan antara pria muslim dan ahlu al kitab

2. Perkawinan antara pria muslim dengan wanita musyrik

3. Perkawinan antara wanita muslimah dengan pria ahlu al kitab

4. Perkawinan antara wanita muslimah dengan pria musyrik yang bukan ahlu al kitab . Dari klasifikasi diatas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan

perkawinan beda agama adalah, perkawinan yang dilakukan oleh kedua belah pihak yang memiliki perbedaan agama dan kepercayaan atau keyakinan. Di dalam Al Qur‟an terdapat dua ayat yang menjadi dasar pijakan hukum menikah dengan orang yang berbeda agama yaitu:

a. Surat Al Baqarah ayat 221

“Janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sungguh wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahi orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang

144 Abdurrachman dan Ridwan Syahrani, Masalah-Masalah hukum Perkawinan di Indonesia , ( Bandung: Alumni, 1978) h. 20 145 Siska Lis Sulistiani, Kedudukan Hukum Anak Hasil Perkawinan Beda Agama, h. 45 144 Abdurrachman dan Ridwan Syahrani, Masalah-Masalah hukum Perkawinan di Indonesia , ( Bandung: Alumni, 1978) h. 20 145 Siska Lis Sulistiani, Kedudukan Hukum Anak Hasil Perkawinan Beda Agama, h. 45

b. Surat Al Maidah ayat 5 ْمُكُماَعَطَو ْمُكَل لِح َباَتِكْلا اوُتوُأ َنيِذ لا ُماَعَطَو ُتاَبِّي طلا ُمُكَل لِحُأ َمْوَ يْلا

“Pada hati ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan

makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (Dan dihalalkan kamu mengawini) wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidk dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikan gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum) islam maka hapuslah amalnya dan ia di hari akhir termasuk orang- orang yang merugi” ( QS. Al Maidah [5]: 5)

Sedangkan Ahmad Sukarja mengklasifikasikan perkawinan orang islam dengan bukan Islam menjadi empat golongan 146 yaitu:

1. Kaum musyrikin dan ahlul kitab Al Jaziry membagi non muslim dalam tiga golongan:

Pertama, golongan yang tidak berkitab samawi atau semacamnya, seperti menyembah berhala, orang-orang murtad masuk dalam golongan ini. Kedua, golongan Majusi yang menyembah api, dan ketiga, Yahudi yang

146 Chuzaimah T. Yanggo dan Hafiz Anshari, Problematika Hukum Islam Kontemporer , Jilid I ( Jakarta: Lembaga Study Islam dan Kemasyarakatan, 2008) h. 10 146 Chuzaimah T. Yanggo dan Hafiz Anshari, Problematika Hukum Islam Kontemporer , Jilid I ( Jakarta: Lembaga Study Islam dan Kemasyarakatan, 2008) h. 10

Sedangkan Syekh Yusuf Al Qaradhâwi membagi golongan non muslim atas Musyrik, Murtad, Baha‟i dan Ahlul Kitab. 148

2. Non muslim memeluk islam Perkawinan mereka sah bila memenuhi syarat dan rukun perkawinan sebagaimana ditetapkan dalam syariat Islam.

3. Wanita islam dengan laki-laki bukan islam Kesepakatan pendapat tentang haram hukumnya seorang wanita islam menikah dengan lelaki non muslim sudah ada sejak zaman Rasulullah. Dalil keharamannya adalah firman Allah didalam Al Qur‟an” ”Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita- wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu”. ( QS. Al Baqarah [2]:221)

4. Laki-laki islam dengan wanita bukan islam

a. Wanita musyrik dan wanita murtad Seorang laki-laki muslim yang menikahi wanita musyrik adalah haram

secara mullak, berdasarkan Al Qur‟an: “ Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak wanita yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik walaupun dia menarik hatimu ( QS. Al Baqarah [2]:221)

Sedangkan wanita murtad (keluar) dari agama Islam dia dianggap tidak beragama sama sekali, sekalipun ia pindah keagama Samawi.

b. Wanita ahlul kitab Muncul perbedaan dikalangan ulama tentang kebolehan pernikahan seorang laki-laki dengan wanita ahlul kitab, titik perbedaan tersebut terkait kedudukan wanita ahlul kitab. Imam mazbah yang empat pada prinsipnya mempunyai pandangan yang

sama, yaitu wanita Kitabiyah boleh dinikahi. 149 Prof. KH. Ibrahim Hosen menyimpulkan bahwa pandangan para ulama

tentang hukum menikahi wanita Ahlul Kitab (Kitabiyah) terbagi menjadi tiga pendapat: Pertama , golongan yang menghalalkan Pendapat ini didukung oleh Jumhur ulama, berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut disebutkan dalam firman Allah:

147 al-Jazîri, Kitab al- Fikh „ala al Mazâhib al Arba‟ah, jilid IV ( Dar Ihya al Turâts al Araby, 1969) h. 75 148 Yûsuf al-Qaradhawi, Huda al-islâm Fatwa Muashirah, ( Kairo: Dar Afaq al Ghad, 1978) h.402-406 149 Problematika Hukum Islam Kontemporer, hal. 19

…”Dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan, diantara orang- orang yang diberi al Kitab sebelum kamu, bila kamu telahmembayar mahar mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikan gundik- gundik…” (QS. Al Maidah[5]:5)

Imam Tâhir bin Asyhûr menyebutkan dalam tafsirnya terkait ayat ini:

“Ayat ini datang untuk membolehkan pernikahan dengan wanita Ahlul Kitab

Dalam perjalanan syariat, ternyata para sahabat nabi Muhammad Shalallahu alaihi wa sallam ada yang menikahi wanita kitabiyah. Logikanya jika hal tersebut haram, tentu nabi adalah orang pertama yang akan melarang para sahabat melakukan hal itu. Seperti yang dilakukan oleh Talhah bin

Ubaidillah. 151 Kedua , golongan yang mengharamkan, yaitu mereka yang menganggap orang-orang Yahudi dan Nashrani adalah termasuk kaum

musyrikin sehingga haram dinikahi. Kaum Yahudi menuhankan Uzair sebagai anak Tuhan dan kaum Nashrani menganggap Isa bin Maryam adalah anak Tuhan, sehingga kaum ini disebut musyrik dan haram menikah dengan

mereka 152 . Berdasarkan firman Allah:

“ Dan Janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman…”(QS. Al Baqarah [2]:221)

Ketiga, golongan yang menghalalkan namun dilarang sebagai bentuk kehati-hatian (ihtiyati). Maksudnya adalah, menikahi Ahlul Kitab dibolehkan, akan tetapi kekhawatiran muncul jika suami sudah cinta mati dengan istrinya, disamping sudah memiliki keturunan, sehingga bisa saja sang istri meminta untuk cerai atau sang suami pindah agama jika ingin terus hidup bersama, atau karena sayang dengan keturunannya. Pilihan ini di ungkapkan oleh sang

150 Muhammad Thahir bin „Ậsyur, at- Tahrir wa Tanwir, Jilid 6 (Tunisia: Dar Tunis Li an-Nasyr,1984) h.123 151 Abu Zahrah, al-Ahwal as-Syakhsiyah, (Mesir: Dar al-Fikr al- „Arabi, 1957) h. 113 152 Problematika Hukum Islam Kontemporer, h. 22 150 Muhammad Thahir bin „Ậsyur, at- Tahrir wa Tanwir, Jilid 6 (Tunisia: Dar Tunis Li an-Nasyr,1984) h.123 151 Abu Zahrah, al-Ahwal as-Syakhsiyah, (Mesir: Dar al-Fikr al- „Arabi, 1957) h. 113 152 Problematika Hukum Islam Kontemporer, h. 22

muqayyad (terikat) 153 . Kalangan Hanafiyah berpendapat, jika wanita Ahlul Kitab berada di

wilayah dar al harb 154 (wilayah perang) meendahulukan menikah dengan mereka adalah makruh tahrim karena membawa mafsadat (kerusakan).

Sedangkan Ahlul Kitab yang tunduk kepada hukum islam, menikahi mereka hukumnya makruh tanzih(makruh namun tidak haram) 155 . Malikiya memiliki

dua pendapat, pertama, nikah Kitabiyah hukumnya makruh mutlak, baik Dzimmiyah maupun Harbiyah. Kedua, tidak makruh secara mutlak, karena ayat telah membolehkan secara mutlak, karena ayat telah membolehkan secara mutlak. Landasannya adalah Sadd al- zari‟ah (menutup kemudharatan). Jika mafsadatnya dikhawatirkan terjadi, maka mendahulukan nikah dengan

kitabiyah adalah haram . 156 Sedangkan menurut Sayid Sabiq, menikah dengan wanita Ahlul Kitab

meskipun hukumnya boleh (jaiz) namun makruh. Karena suami tidak terjamin aman dari fitnah dari agama istrinya. 157

Syekh Yusuf al-Qardawi berpendapat, kebolehan menikah dengan ahlul kitab tidaklah mutlak, akan tetapi terikat dengan koridor yang perlu diperhatikan, diantaranya:

a. Ahlu Kitab tersebut benar-benar berpegang pada ajaran samawi. Tidak atheis, tidak murtad dan tidak beragama yang bukan agama samawi.

b. Wanita Ahlul Kitab yang muhsanat (memelihara kehormatan diri dari perbuatan zina)

c. Ia bukan Ahlu Kitab yang kaumnya berada pada status permusuhan atau peperangan dengan kaum Muslimin. Untuk itu perlu dibedakan antara Dzimiyah dan Harbiyah. Dzimiyah dibolehkan dan Harbiyah dilarang.

d. Di balik pernikahan dengan Kitabiyah tidak akan terjadi, mafsadat dan mudharat. Semakin besar kemungkinan terjadi kemudharatan, maka

makin besar pula tingkat larangan dan keharamannya 158 .

153 Al Jaziry, al Fiqh „alâ Mazâhib Al Arba‟ah h. 76 154 Dar al Harb