BAB II MACAM-MACAM PERNIKAHAN DALAM ISLAM DAN KEDUDUKAN ANAK DALAM KELUARGA A. Tinjauan Umum Pernikahan - BAB II

BAB II MACAM-MACAM PERNIKAHAN DALAM ISLAM DAN KEDUDUKAN ANAK DALAM KELUARGA

A. Tinjauan Umum Pernikahan

1. Pengertian Pernikahan Pernikahan dalam bahasa Arab berasal dari kata

ًاحاَكِن - – ُحِكْنَ ي َحَكَن

artinya berhimpun dan bercampur, seperti ibarat dalam Bahasa Arab: 1 artinya bercampurnya air hujan dengan tanah. .

Orang Arab berpendapat bahwa asal kata dari nikah adalah: artinya

berhubungan suami istri. Dalam terminologi lain berasal dari kata “Berhimpunnya sesuatu dengan yang lain”. 2 Adapun secara istilah, nikah

berarti Muhammad Abdul Aziz As Sudais mendefinisikan nikah sebagai:

Akad yang ditetapkan oleh hakim yang fungsinya kepemilikan istimta‟(berhubungan badan) antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan”.

Menurut Kamus Bahasa Indonesia, nikah adalah “Perjanjian yang diucapkan dan diberi tanda kemudian dilakukan oleh laki-laki dan perempuan yang siap menjadi suami istri, perjanjian akad tersebut disaksikan oleh

beberapa orang dan diberi izin oleh wali perempuan.” 5 Menurut undang- undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dinyatakan,” Perkawinan adalah

ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami

Ibrahim Mushthafa dkk, Mu‟jam al-Wasith, Jilid II ( tt.p: Dar Ad Da‟wah, tt) h. 951 2 Jami‟ah Madinah al-Alamiyah, Fiqh Usrah, ( Shah Alam: Madinah International University, 2011) h. 31 3 Muhammad Abdul Aziz As-Sudais, Muqaddimah An-Nikah, ( Madinah: J ami‟ah Islamiyah,1425 H) h. 203 4 Maksud dari “Kepemilikan Istimta” disini adalah seorang suami atau istri telah diikat dengan sebuah akad nikah yang halal, dengan akad tersebut maka sang suami berhak memiliki istrinya dalam hal hak dan kewajiban dalam rumah tangga, baik kewajiban melayani suami, patuh dan taat, menjaga harta dan amanah suami, toleransi, saling mendukung dan membantu dalam menyelesaikan persoalan rumah tangga, sehingga tidak hanya sebatas kehalalan berhubungan badan saja.

5 Amran Ys Chaniago, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Bandung: PT Pustaka Setia, 2002) h. 300 5 Amran Ys Chaniago, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Bandung: PT Pustaka Setia, 2002) h. 300

dalam Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan bahwa perkawinan adalah pernikahan, dimana pernikahan itu adalah akad yang sangat kuat (mitsâqan

ghalîza) 7 untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Menurut para ahli ushul fikih,mereka memaknai nikah dalam

beberapa pendapat, yaitu:

a. Kalangan ulama Hanafiyah Menurut ulama kalangan Hanafiyah, yang dimaksud dengan nikah adalah:

“Akad yang maksudkan untuk kepemilikan hubungan suami istri, maksudnya halalnya berhubungan badan antara laki-laki dan

perempuan”. Meskipun demikian,secara bahasa kalangan Hanâfiyah berbeda pendapat

tentang apakah makna (hakiki) sesungguhnya dari nikah, diantara mereka ada yang berpendapat bahwa makna hakiki dari nikah adalah hubungan suami

istri, sedangkan makna majâzi (metaphoric) adalah akad. 9

b. Kalangan Syafi‟iyah dan Malikiyah Menurut kalangan Syafi‟iyah yang di maksud dengan nikah adalah:

“Dan nikah secara bahasa berarti berkumpul dan menyatu, seperti jika pohon menyatu Jika diperhatikan maka pendapat kalangan Syafi‟iyah merupakan kebalikan dari pendapatHanafiyah. Makna nikah secara

hakikat adalah akad, dan secara majaz adalah berhubungan badan. 11

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan 7 Mitsâqan Ghalîzâ dalah sebuah ikatan kuat antara hamba dengan Allah, yang mendasari akad nikah, maksudnya akad yang dilakukan bukan hanya semata-mata akad dengan manusia namun pada hakikatnya adalah perjanjian dengan Allah untuk memikul amanah dan menghalalkan perbuatan yang sebelum akad nikah terjadi hukumnya haram.

8 Muhammad bin Faramarzi bin Ali al Maulâ, Durar al Ahkâm Syarh Gharar al Ahkâm, jilid I ( t.tp: Dar Ihya Kutub Al Arabiyah, tt) h. 326 9 Durar al Ahkam Syarh Gharar al Ahkam, h.325 10 Syamsuddîn „Abdul Khâliq al Manhâjî al Asyûthi, Jauhar al „Uqûdwa muinu al qudhât wal muqi‟in wa syuhûd, Jilid II, (Libanon: Dar al Kutûb al Ilmiyah, 1417H) h. 4 11 Abu Bakar bin Muhammad bin Abdul Mu‟min bin Hariz bin Ma‟ali bin Husain bin Hushni Taqiyiddin As Syafi‟i, Kifâyatul Akhyâr Fi Hil Ghâyatul Ikhtishâr (Damaskus: Dar al Khair, 1994) h. 345 8 Muhammad bin Faramarzi bin Ali al Maulâ, Durar al Ahkâm Syarh Gharar al Ahkâm, jilid I ( t.tp: Dar Ihya Kutub Al Arabiyah, tt) h. 326 9 Durar al Ahkam Syarh Gharar al Ahkam, h.325 10 Syamsuddîn „Abdul Khâliq al Manhâjî al Asyûthi, Jauhar al „Uqûdwa muinu al qudhât wal muqi‟in wa syuhûd, Jilid II, (Libanon: Dar al Kutûb al Ilmiyah, 1417H) h. 4 11 Abu Bakar bin Muhammad bin Abdul Mu‟min bin Hariz bin Ma‟ali bin Husain bin Hushni Taqiyiddin As Syafi‟i, Kifâyatul Akhyâr Fi Hil Ghâyatul Ikhtishâr (Damaskus: Dar al Khair, 1994) h. 345

“Nikah secara hakikat adalah semuanya bermakna akad dan berhubungan badan

Ibnu Hazm berpendapat dengan hal senada, yang menyebut makna nikah adalah bersyarikat antara dan akad adalah berhubungan badan. 13

Dari beberapa pengertian diatas, maka makna pernikahan adalah pada hakikatnya, juga seperti yang dikemukakan dalam Kompilasi Hukum Islam. Penulis menambahkan, pengertian yang disebutkan dalam Kompilasi Hukum Islam tentang pernikahan bahwa,” Pernikahan adalah ikatan kuat yang berupa akad antara kedua belah pihak untuk menaati Allah dan Rasul-Nya dalam bingkai ibadah dengan syarat dan rukun

tertentu”. 14 Terkait dengan hukum-hukum pernikahan, Wahbah Zuhaili

menyebutkan kondisi yang akan berbeda pada setiap manusia. 15 Pernikahan ada yang bersifat wajib, apabila pihak yang sudah mampu

secara finansial untuk melakukan akad nikah dikhawatirkan terjerumus kedalam zina, sedangkan zina adalah dosa besar. Maka hukum menikah disini adalah wajib. Berdasarkan kaidah:

“Sesuatu yang dengannya tidak sempurna sebuah hukum wajib, maka sesuatu tersebut hukumnya menjadi wajib .”

2. Rukun dan Syarat Pernikahan

Wahbah Az Zuhaili menerangkan makna syarat sah, syarat nafâz dan syarat luzum dalam pernikahan. Adapun terkait dengan syarat sahnya

pernikahan maka para ulama membanginya dalam sepuluh poin yaitu: 17

Ibnu Qudâmah, al-Mughni,jilid VII ( Cairo: Maktabah al Kahirah, 81 H) h. 3) 13 Abd. Shomad, Hukum Islam, ( Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2010) h.273 14 Dalam pernikahan ada akad yang kuat antara kedua belah pihak dalam rangka ibadah kepada Allah dan bertujuan mencontoh Rasulullah dalam berumah tangga, dengan syarat dan rukun tertentu. Hal ini penulis sebutkan untuk melengkapi pengertian yang disebutkan dalam Kompilasi Hukum Islam, karena syarat dan rukun pernikahan itulah yang menyebabkan sebuah akad menjadi sah, baik secara hukum agama maupun secara hukum negara.

15 Wahbah Zuhaily, Al Fikh Al Islami wa Adillatuhu, J. 9 h, 6516 16 Muhammad Sidqi bin Ahmad bin Muhammad al Burnu dan Abi Haris al Ghâzi, Al

Wajiz Fi Idhâh Qawâid al Fikh al Kulliyah , (Beirut: Muassasah Ar Risalah,1416 H) h.393 17 Wahbah az-Zuhaily, al-Fikh al-Islami wa Adillatuhu, J. 9 h, 6551

1. Bukan mahram

2. Sighat yang permanen (ta‟bid) bukan temporer (muaqat)

3. Saksi

4. Ridha dan ikhtiyar

5. Dua pihak mempelai

6. Tidak sedang melaksanakan ibadah haji atau umrah

7. Adanya Mahar

8. Tidak disembunyikan

9. Salah satu calon tidak mengidap sakit yang berbahaya

10. Adanya wali Syarat nafâz merupakan syarat keterlaksanaan, dipersyaratkan juga oleh kalangan Hanafiyah dengan dalam lima syarat berikut yaitu: 18

1. Memiliki kemampuan diri (ahliyah) untuk melakukan akad, yaitu dengan usia yang sudah baligh dan mereka merdeka (bukan budak) maka akadnya sah, namun jika seorang wanita ingin menikahkan dirinya sendiri tanpa walinya, jumhur ulama menghukumi nikah tersebut tidak sah. Sedangkan menurut Hanafiyah dihukumi mauquf. Sedangkan apabila ada anak kecil yang belum baligh atau orang gila ingin menikah maka nikah tersebut batal. Namun sebagian ulama berbeda pendapat tentang anak kecil, karena Rasulullahpun menikahi Aisyah dalam usia 9 tahun, namun kemudian

mencampurinya saat sudah baligh. 19

2. Ada wali yang posisi kekerabatnya lebih dekat

3. Berakal, dan dapat membedakan baik atau buruk

4. Jika diwakilkan, maka wakil tersebut tidak ingkar

5. 20 Calon bukan golongan Fudhûli. Sengaja memalsukan syarat atau rukun pernikahan, seperti menyediakan

wali palsu dan saksi palsu. Hukum akad fudhuli ini batil tidak sah.Sedangkan syarat lazim 21 memiliki empat syarat diantaranya yaitu: wali tidak sempurna,

mahar mitsli, calon tidak mengidap penyakit berbahaya yang menyebabkan tidak berfungsi hubungan suami istri dengan baik, misal: suami impoten, atau

istri yang frigiditas. Maka dalam hal ini pernikahan tersebut boleh difasakh. 22

18 Wahbah az-Zuhaily, al-Fikh al-Islami wa Adillatuhu, J. 9 h, 6574 19 Imam Al-Bukhari, Sahih Bukhari, hadits no. 3894 20 Fudhuli adalah calon mempelai yang tidak memiliki wali dalam pernikahan, lalu ia mencari-cari wali yang bukan semestinya, dengan segala cara. Tujuannya adalah agar pernikahan tersebut terlaksana sesuai dengan keinginannya. Tindakan ini menurut ulama mazhab Syafi‟i dan Hanabilah hukum pernikahannya adalah batil.

21 Syarat lazim dalam hal ini adalah jika salah satu dari kedua belah pihak yang melangsungkan pernikahan memiliki hak untuk memfasakh pernikahan tersebut. 22 Arti fasakh menurut bahasa ialah rusak atau putus. Fasakh berarti memutuskan pernikahan, perkara ini hanya diputuskan apabila pihak isteri membuat pengaduan kepada Mahkamah dan hakim. Menurut pendapat yang lain fasakh adalah rusak atau putusnya perkawinan melalui pengadilan yang hakikatnya hak suami-istri di sebabkan sesuatu yang

Hukum pernikahan mauquf adalah seperti pernihakan fudhuli. Dalam hal ini tidak halal bercampur suami istri dan tidak wajib member nafkah bagi

suami, tidak ada ketaatan, tidak ada hak waris dan seterusnya. 23 Pernikahan yang sah secara hukum islam maka, tercakup dibawahnya hak dan kewajiban

yang semestinya diperoleh secara sah pula. Yaitu halalnya berhubungan suami istri, karena syarat dan rukunnya sah, diperolehnya hak waris, hak asuh, mendapat nafkah, nasab, mendapatkan perlindungan dan mendapatkan

status yang semestinya diperoleh. 24 Adapun hukum pernikahan yang tidak lazim (ghaira lâzim) maka hukumnya harus di fasakh.

Pernikahan fâsid(rusak) terjadi jika tidak terpenuhinya salah satu dari rukun atau syarat pernikahan yang disepakati oleh mayoritas ulama. Sedangkan pernikahan bathil adalah pernikahan yang tidak terpenuhinya salah satu dari rukun atau syarat pernikahan seperti, pernikahan sedarah, sepersusuan dan sebagainya. Hukum pernikahan yang batil ada bebrapa hal

diantaranya: 25

a. Haramnya pernikahan dan wajib difasakh

b. Nasab anak kepada ayah, dengan syarat pernikahan tersebut tidak diketahui sejak awal, namun jika mengetahui sejak awal pernikahannya dianggap zina, dan nasab anak kepada ibunya.

c. Wajibnya mahar

d. Hak waris, jika salah satu pasangan meninggal sebelum fasakh terjadi maka salah satu pihak berhak mendapat warisan.

e. Wajib iddah (masa menunggu) Berikut ini adalah contoh-contoh pernikahan yang bathil, diantaranya: nikah shigar , nikah mut‟ah, nikah wanita yang sudah dikhitbah, dan nikah muhallil 26 .

1. Nikah syighâr Nikah ini dihukumi pernikahan yang bathil, dimana pernikahan ini terjadi ketika seseorang menikahkan anaknya atau saudaranya, dengan maksud orang tersebut juga mau menikahkan anaknya atau saudaranya, tanpa mahar. Sedangkan mahar merupakan rukun nikah yang hukumnya wajib. Sehingg pernikahan ini tidak terpenuhi salah satu rukun nikah, hukumnya bathi.

2. Nikah mut‟ah

diketahui setelah akad berlangsung. misalnnya suatu penyakit yang muncul setelah akad yang menyebabkan pihak lain tidak dapat merasakan arti dan hakikat sebuah perkawinan. Fasakh adalah hak istri, sedangkan talaq adalah hak suami.

23 Wahbah az-Zuhaily, al- Fikh al- Islami wa Adillatuhu, J. 9 h, 6602 24 Wahbah az-Zuhaily, al-Fikh al- Islami wa Adillatuhu, J. 9 h, 6589 25 Wahbah az-Zuhaili, al-Fikh al- Islami wa Adillatuhu, j. 9 h. 6587 26 Wahbah az-Zuhaili, al-Fikh al- Islami wa Adillatuhu, j. 9 h. 6610

Merupakan pernikahan yang terjadi dalam batas waktu tertentu, pernikahan ini merupakan pernikahan yang dilakukan oleh golongan Syiah. Pernikahan ini hukumnya bathil, Karena tidak terpenuhinya tujuan- tujuan pernikahan. Terkadang pernikahan mut‟ah ini hanya sebagai kedok golongan Syiah untuk melampiaskan nafsu seksual belaka.

3. Nikah wanita yang sudah dikhitbah Meski jumhur ulama menggolongkan sebagai nikah yang sahih, karena jenis larangan bukan pada nikahnya akan tetapi karena faktor luar yang tidak mempengaruhi akad tersebut. Namun dari sudut mendahului hak orang lain yang lebih awal melamar si wanita.

4. Nikah muhallil Nikah yang dilakukan oleh wanita yang telah jatuh talaq tiga kepadanya dengan laki-laki

yang dijadikan sebab „penghalal‟, dengan maksud agar suami pertama bisa kembali lagi

kepada si istrinya. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam:

“Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Bassyar ia berkata,”Telah menceritakan kepada kami Abu „Amir dari Zam‟ah bin

Shalih dari Salamah bin Wahram dari Ikrimah dari Ibnu Abbas berkata,” Rasulullah Shalallahu „Alaihi wa Sallam melaknat muhallil dan muhallil lahu”.(HR. Ibnu Mâjah)

Adapun terkait dengan sunnah-sunah (mandûbat) dalam sebuah akad pernikahan, seperti disebutkan oleh Wahbah Zuhaily adalah sebagai

berikut: 28

a. 29 Akad nikah didahului dengan khitbah (melamar) nikah, lalu dilanjutkan dengan mengutarakan maksud, bersama nasehat dan doa-doa kebaikan,

agar maksud dan tujuan dapat tercapai. Nasehat untuk kedua belah pihak sangatlah bermanfaat. Seperti firman Allah:

27 Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, Jilid 1 (tt.p: Dar al Kutub Al Araby, tt) h. 622 28 Wahbah Zuhaili, Al Fikhul al Islami wa Adillatuhu, h. 6616 29 Khitbah adalah merupakan ucapan yang didahului dengan salam, shalawat kepada

Nabi, dilanjutkan dengan nasehat-nasehat untuk kedua mempelai dan diakhiri dengan doa, setelah mengutarakan maksud kedatangannya.

“Dan tetaplah memberi peringatan, sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang- orang mukmin”. (QS. Adz Zariyat[51]:55)

. ِرا َض لما ِم ْن ِه ْن ُو َع ي لما ْن ِفِ ا َو َم “Imam As Sa‟di menyebutkan, “Kesempurnaan peringatan adalah َ َ

mengingatkan pada perkara-perkara yang diperintahkan, dari kebenaran, kebaikan maupun kemaslahatan, hal-hal yang dilarang juga hal- hal yang berbahaya.”

Dari pendapat diatas, maka tujuan utama dari nasehat nikah adalah untuk mengingatkan kebaikan-kebaikan dalam berkeluarga, hak dan kewajiban serta bekal-bekal hidup lainnya.

b. Mendoakan kebaikan setelah akad nikah bagi mempelai Doa yang dibaca setelah akad nikah adalah doa-doa tentang keberkahan bagi kedua mempelai. Doa yang Rasulullah ajarkan adalah:

“Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa‟îd, Telah menceritakan kepada kami Abdul „Azîz yaitu Ibnu Muhammad, dari Suhail dari ayahnya, dari Abu Hurairah, bahwasanya Nabi Shalallahu „alaihi wa sallam jika memberikan ucapan doa pernikahan beliau bersabda,” Semoga Allah memberkahi kalian, keberkahan atas kalian, dan mengumpulkan kalian berdua dalam kebaikan .” (HR. Abu Daud)

c. Akad nikah pada waktu utama

30 Abdurrahman Nasir as Sa‟di, Taisîr Al Karimir Rahman Ala Kalam al Mannan, h.812 31 Abû Daûd, Sunan Abi Daud , Jilid II,(Beirut: Maktabah „Ashriyah,t.t) h. 241 no. Hadits:2130

Melaksanakan akad nikah pada waktu utama, hari jumat adalah hari yang mulia, pernikahan yang dilakukan tujuannya agar mendapat keberkahan sehingga melangsungkan nikah pada hari Jum‟at dengan harapan mendapat keberkahan juga.

d. Menyiarkan pernikahan Maksud dari menyiarkan pernikahan adalah mengabarkan dan melaksanakan walimatul ursy, dengan tujuan agar kerabat dan sahabat mengetahui akad nikah sudah dilaksanakan dan agar tidak timbul fitnah di kemudian hari. Seperti disebutkan dalam sabda Nabi Muhammad SAW:

“Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Muni‟ ia berkata,” Telah menceritakan kepada kami Yazîd bin Harûn, ia berkata,” telah mengabarkan kepada kami „îsa bin Maimûn al Anshâri dari Al Qâshim bin Muhammad, dari Aisyah berkata,” Bersabda Rasulullah Shalalahu „Alaihi wa Sallam,”Siarkanlah pernikahan…” (HR. At Tirmizi)

2. Tujuan Pernikahan

Jika ada surga dunia, maka surga itu adalah pernikahan yang pernuh berkah dan bahagia, tetapi jika ada neraka dunia, maka neraka itu adalah rumah tangga yang penuh pertengkaran dan kecurigaan antara suami dan istri. Pernikahan adalah ikatan agung antara dua insan yang disatukan dalam akad sebagai bukti cinta yang halal dihadapan Allah. Bukan hanya sekedar ikatan fisik, namun lebih dari itu ikatannya bersifat lahir dan batin. Imam Al „Izzuddin Abdussalam menyebutkan:

”Allah menciptakan segala sesuatu agar saling memenuhi kebutuhan dan berinteraksi untuk memenuhi kemaslahatan satu dan lainnya, baik persoalan besar kecil atau sebaliknya, orang kaya mengetahui maslahat bagi orang miskin dan sebalinya, kaum lelaki memahami

32 At Tirmizi, Sunan At Tirmizi, Jilid III ( Mesir: Syarikah Maktabah Musthafa Al Babi al Halbi,1395) h.390 no. Hadits.1089 32 At Tirmizi, Sunan At Tirmizi, Jilid III ( Mesir: Syarikah Maktabah Musthafa Al Babi al Halbi,1395) h.390 no. Hadits.1089

Al Qur‟an menggambarkan secara umum tujuan menikah dalam firman Allah:

“Dan diantara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan diantaramu rasa kasih sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda- tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berfikir”. ( QS. Ar Rûm [30]:21)

Imam an Nawawi Al Bantâni menafsirkan tujuan utama pernikahan dalam

ayat diatas adalah untuk mendapatkan ketenangan batin.

“Litaskunu ilaiha, maksudnya cenderung kepada istri dan untuk mendapatkan ketentraman hidup bersamanya”.

Sayid Qutub menyebutkan dalam tafsirnya : “Manusia mengetahui perasaannya terhadap lawan jenisnya, kontak

perasaan dan hubungan antara dua jenis yang berbeda, melabuhkan langkah dan pergerakan aktivitas rasa yang berbeda jenis dan arah antara laki-laki dan wanita. Namun saat teringat bahwa Allah lah yang menciptakan mereka berpasangan, Allah jua yang menyiapkan bagi jiwa mereka kasih dan perasaan, menjadikan interaksi yang melahirkan ketenangan jiwa, kedamaian hati dan badan, stabilitas hidup, menyegarkan jiwa. Ketenangan yang sama dirasakan baik laki- laki maupun perempuan. Ungkapan wahyu Al Qur‟an begitu lembut

dan menggambarkan ikatan ini, seolah memetik rasa dari lubuk hati yang paling dalam, litaskunu ilaiha, agar kalian tenteram bersama

istrimu 35 …” Al Qur‟an juga mendiskripsikan ayat-ayat terkait dengan pernikahan, seperti

dalam ayat berikut ini:

33 Abu Muhammad Izzuddin bin Abdul Aziz bin Salâm, Qawaid Al Ahkam Fi Mashalih Al Anam , Jilid II ( Kairo: Maktabah Al Azhariyah, 1414H) h. 68 34 Imam An Nawawi Al Bantani, Marâh Labîd li Kasyf Qur‟ân al Majîd, jilid 2 (Beirut: Dâr al Kutûb al Ilmiyah, 1417 H) h. 228 35 Sayyid Qutûb Ibrâhîm Husain As Syârbî, Fî Zhilâlil Qur‟ân, Jilid V ( Beirut: Dâr as Syurûq, 1412 H) h. 2763

“ Dialah Yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan dari padanya Dia menciptakan istrinya, agar dia merasa tenang kepadanya. Maka setelah dicampurinya, isterinya itu mengandung kandungan yang ringan, dan teruslah dia merasa ringan (beberapa waktu). Kemudian tatkala dia merasa berat, keduanya bermohon kepada Allah, Tuhannya

seraya berkata,” Sesungguhnya jika Engkau memberi kami anak yang saleh, tentulah kami termasuk orang- orang yang bersyukur”. (QS. Al A‟raf [7]:189) Ayat diatas menunjukkan bahwa tujuan pernikahan selain untuk

mendapatkan ketenangan hidup juga untuk mendapatkan keturunan, anak yang shalih yang menyejukkan pandangan dan membehagiakan kedua orang tuanya. Ketenangan yang dimaksud dalam ayat diatas adalah bentuk

perumpamaan dari kebahagiaan hidup. 36 Saat lelaki dan wanita menikah maka kedekatan yang terbangun diharapkan membuat mereka bisa

bertoleransi, bekerjasama dan mewujudkan kebersamaan indah dalam menggapai keridhaan Allah. Sehingga melahirkan keturunan yang menjadi pelengkap kebahagiaan mereka setelah menikah.

Dalam ayat lain Allah juga berfirman: َءارَقُ ف اوُنوُكَي ْنِإ ْمُكِئامِإَو ْمُكِدابِع ْنِم َيِِلا صلاَو ْمُكْنِم ىمياَْلأا اوُحِكْنَأَو

“Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian 37 diantara kamu, dan orang-orang yang layak menikah dari hamba-hamba sahayamu yang

lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Mahaluas (Pemberian- Nya) lagi Maha Mengetahui”. (QS. An Nur[24]:32) Ayat diatas merupakan janji Allah kepada orang yang hendak menikah

akan dimudahkan jalan rezekinya. Terkadang muncul keraguan bahkan

36 Muhamma d Thâhir bin „Asyur, at-Tahrir wa Tanwir, Jilid IX, (Tunisia: Dar Tunis li an-Nasyr,1984) h. 211 37 Lelaki atau wanita yang belum menikah, karena sebab ketidak mampuan secara finansial hendaklah dibantu dan dimudahkan, tidak mempersulit dengan syarat-syarat yang bukan inti dan wajibnya sebuah pernikahan.

ketakutan bagi lelaki atau wanita yang ingin menikah akan masa depan mereka. Ayat ini merupakan jawaban bahwa orang yang menikah, jika ia miskin maka Allah akan membuatnya cukup dalam kehidupannya kelak. Janji Allah adalah pasti, dan keraguan-keraguan hanyalah bisikan syetan yang menimbulkan was-was dalam hati manusia. Di dalam tafsir Al Marâghi disebutkan:

ٌدا ُلا َغ لما ٌح. ِالله َو َر ِئا َو ، ِه ْم ْغ ِن ْي ُيا َم “Janganlah kamu melihat fakir siapa yang melamar kepadamu, atau َ

fakirnya orang yang hendak menikah dengan seorang wanita, disisi Allahlah keutamaan yang bisa membuat mereka cukup (kaya) karena tabiat harta adalaha datang dan pergi.”

Dalam ayat lain Allah berfirman:

“Wahai sekalian manusia, bertakwalah kepada Rabb-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya 39 Allah

menciptakan

keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” (QS. An Nisâ [4]: 1

Dari ayat diatas dapat diambil pelajaran bahwa salah satu hikmah pernikahan adalah menyambung silaturahmi dengan orang lain. Karena dengan menikah berarti ada dua keluarga besar yang saling berinteraksi dan saling mengenal. Orang yang menyambung silaturahmi di cintai Allah dan orang yang memutuskan silaturahmi dilarang Allah.

38 Ahmad Mushthafa al-Marâghi, Tafsir al Marâghi, Jilid XVIII, (Mesir: Maktabah Musthafa Al Bâbi al Halbi,1365 H) h. 103 39 Maksud “dari padanya‟ menurut mayoritas ahli tafsir adalah bagian tubuh (tulang rusuk) nabi Adam, selain itu ada juga yang menafsirkan „dari padanya‟ sebagai tanah yang darinya nabi Adam diciptakan Allah.

Dalam fikih ada beberapa hukum terkait dengan pernikahan, Sayid Sabiq menyebutkan lima hukum dalam pernikahan diantaranya: 40

1. 41 Wajib Pernikahan dihukumi wajib manakalah, seseorang sudah mampu

menikah secara finansial, dan khawatir akan terjerumus kedalam perzinahan. Dalam hal ini seorang laki-laki dan wanita yang memiliki krriteria diatas hukumnya wajib untuk menikah.

2. 42 Sunah Golongan ini adalah mereka yang sudah mampu menikah, dan ia merasa

mampu untuk menahan syahwatnya. Hal ini bisa dilakukan karena ia berada pada lingkungan yang terjaga, seperti pesantren atau lembaga pendidikan yang menjaga interaksi dengan lain jenis secara ketat. Sehingga dorongan-dorongan untuk kearah pemenuhan kebutuhan syahwat yang diharamkan dapat terjaga. Meski mayoritas ulama menganjurkan jika seseorang mampu menghindari hal-hal yang diharamkan, maka disunnahkan menikah daripada menyibukkan diri dengan ibadah tanpa menikah. Karena dengan pernikahan yang barakah akan mendapatkan keturunan yang dapat dibanggakan oleh Rasulullah Shalallahu Aliahi wasallam di akherat kelak.

Seperti tertera didalam hadits Nabi Muhammad SAW:

“Telah menceritakan kepada kami Mahmûd bin Gailân ia berkata,telah menceritakan kepada kami Abû ahmad Az Zubairi ia berkata,dari Sufyân

Sayid Sâbiq, Fikih Sunnah, Juz 2 h. 16 41 Hukum wajib adalah, jika dikerjakan mendapat pahala dan jika ditinggalkan maka

kan mendapat dosa. 42 Hukum Sunah, jika dikerjakan pelakunya mendapatkan pahala dan jika ditinggalkan maka pelakunya tidak mendapatkan dosa. 43 Imam at-Tirmizi, Sunan at- Tirmîzi, Jilid III (Mesir: Maktabah Musthafâ al Bâbi al Halbî, 1395H) h.384 no.1081 kan mendapat dosa. 42 Hukum Sunah, jika dikerjakan pelakunya mendapatkan pahala dan jika ditinggalkan maka pelakunya tidak mendapatkan dosa. 43 Imam at-Tirmizi, Sunan at- Tirmîzi, Jilid III (Mesir: Maktabah Musthafâ al Bâbi al Halbî, 1395H) h.384 no.1081

3. 44 Mubah Hukum mubah artinya boleh, manakalah faktor-faktor yang mendorong

dan menghalangi pernikahan tidak ada, dalam hal ini kebolehan menikah bagi mereka yang tidak ada faktor pendorong dan penghalang pernikahan.

4. 45 Makruh Hukum makruh terjadi jika seseorang belum mampu secara lahir maupun

batin untuk menikah, namun ia inging segra menikah. Jika golongan ini ingin tetap melangsungkan niatnya untuk menikah sedangkan kemampuan lahiriah maupun batiniahnya tidak memadai maka hukumnya makruh, lebih baik melengkapi persiapan untuk menikah, baik dengan berpenghasilan atau dengan membelaki diri dengan beragam kemampuan positif yang kelak bermanfaat jika ia menikah. Anjuran untuk golongan ini hendaknya memperbanyak puasa, untuk meredam syahwatnya dan berolahraga menyalurkan energy berlebih kepada hal-hal yang positif.

5. 46 Haram Hukum menikah menjadi haram bisa terjadi dalam dua kondisi, yaitu:

Pertama , seseorang yang hendak menikah dengan tujuan untuk berbuat zalim kepada istri atau sebaliknya, seperti ingin menyakiti, membalas dendam, memutuskan silaturahim, menguasai harta warisan pasangan dan sejenisnya. Kedua,seseorang yang menikah namun memiliki penyakit yang berbahaya atau penyakit yang sulit disembuhkan. Atau memiliki penyakit yang menular dikhawatirkan jika mereka menikah maka penyakit yang diidapnya tersebut semakin menjalar. Atau jika salah satu dari kedua pasangan memiliki kekurangan secara fisik sehingga khawatir tidak bisa melaksanakan tugas sebagai suami atau istri. Namun jika kedua belah pihak sudah ridha dengan kekurangan dan kelebihan masing-masing maka dalam hal ini hukum menikah tidaklah menjadi haram. Intiya ada keterbukaan untuk berusaha menjelaskan kondisi masing-masing dan pihak suami atau istri saling menerima.

44 Hukum Mubah adalah sesuatu yang jika dikerjakan tidak mendapat pahala dan jika ditinggalkan tidak mendapatkan dosa. 45 Hukum Makruh adalah sesuatu yang jika dikerjakan tidak mengapa dan bila ditinggalkan mendapatkan pahala.

46 Hukum haram, jika dikerjakan berdosa dan jika ditinggalkan berpahala

Selain dari itu, pernikahan memiliki tujuan-tujuan mulia yang seharusnya bisa direncanakan dan dicapai oleh pasangan suami istri, tujuan utamanya adalah beribadah kepada Allah dan meraih faedah dan keberkahan dalam pernikahan, adapun tujuan dalam pernikahan

diantaranya: 47

a. Melaksanakan perintah Allah SWT dan mengikuti sunnah Nabi Muhammad SAW.

b. Pernikahan akan melahirkan ketenangan, kebahagiaan dan ketentraman dalam hidup

c. Pernikahan merupakan sarana ibadah untuk memperbanyak pahala dan mempersempit dosa.

d. Mencegah perbuatan zina

e. Menyalurkan hasrat seksual dan memelihara pandangan

f. Memelihara kehormatan perempuan

g. Mencegah penyebaran perbuatan keji dan maksiat

h. Membina generasi muslim yang tangguh Tujuan pernikahan ini begitu luhur dan agung, mencakup urusan dunia

dan akherat, sehingga jika kita cermati sudah seharusnyalah sebuah pernikahan menjauhi hal-hal yang dapat merusak ikatan perkawinan atau menjadikan pihak-pihak yang terikat dengan sebuah pernikahan menderita atau kehilangan hak-haknya. Begitu miris jika kita melihat seorang anak yang terlantar tanpa perlindungan orang tuanya, harus hidup seorang diri dalam sebuah masyarakat yang tidak bersahabat dengannya. Atau sebuah keluarga yang broken home akibat perceraian yang terjadi karena orang tua yang egois dengan sikapnya. Sâyid Sabiq menyebutkan beberapa hikmah dari sebuah

pernikahan, 48 diantarnya: Pertama, Menyalurkan hasrat biologis. Merupakan kebutuhan manusia untuk berkembang biak dan memperbanyak keturunan,

islam adalah agama yang solutif dengan menghadirkan pernikahan didalamnya.Menyalurkan hasrat biologis sudah seharusnya pada tempat yang dihalalkan. Kedua, menjaga kesucian, untuk itulah Rasulullah dalam

haditsnya bersabda: ِنَع ،َةَيِواَعُم وُبَأ اَنَ ث دَح : َلاَق ، ٍبْيَرُك وُبَأَو ،َةَبْ يَش ِبَِأ ُنْب ِرْكَب وُبَأ اَنَ ث دَح

47 Abû Mâlik Kamâl, Fikih Sunah Wanita, ( Jakarta:Penerbit Pena,2007) h.133 48 Sayid Sâbiq, Fikih Sunnah , Jilid II, ( Beirut: Dar al Kutub al „Arabi, 1397) h. 13

“Telah bercerita kepadaku Abu Bakar bin Abi Syaibah, dan Abu Kuraib, telah bercerita kepada kami Abu Muawiyah, dari Al A‟masy dari Umarah bin ‟Umair dari Abdurrahman bin Zaid, dari Abdullah berkata, Rasullah bersabda kepada kami,”Wahai para pemuda, barangsiapa yang sudah mampu menikah maka menikahlah, karena itu dapat menundukkan pandangan, menjaga kesucian, barangsiapa yang belum mampu hendaklah ia berpuasa, karena puasa adalah perisai baginya”. (HR. Al Bukhâri)

Ketiga , menjalin persaudaraan dan silaturahim. Pernikahan bukan hanya dua insan yang bertemu, melainkan dua keluarga besar. Harapannya agar kedua belah pihak tersebut bisa bertemu, bersilaturahim dan akhirnya menjalin persaudaraan dalam bingkai ukhuwah islamiyah. Keempat, keluarga merupakan tempat mencurahkan kasih sayang dalam bingkai agama, hubungan yang harmonis antar ayah, ibu dan anak memungkinkan perkembangan psikologis anak-anak menjadi sempurna sehingga bisa mencapai tujuan yang diharapkan bersama. Kelima, keluarga merupakan tempat berbagi peran, seorang ayah bertanggungjawab atas amanah keluarga yang dipimpinnya, ia harus mampu mengarahkan bahtera rumah tangga ke pulau harapan dan kebahagiaan, seorang ibu bertugas mengatur rumah tangga, mengurus suami, mendidik anak beserta suami serta menjadi tempat berbagi kasih sayang anak-anaknya. Seorang anak berperan melanjutkan cita- cita keluarganya. Untuk mencapai tujuan-tujuan yang mulia seperti yang telah penulis kemukakan diatas, maka pernikahan memiliki rukun dan syarat tertentu, dalam kajian fikih klasik terdapat perbedaan dikalangan ulama mazhab terkait dengan rukun dan syarat pernikahan, diantaranya:

a. Kalangan Hanafiyah

Kalangan Hanafiyah berpendapat syarat nikah saling terkait, antara satu dan lainnya. Sebagian terkait dengan calon mempelai, sebagian terkait

dengan saksi, dan ijab Kabul. Hanafiyah juga membagi lafaz ijab Kabul ada yang sharîh (jelas) dan kinâyah (kiasan). Lafaz Sharîh yang digunakan

khusus, seperti ungkapan Tazwîj atau Inkâh. Atau ucapan sejenisnya. 50 Kalangan ini juga berpendapat bahwa rukun nikah adalah shigat saja (ijab

49 Imam al-Bukhari, Shahih al- Bukhâri, Jilid III (tt.p: Dar Tuq an Najat,1422H) h. 3 , No.Hadits. 5065 50 Abdurrahman a- Jazîri, Al Fikh „alâMazahib Arba‟ah, Jilid IV (Libanon: Dar al Kutub al Ilmiyah,1424H) h.17 49 Imam al-Bukhari, Shahih al- Bukhâri, Jilid III (tt.p: Dar Tuq an Najat,1422H) h. 3 , No.Hadits. 5065 50 Abdurrahman a- Jazîri, Al Fikh „alâMazahib Arba‟ah, Jilid IV (Libanon: Dar al Kutub al Ilmiyah,1424H) h.17

nikah, pada masa Rasulullah adalah hibah, namun lafaz ini khusus bagi Rasulullah SAW. Seperti yang tercantum dalam firman Allah:

“Dan perempuan mukminah yang menyerahkan dirinya kepada Nabi jika Nabi ingin menikahinya, sebagai kekhususan bagimu, bukan untuk semua orang mukmin. (Q.S. Al Ahzâb [33]:50)

b. Kalangan Malikiyah Kalangan ini berpendapat bahwa rukun nikah ada empat yaitu: sighat, wali,

mahar, dan dua orang saksi 52 . Malikiyah berpendapat lafaz ijab qabul adalah lafaz apa saja yang menunjukkan penguatan tujuan, seperti ankahtu (aku

menikahkan) zawajtu (aku kawinkan) mallaktu (aku milikkan) bi‟tu (aju jualkan) dan wahabtu (aku hadiahkan) dengan disebutkan mahar tertentu. 53

Menurut Ibnu Rusyd dalam kitab Bidayatul Mujtahid, syarat akad nikah ada tiga hal, yaitu wali, saksi dan mahar. Adapun syarat wali adalah, islam, laki-

laki dan sudah balligh. 54

c. Kalangan Syafi‟iyah Kalangan ini berpendapat bahwa rukun nikah adalah shigat, wali, mahar, dua orang

saksi dan kedua mempelai. Meskipun penamaan mahar bisa digunakan juga dengan istilah shadaq. 55

Al Mawardi menyebutkan bahwa, hanya nabi yang dibolehkan untuk menerima akad dengan lafaz hibah, tidak untuk kaum muslimin, karena merupakan kehususan nabi Muhammad SAW, karena jika demikian maka nikah tidak perlu ada wali dan mahar begitupula dengan dua orang saksi yang

adil. 56

d. Kalangan Hanabilah Kalangan ini berpendapat bahwa rukun nikah adalah sighat (ijab dan kabul) dan kedua mempelai. Lafaz yang disepakati dalam mazhab ini adalah tazwij

51 Al- Kâsâni, Badâi‟ Shanâi‟ Fî Tartîb asy-Syarâ‟i, Jilid II (tt.p: Dâr Al Kutûb, 1406H) h. 230 52 Ibnu al-Hâjib al-Kurdi, Jâmi‟ al-Ummahât, Jilid I (tt.p: al-Yamâmah Li An Nasyr wa Tauzi‟, 1421 H) h. 255 53 Ibnu Hâjib al Kurdi, 54

Jami‟ al-Ummahât, h. 255

Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayat al-Muqtashid, juz III h.39

55 Zainuddin Ahmad bin Abdul Aziz al Ma‟bari al Malibari al Hindi, Fath al Mu‟in Bi Syarh Qurat al „ain Bi Muhimmât ad dîn, Jilid I (tt.p: Dâr Ibn Hazm, tt) h. 485 56 Al-Mawardi, an Nakat wal „Uyûn, Jilid 4 (Beirut: Dâr al Kutûb Al Ilmiyah, tt) h. 415 55 Zainuddin Ahmad bin Abdul Aziz al Ma‟bari al Malibari al Hindi, Fath al Mu‟in Bi Syarh Qurat al „ain Bi Muhimmât ad dîn, Jilid I (tt.p: Dâr Ibn Hazm, tt) h. 485 56 Al-Mawardi, an Nakat wal „Uyûn, Jilid 4 (Beirut: Dâr al Kutûb Al Ilmiyah, tt) h. 415

“Tidak sah nikahnya seorang wanita tanpa ridha walinya”. Adapun rukun dan syarat untuk melangsungkan pernikahan menurut

Kompilasi Hukum Islam adalah sebagai berikut 59 :

a. Mempelai pria dan Syarat-syaratnya

1. Beragama Islam

2. Laki-laki

3. Jelas orangnya

4. Dapat memberikan persetujuan

5. 60 Tidak ada halangan perkawinan

b. Mempelai wanita dan Syarat-syaratnya

1. Beragama Islam

2. Perempuan

3. Jelas orangnya

4. Dapat diminta persetujuan

5. Tidak terdapat halangan perkawinan

c. Wali dan Syarat-syaratnya

Secara bahasa wali bermakna al mahabah ( kecintaan) dan nushrah (pertolongan). Hal ini sesuai dengan firman Allah:

“Dan barangsiapa yang menjadikan Allah dan Rasul-Nya serta orang- orang yang beriman sebagai penolong, maka sesungguhnya pengikut

agama Allah itulah yang pasti menang.” (QS. Al Maidah [5]:56) Menurut an- Nasafi dalam tafsirnya,” yang dimaksud dalam kata “yatawalla” artinya menjadikan wali atau menjadi wali”. 61

57 „Alauddin Abu al Hasan Ali bin Sulaiman al-Mardawai al-Damsyiqi al-Hanbali, Al Inshaf fi Ma‟rifati Ar Rajih Min al Khilaf, Jilid VIII (t.tp:Dâr Ihya Turats,tt) h. 45 58 Abu al- Barakat al-Majduddin, al- Muharrar Fî Fiqh Imam Ahmad bin Hanbal, Jilid II ( Riyadh: Maktabah AL Maarif,1404 H) h. 15 59 Siska Lis Sulistiani, Kedudukan Hukum Anak, h, 12 60 Halangan perkawinan misalnya: terdapat hubungan nasab dekat, telah beristri, atau jika wanita masih dalam masa iddah, melakukan pelanggaran nikah mut‟ah atau melanggar peraturanperaturan yang berlaku.

61 An Nasafi, Tafsir an Nasafi, Jilid 1, (Beirut: Dar al Kalam at Thayib,1419H) h. 456

Wali bisa juga bermakna, pihak yang memiliki kekuasaan, seperti disebutkan oleh Wahbah Az Zuhaili. 62

Sedangkan secara istilah yang dimaksud dengan wali adalah:

“Kemampuan untuk bertindak langsung tanpa henti untuk membolehkan seseorang. Dinamakan juga orang yang membolehkan sebuah akad .

Kedudukan wali bagi mempelai wanita merupakan rukun nikah, jika ada seorang wanita yang menikah tanpa wali maka hukum nikahnya tidak sah. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi Muhammad SAW:

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Katsîr, telah mengabarkan kepada kami, Sufyân, telah mengabarkan kepada kami Sulaimân bin Musâ, dari Az Zuhri, dari „Urwah, dari „Ậisyâh, ia berkata,”Telah bersabda Rasûlullâh SAW,”Siapasaja wanita yang menikah tanpa izin walinya, maka nikahnya batil (tidak sah) Nabi mengucapkannya tiga kali…”(HR. Abu Daud)

Dari hadits diatas bisa disimpulkan bahwa jika pernikahan tidak ada walinya maka tidak sah, hal ini juga didukung hadits lain:

62 Wahbah Az-Zuhaili, al-Fikh al- Islami wa Adillatuhu, j.9 h. 6690 63 Wahbah Az-Zuhaili, al- Fikh al-Islami wa Adillatuhu, j.9 h. 6691 64 Abû Daud, Sunan Abu Daud , jilid II ( Beirut: Maktabah „Ashriyah,t.t ) h. 229 no.

“Telah menceritakan kepada kami „Ali bin Hujr berkata,”Telah mengabarkan kepada kami, Syarîk bin Abdillah, dari Abî Ishâq,telah

menceritakan kepada kami,Qutaibah berkata,‟Telah menceritakan kepada kami, Abû „Awânah, dari Abû Ishâq telah menceritakan kepada Muhammad bin Basyâr berkata Abdurrahman bin Mahdi dari Isrâil,dari Abû Ishâq telah menceritakan kepada kami Abdullah bin

Abi Ziyâd,berkata,”Telah menceritakan kepada kami Zaid bin Hubâb dari Yûnus bin Abu Ishâq dari Abu Ishâq dari Abî Burdah dari Abî Burdah dari Abî Mûsâ berkata, bersabda Rasûlullâh SAW,” Tidak sah nikah tanpa wali”.(HR. At Tirmizî) Hikmah disyariatkannya wali karena pernikahan ada tujuan-tujuan yang

hendak dicapai, dan tabiat wanita lebih mengedepankan perasaan, untuk itulah ia membutuhkan wali sebagai penyambung hati, kata dan perasaan saat hendak menikah, sehingga tujuan-tujuan dalam sebuah pernikahan dapat

tercapai kesempurnaannya. 66 Adapun ketentuan perwalian seperti diatur di dalam Undang-Undang

Perkawinan tahun 1974 pasal 50 disebutkan: 67 Ayat (1):

Anak yang belum mencapai umr 18 (delapan belas ) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, berada di bawah kekuasaan wali. Ayat (2): Perwalian itu mengenai pribadi anak yang bersangkutan maupun harta benda.

Jika dalam pasal diatas (ayat 1 dan 2) merupakan hak dan wewenang wali, maka pada pasal di bawah ini menyebutkan kriteria wali seperti dalam Pasal

50 menyebutkan: Ayat (1):

65 At-Tirmizî, Sunan at-Tirmizî, Jilid III,(Mesir: Syarikah Musthafa Al Bâbi al Halbî, 1935H) h. 399 no. 1101 66 Sayid Sabiq, Fikih Sunnah, j. 2 h.127 67 Undang-Undang no. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Wali dapat ditunjuk oleh satu orang tua yang menjalankan kekuasaan orang tua, sebelum ia meninggal, dengan surat wasiat atau dengan lisan di hadapan

2 (dua) orang saksi. Ayat (2): Wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak tersebut atau orang lain yang sudah dewasa berpikiran sehat, adil, jujur dan berkelakuan baik. Ayat (3): Wali wajib mengurus anak yang di bawah penguasannya dan harta bendanya sebaik-baiknya dengan menghormati agama dan kepercayaan anak itu.

Ayat (4): Wali wajib membuat daftar harta benda anak yang berada di bawah kekuasaannya pada waktu memulai jabatannya dan mencatat semua perubahan-perubahan harta benda abak atau anak-anak itu. Ayat (5): Wali bertanggung jawab tentang harta benda anak yang berada di bawah perwaliannya serta kerugian yang ditimbulkan karena kesalahan atau kelalaiannya. Pasal 54 Wali yang telah menyebabkan kerugian kepada harta benda anak yang di bawah kekuasaannya, atas tuntutan anak atau keluarga anak tersebut dengan keputusan Pengadilan, yang bersangkutan dapat di wajibkan untuk mengganti kerugian tersebut.

Menurut Kompilasi Hukum Islam juga disebutkan bahwa wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon

mempelai wanita yang tugasnya untuk menikahkan wanita tersebut. 68 Dalam pasal 20 Kompilasi Hukum Islam disebutkan

Ayat (1): Yang bertindak sebagai wali nikah adalah seseorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam, yaitu muslim, aqil (berakal) dan baligh. Ayat (2) Wali nikah terdiri dari:

a. wali nasab

b. wali hakim Dalam fikih klasik juga terdapat pembagian wali dan syarat-syaratnya, sepertinya tidak jauh berbeda dengan yang ditetapkan dalam Kompilasi Hukum Islam, hanya perbedaan bahasa saja. Misalnya dalam kajian

fikih Hanafi, kalangan ini membagi wali dalam tiga kategori yaitu: 69 Pertama , Wali atas Jiwa (nafs)

Kompilasi Hukum Islam bag. 3 Tentang Wali Nikah 69 Wahbah az-Zuhaili, al-Fikh al-Islami wa Adillatuh, J. IX h. 6691

Kedua, Wali atas Harta (al mal) Ketiga, Wali atas Jiwa dan Harta bersamaan (An Nafs wa al mal).

Yang dimaksud wali atas jiwa adalah wali yang memiliki hak atas perkara-perkara personal, seperti menikah, belajar, berobat, bekerja. Hal ini hanya dimiliki oleh Ayah, Kakek dan wali-wali lainnya. Sedangkan wali atas harta, berkaitan dengan perkara harta seperti, invetasi, membelanjakan harta, infak, zakat dan lainya. Biasanya dimiliki oleh ayah, kakek, orang yang diwasiatkan oleh keduanya dan hakim. Sedangkan wali atas harta dan jiwa, mereka yang terlkait dengan perkara jiwa dan harta sekaligus, dalam bahasan ini hanya dua golongan yang memiliki kewenangan, yaitu ayah dan kakek

saja. Sedangkan wali atas jiwa terbagi menjadi dua bagian, wilayah ijbar 70 dan wilayah ihtiyar 71 . Dalam konteksnya maka wilayah ijbar sering dikenal

dengan wali hakim, karena jika tidak ada dipihak keluarga yang menjadi wali maka hakim adalah walinya. Hal ini seperti yang disebutkan dalam hadits Rasulullah SAW:

“Telah mengabarkan kepada kami Abû Zakariâ bin Abî Ishâq, saya Abû al Abbâs Muhammad bin Ya‟qûb saya Muhammad bin Abdillah bin Abdul Hakîm saya Ibnu Wahb, telah mengabarkan kepadaku Ibnu

Juraij dari Sulaimân bin Musâ dari Ibnu Syihâb dari „Urwah bin

Wali yang memiliki hak atau kekuasaan untuk menekan atau meluluskan pendapat kepada pihak lain, 71 Wali yang memiliki hak untuk menikahkan seseorang sesuai dengan pilihan (ihtiyar) 72 Al-Baihaqi, Sunan as-Shagîr, Jilid III, ( Pakistan: Jam‟iah Dirasat Islamiyah, Karachi,1410) h. 16 No. 2366

Zubair dari „Aisyâh istri Nabi SAW dari Rasûlullâh SAW beliau bersabda,” Janganlah kau nikahkan seorang wanita tanpa perintah walinya, jika ia dinikahkan maka nikahnya batil (tidak sah) jika ia

melakukanya maka bagi wanita mahar mitsli 73 atas pernikahan tersebut, jika mereka berselisih, maka hakim adalah walinya bagi

orang yang tidak memiliki wali”. (HR. Al Baihaqi) Menurut Malikiyah, wali terbagi menjadi dua: P ertama, wilayah „Ậmah (umum) dan Kedua, wilayah khâsah (khusus). Yang dimaksud wali umum adalah setiap wali yang tetap dengan sebab satu yaitu agama islam. Wali umum ini asal ia beragama isla memiliki hak-hak untuk menjadi wali pihak perempuan.

Syarat lain adalah, pihak perempuan tersebut tidak memiliki ayah atau yang di wasiatkan oleh ayahnya. sedangkan wali khâsah (khusus) adalah khusus dimiliki oleh enam pihak yaitu: ayah, atau yang diwasiatkan ayah, saudara dekat ayah, maula , pihak yang menanggung,dan hakim). Menurut kalangan Syafi‟iyah wali ada dua jenis: ijbariyah (ayah, kakek) dan ikhtiyariyah (wali Ashabah) seperti kalangan Hanifiyah dalam hal wali atas jiwa (an nafs). Adapun menurut Hanabilah, tidak sah nikah tanpa wali dan

dua orang saksi seperti pendapat Malikiyah Syafi‟iyah. 74 Adapun urutan wali menurut Ibnu Rusyd dimulai dari nasab, sulthan (hakim, maula 75 , orang islam. 76 . adapun yang berhak menjadi wali nikah, secara nasab dna berurutan

adalah sebagai berikut:

1. Bapak

2. Kakek

3. Saudara laki-laki sebapak

4. Saudara laki-laki seibu

5. Paman dari jalur bapak

6. Anak laki-laki dari saudara laki-laki

7. Anak laki-laki dari saudara perempuan

8. Anak laki-laki paman dari jalur bapak

9. Paman dari jalur ibu

10. Anak laki-laki paman dari jalur ibu.

d. Ijab Kabul

Ijab adalah ungkapan yang diucapkan oleh wali wanita ketika akad nikah, sedangkan qabul adalah ungkapan penerimaan yang diucapkan oleh calon suami. Dengal lafaz

73 Mahar Mistli adalah mahar yang ditentukan oleh pihak wanita sesuai dengan status dan kesepakatan keluarganya. 74 Ibnu Qudamah, Al Mughni, Jilid VII, ( Kairo: Maktabah Al Qâhirah, 1388H) h. 6 75 Maula adalah wali yang menikahkan budaknya sendiri, artinya tuan atau majikan

76 Ibnu Rusyd, Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtashid, j. III h. 40

Inkah (kawin) atau tazwij (nikah) atau dengan makna yang serupa. Namun makna yang serupa ini harus disertai dengan niat 77 . Ijab Kabul boleh dengan

bahasa yang dipahami oleh kedua belah pihak, baik bahasa, ucapan atau ungkapan apa saja yang serupa. Tidak juga harus memakai bahasa Arab, kecuali jika kedua belah pihak memang memahami Bahasa Arab sehingga memahami makna apa yang diucapkan.

e. Dua orang saksi

Keberadaan saksi merupakan rukun dalam sebuah pernikahan, saksi yang adil dan dapat dipercaya dalam sikap dan ucapannya. Sesuai dengan sabda nabi Muhammad SAW:

“Telah mengabarkan kepada kami Abû Abdillah al Hâfiz, saya Abû al Walîd al Faqîh, saya Muhammad bin Jarîr at Thabari, saya Saîd bin

Yahyâ bin Sa‟îd al Umawi, saya Abî dari Ibnu Juraij dari Sulaimân bin Musâ dari Az Zuhri dari Urwah dari Aisyah bahwasanya Nabi SAW

bersabda,” Siapa wanita menikah tanpa izin walinya dan dua orang saksi yang adil maka nikahnya batil (tidak sa h).”(HR. Al Baihaqi)

Diantara syarat saksi adalah sebagai berikut:

a. Muslim

b. Baligh

c. Berakal

d. Merdeka

e. Laki-laki

f. Adil

77 Ibnu Taimiyah , Majmu‟ al-Fatâwâ, Jilid XXXII, ( Saudi Arabia: Majma‟ Malik Fahd,1416 H) h. 15 78 Al-Baihaqi, Sunan Shagîr, Jilid III, (Pakistan:Jamiah Dirasat Islamiyah, Karatchi,1410) h. 20 No. 2382

6. Macam-Macam Pernikahan

Dalam kajian fikih klasik ada beberap jenis pernikahan sesuai dengan syarat dan pendapat ulama didalamnya, dan masing-masing memiliki

konsekwensinya, diantaranya: 79

a. Hanafiyah Menurut hanafiyah ada lima jenis yaitu: Sahih Lazim, Ghaira lazim, Mauquf, fasid dan bathil

b. Malikiyah Menurut Kalangan Malikiyah, ada empat jenis yaitu: Shahih lazim, ghairu lazim, mauquf, dan bathil.

c. Syafi‟iyyah dan Hanabilah Menurut kalangan ini pernikahan terbagi menjadi 3 jenis, yaitu: Lazim, Ghaira lazim dan Fasid (bathil)

Yang dimaksud dengan pernikahan lazim adalah sebuah pernikahan yang tercukupi syarat dan rukunnya, baik syarat sah maupun syarat

keterlaksanaannya (nafâdz). 80 Sedangkan pernikahan yang ghaira lazîm (tidak lazim) adalah pernikahan yang tidak tercukupi salah satu syarat dari

syarat lazim pernikahan tersebut. Pernikahan yang mauquf apabila kehilangan salah satu syarat keterlaksanaan (nafâdz). Pernikahan fasid menurut jumhur jika kehilangan salah satu syarat atau rukunnya, sedangkan menurut Hanafiyah apabila kehilangan syarat akad (in‟iqâd). Sedangkan pernikahan yang bathil apabila kehilangan syarat sahnya sebuah pernikahan. Pernikahan sah adalah pernikahan yang sah syarat dan rukunnya, sesuai dengan ketentuan syarat dan rukun seperti yang telah penulis sebutkan diatas. Yang menjadi titik persoalan dimasyarakat adalah tidak terpenuhinya syarat dan rukun yang telah disepakati oleh mayoritas ulama dan pemerintah sebagai pemegang otoritas kebijakan dalam hal sah atau tidaknya perkawinan. Istilah pernikahan dan jenisnya bisa penulis kemukakan seperti berikut ini:

A.Nikah Tercatat

Pernikahan tercatat adalah pernikahan yang memenuhi syarat rukun yang sudah ditetapkan secara agama dan negara, sebagai bukti kekuatan hukumnya pernikahan ini dicatatkan di KUA. Hal ini sesuai dengan amanah Undang- Undang Perkawinan. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang