Kedudukan Anak Dalam Keluarga

B. Kedudukan Anak Dalam Keluarga

Pengertian anak menurut pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, yang dimaksud anak menurut undang undang tersebut adalah seseorang yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan. Menurut Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun1979Tentang Kesejahteraan Anak, pada bab I ketentuan umum pasal (1) poin (2).Yang dimaksud anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluhsatu) tahun dan belum kawin.

Sedangkan pengertian anak menurut pasal 1 ayat (5) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia (HAM), anak adalah setiapSetiap manusia yang berusia 18 tahun dan belum menikah, termasuk anak yang berada di dalam kandungan. Secara biologis anak merupakan hasil dari pertemuan sel telur seorang perempuan (ovum) dengan sel sperma laki- laki (spermatozoa) kemudian berkembang menjadi calon janin (zygot) lalu tumbuh menjadi sel janin. Sehingga tidak mungkin seorang anak lahir tanpa kontribusi dua belah pihak, ayah dan ibu. Secara yuridis seorang anak kadang lahir tanpa keberadaan seorang ayah, hal ini dalam undang-undang perkawinan, jika tanpa disertai perkawinan yang sah maka anak tersebut dinamakan anak luar kawin yang hanya memiliki hubungan dengan ibu sebagai orang tuanya. Sedangkan menurut KUH Perdata menganut prinsip tanpa adanya pengakuan dari kedua orang tuanya maka si anak tidak dapat

memiliki pengakuan secara yuridis baik dari ayah maupun ibunya. 159 Sedangkan menurut hukum islam, anak memiliki arti yang sangat penting

karena dengan anak dapat diketahui hubungan sedarah (mahram) antara dia dan ayahnya. hukum islam juga memberikan koridor bahwa anak dapat dikatakan sah bilamana terlahir dari pernikahan yang sah sesuai syarat hukum agama. Sedangkan anak yang terlahir diluar syarat tersebut dinamakan anak

zina atau anak luar kawin 160 .

a. Anak sah

Menurut Hilman Hadikusuma yang dimaksud dengan anak sah adalah anak yang dilahirkan dari pernikahan yang sah menurut hukum masing-masing

agama dan kepercayaan 161 . Sedangkan menurut makna etimologi dari beberapa kategori, diantaranya 162 :

DY Witanto, Hukum Keluarga (Hak dan Kedudukan Anak Luar Kawin),( Jakarta:Prestasi Pustaka Publisher, 2012) h. 7 160 Siska Lis Sulistiani, Kedudukan Hukum Anak Hasil Perkawinan Beda Agama,h. 16 161 Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, ( Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999), h.80 162 DY Witanto, Hukum Keluarga (Hak dan Kedudukan Anak Luar Kawin),h. 39

1. Seorang anak yang dibenihkan dari perkawinan dan dilahirkan dalam perkawinan yang sah.

2. Seorang anak yang dibenihkan di luar perkawinan namun, dilahirkan dalam perkawinan yang sah.

3. Seorang anak dibenihkan di dalam perkawinan yang sah, namun dilahirkan di luar perkawinan.

4. (Khusus Kompilasi Hukum Islam) seorang anak yang dibenihkan oleh pasangan suami istri di luar rahim dan dilahirkan oleh istri.

Kemudian pada pasal 42 Undang- Undang anak sah menyebutkan,”Anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat dari perkawinan

sah” 163 . Pad a pasal 250 KUH Perdata menyebutkan,” Anak yang dilahirkan atau

dibesarkan selama perkawinan memperoleh si suami sebagai ayah”. 164

b. Anak luar kawin

Beradasarkan Undang-Undang Perkawinan no. 1 tahun 1974 bahwa anak sah jika dilahirkan atau sebab akibat dari perkawinan yang sah 165

Menurut DY Witanto beberapa faktor yang melatar belakangi anak luar kawin antara lain 166 :

1. Karena usia pelaku masih dibawah usia yang diizinkan untuk menikah.

2. Belum siap secara ekonomi untuk melangsungkan perkawinan.

3. Perbedaan agama dan kepercayaan.

4. Akibat tindak pidana pemerkosaan.

5. Tidak mendapat restu orang tua.

6. Si laki-laki masih terikat perkawinan dengan istri sebelumnya dan tidak mendapatkan izin poligami.

7. Sex bebas (free sex)

8. Terlibat prostistusi Pembagian anak luar kawin terbagi menjadi dua bagian, diantaranya:

1. Anak zina

Menurut pengertian hukum Barat, seorang anak baru dapat dikategorikan sebagai anak zina jika ia berasal dari akibat seksual yang dilakukan oleh seorang laki-laki dan seorang perempuan yang keduanya sedang terikat

perkawinan dengan pihak lain 167 . Dalam pasal 272 KUHPerdata juga disebutkan bahwa setiap anak yang dilahirkan di luar nikah (antara jejaka dan

163 Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 Bab IX Pasal 42 tentang Kedudukan Anak 164 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 250 BAB XII Tentang Kebapakan dan Asal Keturunan Anak-Anak 165 Undang-Undang no. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan 166 DY Witanto, Hukum Keluarga (Hak dan Kedudukan Anak Luar Kawin) h. 9 167 DY Witanto, Hukum Keluarga (Hak dan Kedudukan Anak Luar Kawin) h. 40 163 Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 Bab IX Pasal 42 tentang Kedudukan Anak 164 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 250 BAB XII Tentang Kebapakan dan Asal Keturunan Anak-Anak 165 Undang-Undang no. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan 166 DY Witanto, Hukum Keluarga (Hak dan Kedudukan Anak Luar Kawin) h. 9 167 DY Witanto, Hukum Keluarga (Hak dan Kedudukan Anak Luar Kawin) h. 40

ini jelas bertolak belakang dengan maqashid syariah 168 . Al Qur‟an melarang perbuatan zina, karena zina merupakan perbuatan yang keji (fahisyah),

seperti disebutkan dalam firman Allah:

“ Dan janganlah kamu dekati zina, karena zina adalah perbuatan yang keji, dan jalan yang buruk”. (QS. Al Isra‟[17]:32) Abu Zahrah menyebutkan dalam tafsirnya, bahwa ayat diatas adalah

larangan mendekati zina, Allah tidak mengatakan,”Janganlah berzina”. Maksudnya Allah melarang segala perkara yang bisa menyebabkan seseorang jatuh kedalam perbuatan zina. Seperti memegang, mencium, melihat aurat perempuan yang tidak halal, tari-tarian yang membangkitkan syahwat, suara wanita yang merayu mendayu, segala macam bentuk pornografi, karena segala sarana yang menyebabkan perbuatan haram maka hukumnya adalah

haram 169 . Dalam hukum Islam yang dimaksud dengan zina adalah pihak- pihak yang melakukan hubungan seksual tanpa diikat oleh akad yang sah.

Hubungan tersebut tanpa dibedakan antara yang sudah terikat pernikahan (suami istri) maupun yang belum (jejaka dan gadis) semua sama dihukumi

zina. 170 Sedangkan definisi fukahâ yang dimaksud dengan zina adalah:

“Zina adalah memasukkan zakar (alat kelamin laki-laki) kedalam faraj (alat kelamin wanita) yang haram, bukan pula campur syubhat dan

menimbulkan kelezatan Ada dua istilah yang biasa digunakan bagi pelaku zina, muhsan ( jejaka

dan gadis yang belum menikah) dan ghairu muhsan ( suami atau istri atau orang yang telah menikah). Hukuman bagi pelaku zina muhsan adalah di cambuk sebanyak 100 kali dan di asingkan dari wilayahnya selam setahun, seperti disebutkan oleh Al Maqdisi:

168 Problematika Hukum Islam Kontemporer, h. 122-123 169 Abu Zahrah, Zahra at Tafasir, Jilid VIII (t.tp: Dar Fikr Arabi, tt) h.4375 170 Problematika Hukum Islam Kontemporer, h. 124 171 Al Mahli, Qalyubi wa Umairah, Juz IV ( Mesir: Musthafa al Babi al-Halabi,

1955) h. 179

“Apabila pelaku zina adalah Muhsan, maka wajib dirajam hingga mati, Muhsan yaitu orang yang telah bercampur dengan istri melalui qubulnya dengan pernikahan yang sah, mereka merdeka dan mukallaf. Jika pelaku zina adalah merdeka Ghairu Muhsan hukumannya adalah dicambuk sebanyak 100 kali,

lalu diasingkan setahun sejauh jarak dibolehkannya shalat Qashar 172 . Akibat negatif dari zina adalah: Zina dapat menghilangkan nasab

( keturunan), menularkan berbagai macam penyakit yang berbahaya, sebab timbulnya perbuatan pidana lain seperti pertengkaran bahkan bisa berujung kepada pembunuhan, karena kecemburuan suami atau istri yang berzina, zina juga dapat menghancurkan sendi-sendi rumah tangga, merusak hubungan silaturahmi antara anak maupun keluarga besarnya serta zina

merupakan perbuatan dosa besar dan menyerupai perbuatan hewan 173 . Adapun akibat hukum dari anak hasil zina dalam hukum islam adalah

sebagai berikut: Pertama, tidak dinasabkan kepada laki-laki yang mencampuri ibunya secara tidak sah. Kedua, tidak saling mewarisiKetiga,tidak ada perwalian

2. Anak sumbang

Anak sumbang (incest) adalah anak yang terlahir dari hubungan terlarang dalam perkawinan, baik karena hubungan darah, semenda maupun

persususan (dalam hukum Islam) dan sebagianya. 174 Menurut H.M. Anshari perkawinan incest dibagi menjadi dua kondisi,

yaitu legal dan illegal. Incest legal adalah hubungan biologis dalam sebuah perkawinan incest karena kealpaan. Namun penulis tidak setuju dengan istilah legal, karena terkesan dibolehkan secara hukum. penulis lebih memilih istilah hubungan incest karena kealpaan. Kasusnya adalah jika sebuah keluarga terjadi perceraian, kemudian anggota keluarga tersebut berpisan setelah sekian lama ternyata salah satu diantara mereka menikah secara sah dan tercatat dalam hukum legal, yang setelah dilakukakan penelusuran masih merupakan keluarga sedarah. Dalam kasus ini maka hukum pernikahan tersebut batal. Karena mereka sebenarnya dilarang kawin karena masih

memiliki hubungan sedarah 175 . Atau kasus kedua karena keluarga yang tidak memiliki pemahaman cukup dalam agama. Misalnya kasus pernikahan antara

paman dan keponakannya, sedang diantara keluarga mereka tidak mengetahui keharaman pernikahan tersebut. Maka hukum pernikahan tersebut harus di batalkan. Adapun incest illegal adalah hubungan yang

172 Mar‟i bin Yusuf al-Karami al-Maqdisi Al Hambali, Dalil at-Thâlib li-Nail al- Mathâlib, jilid I ( Riyadh: Dar Qutaibah Li an - Nasyr wa Tauzi‟, 1425H) h. 312 173 Sayid Sabiq, Fiqh Sunnah, h. 341 174 Siska Lis Sulistiani, Kedudukan dan Hukum Anak, h. 22 175 HM. Anshari, Kedudukan Anak dalam Perspektif Islam dan Hukum Nasional, h.

ditindak berdasarkan hukum yang berlaku di Indonesia 176 .