Alat-Alat Bukti Dalam Tindak Pidana Pencucian Uang

sarana, baik tertuang diatas kertas, benda fisik atau yang terekam secara elektronik, termasuk tetapi terbatas pada : a. tulisan, suara, gambar; b. peta, rancangan, foto, atau sejenisnya; c. huruf, tanda, angka, simbol, atau perforasi yang memiliki makna atau dapat dipahami oleh orang yang mampu atau membaca atau memahaminya. Pengecualian tata cara pembuktian yang terdapat dalam UU No. 8 Tahun 2010 tersebut menunjukkan berlakunya azas presumtion of gilty dalam UU No 8 Tahun 2010, dimana dengan bukti permulaan yang cukup seseorang dapat dianggap bersalah dan harus diajukan ke persidangan untuk dilakukan pemerikasaan. Apabila dalam pemeriksaan di persidangan Terdakwa dapat membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan merupakan hasil dari tindak pidana, maka Terdakwa harus dibebaskan dari segala tuntutan Hukum.

D. Alat-Alat Bukti Dalam Tindak Pidana Pencucian Uang

a. Alat-Alat Bukti Menurut KUHAP Pembuktian merupakan bagian dari yang terpenting dalam acara pidana, karena dapat menyatakan benar tidaknya Terdakwa melakukan suatu tindak pidana. Menurut Pasal 184 KUHAP, alat-alat bukti ialah : 1. Keterangan Saksi; 2. Keterangan Ahli; 3. Surat; Universitas Sumatera Utara 4. Petunjuk; 5. Keterangan Terdakwa Untuk jelasnya, maka akan diuraikan setiap macam alat bukti tersebut menurut urutan dalam Pasal 184 KUHAP. ad.1. Keterangan Saksi Pada umumnya semua orang dapat menjadi Saksi. Kekecualian menjadi Saksi tercantum dalam Pasal 168 KUHAP yang menyatakan : 1. Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat ketiga dari Terdakwa atau yang bersama-sama sebagai Terdakwa; 2. Saudara Terdakwa atau bersama-sama sebagai Terdakwa, saudara ibu atau saudara bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan karena perkawinan, dan anak-anak saudara Terdakwa sampai derajat ketiga; 3. Suami atau isrtri Terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang bersama-sama dengan Terdakwa Disamping karena hubungan kekeluargaan sedarah atau semenda, ditentukan oleh Pasal 170 KUHAP bahwa mereka yang karena pekerjaan, harkat, martabat, atau jabatan diwajibkan menyimpan rahasia, dapat minta dibebaskan dari kewajiban memberikan keterangan sebagai Saksi. Menurut penjelasan pasal tersebut, pekerjaan atau jabatan yang menentukan adanya kewajiban untuk menyimpan rahasia yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan. Selanjutnya dijelaskan bahwa jika tidak ada ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang jabatan atau pekerjaan yang dimaksud, maka seperti yang ditentukan oleh ayat ini, Hakim yang menentukan sah atau tidaknya alasan yang dikemukan untuk mendapatkan kebebasan tersebut. Universitas Sumatera Utara Pasal 170 KUHAP yang mengatur tentang hal tersebut diatas mengatakan “dapat minta dibebaskan dari kewajiban untuk memberikan keterangan Saksi”, maka berarti jika mereka tidak bersedia menjadi Saksi, dapat diperiksa oleh Hakim. Oleh karena itulah maka kekecualaian menjadi Saksi karena harus menyimpan rahasia jabatan atau karena martabatnya merupakan kekecualian relatif. Dalam Pasal 171 KUHAP ditambahkan kekcualian untuk memberi di bawah sumpah ialah : a. anak yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan belum pernah kawin; b. orang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun ingatannya kembali Dalam penjelasan pasal tersebut dikatakan bahwa anak yang belum berumur lima belas tahun, demikian juga orang yang sakit ingatan, sakit jiwa, sakit gila meskipun kadang-kadang saja, yang dalam ilmu penyakit jiwa disebut psychopat, mereka ini tidak dapat dipertanggungjawabkan secara sempurna dalam hukum pidana maka mereka tidak dapat diambil sumpah atau janji menberikan keterangan, karena itu keterengan mereka hanya sebagai petunjuk saja. Berdasarkan hal kewajiban Saksi mengucapkan sumpah atau janji, KUHAP masih mengikuti peraturan lama HIR, karena ditentukan sumpah merupakan syarat mutlak suatu kesaksian sebagai alat bukti. Di dalam Pasal 160 ayat 3 KUHAP dikatakan bahwa sebelum memberi keterangan bahwa, Saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut cara agamanya masing-masing, bahwa ia akan memberikan keterangan yang sebenarnya dan tidak lain dari pada yang sebenarnya. Universitas Sumatera Utara Pengucapan sumpah merupakan syarat mutlak, karena dalam Pasal 161 ayat 2 KUHAP menyatakan : “Keterangan Saksi atau ahli yang tidak disumpah atau mengucapkan janji, tidak dianggap sebagai bukti yang sah, tetapi hanyalah merupakan keterangan yang menguatkan keyakinan Hakim.” Ini berarti tidak merupakan kesaksian menurut undang-undang, bahkan juga tidak merupakan petunjuk, karena hanya dapat memperkuat keyakinan Hakim. Sedangkan kesaksian atau alat bukti yang lain merupakan dasar atau sumber keyakinan Hakim. Ketentuan tersebut dapat dibandingkan dengan ketentuan dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam Pasal 17 dan Pasal 18 yang mengatakan apabila Terdakwa tidak dapat membuktikan asal-usul harta bendanya, maka ia akan memperkuat Keterangan Saksi lain bahwa ia korupsi. Agak lain dengan Pasal 185 ayat 7 KUHAP yang menyatakan : “Keterangan Saksi yang tidak disumpah meskipun sesuai satu dengan yang lain tidak merupakan alat bukti, namum apabila keterangan itu sesuai dengan Keterangan Saksi yang disumpah dapat dipergunakan sebagai tambahan alat bukti yang sah yang lain.” Dalam Pasal 185 ayat 5 KUHAP dinyatakan bahwa baik pendapat maupun rekaan, yang diperoleh dari hasil pemikiran saja, bukan merupakan Keterangan Saksi. Di dalam penjelasan Pasal 185 ayat 1 KUHAP dikatakan : Dalam Keterangan Saksi tidak termasuk keterangan yang diperoleh dari orang lain atau testimonium de auditu. Dengan demikian, terjawablah dengan tegas bahwa Keterangan Saksi yang diperoleh dari orang lain mengatakan atau menceritakan sesuatu, atau apa yang di dalam ilmu hukum acara pidana disebut testimonium de auditu atau hearsay evidence. Menurut Universitas Sumatera Utara penjelasan KUHAP kesaksian de auditu tidak diperkenankan sebagai alat bukti, dan selaras pula dengan tujuan hukum acara pidana yaitu mencari kebenaran materil, dan untuk perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, karena keterangan seorang Saksi yang hanya mendengar dari orang lain, tidak terjamin kebenarannya, maka kesaksian de auditu atau hearsay evidence patut tidak dipakai di Indonesia. Namun demikian, kesaksian de auditu perlu pula di dengar oleh Hakim, walaupun tidak mempunyai nilai sebagai alat bukti kesaksian, tetapi dapat memperkuat keyakinan Hakim yang bersumber kepada dua alat bukti yang lain. Berhubungan dengan tidak dicantumkannya pengamatan Hakim sebagai alat bukti dalam Pasal 184 KUHAP, maka kesaksian de auditu tidak dapat dijadikan alat bukti petunjuk, yang penilain dan pertimbangannya hendaknya diserahkan kepada Hakim. Kerena auditu, rasanya lebih tepat tidak diberi daya bukti, yang dapat dianggap mempunyai dasar kebenaran. Dalam keterangan demikian hanyalah kenyataan diceritakan keterangan-keterangan tersebut kepada Saksi de auditu. 82 Begitu pula Wirjono Prodjodikoro yang menyatakan sebagai berikut : 83 “Hakim dilarang memakai sebagai alat bukti suatu keterangan Saksi auditu yaitu tentang suatu keadaan yang Saksi itu hanya dengar saja terjadinya dari orang lain. Larangan semacam itu baik, bahkan sudah semestinya, akan tetapi harus diperhatikan bahwa kalau ada saksi yang menerangkan telah mendengar terjadinya suatu keadaan dari orang lain, kesaksian semacam ini tidak selau dapat disampingkan begitu saja. Mungkin sekali hal pendengaran suatu 82 S.M Amin, Hukum Acara Pengadilan Negeri . Jakarta, Pradya Paramitha : 2002, hal 110- 111. 83 Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Pidana Di Indonesia, Jakarta, Sumur Badung 1976, hal 80. Universitas Sumatera Utara peristiwa dari orang lain itu, dapat berguna untuk penyusunan suatu rangkaian pembuktian terhadap Terdakwa.” Selanjutnya dapat dikemukan adanya batas nilai suatu kesaksian yang berdiri sendiri dari seorang Saksi yang disebut unus testis nullus testis satu Saksi bukan Saksi. Hal ini dapat dibaca pada Pasal 185 ayat 2 KUHAP yang mengatakan bahwa keterangan seorang Saksi tidak cukup untuk membuktikan bahwa Terdakwalah yang bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya. Menurut D. Simons, satu keterangan Saksi yang berdiri sendiri tidak dapat membuktikan seluruh dakwaan, tetapi satu keterangan Saksi dapat mermbuktikan suatu keadaan tersendiri, suatu petunjuk dasar pembuktian dan menurut ajaran Hoge Raad bahwa dapat diterima keterangan seorang Saksi untuk satu unsur bestanddeel delik dan tidak bertentangan dengan Pasal 342 ayat 2 Ned. Sv. 84 Pasal 185 ayat 4 KUHAP mengatakan bahwa keterangan beberapa Saksi yang berdiri sendiri-sendiri tentang suatu kejadian atau keadaan dapat digunakan sebagai suatu alat bukti yang sah apabila keterangan Saksi itu ada hubungannya satu dengan yang lain sedemikian rupa, sehingga dapat membenarkan adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu. Jadi menurut KUHAP, keterangan satu Saksi bukan Saksi, hanya berlaku bagi pemerikasaan singkat, tidak berlaku bagi pemeriksaan cepat. Hal ini dapat disimpulkan dari penjelasan Pasal 184 KUHAP yang menyatakan dalam acara pemeriksaan cepat, keyakinan Hakim cukup didukung satu alat bukti yang sah. 84 D. Simons, Beknopte Handling tot het Wetboek van Strafvordering hal 161-162, terjemahan, Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta, Sinar Grafika : 2001, hal 265. Universitas Sumatera Utara ad.2. Keterangan Ahli Keterangan seorang ahli disebut sebagai alat buti pada urutan kedua oleh Pasal 184 KUHAP. Ini berbeda dengan HIR dahulu yang tidak mencantumkan Keterangan Ahli sebagi alat bukti. Keterangan Ahli sebagai alat bukti tersebut sama dengan Ned. Sv. Dan hukum acara pidana modern dibanyak negeri. Pasal 186 KUHAP menyatakan : “Keterangan seorang ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan.” Keterangan seorang ahli ini dapat juga diberikan pada waktu pemeriksaan oleh Penyidik atau Penuntut Umum yang dituangkan dalam suatu bentuk laporan yang disebut visum et revertum dan dibuat dengan mengingat sumpah diwaktu ia menerima jabatan atau pekerjaan. Jika hal itu tidak diberikan pada waktu pemeriksaan oleh Penyidik atau Penuntut Umum, maka pada pemeriksaan di sidang diminta untuk memberikan keterangan dan dicatat dalam berita acara pemeriksaan. Keterangan tersebut diberikan setelah ia mengucapkan sumpah atau janji dihadapan Hakim. Keahlian yang dimaksud ialah ilmu pengetahuan yang telah dipelajari dimiliki seseorang. Pengertian ilmu pengetahuan wetenshap diperluas pengertiannya oleh HIR yang menjadi krimianlistik, sehingga van Bamelen mengatakan bahwa ilmu tulisan, ilmu senjata, pengetahuan tentang sidik jari, dan sebagainya termasuk pengertian ilmu pengetahuan wetenshap menurut pengertian Pasal 343 Ned. Sv. Tersebut. Oleh karena itu, sebagai seorang ahli dapat didengar Universitas Sumatera Utara keteranganya mengenai persoalan tertentu yang menurut pertimbangan Hakim orang itu mengetahui bidang tersebut secara khusus. Keterangan Ahli berbeda dengan keterangan Saksi, tetapi sulit juga dibedakan dengan tegas, karena diketahui juga bahwa seorang ahli merangkap seorang Saksi. KUHAP menentukan bahwa Saksi wajib mengucapkan sumpah Pasal 160 ayat 3, tanpa menyebutkan ahli. Tetapi pada Pasal 161 ayat 1 menyatakan : “Dalam hal saksi atau tanpa ahli alasan sah menolak untuk bersumpah atau berjanji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 160 ayat 3 dan 4, maka pemeriksaan terhadapnya tetap dilakukan, sedang ia dengan surat penetapan Hakim Ketua sidang dapat dikenakan sandera di tempat di rumah tahanan negara paling lama empat belas hari.” Disinilah dapat dilihat bahwa ahli yang diminta keterangannya tersebut harus mengucapkan sumpah atau janji. Pada Pasal 161 ayat 2 mengatakan : “Keterangan saksi atau ahli yang tidak disumpah atau mengucapkan janji, tidak dapat dianggap sebagai alat bukti yang sah, tetapi hanyalah merupakan keterangan yang dapat menguatkan keyakinan Hakim.” Isi keterangan seorang Saksi dan ahli berbeda. Keterangan seorang Saksi mengenai apa yang dialami Saksi itu sendiri, sedangkan Keterangan Ahli ialah suatu penilaian mengenai hal-hal yang sudah nyata ada ada dan pengambilan kesimpulan mengenai hal-hal itu. 85 ad.3. Surat Dalam KUHAP yang mengatur tentang alat bukti surat yaitu Pasal 187, Pasal itu terdiri atas 4 ayat yang menyatakan : 85 Wirjono Prodjodikoro, Op Cit, hal 87-88. Universitas Sumatera Utara 1 berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau dibuat dihadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangan itu; 2 surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawab dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan; 3 surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya menganai sesuatu hal atau keadaan yang diminta secara resmi kepadanya; 4 surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain. Dalam HIR dan Ned. Sv., yang lama ditentukan bahwa ketentuan tentang kekuatan pembuktian dari surat-surat umum maupun surat-surat khusus di dalam hukum acara perdata berlaku juga di dalam penilaian hukum acara pidana tentang kekuatan bukti surat-surat. Tetapi dalam Ned. Sv. yang baru tidak lagi diatur hal yang demikian. Kepada Hakimlah diminta kecermatan dan mempertimbangkan berupa bukti surat. Menurut KUHAP hal yang demikian tidak diatur, maka sesuai dengan jiwa KUHAP, kepada Hakimlah diserahkan pertimbangan tersebut. Dalam hal ini hanya akta autentik yang dapat dipetimbangkan, sedangkan surat di bawah tangan seperti dalam hukum perdata tidak dipakai lagi dalam hukum acara pidana. 86 Selaras dengan isi Pasal 187 butir d, maka surat dibawah tangan ini masih mempunyai nilai jika ada hubungan dengan isi dari alat pembuktian yang lain. Misalnya, Keterangan Saksi yang menerangkan bahwa ia Saksi telah menyerahkan 86 J. M van Bemmelen, Hukum Pidana I . Terjemahan, Bina Cipta, hal 313. Universitas Sumatera Utara uang kepada Terdakwa. Keterangan ini merupakan satu-satunya alat bukti disamping sehelai surat tanda terima kuitansi yang ada hubungannnya dengan keteragan Saksi tentang pemberian uang kepada Terdakwa cukup sebagai alat bukti minimum sesuai dengan Pasal 183 KUHAP dan Pasal 187 burir d KUHAP. ad.4 Petunjuk Petunjuk disebut dalam Pasal 184 KUHAP sebagai alat bukti keempat. Pasal 188 ayat 1 KUHAP memberi definisi petunjuk sebagai berikut : “Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu pidana dan siapa pelakunya.” Dalam penjelasan Pasal tersebut dikatakan “cukup jelas”. Ketentuan ini masih sama dengan ketentuan Paal 310 HIR dahulu, yang dipandang kurang jelas, karena tidaklah jelas tentang perbuatan apa, kejadaian atau keadaan apa. Jadi pantaslah kalau alat bukti petunjuk ini diganti dengan alat bukti pengamatan oleh Hakim, seperti halnya dalam halnya dengan Undang-Undang Mahkamah Agung No. 1 Tahun 1950 dan Ned. Sv. yang baru. Jika diperhatikan isi Pasal 188 ayat 3 KUHAP yang mengatakan penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh Hakim dengan arif dan bijaksana, setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan keseksamaan berdasarkan hati nuraninya. Disini tercermin bahwa pada akhirnya persoalan diserahkan kepada Hakim. Dengan demikian menjadi sama dengan pengamatan Hakim sebagai alat bukti. Apa Universitas Sumatera Utara yang disebut pengamatan oleh Hakim eign warnneming van de richer harus dilakukan selama sidang, apa yang telah dialami atau diketahui oleh Hakim sebelumnya tidak dapat dijadikan dasar pembuktian, kecuali kalau perbuatan atau peristiwa itu diketahui oleh umum. ad.5. Keterangan Terdakwa KUHAP jelas dan sengaja mencantumkan “Keterangan Terdakwa” sebagai alat bukti yang terdapat dalam Pasal 184 butir e. Dapat dilihat dengan jelas bahwa Keterangan Terdakwa sebagai alat bukti tidak perlu sama atau berbentuk pengakuan. Semua keterangan Terdakwa hendaknya didengar. Apakah itu berupa penyangkalan, pengakuan, ataupun pengakuan sebagian dari perbuatan atau keadaan. Tidak perlu Hakim mempergunakan seluruh keterangan seorang Terdakwa atau Saksi. Keterangan Terdakwa tidak perlu sama dengan pengakuan, karena pengakuan sebagai alat bukti mempunyai syarat-syarat sebagai berikut : 87 a. mengaku ia yang melakukan delik yang didakwakan b. mengaku ia bersalah Keterangan Terdakwa sebagai alat bukti, dengan demikian lebih luas pengertiannya dari pengakuan Terdakwa, bukan menurut Memorie van Toelichting Ned. Sv. Penyangkalan Terdakwa boleh juga menjadi alat bukti yang sah. 88 87 Wirjono Prodjodikoro, Op Cit , hal 18. Tetapi suatu hal yang jelas berbeda antara “Keterangan Terdakwa” sebagai alat bukti dengan 88 D. Simons, Op Cit , hal 158. Universitas Sumatera Utara “pengakuan Terdakwa” ialah Keterangan Terdakwa menyangkal dakwaan, tetapi membenarkan keadaan atau perbuatan yang menjurus kepada terbuktinya perbuatan sesuai alat bukti lain merupakan alat bukti. Dengan demikian, yurispudensi di negara Belanda berpegang pada Memorie van Toelitching undang-undang acara pidana. Perubahan alat pembuktian dari pengakuan Terdakwa menjadi keterangan Terdakwa sangat penting dan membawa akibat jauh, bahwa Keterangan Terdakwa itu mempunyai sifat yang sama dengan keterengan Saksi. Kepada Hakimlah digantungkan harapan untuk menilai Terdakwa tersebut. 2. Alat-Alat Bukti Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Alat bukti digunakan dalam Tindak Pidana Pencucian Uang money laundering terdapat dalam Pasal 73 Undang-undang No. 8 Tahun 2010 menyatakan : Alat bukti yang sah dalam pembuktian tindak pidana Pencucian Uang ialah: a. alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Hukum Acara Pidana; danatau b. alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau alat yang serupa optik dan Dokumen. Dengan demikian alat-alat pembuktian yang ditentukan dalam UU ini jauh lebih banyak dan beragam jika dibandingkan dengan apa yang ditentukan dalam KUHAP, mengingat cara-cara yang digunakan pelaku untuk melakukan Tindak Pidana Pencucian Uang dengan cara yang canggih. Akan tetapi alat bukti yang terdapat dalam KUHAP tersebut merupakan bagian dari alat bukti yang terdapat dalam Tindak Pidana Pencucian Uang. Universitas Sumatera Utara Selanjutnya dalam proses beracara terhadap pemeriksaan Tindak pidana Pencucian Uang dilakukan berdasarkan ketentuan Hukum Acara Pidana sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 68 Undang-undang No. 8 Tahun 2010 menyatakan : “Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan serta pelaksanaan putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.” Selanjutnya mengenai alat bukti yang terdapat dalam Pasal 73 butir b UU No. 8 Tahun 2010 menyatakan : “alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau alat yang serupa optik dan Dokumen.” Penjelasan informasi disini adalah mengenai semua catatan mengenai transaksi-transaksi yang dilakukan oleh lembaga keuangan dengan nasabah ataupun diluar dari lembaga keuangan tersebut, baik berupa transaksi-transaksi dalam negeri maupun internasioanal. Untuk memungkinkan lembaga-lembaga keuangan itu memenuhi permintaan dari otoritas yang berwenang apabila informasi itu diperlukan. Catatan tersebut harus memadai untuk memungkinkan dilakukan rekontruksi atas setiap transaksi, termasuk jumlah-jumlah dan jenis-jenis mata uang yang digunakan, sehingga dengan demikian apabila diperlukan dapat menjadi bukti bagi penunututan suatu perbuatan pidana. Universitas Sumatera Utara Kemudian mengenai alat bukti dokumen yang terdapat dalam buitr c, Pasal 38 UUTPU. Adapun pengertian alat bukti dokumen yang dimaksud dalam Pasal 1 angka 16 Undang-undang No. 8 Tahun 2010 menyatakan : “Dokumen adalah data, rekaman atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik tertuang diatas kertas, benda fisik atau yang terekam secara elektronik, termasuk tetapi terbatas pada : a. tulisan, suara, gambar; b. peta, rancangan, foto, atau sejenisnya; c. huruf, tanda, angka, simbol, atau perforasi yang memiliki makna atau dapat dipahami oleh orang yang mampu atau membaca atau memahaminya.” Berdasarkan pengertian dokumen menurut Pasal 1 angka 16 UU No. 8 Tahun 2010 ini menyatakan bahwa alat bukti yang terdapat dalam Pasal 73 UU ini begitu banyak dan beragam jika dibandingkan dengan apa yang ditentukan KUHAP. Dokumen yang dimaksud di atas bukan merupakan dokumen yang menyangkut kerahasian bank, karena dalam Undang-Undang dalam Tindak Pidana Pencucian Uang mengenai rahasia bank, tetapi merupakan dokumen yang berkaitan dengan adanya suatu Tindak Pidana Pencucian Uang. Catatan dan dokumen tersebut diatas merupakan hal yang sangat penting dalam rangka penyidikan sebagaimana yang ditetapkan oleh undang-undang. Universitas Sumatera Utara

BAB IV HAMBATAN DAN UPAYA PEMBARANTASAN TINDAK PIDANA

PENCUCIAN UANG DITINJAU DARI SISTEM PEMBUKTIAN

A. Kendala-Kendala Yang Dihadapi Dalam Pembuktian Tindak Pidana Pencucian Uang di Indonesia

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Pasal 2 ayat 1 telah menjelaskan yang dimaksud dengan tindak pidana asal atau hasil tindak pidana adalah harta kekayaan yang dikatagorikan 25 jenis tindak pidana juga tindak pidana lainnya yang diancam dengan pidana penjara 4 empat tahun atau lebih. Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang secara limitatif memberikan batasan harta kekayaan yang dapat dikatagorikan pencucian uang yaitu berasal dari 25 jenis tindak pidana juga tindak pidana lainnya yang diancam dengan pidana penjara 4 empat tahun atau lebih, padahal dikenal juga beberapa perbuatan pidana yang tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang yang dapat menghasilkan uang dalam jumlah banyak, misalnya : 1. Tindak Pidana Hak Cipta; 2. Tindak Pidana Hak Merek; 3. Tindak Pidana Hak Paten; Universitas Sumatera Utara