BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Pada Bab II, Bab III dan Bab IV, sudah diuraikan pembahasan dan analisis mengenai “Kesulitan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Money
Laundering di Indonesia Ditinjau Dari Sistem Pembuktian”, maupun tinjauan dari segi teoritis dan segi konseptual. Dengan demikian Penulis pada Bab V ini
menarik kesimpulan sebagai berikut : Pengaturan Tindak Pidana Pencucian Uang dalam Undang-Undang Nomor
8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang:
1. mengenai sanksi diatur dalam Pasal 11 sampai dengan Pasal 16 UU No 8
Tahun 2010 terhadap hasil tindak pidana adalah harta kekayaan yang diperoleh dari dari tindak pidana pada Pasal 2 ayat 1 UU No 8 Tahun 2010
secara limitatif memberikan batasan harta kekayaan yang dapat dikatagorikan pencucian uang yaitu berasal dari 25 jenis tindak pidana juga tindak pidana
lainnya yang diancam dengan pidana penjara 4 empat tahun atau lebih, padahal dikenal juga beberapa perbuatan pidana yang tidak diatur dalam UU
No 8 Tahun 2010 yang dapat menghasilkan uang dalam jumlah banyak, misalnya Tindak Pidana Hak Cipta, Tindak Pidana Hak Merek, Tindak Pidana
Hak Paten, Tindak Pidana Bumi dan Gas, Tindak Pidana Perlindungan Konsumen, Tindak Pidana Kesehatan, Tindak Pidana Pemilu yang sifatnya
Universitas Sumatera Utara
temporer dan lain-lain. Sistem pembuktian seperti ini bertentangan dengan filosofi pembuatan UU No 8 Tahun 2010. Dan untuk mencapai tujuan azas
pembuktian terbalik yang diinginkan oleh UU No 8 Tahun 2010, maka pembatasan tindak pidana asal predicate crime dalam Pasal 2 ayat 1
UUTPU harus dihapuskan. 4.
Prosess pembuktian Tindak Pidana Pencucian Uang di Indonesia berawal dari kewajiban Penyedia Jasa Keuangan melaporkan kepada PPATK sebagaimana
disebutkan dalam Pasal 27 UU No 8 Tahun 2010 mengenai Transaksi Keuangan yang mencurigakan yang telah diidentifikasikan oleh Penyedia Jasa
Keuangan. Berdasarkan laporan tersebut maka PPATK menganalisis dan mengevaluasi informasi yang diterima. Kemudian melalui laporan yang
disampaikan oleh PPATK, maka Polri selaku Penyidik melakukan penyidikan atas Tindak Pidana Pencucian Uang yang telah digariskan dalam Pasal 68 UU
8 Tahun 2010. Polri memerintahkan pemblokiran kepada Penyedia Jasa Keuangan diberikan secara tertulis dan selanjutnya mengumpulkan alat bukti.
Apabila Penyidik telah mendapatkan indikasi terjadinya Tindak Pidana Pencucian Uang dari hasil pengungkapan tindak pidana yang dilakukan, maka
Penyidik dilanjutkan dengan pengungkapan Tindak Pidana Pencucian Uang. 5.
Kesulitan yang dihadapi dalam proses pembuktian Tindak Pidana Pencucian Uang antara lain adanya beberapa kelemahan dari UU No 8 Tahun 2010 yaitu
terdapat pasal-pasal yang tidak konsisten dan memberi celah bagi para pelaku dengan adanya pembatasan tindak pidana asal predicate crime yaitu 25 jenis
tindak pidana juga tindak pidana lainnya yang diancam dengan pidana penjara
Universitas Sumatera Utara
4 empat tahun atau lebih yang masih belum sepenuhnya mengikuti standar nasional. Kendala lain muncul berkaitan dengan kewenangan PPATK yang
masih sangat terbatas seharusnya bisa sampai pada tahap penyelidikan karena PPATK lebih memahami seluk beluk transaksi keuangan dibandingkan
dengan Kepolisian. Kesulitan akan menjadi bertambah ketika masih kurangnya profesioanlitas dan intergritas dari para penegak hukum yang masih
belum menunjukkan intergritas dalam hal moral dan mental. Selain itu ada cara pandang yang berbeda dari masing-masing sub sistem walaupun
menggunakan aturan yang sama, sehingga belum ada satu persepsi pada aparat penegak hukum. Disisi lain budaya hukum masyarakat juga belum
mendukung anti pencucian uang karena masyarakat belum mempunyai pandangan bahwa praktik pencucian uang adalah suatu tindakan yang sangat
merugikan perekonomian karena masyarakat hanya memiliki pemahaman dan pengalaman yang terbatas tentang Tindak Pidana Pencucian Uang dan juga
merupakan hal yang baru bagi masyarakat sehingga anggapan bahwa pencucian uang tidak berpengaruh secara langsung terhadap masyarakat.
B. Saran