Teori sistem Pembuktian Sistem Pembuktian

2. Teori sistem Pembuktian

1. Macam-Macam Teori Sistem Pembuktian Dalam menilai kekuatan pembuktian alat-alat bukti yang ada dikenal beberapa sistem atau teori pembuktian, yaitu : 77 1. Sistem atau teori pembuktian berdasar undang-undang secara positif Positief Bewijs Theorie 2. Sistem atau teori pembuktian berdasar keyakinan Hakim melulu Conviction intime 3. Sistem atau teori pembuktian berdasar keyakinan hakim atas alasan yang logis la Coniction Rais Onne 183 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana menentukan bahwa : “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar telah terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannnya.” Apabila penulis bandingkan bunyi Pasal 183 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dengan Pasal 294 HIR, maka dapat diketahui hampir sama bunyi dan maksud yang terkandung dalamnya. Bunyi Pasal 294 HIR menentukan bahwa : “Tidak akan dijatuhkan hukuman kepada seorangpun jika Hakim tidak yakin kesalahan terdakwa dengan upaya bukti menurut undang-undang bahwa 77 Andi Amzah, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta, Grafika Indonesia : 1983, hal 229. Universitas Sumatera Utara benar telah terjadi perbuatan pidana dan bahwa tertuduhlah yang salah melakukan perbuatan itu.” Dari keduanya bunyi pasal tersebut, baik yang termuat pada Pasal 184 Kitab Hukum Acara Pidana maupun yang dirumuskan dalam ketentuan Pasal 294 HIR, keduanya hanya terletak pada penekanan saja. Pada Pasal 183 Kitab Hukum Acara Pidana, syarat pembuktian menurut cara dan alat bukti yang sah, lebih ditekankan dalam perumusannya. Hal ini dapat dibaca dalam kalimat “ketentuan-ketentuan yang memadai untuk menjatuhkan pidana kepada seseorang sekurang-kurangnya dua alat bukti tyang sah.” Dalam Kitab Hukum Acara Pidana KUHAP Indonesia menganut sistem atau teori pembuktian berdasar undang-undang secara negatif negatief wettelijk sebagaimana terkandung dalam Pasal 183 KUHAP. Sistem “negatif menurut undang- undang” tersebut diatas, mempunyai maksud sebagai berikut : 78 a. Untuk mempersalahkan seorang Terdakwa Tertuduh diperlukan suatu minimum pembuktian, yang ditetapkan dalam undang-undang b. Namun demikian, biarpun bukti-bukti tertumpuk, melebihi minimum yang dapat ditetapkan dalam undang-undang tadi, jikalau Hakim tidak berkeyakinan tentang kesalahan Terdakwa ia tidak boleh mempersalahkan dan menghukum Terdakwa tersebut Dalam sistem atau teori pembuktian yang berdasar secara negatif negatief wettijke bewijstheorie ini pemidanaan didasarkan kepada pembuktian ganda 78 R. Subekti, Hukum Pembuktian. Jakarta, PT. Pradnya Paramita : 2005, hal 7. Universitas Sumatera Utara dibblen gronsdlag yaitu pada peraturan undang-undang dan pada keyakinan Hakim, dan menurut undang-undang, dasar keyakinan itu bersumberkan pada peraturan undang-undang. 79 2. Sistem Pembuktian Tindak Pidana Pencucian Uang Di Indonesia Sistem pembukitan adalah pengaturan tentang macam-macam alat butki yang boleh dipergunkan, penguraian alat bukti dan dengan cara bagaimana alat-alat bukti itu dipergunakan dan dengan cara bagaimana Hakim harus membentuk keyakinannya, sedangkan yang dimaksud dengan hukum pembuktian adalah merupakan sebagian dari hukum acara pidana yang mengatur macam-macam alat bukti yang sah menurut hukum, sistem yang dianut dalam pembuktian, syarat-syarat dan tata cara mengajukan bukti tersebut serta kewenangan Hakim untuk menerima, menolak dan menilai suatu pembuktian. 80 Pasal 184 ayat 1 KUHAP menyebutkan ada 5 lima alat bukti, yaitu : 1. Keterangan Saksi; 2. Keterangan Ahli; 3. Surat; 4. Petunjuk; 5. Keterangan Terdakwa Fungsi alat bukti tersebut adalah sebagai dasar untuk menyatakan seseorang telah melakukan perbuatan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 183 KUHAP yang menyebutkan bahwa Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-sekurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh 79 D. Simmons dalam Andi Hamzah, Op Cit, hal 234. 80 Hari Sasangka dan Lily Rosita, Op Cit, hal 11. Universitas Sumatera Utara keyakinan bahwa tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa Terdakwalah yang bersalah melakukannya. Ketentuan dua alat bukti ini tidak hanya berlaku pada saat pemeriksaan di persidangan, tapi berlaku juga pada tahap penyidikan. Sesuai Pasal 109 KUHAP bahwa tujuan penyidikan adalah untuk menemukan pelaku tindak pidana berdasarkan alat bukti yang cukup untuk dapat dilakukan penuntutan. Antara penyidikan dan penunututan terdapat hubungan yang erat, bahkan berhasil tidaknya penuntutan di sidang pengadilan tidak terlepas dari hasil penyidikan. Apabila dalam penyidikan tidak terdapat cukup bukti yaitu minimal dua alat bukti maka Penyidik wajib menghentikan penyidikan dan memberitahukan hal itu kepada penuntut umum, Tersangka atau keluargannya. Ketentuan dalam KUHAP tersebut memberikan kewenangan kepada Penyidik untuk menghentikan penyidikan jika tidak terdapat dua alat bukti yang cukup untuk menyatakan seseorang bersalah , namun sebaliknya jika terdapat dua alat bukti untuk menyatakan seseorang bersalah maka Penyidik dapat meningkatkan proses penyidikan ke tahap penuntutan untuk selanjutnya dilakukan pemeriksaan di persidangan. Implementasi alat bukti tersebut dapat dilihat dalam resume penyidikan yang dibuat oleh Penyidik, Requsitoir tuntutan yang dibuat oleh Penuntut Umum dan putusan yang dibuat oleh Majelis Hakim, dengan cara yaitu Penyidik, Penuntut Umum maupun Hakim terlebih dahulu menguraikan pasal yang disangkakan atau di dakwakan menjadi beberapa unsur atau elemen untuk dibuktikan satu persatu. Universitas Sumatera Utara Apabila salah satu unsur tidak terbukti maka Penyidik wajib menghentikan penyidikan atau Penuntut Umum menghentikan penuntutan tuntutan bebas atau Hakim membebaskan Terdakwa dari segala tuntutan. hukum. Timbul pertanyaan : apakah sistem pembuktian dalam KUHAP tersebut sama dengan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Ketentuan Pasal 68 UU No. 8 Tahun 2010 pada pokoknya menyebutkan bahwa Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan serta pelaksanaan putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, kecuali ditentukan lain dalam Undang- Undang ini. Pengecualian tata cara penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan yang terdapat dalam UU No. 8 Tahun 2010 yang berhubungan dengan pembuktian lex specialis derogat legi generalis, pada pokoknya terdapat 4 empat ketentuan, yaitu : 1. Pasal 2 UU No. 8 Tahun 2010; 2. Pasal 3 UU No. 8 Tahun 2010; 3. Pasal 77 UU No. 8 Tahun 2010; 4. Pasal 73 UU No. 8 Tahun 2010. Pasal 3 ayat 1 UU No. 8 Tahun 2010 menyebutkan : Universitas Sumatera Utara “Setiap Orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat 1 dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan dipidana karena tindak pidana Pencucian Uang dengan pidana penjara paling lama 20 dua puluh tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 sepuluh miliar rupiah.” Pasal 3 ayat 1 ini terdiri dari beberapa unsur atau elemen yang akan dibuktikan satu persatu, yaitu : 1. Unsur setiap orang 2. Unsur menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas Harta Kekayaan 3. Unsur yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana 4. Unsur dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan Menurut ketentuan KUHAP ke 4 unsur atau elemen yang terdapat pada Pasal 3 ayat 1 tersebut harus dibuktikan setiap unsurnya dengan 2 dua alat bukti, namun dalam UU No. 8 Tahun 2010 terdapat kekhususan atau pengecualian dalam pembuktian setiap unsur pidananya. Pengecualian pertama, bahwa unsur ke empat Pasal 3 ayat 1 UU No. 8 Tahun 2010 tidak harus dibuktikan dengan 2 dua alat bukti, namun sudah cukup Universitas Sumatera Utara dengan bukti permulaan yang cukup atas tejadinya tindak pidana, sebagaimana diatur dalam penjelasan Pasal 3 ayat 1 UU No. 8 Tahun 2010. Kemudian “bukti permulaan yang cukup” dalam penjelasan Pasal 3 ayat 1 UU No. 8 Tahun 2010 memang tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan bukti permulaan yang cukup, apakah 2 dua alat bukti atau cukup 1 satu alat bukti? Menurut M. Yahya Harahap seorang mantan Hakim Agung, mengatakan : Pengertian bukti permulaan yang cukup menurut penjelasan Pasal 17 KUHAP adalah bukti permulaan untuk menduga adanya tindak pidana sesuai dengan bunyi Pasal 1 butir 14 KUHAP. Selanjutnya penjelasan Pasal 17 KUHAP mengatakan : “Pasal ini menunjukkan bahwa perintah penangkapan tidak dapat dilakukan sewenang-wenang, tetapi ditujukan kepada mereka yang betul-betul melakukan tindak pidana. Pengertian bukti permulaan yang cukup teori dan dan praktek, masih dapat diperdebatkan. Sekalipun pengertian permulaan bukti yang cukup dicoba dengan mengaitkan bunyi penjelasan Pasal 17 maupun pengertian itu dihubungkan dengan ketentuan Pasal 1 butir 14, masih belum mampu memberikan pengertian dan mudah ditangkap. Sebab apa yang yang dijelaskan pada Pasal 1 butir 14, hanya berupa ulangan dari bunyi Pasal 17. Atau sebaliknya, pengertian permulaan bukti yang terdapat pada Pasal 17 hanya merupakan ulangan dari Pasal 1 butir 14.” Sebagai pegangan, tindakan penangkapan baru dapat dilakukan oleh penyidik apabila seseorang itu : “diduga keras melakukan tindak pidana, dan dugaan itu didukung oleh permulaan bukti yang cukup”. Mengenai apa yang dimaksud dengan permulaan bukti yang cukup, pembuat undang-undang menyerahkan sepenuhnya kepada penilaian Universitas Sumatera Utara Penyidik. Akan tetapi, sangat didasari cara penerapan demikian, bisa menimbulkan “kekurangpastian” dalam praktek hukum sekaligus membawa kesulitan bagi Praperadilan untuk menilai tentang ada atau tidak permulaan bukti yang cukup. Yang paling rasional dan realitas, apabila perkataan “permulaan” dibuang, sehingga kalimat itu berbunyi : “diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup”. Jika seperti itu rumusan pengertian yang dirumuskan dalam pasal itu hampir sama dengan pengertian yang terdapat dalam hukum acara Amerika, yang menegaskan bahwa untuk melakukan tindakan penangkapan atau penahaan, harus didasarkan atas affidavit and testimony yakni haus didasarkan pada adanya bukti atau kesaksian. Jika Pasal 17 ini dijadikan pedoman oleh penyidik dengan sungguh-sungguh, dapat diharapkan suasana penegakkan hukum yang lebih objektif. Tangan-tangan penyidik tidak akan seringan itu melakukan penagkapan. Sebab jika ditelaah bukti permulaan yang cukup, pengertiannya hampir serupa dengan apa yang dirumuskan dalam Pasal 183 KUHAP, yakni harus berdasar prinsip “batas minimal pembuktian” yang terdiri sekurang-kurangnya dua alat bukti bisa terdiri dari dua orang Saksi atau Saksi ditambah dengan satu alat bukti lain. Dengan pembatasan yang lebih ketat dari pada yang dulu diatur dalam HIR, suasana penyidikan tidak lagi main tangkap dahulu, baru nanti dipikirkan pembuktian. Metode menurut KUHAP harus dibalik, lakukan penyidikan yang cermat dengan teknik dan taktis investivigasi yang mampu mengumpulkan bukti. Setelah cukup bukti, baru dilakukan pemeriksaan ataupun penangkapan dan penahanan. 81 81 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP . Jakarta, Sinar Universitas Sumatera Utara Namun sebaliknya bukti permulaan yang cukup tersebut haruslah ditafsirkan dengan pengertian 1 satu alat bukti. Penggunaan 1 satu alat bukti sah ini juga dikenal dalam ketentuan Pasal 480 KUHAP, berbunyi : “Barangsiapa yang membeli, menyewa, menerima tukar, menerima gadai, menerima sebagai hadiah atau karena hendak mendapat untung, menjual, menukarkan, menggadaikan, membawa, menyimpan, atau menyembunyikan sesuatu barang, yang diketahuinya atau patut diduga disangkanya diperolehnya karena kejahatan.” Penafsiran bukti permulaan yang cukup dengan pengertian 1 satu alat bukti tersebut justru sejalan dengan asal mula kata bukti permulaan yang cukup dari Pasal 17 KUHAP, yang berbunyi : “Perintah penangkapan dilakukan terhadap seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup” Penangkapan tersebut dilakukan atas kepentingan penyelidikan yang bertujuan untuk menemukan siapa Tersangkanya. Dengan demikian untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana cukuplah 1 satu alat bukti Tersangkanya dibutuhkan 2 dua alat bukti berdasarkan kesimpulan pemeriksaan Saksi-Saksi dan barang bukti. Pengertian bukti permulaan yang cukup juga dapat dilihat dalam BAB I Ketentuan Umum Rancangan Undang-Undang Pengadilan HAM yang diajukan oleh ELSAM, yaitu : “Bukti permulaan yang cukup adalah telah ditemukannya sekurangsekurangnya 1 satu alat bukti, termasuk dan tidak terbatas pada hasil laporan Komisi Nasional Hak Azasi Manusia atau informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan baik secara biasa maupun elektronik atau optik” Universitas Sumatera Utara Pengecualian kedua, bahwa penjelasan Pasal 3 ayat 1 UU No. 8 Tahun 2010 yang menyebutkan bahwa terhadap harta kekayaan yang diduga merupakan hasil tindak pidana tidak perlu dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya untuk dapat dimulainya pemeriksaan Tindak Pidana Pencucian Uang. Pasal 2 ayat 1 UU No. 8 Tahun 2010 menjelaskan apa yang dimaksud dengan tindak pidana asal atau hasil tindak pidana sebagaimana dalam unsur keempat harta kekayaan yang diperolah dari tindak pidana. Berdasarkan ketentuan Pasal 3 UU No. 8 Tahun 2010 tersebut maka Penyidik cukup hanya membuktikan adanya indikasi harta kekayaan seseorang yang tidak jelas asal-usulnya berasal dari kejahatan, dimana indikasi tersebut diperkuat dengan bukti permulaan yang cukup. Dalam hal ini Penyidik tidak dibebani membuktikan tindak pidana asal tersebut agar hasil penyidikan dapat ditingkatkan ke tahap penuntutan. Pengecualian ketiga, bahwa Pasal 77 UU No. 8 Tahun 2010 menghendaki Terdakwa wajib membuktikan harta kekayaan bukan berasal dari tindak pidana. Ketentuan dikenal sebagai azas pembuktian terbalik. Pengeculaian keempat, bahwa adanya penambahan alat bukti selain yang dimaksud dalam Pasal 184 ayat 1 KUHAP, yaitu : 1. alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; 2. dokumen adalah data, rekaman atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu Universitas Sumatera Utara sarana, baik tertuang diatas kertas, benda fisik atau yang terekam secara elektronik, termasuk tetapi terbatas pada : a. tulisan, suara, gambar; b. peta, rancangan, foto, atau sejenisnya; c. huruf, tanda, angka, simbol, atau perforasi yang memiliki makna atau dapat dipahami oleh orang yang mampu atau membaca atau memahaminya. Pengecualian tata cara pembuktian yang terdapat dalam UU No. 8 Tahun 2010 tersebut menunjukkan berlakunya azas presumtion of gilty dalam UU No 8 Tahun 2010, dimana dengan bukti permulaan yang cukup seseorang dapat dianggap bersalah dan harus diajukan ke persidangan untuk dilakukan pemerikasaan. Apabila dalam pemeriksaan di persidangan Terdakwa dapat membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan merupakan hasil dari tindak pidana, maka Terdakwa harus dibebaskan dari segala tuntutan Hukum.

D. Alat-Alat Bukti Dalam Tindak Pidana Pencucian Uang