BAB IV HAMBATAN DAN UPAYA PEMBARANTASAN TINDAK PIDANA
PENCUCIAN UANG DITINJAU DARI SISTEM PEMBUKTIAN
A. Kendala-Kendala Yang Dihadapi Dalam Pembuktian Tindak Pidana Pencucian Uang di Indonesia
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Pasal 2 ayat 1 telah menjelaskan yang dimaksud
dengan tindak pidana asal atau hasil tindak pidana adalah harta kekayaan yang dikatagorikan 25 jenis tindak pidana juga tindak pidana lainnya yang diancam dengan
pidana penjara 4 empat tahun atau lebih. Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan
Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang secara limitatif memberikan batasan harta kekayaan yang dapat dikatagorikan pencucian uang yaitu berasal dari
25 jenis tindak pidana juga tindak pidana lainnya yang diancam dengan pidana penjara 4 empat tahun atau lebih, padahal dikenal juga beberapa perbuatan pidana
yang tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang yang dapat menghasilkan uang
dalam jumlah banyak, misalnya : 1.
Tindak Pidana Hak Cipta; 2.
Tindak Pidana Hak Merek; 3.
Tindak Pidana Hak Paten;
Universitas Sumatera Utara
4. Tindak Pidana Bumi dan Gas;
5. Tindak Pidana Perlindungan Konsumen;
6. Tindak Pidana Kesehatan;
7. Tindak Pidana Pemilu yang sifatnya temporer;
8. dll
Tindak pidana di luar Pasal 2 ayat 1 tersebut, terdapat beberapa ketentuan pasal yang mempunyai ancaman pidana dibawah 4 empat tahun, misalnya:
- Pasal 94 ayat 1 UU Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek
”1 Barangsiapa memperdagangkan barang dan atau jasa yang diketahui atau patut diketahui bahwa barang dan atau jasa tersebut merupakan
hasil pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90, Pasal 91, Pasal 92, dan Pasal 93 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1
satu tahun atau denda paling banyak Rp 200.000.000,00 dua ratus juta rupiah”
- Pasal 131 UU Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten, berbunyi :
“Barangsiapa dengan sengaja dan tampa hak melanggar pemegang paten sederhana dengan sengaja dan tanpa hak melanggar hak pemegang paten
sederhana dengan melakukan salah satu tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 dua tahun
dan atau denda paling banyak Rp.250.000.000,- 1.
Pemegang Paten memiliki hak eksklusif untuk melaksanakan Paten yang dimilkinya dan melarang pihak lain yang tanpa persetujuannya;
a. dalam hal Peten produk : membuat, menggunakan, menjual
mengimpor, menjual dijual atau disewakan atau diserahkan produk yang diberi paten;
b. dalam hal Paten-proses : menggunakan proses produksi yang
diberi paten untuk membuat barang dan tindakan lainnya sebagaimana dimaksud dalam huruf a;
2. Dalam hal Paten proses, larangan pihak lain yang tanpa
persetujuannya melakukan impor sebagaimana dimaksud pada ayat 1 hanya berlaku terhadap impor produk yang semata-mata dihasilkan
dari penggunan Paten-proses yang dimilikinya.”
Universitas Sumatera Utara
- Pasal 62 ayat 2 UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen,
berbunyi : “2 Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13 ayat 1, Pasal 14, Pasal 16, dan Pasal 17 ayat 1 huruf d dan huruf f dipidana dengan pidana penjara
paling lama 2 dua tahun atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 lima ratus juta rupiah.”
- dll.
Jika harta kekayaan diperoleh diluar ketentuan UU No. 8 Tahun 2010 maka tidak dapat dikatakan Tindak Pidana Pencucian Uang, sehingga apabila Terdakwa
tidak dapat membuktikan asal-usul harta kekayaannya, maka tidak serta merta Terdakwa tersebut dipersalahkan melakukan perbuatan Pencucian Uang, namun
Penyidik dan Penuntut Umum masih mempunyai kewajiban untuk membuktikan tindak pidana asal predicate crime pencucian uang tersebut.
Dengan demikian untuk mencapai tujuan azas pembuktian terbalik yang diinginkan oleh UU No. 8 Tahun 2010, maka pembatasan 25 jenis tindak pidana juga
tindak pidana lainnya yang diancam dengan pidana penjara 4 empat tahun atau lebih kejahatan pencucian uang sebagaimana dalam Pasal 2 Ayat 1 UU No. 8 Tahun 2010
harus dihapuskan sehingga harta kekayaan yang ditempatkan ke dalam Penyedia Jasa Keuangan yang diperoleh dari seluruh tindak pidana kejahatan harus dihukum karena
melakukan pencucian uang. Penyidik dan Penuntut Umum tidak lagi mempunyai
Universitas Sumatera Utara
kewajiban untuk membuktikan tindak pidana asalnya predicate crime terjadinya pencucian uang.
Disamping itu pembuktian terbalik tersebut seharusnya diterapkan bukan hanya pada pemeriksaan di persidangan namun juga pada saat penyidikan. Pada
tingkat penyidikan seseorang harus diberikan kesempatan untuk membuktikan bahwa harta kekayannya bukan merupakan hasil tindak pidana, maka penyidikan harus
dihentikan, sehingga Tersangka dapat terhindar pelanggaran hak-hak asasinya yaitu penahanan dan penyitaan harta benda yang terlalu lama, namun apabila Tersangka
tidak mampu membuktikan asal-usul harta kekayaannya, maka Penyidik dengan bukti permulaan yang cukup yaitu 1 satu alat bukti yang sah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 73 UU No 8 Tahun 2010, maka perbuatan Tersangka dapat ditingkatkan ke penuntutan untuk dilakukan ke pemeriksaan di persidangan.
Selanjutnya kewenangan PPATK diatur dalam Pasal 41 UU No 8 Tahun 2010, meliputi meminta dan menerima laporan dari Penyedia Jasa Keuangan;
meminta informasi mengenai perkembangan penyidikan atau penuntutan terhadap Tindak Pidana Pencucian Uang yang telah dilaporkan kepada Penyidik atau Penuntut
Umum; dan melakukan audit kepada Penyedia Jasa Keuangan tentang kepatuhan kewajiban mengenai pedoman pelaporan transaksi keuangan; memberikan
pengecualian kewajiban pelaporan mengenai transaksi keuangan yang dilakukan secara tunai.
89
89
Yenti Garnasih, Krimnalsasi Pencucian Uang Money Laundering, “Op Cit”, hal 342.
PPATK meskipun independen namun fungsinya sangat terbatas yaitu hanya sebagai fungsi administratif. Di Indonesia PPATK tugasnya mengumpulkan
Universitas Sumatera Utara
dan memproses informasi yang berkaitan dengan kecurigaan atau indikasi pencucian uang. PPATK berfungsi sebagai motor penggerak untuk menganalisis adanya
kecurigaan pencucian uang terutama melalui diteksi dini dalam alur transaksi yang mencurigakan.
90
PPATK semestinya memegang peranan yang sangat sentaral sebagai otak, mata, telinga dan jantung dalam sistem pemberantasan pencucian uang.
91
Dengan tugas dan wewenag dalam 2 dua Pasal tersebut diatas PPATK seharusnya mengikuti
standart internasional tentang kewenangan yang seharusnya dimiliki suatu FIU Financial Intelegence Unit, yaitu tidak sekedar mengumpulkan data tentang
transaksi keuangan dan menganalisanya tetapi antara lain meliputi : 1 the ability to the enforce compliance with reporting requirements; 2 the ability to conduct
inquires to assure accurate, complete and relevant information is obtained, store and accesible to appropriate foreign aggience; and 3 the ability to obtain corporation
an other domestic agency”.89 Terjemahan bebas oleh Penulis : 1 kemampuan
untuk menegakkan yang sesuai dengan kebutuhan; 2 kemampuan untuk melakukan strategi yang dijamin akurat, lengkap dan informasi yang diperoleh relevan,
92
memperoleh dukungan atau kerjasama suatu badan hukum dalam negeri lainnya”. menyimpan dan mempermudah badan hukum luar negeri; dan, 3 kemampuan untuk
90
Yenti Garnasih, “Anti Pencucian Uang Di Indonesia Dan Kelemahan Dalam Implementasinya Suatu Tinjauan Awal”, www.google.com, hal 6.
91
“Upaya Pemberantasan Dan Pencegahan Pencucian Uang Di Indonesia Masih Kendor Serta Lamban”. Media Indonesia, 23 September 2002, hal 8.
92
Wolfgang H. Reinicke, “Op Cit”.
Universitas Sumatera Utara
Kewenangan PPATK yang terdapat dalam Pasal 41 UU No 8 Tahun 2010 tidak bisa memaksa atau melakukan tindakan tertentu pada Penyedia Jasa Keuangan
untuk misalnya memperbaiki laporannya karena mungkin kurang akurat atau tidak lengkap. Berkaitan dengan masalah itu yang dapat dilakukan hanyalah melakukan
analisis terhadap pelaporan tersebut. Kalau ada PPATK merasa ada hal yang tidak sesuai maka tidak dapat berbuat apa-apa, misalnya melakukan penyelidikan lanjutan
untuk mendapatkan laporan yang lebih akurat. Kelengkapan laporan yang ditindaklanjuti oleh PPATK ini penting sekali dilakukan, karena seharusnya PPATK
dan Penyedia Jasa Keuangan semestinya lebih tahu tentang transaksi.
93
Namun demikian keberadaan PPATK tidak sekali-kali dimaksudkan untuk diarahkan pada penyidikan apalagi penuntutan. Penyelidikan lanjutan ini sebaiknya
ada pada PPATK bukan pada Kepolisan, karena PPATK seharusnya lebih memahami seluk beluk transaksi keuangan dibandingkan Kepolisian. Jika setelah dilakukan
penyelidikan apalagi penuntutan, terdapat petunjuk yang meyakinkan telah terjadi tindak pidana maka informasi dan hasil analisis yang diperoleh baru diberikan kepada
Polisi untuk dilakukan penyelidikan Berkaitan dengan terdapat kecurigaan transaksi, peran bank atau PPATK harus diberikan lebih banyak. Penilaian adanya transaksi
mencurigakan yang terlalu cepat dan kemudian Polisi mengambilalihnya dalam rangka penyelidikan, belum tentu merupakan keputusan yang baik. Bahkan apabila
terlalu dini Polisi masuk dalam penyelidikan justru bisa mendatangkan dampak negatif. Misalnya apabila transaksi mencurigakan tersebut tidak terbukti, karena
93
Yenti Garnasih, Krimnalsasi Pencucian Uang Money Laundering, “Op Cit”
Universitas Sumatera Utara
terlau cepat ditindaklanjuti oleh Polisi, dalam hal ini bank dapat dituntut oleh nasabah. Apabila hal tersebut sering terjadi, tidak mungkin bank akan kehilangan
kepercayaan dan pada akhirnya. Adanya PPATK diharapkan dapat mengurangi beban Polisi, lebih mendorong keberhasilan dalam penangkapan pelanggaran ketentuan
pencucian uang. Kepercayaan nasabah kepada bank memegang peranan penting.
94
Sedikitnya kasus Tindak Pidana Pencucian Uang yang diputus di persidangan salah satunya disebabkan oleh Sumber Daya Manusia SDM pembuat dan pelaksana
peraturan pencucian uang itu sendiri, sehingga terjadi perbedaan pendapat dalam hal penafsiran pembuktian Tindak Pencucian Uang dalam UU No 8 Tahun 2010.
Perbedaan pendapat tersebut khususnya terdapat pula pembuktian Tindak Pencucian Uang dalam UU No 8 Tahun 2010. Perbedaan pendapat tersebut khususnya terdapat
pada pembuktian “Unsur yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana kejahatan” yang terdapat pada ketentuan pidana Pasal 3 dan Pasal 6
UU No 8 Tahun 2010. Penyidik dalam membuktikan “Unsur yang diketahuinya atau patut diduganya
merupakan hasil tindak pidana kejahatan” berdasarkan bukti permulaan yang cukup sebagaimana diatur dalam penjelasan Pasal 2 UU No 8 Tahun 2010 dan terhadap
harta kekayaan yang diduga merupakan hasil tindak pidana tidak perlu dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya sebagaimana diatur dalam penjelasan Pasal 3
UU No 8 Tahun 2010, sedangkan Penuntut Umum berpendapat lain, yaitu bahwa “Unsur yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana
94
“Ibid”.
Universitas Sumatera Utara
kejahatan” dan mengenai tindak pidana asalnya harus dibuktikan dengan 2 dua alat bukti, dengan alasan bahwa Pasal 2 ayat 1 UU No 8 Tahun 2010 secara limitatif
memberikan batasan harta kekayaan yang dapat dikatagorikan pencucian uang yaitu 25 jenis tindak pidana juga tindak pidana lainnya yang diancam dengan pidana
penjara 4 empat tahun atau lebih, karena Pasal 2 ayat 1 ini memberikan makna bahwa apabila setiap orang yang dengan sengaja menempatkan, mentransfer,
membelanjakan, menghibahkan, menitipkan, membawa keluar negeri menukarkan, menerima menguasai harta kekayaan selain dari 25 bidang hasil tindak pidana
tersebut, maka seorang tersebut tidak dapat dipersangkakan dengan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Perbedaan pendapat inilah menyebabkan baru 20 dua puluh kasus yang dapat diputus oleh pengadilan, karena banyak bekas perkara yang diajukan oleh
Penyidik kepada Penuntut Umum dikembalikan P-18 oleh Penuntut Umum kepada Penyidik dengan memberikan petunjuk P-19 agar “Unsur yang diketahuinya atau
patut diduganya merupakan hasil tindak pidana kejahatan” dan tindak pidana asalnya dari ketentuan pidana Pasal 3 dan Pasal 6 tersebut dilakukan oleh Penyidik.
Perbedaan pendapat ini didasarkan adanya kesalahan penafsiran aparat penegak hukum mengenai sistem pembuktian yang terdapat dalam UU 8 Tahun 2010.
Penyidik berpatokan pada pengecualian tata cara pembuktian yang terdapat dalam UU No 8 Tahun 2010 yang pada prinsipnya berlaku azas praduga bersalah
presumption of guilty yang dalam penjelasan Pasal 17 KUHAP yang menyatakan
Universitas Sumatera Utara
“yang dimaksud dengan bukti permulaan yang cukup ialah bukti permulaan yang menduga adanya tindak pidana sesuai dengan Pasal 1 butir 14 KUHAP”
Bunyi Pasal 1 butir 14 KUHAP dinyatakan sebagai berikut : “Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya,
berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.” Sedangkan Penuntut Umum berpatokan pada azas praduga tak bersalah
presumption of innocence yang terdapat dalam Pasal 66 KUHAP dan Pasal 8 UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, dimana Tersangka atau Terdakwa
tidak dibebani pembuktian, oleh karena itu Penyidik dan Penuntut Umum wajib mencari alat bukti yang cukup untuk menyatakan Tersangka bersalah sehingga dapat
diajukan ke persidangan. Perbedaan pendapat ini sangatlah wajar, karena Penyidik dan Penuntut Umum
mempunyai alasan masing-masing yang bersifat yuridis dalam teori dan praktek. Apabila penyidik dibebankan untuk membuktikan tindak pidana asalnya, maka
pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang tidak akan tercapai karena Penyidik akan kesulitan untuk menentukan waktu dan tempat terjadinya tindak pidana asalnya
sebab kebanyakan pelaku menempatkan harta kekayaan yang diperoleh dari hasil kejahatan tidak langsung ditempatkan di Penyedia Jasa Keuangan atau sebaliknya
perbuatan pidana telah lama dilakukan namun hasil kejahatan baru diperoleh setelah jangka waktu lama atau perbuatan tersebut dilakukan di negara lain. Disisi lain
pendapat umum dapat dipahami karena apabila azas praduga bersalah diterapkan dalam tahap persidangan maka azas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan serta
Universitas Sumatera Utara
konsep perlindungan hak asasi Tersangka Terdakwa telah terabaikan, sebab hanya dengan bukti permulaan yang cukup seseorang dapat dilakukan penangkapan,
penahanan dan penyitaan harta benda seseorang serta harus diproses di persidangan yang memakan waktu cukup lama yaitu antara 3 sd 6 bulan, pada hal orang tersebut
belum tentu bersalah. Kendala dari sisi lain juga muncul pada Kejaksaan dan Hakim. Bukan rahasia
lagi banyak putusan Hakim berkaitan dengan kejahatan perbankan sangat mengecewakan masyarakat. Tidak sedikit putusan yang justru membebaskan pelaku
kejahatan dengan alasan yang paling menonjol adalah mengenai sulitnya pembuktian. Dalam hal membuktikan Tindak Pidana Pencucian Uang, maka harus dibuktikan,
Bahwa Terdakwa mengetahui atau patut menduga harta kekayaan itu berasal dari predicate offense. Dalam hal ini terutama mengenai pembuktian “Unsur subyektif”,
selain unsur “objektif”nya. Bagaimanapun, sulit sekali melakukan proses hukum tanpa terlebih dahulu membuktikan bahwa ada bukti awal bahwa harta kekayaan yang
dimaksud berasal dari kejahatan.
95
95
Yenti Garnasih, Krimnalsasi Pencucian Uang Money Laundering. “Op Cit”, hal 352.
Disisi lain belum dipahami dengan betul oleh Penuntut Umum terlebih Hakim mengenai seluk beluk Tindak Pidana Pencucian uang
sehingga masih kurangnya profesionalitas dari penegak hukum saat ini. Belum lagi Penyidik yang lebih mengejar pelaku kejahatan dari pada harta kekayaan dari hasil
Tindak Pidana Pencucian Uang sehingga harta kekayaan dari hasil kejahatan telah habis dan sulit untuk ditelusuri keberadaannya. Hal ini seharusnya dapat ditingkatkan
lebih lagi terhadap para penegak hukum dalam hal profesionalitas yaitu terus belajar
Universitas Sumatera Utara
dan memahami kriteria dan modus-modus pencucian uang dan intergritas yaitu mau terus komitmen dalam pemberantasan pencucian uang. Sampai saat ini reputasi
penegakan hukum di Indonesia masih jauh dari memuaskan. Hal yang lain yang dirasakan menjadi hambatan oleh Penyidik adalah proses
untuk melakukan penyelidikan yang harus melewati beberapa tahap untuk mendapatkan izin dari pihak-pihak yang terkait sehingga memakan waktu yang lama
untuk melakukan ke tahap penyidikan terhadap Terdakwa atas laporan yang diterima sehingga harta kekayaan dari hasil tindak pidana asal sudah habis ataupun sudah tidak
terlacak lagi. Tidak menutup kemungkinan juga adanya permainan antara Bank dengan penegak hukum dalam pencucian uang karena Bank adalah sarang dari
pencucian uang walaupun kemingkinannya kecil. Namun hal ini sebenarnya dapat diatasi, yaitu dengan cara penegak hukum
dalam hal ini adalah intelejen betul mengejar mengikuti pelaku sampai dengan tertangkap tangan ketika melakukan transaksi dari hasil tindak pidana predicate
crime. Kesulitan lain yang diperkirakan adalah berkaitan dengan kerjasama
internasional. Hal ini mengingat kejahatan pencucian uang adalah lintas batas dan menggunakan cara-cara yang sangat canggih, sehingga harus dilakukan kerjasama
internasional untuk memberantasnya. Bagaimana dengan kejahatan pencucian uang yang bersifat internasional di luar wilayah negara Indonesia yang tidak diatur dalam
sistem hukum Indonesia, sehingga terjadi perbedaan penafsiran hukum.
Universitas Sumatera Utara
Apabila kerjasama tersebut dilakukan dengan antar negara dengan sistem hukum yang sama relatif lebih mudah, tidak demikian bila terdapat dalam perbedaan sistem
hukum. Misalnya, dalam hal penyitaan asset for faiture yang dimintakan requested di antara negara yang berbeda sistem hukum sulit sekali, demikian juga
dalam hal pelacakan trace pembekuan aset biasanya mempersyaratkan proses pidana terlebih dahulu baru dilakukan penyitaan. Tidak mustahil Indonesia akan
menghadapi kendala seperti itu. Berkaitan dengan dengan upaya kerjasama internasional, adanya perbedaan predicate offense dengan negara lain berpotensial
menimbulkan kendala dalam melakukan kerjasama tersebut. Misalnya, Indonesia hanya merumuskan predicate offencenya dengan terbatas kemudian melakukan kerja
sama dengan negara lain yang predicate offencenya lebih luas atau justru lebih sempit, akan menghadapi permasalahan karena keharusannya adanya double
criminality.
96
2. Budaya Masyarakat Belum Mendukung Anti Pencucian Uang
Perkiraan munculnya kendala dalam pemberantasan pencucian uang berasal dari budaya hukum masyarakat Indonesia. Faktor ini sangatlah menentukan apakah
peraturan perundang-undangan dapat efektif, sekalipun misalnya, substansi undang- undang sudah baik dan peraturannya sudah memadai.
97
96
Krimnalsasi Pencucian Uang Money Laundering, “Op Cit”, hal 358.
97
“Ibid”.
Universitas Sumatera Utara
Pada akhirnya kendala yang mungkin muncul adalah persepsi nasabah mengenai pencucian uang. Nasabah bank seharusnya memberikan informasi yang
diminta oleh bank dengan sebenar-benarnya. Pemahaman masyarakat mengenai praktik pencucian uang sangat penting. Tidak mustahil upaya pemberantasan dan
pencegahan pencucian uang ini akan menghadapi kegagalan bila masyarakat tidak atau belum mempunyai pandangan bahwa praktik pencucian uang adalah suatu
tindakan yang sangat merugikan perekonomian. Keadaan tersebut juga dialami oleh beberapa negara pada waktu pertama kali mengundangkan anti pencucian uang
apalagi pencucian uang bukanlah permasalahan sederhana.
98
Pandangan bahwa masyarakat tidak langsung dirugikan akibat pencucian uang, antara lain karena hanya melibatkan orang-orang tertentu dan transaksi-
transaksi tertentu dan biasanya tidak ada bukti fisik serta tidak menimbulkan korban individu. Dengan demikian ada anggapan bahwa pencucian uang tidak berpengaruh
secara langsung terhadap masyarakat.
99
Pandangan tersebut lahir karena ada masyarakat awam hanya memiliki pemahaman dan pengalaman yang terbatas tentang
tindak pidana ekonomi dan pencucian uang.
100
Merubah pandangan atau perspsi masyarakat terhadap akibat dari pencucian uang bukan masalah mudah dan memerlukan suatu proses yang panjang serta
memakan waktu. Ketiadaan pemahaman yang cukup dari masyarakat akan selalu
98
Chaikin , “Op Cit”, hal 473.
99
Fletcher N Baldwin Jr, “Op Cit”, hal 421 dalam Barbot, “Money Laundering”, hal 161-163.
100
Yenti Garnasih, Krimnalsasi Pencucian Uang Money Laundering, “Op Cit”, hal 362.
Universitas Sumatera Utara
menjadikan kendala yang cukup serius unutk melaksanakan pelaksanaan pemberantasan pencucian uang di Indonesia.
101
B. Upaya-Upaya Yang Dilakukan Dalam Menanggulangi Kendala Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang
1. Perbaikan Aparatur
Kewenagan PPATK yang digariskan dalam Pasal 41 UU No 8 Tahun 2010 sangatlah terbatas mengingat semakin banyaknya pencucian uang terjadi di Indonesia
dan semakin bertambahnya trend-ternd dari pencucian uang itu sendiri dengan berbagai modus. Sudah seharusnya peran dan fungsinya sebagai suatu lembaga yang
dibentuk untuk pencegahan dan pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang diperluas untuk melakukan penyelidikan lanjutan terhadap Laporan Transaksi
Keuangan Mencurigakan LTKM yang dilaporkan oleh Penyedia Jasa Keuangan dalam mengidentifikasi dan menganalisis dan kemudian disampaikan kepada pihak
Penyidik sebagai Laporan Hasil Analisis LHA oleh PPATK, dimana hal ini akan menjadi salah satu hambatan dalam pembuktian Tindak Pidana Pencucian Uang
karena PPATK lebih memahami seluk beluk transaksi keuangan dibandingkan dengan Kepolisian dan untuk itulah PPATK dibentuk. Jika setelah dilakukan
penyelidikan apalagi penuntutan, terdapat petunjuk yang meyakinkan telah terjadi
101
“Ibid”
Universitas Sumatera Utara
tindak pidana maka informasi dan hasil analisis yang diperoleh baru diberikan kepada Polisi untuk dilakukan penyelidikan.
Seharusnya ada perubahan pemikiran baru dalam mengatasi kesulitan pemberantsan Tindak Pidana Pencucian Uang dimana sering kali apabila munculnya
modus trend-trend pencucian uang baru kemudian diatasi. Seiring perkembangan zaman, maka seharusnya teknik penanggulangganyapun berkembang.
2. Kewajiban Pelaporan
Sebagai salah satu cara untuk pencegahan pencucian uang, keharusan melaporkan transaksi keuangan menjadi masalah yang sangat penting. Pada masa lalu
lembaga keuangan bekerja atas dasar menjaga kerahasiaan dan loyalitas terhadap nasabah. Dalam hubungannya dengan pembarantasan pencucian uang, kerahasiaan
tersebut bisa diterobos, untuk memenuhi kewajiban pelaporan.
102
“Traditionally, banks and other busnisses have viewed their duty as one of confendentiality and loyality to their customers and have a marked their
professional success solely in term of finacial profits. No longer. These institutions and their employees must now substitute a duty of crime detection
to the community at large in place of their duty of confidentiality, and they must abstain from participating in questionable, yet profitable,
transactions.”
103
Terjemahan bebas oleh Penulis “Secara tradisional, bank dan lembaga bisnis lainnya telah memperlihatkan
tugas mereka sebagai salah satu penyimpan rahasia dan setia kepada nasabah mereka dan sudah memiliki sebuah tanda dalam kesuksesan
professional terlebih dalam hal keuntungan finansial. Tidak ada lagi. Lembaga ini dan karyawan mereka sekarang harus berganti tugas menjadi
pendeteksi kejahatan kepada masyarakat luas untuk menjaga kerahasiaan di
102
Yenti Garnasih, Krimnalsasi Pencucian Uang Money Laundering, “Op Cit”, hal 256.
103
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Risalah Rapat, tanggal 20 Maret, hal 60.
Universitas Sumatera Utara
tempat mereka bekerja, dan mereka harus tidak memihak abstain dalam berpartisipasi melakukan transaksi- transaksi yang meragukan, namun
menggiurkan.
UU No. 8 Tahun 2010 memberikan kewajiban bagi pihak Penyedia Jasa Keuangan untuk melaporkan kepada PPATK. Sebagaimana disebutkan Pasal 27 UU
No. 8 Tahun 2010 yang menyatakan : 1
Penyedia barang danatau jasa lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat 1 huruf b wajib menyampaikan laporan Transaksi yang dilakukan oleh
Pengguna Jasa dengan mata uang rupiah danatau mata uang asing yang nilainya paling sedikit atau setara dengan Rp500.000.000,00 lima ratus juta
rupiah kepada PPATK. 2
Laporan Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 disampaikan paling lama 14 empat belas hari kerja terhitung sejak tanggal Transaksi dilakukan.
3 Penyedia barang danatau jasa lain yang tidak menyampaikan laporan kepada
PPATK sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2 dikenai sanksi administrative.
Kewajiban pelaporan penting mengingat pula bahwa pemantauan secara dini dipandang efektif dalam upaya penaggulangan pencucian uang. Mendeteksi pada saat
hasil-hasil kejahatan itu masuk ke dalam sistem keuangan misalnya perbankan tahap plcement diupayakan dengan mengatur kewajiban pelaporan. Pelaporan transaksi
keuangan adalah suatu tindakan yang melakukan suatu identifikasi nasabah dan pencatatan mengenai transaksi dalam jumlah tertentu atau yang mencurigakan.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Pasal 27 ayat 1 UU No 8 Tahun 2010 sejumlah angka rupiah diatas, tidak dibatasi hanya dalam bentuk rupiah saja tetapi nilainya setara, jadi bisa saja
dalam bentuk valuta asing tetapi nilainya bisa dikurskan ke rupiah jumlahnya setara dengan apa yang ditentukan tersebut, kemudian transaksinya bisa dilakukan berkali-
kali dalam satu hari dan jika dikumulasikan jumlahnya mencapai jumlah yang ditentukan.
Berdasarkan Pasal 27 ayat 1 UU No 8 Tahun 2010, memberikan pengertian lebih luas sebagaimana dapat dilihat di dalam Pasal 1 buir 5 UU No 8 Tahun 2010,
yang diistilahkan dengan Transaksi Keuangan yang Mencurigakan. Pengertian transaksi keuangan mencurigakan menurut ketentuan tersebut dijelaskan sebagai
berikut “Transaksi Keuangan Mencurigakan adalah :
a. Transaksi Keuangan yang menyimpang dari profil, karakteristik, atau
kebiasaan pola Transaksi dari Pengguna Jasa yang bersangkutan; b.
Transaksi Keuangan oleh Pengguna Jasa yang patut diduga dilakukan dengan tujuan untuk menghindari pelaporan Transaksi yang bersangkutan yang wajib
dilakukan oleh Pihak Pelapor sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini;
c. Transaksi Keuangan yang dilakukan atau batal dilakukan dengan
menggunakan Harta Kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana; atau
d. Transaksi Keuangan yang diminta oleh PPATK untuk dilaporkan oleh Pihak
Pelapor karena melibatkan Harta Kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana.”
Universitas Sumatera Utara
BI dalam peraturan ini membuat 6 enam katagori terhadap transaksi yang bersifat mencurigakan suspicious transaction sebagaimana bisa digunakan dalam
praktik money laundering, kategori itu adalah :
104
1. Transaksi mencurigakan dengan menggunakan pola transaksi tunai. a Penyetoran dalam jumlah besar yang tidak lazim oleh perorangan atau
perusahaan yang memiliki kegiatan usaha tertentu dan penyetoran tersebut biasanya dilakukan dengan mengunakan cek atau instrumen
non tunai lainnya.
b Peningkatan penyetoran tunai yang sangat material pada rekening perorangan atau perusahaan tanpa disertai penjelasan yang memadai,
khususnya atau apabila setoran tunai tersebut langsung ditransfer ke tujuan yang tidak mempunyai hubungan atau keterkaitan dengan
perorangan atau perusahaan tersebut.
c Penyetoran tunai dengan menggunakan beberapa slip setoran dalam jumlah kecil sehingga total penyetoran tunai tersebut mempunyai
jumlah yang sangat besar. d Penggunaan rekening perusahaan yang lazimnya dilakukan dengan
menggunakan cek atau instrumen non tunai lainnya namun dilaukan secara tunai.
e Pembayaran atau penyetoran dalam bentuk tunai untuk penyelesaian tagihan wesel, transfer atau intrumen pasar uang lainnya.
f Penukaran uang tunai berdenominasi kecil dalam jumlah besar dengan uang tunai berdenominasi besar.
g Penukaran uang tunai ke dalam mata uang asing dalam frekuensi yang tinggi.
h Peningkatan kegiatan transaksi tunai dalam jumlah yang sangat besar untuk ukuran suatu kantor Bank.
i Penyetoran tunai yang di dalamnya selau terdapat uang palsu. j Transfer dalam jumlah besar dari suatu negara lain dengan instruksi
untuk dilakukan pembayaran tunai. k Penyetoran tunai dalam jumlah besar melaui rekening titipan setelah
jam kerja kas untuk menghindari hubungan langsung dengan petugas bank.
2. Transaksi mencurigakan dengan menggunakan rekening Bank a Pemeliharaan beberapa rekening atas nama pihak lain yang tidak sesuai
dengan jenis kegiatan usaha nasabah.
104
Peraturan Bank Indonesia Nomor 310PBI2001 Tanggal 18 Juni 2001 Tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah Know Your Customer Principles.
Universitas Sumatera Utara
b Penyetoran tunai dalam jumlah kecil ke dalam beberapa rekening yang dimiliki nasabah pada bank sehingga total penyetoran tersebut
mempunyai jumlah sangat besar. c Penyetoran dan atau penarikan dalam jumlah besar dari rekening
perorangan atau perusahaan yang tidak sesuai atau tidak terkait dengan usaha nasabah.
d Pemberian informasi yang sulit dibuktikan atau memerlukan biaya yang sangat besar bagi bank untuk melakukan pembuktian.
e Pembayaran dari rekening nasabah yang dilakukan setelah adanya penyetoran tunai kepada rekening dimaksud pada hari yang sama atau
hari sebelumnya. f Penarikan dalam jumlah besar dari rekening nasabah yang semula tidak
aktif atau dari rekening nasabah yang menerima setoran dalam jumlah besar dari rekening nasabah yang semula tidak aktif atau dari rekening
nasabah yang menerima setoran dalam jumlah besar dari luar negeri.
g Penggunaan petugas teller yang berbeda oleh nasabah yang secara bersamaan untuk melakukan transaksi keuangan mata uang asing.
h Pihak yang mewakili perusahaan selalu menghindar untuk berhubungan dengan petugas Bank.
i Peningkatan yang besar atas penyetoran tunai atau negotiable instruments oleh suatu perusahaan dengan menggunakan rekening klien
perusahaan, khususnya apabila penyetoran tersebut langsung ditransfer di antara rekening klien lainnya.
j Penolakan oleh nasabah untuk menyediakan tambahan dokumen atau informasi yang apabila diberikan memungkinkan nasabah menjadi
layak untuk memperoleh fasilitas pemberian kedit atau jasa perbankan lainnya.
k Penolakan nasabah terhadap fasilitas perbankan yang diberikan, seperti penolakan untuk diberikan tingkat bunga yang lebih tinggi
terhadap jumlah saldo tertentu. l Penyetoran untuk rekening yang sama oleh banyak pihak tanpa
penjelasan memadai. 3. Transaksi Mencurigakan melalui transaksi yang berkaitan dengan investasi.
a Pembelian surat berharga untuk disimpan di Bank sebagai custodian yang seharusnya tidak layak apabila memperhatikan reputasi atau
kemampuan finasial nasbah. b Transaksi pinjaman dengan jaminan dana diblokir back-to-back
deposit loan transactions antara Bank dengan anak perusahaan, perusahaan afilasi, atau institusi perbankan di negara lain yang dikenal
dengan negara tempat lalu lintas perdagangan narkotika.
Universitas Sumatera Utara
c Permintaan nasabah untuk jasa pengelolaan investasi dengan sumber dana investasi yang tidak jelas sumbernya atau tidak konsisten dengan
reputasi atau kemapuan finansial nasabah. d Transaksi dengan pihak lawan counterparty yang tidak dikenal atau,
jumlah dan frekuensi transaksi yang tidak lazim. e Investor yang diperkenalkan oleh Bank di negara lain, perusahaan
afiliasi, atau investor lain dari negara yang diketahui umum sebagai tempat produksi atau perdagangan narkotika.
4. Transaksi mencurigakan yang melalui aktivitas Bank di luar negeri. a Pengenalan nasabah oleh kantor cabang di luar negeri, perusahaan
afiliasi atau bank lain yang berada di negara yang diketahui sebagai tempat produksi atau perdagangan narkotika.
b Penggunaan Letter of Credits LC dan instrumen perdagangan internasioanl lain untuk memindahkan dana antara negara dimana
transaksi perdagangan tersebut tidak sejalan dengan kegiatan usaha nasabah.
c Penerimaan atau pengiriman transfer oleh nasabah dalam jumlah besar ke atau proses, dan atau pemasaran obat terlarang atau kegiatan
terorisme. d Penghimpunan saldo dalam jumlah besar yang tidak sesuai dengan
karakteristik perputaran usaha nasabah yang kemudian di transfer ke negara lain.
e Transfer secara elektronik oleh nasabah tanpa disertai penjelasan yang memadai atau tidak menggunakan rekening.
f Permintaan Travellers Cheques, wesel dalam mata uang asing, atau negotiable instrument lainnya dengan frekuensi tinggi.
g Pembayaran dengan menggunakan Travellers Cheques atau wesel dalam mata uang asing khususnya yang diterbitkan oleh negara lain
dengan frekuensi tinggi.
5. Transaksi mencurigakan yang melibatkan karyawan bank dan atau agen. a Peningkatan kekayaan karyawan dan agen Bank dalam jumlah besar
tanpa disertai penjelasan yang memadai. b Hubungan transaksi melalui agen yang tidak dilengkapi dengan
informasi yang memadai mengenai penerimaan akhir ultimate beneficiary.
6. Transaksi mencurigakan melalui transaksi pinjam-meminjam. a Pelunasan pinjaman bermasalah secara tidak terduga.
b Permintaan fasilitas pinjaman dengan agunan yang asal-usulnya dari aset yang digunakan tidak jelas atau tidak sesuai dengan reputasi dan
kemampuan finansial nasabah.
Universitas Sumatera Utara
c Permintaan nasabah kepada Bank untuk memberikan fasilitas pembiayaan dimana porsi dana sendiri nasabah dan fasilitas dimaksud
tidak jelas asal-usulnya, khususnya apabila terkait dengan properti.
Dalam Keputusan Kepala PPATK diberikan pula beberapa contoh Transaksi Keuangan yang Mencurigakan, yaitu :
105
1. Setoran tunai yang cukup besar dalam suatu transaksi atau kumpulan dari transaksi, khususnya apabila :
a. Transaksi dari kegiatan usaha yang biasa dilakukan oleh nasabah tidak tunai tetapi dalam bentuk lain seperti cek, bank draft, letter of credit,
bills of exchange atau instrumen lain. b. Setoran ke dalam suatu rekening semata-mata agar nasabah dapat
melakukan transaksi bank draft, transfer atau instrumen pasar uang yang dapat diperjualbelikan.
2. Nasabah atau kuasanya berupaya menghindari untuk berhubungan secara langsung dengan PJK.
3. Penggunaan nominee accounts, trustee accounts dan client accounts yang sebenarnya tidak perlu dilakukan dan tidak konsisten dengan kegiatan
usaha nasabah. 4. Penggunaan banyak rekening dengan alasan yang tidak jelas.
5. Pengunaan nominal kecil dengan frekuensi yang cukup tinggi, dan kemudian dilakukan dengan penarikan secara sekaligus.
6. Sering melakukan pemindahan dana antar rekening kepada negara wilayah yang berbeda.
7. Adanya jumlah yang hampir sama antar dana yang ditarik dengan yang disetor secara tunai pada hari yang sama atau hari sebelumnya.
8. Penarikan jumlah yang besar terhadap rekening yang tidak aktif. 9. Penarikan jumlah yang besar terhadap rekening yang baru menerima dana
yang diduga dan tidak biasa dari luar negeri. 10. Nasabah yanag memperlihatkan kehati-haitian yang berlebihan terutama
terhadap kerahasiaan identitasnya atau kegiatan usahanya, atau nasabah yang menunda-nunda untuk memberikan informasi dan dokumen
pendukung mengenai identitasnya.
11. Nasabah yang berasal dari atau yang mempunyai rekening di negara yang dikenal sebagai tempat pencucian uang atau negara yang kerahasiaan
Banknya sangat ketat.
105
Keputusan Kepala Pusat Pelaporan Transaksi Keuangan Nomor : 21KEP.PPATK2003,hal 21-22
Universitas Sumatera Utara
12. Adanya transfer dana ke dalam suatu rekening dengan frekuensi yang sangat tinggi dan tiba-tiba padahal sebelumnya rekening tersebut tidak
aktif. 13. Pembayaran atas pembelian saham yang dilakukan melalui transfer dari
rekening atas nama pihak lain. Dengan adanya kewajiban laporan transaksi tunai dan transaksi yang
mencurigakan dari bank sesuai UUTPPU kepada PPATK untuk dianalisa dan di evaluasi, maka hasil kejahatan tersebut dapat ditelusuri lebih lanjut sehingga dapat
dilaporkan kepada penegak hukum guna dilakukan investivigasi. Kewajiban yang ditentukan UUTPU dikecualikan dari beberapa transaksi
tertentu. Pengecualian tersebut adalah dalam transaksi-transaksi sebagai berikut :
106
- transaksi antar bank;
- transaksi dengan pemerintah;
- transaksi dengan bank sentral;
- pembayaran gaji;
- pensiun;
- transaksi lainnya atas permintaan Penyedia Jasa Keuangan yang disetujui
PPATK. Selanjutnya dalam hal Penyedia Jasa Keuangan, apabila tidak melaporkan
tidak menyampaikan laporan kepada PPATK seperti yang terdapat dalam Pasal 27 ayat 3, maka dalam hal ini ditentukan sanksi bagi Penyedia Jasa Keuangan yang
dengan sengaja tidak menyampaikan laporan kepada PPATK sebagaimana dimaksud pada Pasal 27 ayat 1 UU No 8 Tahun 2010 dapat dikenakan sanksi administratif.
106
N.H.T Siahaan, “Op Cit”, hal 67.
Universitas Sumatera Utara
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN