FUNGSI SINUS PARANASAL Definisi Operasional

akar gigi tersebut dapat menonjol ke dalam sinus, sehingga infeksi gigi geligi dapat naik ke atas dan menyebabkan sinusitis. 2. Sinusitis maksila dapat menimbulkan komplikasi orbita. 3. Ostium sinus maksila terletak lebih tinggi dari dasar sinus, sehingga drenase hanya tergantung dari gerak silia, lagipula drenase juga harus melalui infundibulum yang sempit.Soetjipto, 2007. d. Sinus Sfenoid Sinus sfenoid terletak di os sfenoid, di belakang sinus etmoid posterior. Sinus sfenoid dibagi dua oleh sekat yang jarang terletak di tengah disebut septum intersfenoid. Soetjipto, 2007. Ukuran sinus ini kira-kira pada saat usia 1 tahun 2,5 x 2,5 x 1,5, pada usia 9 tahun 15 x 12 x 10,5 mm. Isi rata-rata sekitar 7,5 ml 0,05-30 ml. Ballanger, 2002. Batas-batasnya ialah sebelah superior terdapat fossa serebri dan kelenjar hipofisa, sebelah inferiornya atap nasofaring, sebelah lateral berbatasan dengan sinus kavernosus dan arteri karotis interna dan di sebelah posteriornya berbatasan dengan fosa serebri posterior di daerah pons. Maqbool, 2001.

2.2 FUNGSI SINUS PARANASAL

Ada beberapa teori yang dikemukakan sebagai fungsi dari sinus paranasal, namun belum ada bukti yang sesuai yang dapat mebuktikan teori-teori tersebut. Beberapa teori yang dikemukakan antara lain: a. Sebagai pengatur kondisi udara Sinus berfungsi sebagai ruang tambahan untuk memanaskan dan mengatur kelembaban udara inspirasi Maqbool, 2001 ; Voight, 2006. Keberatan terhadap teori ini ialah karena ternyata tidak didapati pertukaran udara yang defenitif antara sinus dan rongga hidung. b. Sebagai penahan suhu Sinus paranasal berfungsi sebagai penahan buffer panas, melindungi orbita dan fosa serebri dari rongga hidung yang berubah-ubah. Akan tetapi kenyataan sinus-sinus yang besar tidak terletak di antara hidung dan organ-organ yang dilindungi. Soetjipto, 2007 Universitas Sumatera Utara c. Membantu keseimbangan kepala Sinus membantu keseimbangan kepala karena mengurangi berat tulang muka. Akan tetapi, bila udara dalam sinus diganti dengan tulang, hanya akan memberikan pertambahan berat sebesar 1 dari berat kepala, sehingga teori ini tidak dianggap bermakna. Maqbool, 2001 d. Membantu resonansi suara Sinus mungkin berfungsi sebagai rongga untuk menambah resonansi suara dan mempengaruhi kualitas suara. Akan tetapi ada yang berpendapat, posisi sinus dan ostiumnya tidak memungkinkan sinus berfungsi sebagai resonansi yang efektif. Maqbool, 2001 e. Sebagai peredam perubahan tekanan udara Fungsi ini akan berjalan bila ada perubahan tekanan yang besar dan mendadak, misalnya pada waktu bersin dan beringus. Soetjipto, 2007 f. Membantu produksi mukus Mukus yang dihasilkan oleh sinus paranasal memang jumlahnya kecil dibandingkan dengan mukus dari rongga hidung, namun efektif untuk membersihkan partikel yang turut masuk dalam udara. Soetjipto, 2007

2.3 RINOSINUSITIS

2.3.1 DEFENISI

Rinosinusitis merupakan inflamasi pada organ hidung dan sinus paranasal, yang karakteristiknya ditandai oleh dua faktor mayor atau kombinasi dari satu faktor mayor dan dua faktor minor. Faktor mayor termasuk obstruksi nasal, nyeri di daerah wajah, nasal dischargepurulancediscolored postnasal drainage, hyposmiaanosmia. Faktor minor ialah nyeri kepala, demam, halitosis, sakit gigi, batuk dan nyeri di telingaterasa penuh pada telinga EP3OS,2007 Universitas Sumatera Utara

2.3.2 EPIDEMIOLOGI

Rinosinusitis telah menginfeksi sekitar 14 atau 31 juta orang dewasa per-tahun Assish,2008. Rata-rata orang menderita 2-4 kali rinosinusitis akut pertahun Fergurson,2005. EP3OS2007 juga memaparkan berdasarkan penelitian di Belanda pada tahun 1999, sekitar 8,4 populasi pernah menderita satu episode rinosinusitis akut per tahunnya. Rinosinusitis kronis di Amerika pada tahun 1997, sekitar 14,7 atau 31 juta kasus per tahun dan dengan angka kejadian yang terus meningkat dalam kurun waktu 11 tahun terakhir. GLORIA, 2009. Data dari RSUD. Dr. Pirngadi Medan pada tahun 2010 terdapat 3201 kasus rinosinusitis kronis.

2.3.3 ETIOLOGI DAN FAKTOR PREDISPOSISI

a. Virus Virus yang biasanya menyebabkan rinosinusitis adalah rhinovirus, virus parainfluenza, respiratory syncitial virus RSV dan virus influenza. Tiap-tiap virus mempunyai banyak serotype, yang mana semuanya berpotensi untuk memperparah infeksi tersebut. Rhinovirus merupakan penyebab tersering pada orang dewasa dan memuncak pada musim gugur. RSV dan virus influenza lebih merusak silia pernafasan pada saat musim dingin dan di awal musim semi. Fergurson, 2005 b. Bakteri Bakteri patogen yang paling sering menyebabkan rinosinusitis bakteri akut yaitu S. pneumoniae dan H. influenzae. Patogen ini telah menyebabkan rinosinusitis sejak pertama kali dilakukan penelitian dan menjadi organisme penyebab yang paling utama. Sedangkan patogen yang sering muncul pada rinosinusitis bakteri kronis adalah S. aureus, staphylococcus koagulase negatif, bakteri anaerob dan bakteri gram negatif. Fergurson, 2005 ; Brown, 2008 Universitas Sumatera Utara c. Jamur Aspergilosis merupakan salah satu jamur yang paling banyak ditemui pada infeksi sinus paranasal dengan ciri khas sekret mukopurulen yang bewarna hijau kecoklatan. Mukormikosis merupakan infeksi oportunistik yang ganas yang dapat menjadi patogenik pada manusia yang menderita asidosis diabetik dan imunosupresi. Dijumpai sekret yang berwarna pekat, gelap, berdarah dan gambaran konka yang berwana hitam atau merah bata. Kandida bersama histoplasmosis, koksidiomilosis, sporotrikosis, serokosporamikosis dan blastomikosis jarang yang mengenai hidung. Boeis, 1997 d. Alergi Rinitis merupakan suatu reaksi alergi yang diperantarai oleh imunoglobulin. Reaksi ini melibatkan suatu antibodi, biasanya IgE, yang mana bagian Fc antibodi melekat pada suatu sel yang mengandung mediator atau prekursornya sel mast, basofil, eosinofil, makrofag. Bagian Fab dari antibodi ini berinteraksi dengan alergen spesifik dan akibatnya terjadi aktivasi beberapa enzim membran. Hasil pembelahan enzimatik menyebabkan pelepasan mediator seperti histamin, prostaglandin dan leukotrien. Mediator ini menyebabkan suatu reaksi tipe segera yang timbul , misalnya edema. Selain itu juga akan terjadi reaksi lambat yang selanjutnya cenderung terjadi akibat pelepasan mediator dari sel mast dan demikian pula eosinofil, makrofag dan trombosit. Boeis, 1997. e. Kelainan struktur dan anatomi hidung Kelainan anatomi hidung dan sinus juga dapat mengganggu fungsi mukosiliar secara lokal. Jika permukaan mukosa yang saling berhadapan menjadi lebih mendekat atau bertemu satu sama lain, maka aktivitas silia akan terhenti. Deviasi septum, polip, konka bulosa atau kelainan struktur lain di daerah kompleks osteomeatal dan ostium sinus dapat menghalangi transportasi mukosiliar. EP3OS, 2007 Universitas Sumatera Utara f. Hormonal Pada penelitian Sobot et al didapati bahwa 61 wanita yang hamil pada trimester pertama menderita nasal congestion. Namun patogenesis nya masih belum jelas. EP3OS,2007 g. Lingkungan Apabila terpapar oleh lingkungan yang berpolusi, udara dingin dan kering serta kebiasaan merokok yang lama, hal tersebut akan menyebabkan perubahan mukosa dan merusak silia. Mangunkusumo E, 2007

2.3.4 PATOFISIOLOGI

Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan kelancaran klirens dari mukosiliar didalam kompleks osteo meatal KOM. Disamping itu mukus juga mengandung substansi antimikrobial dan zat-zat yang berfungsi sebagai pertahanan terhadap kuman yang masuk bersama udara pernafasan. Bila terinfeksi organ-organ yang membentuk KOM mengalami oedem, sehingga mukosa yang berhadapan akan saling bertemu. Hal ini menyebabkan silia tidak dapat bergerak dan juga menyebabkan tersumbatnya ostium. Hal ini menimbulkan tekanan negatif didalam rongga sinus yang menyebabkan terjadinya transudasi atau penghambatan drainase sinus. Efek awal yang ditimbulkan adalah keluarnya cairan serous. Bila tidak sembuh maka sekret yang tertumpuk dalam sinus ini akan menjadi media yang baik untuk tumbuh dan multiplikasi bakteri, dan sekret akan berubah menjadi purulen yang disebut sinusitis akut bakterialis yang membutuhkan terapi antibiotik. Jika terapi inadekuat maka keadaan ini bisa berlanjut, akan terjadi hipoksia dan bakteri anaerob akan semakin berkembang. Apabila keadaan ini terus berlanjut maka hal ini akan menyebabkan perubahan kronik dari mukosa yaitu hipertrofi, polipoid atau pembentukan polip dan kista. Casiano,1999; Mangunkusumo E, 2007; Meltzer, 2011 Universitas Sumatera Utara

2.3.5 KLASIFIKASI

Secara klinis rinosinusitis terbagi atas: • Rinosinusitis akut : durasi terkena rinosinusitis dibawah 4 minggu • Rinosinusitis subakut : durasi terkena rinosinusitis dari 4 minggu 12 minggu. • Rinosinusitis kronis : durasi terkena rinosinusitis sama atau lebih dari 12 minggu • Rinosinusitis rekuren : menderita sama dengan atau lebih dari 4 kali menderita episode rinosinusitis, tia episode lebih kurang durasinya 7-10 hari. Osguthorpe, 2001; Meltzer, 2011 Berdasarkan penyebabnya rinosinusitis terbagi atas: • Sinusitis rinogen : penyebabnya adalah kelainan atau masalah Di hidung. Segala sesuatu yang menyebabkan sumbatan pada hidung dapat menyebabkan sinusitis. • Sinusitis dentogen : penyebabnya adalah kelainan gigi yang sering menyebabkan sinusitis sepert infeksi pada gigi geraham atas pre molar dan molar. Mangunkusumo E, 2007.

2.3.6 GEJALA KLINIS

Setiap gejala-gejala rinosinusitis, keparahan dan durasinya harus didokumentasi. The American Academy of Otolaryngology-Head and Neck Surgery AAO-HNS membuat kriteria mayor dan minor untuk mendiagnosa rinosinusitis. Rinosinusitis didiagnosa apabila dijumpai dua atau lebih kriteria mayor atau satu kriteria mayor ditambah dua atau lebih kriteria minor. Gejala-gejalanya adalah: Universitas Sumatera Utara • Gejala Mayor : - Obstruksi hidung - Sekret pada daerah hidung sekret belakang hidung yang sering disebut PND Postnasal drip - Kongesti pada daerah wajah - Nyeri rasa tertekan pada wajah - Kelainan penciumanHiposmia anosmia - Demam hanya pada akut • Gejala Minor: - Sakit kepala - Sakit rasa penuh pada telinga - Halitosis nafas berbau - Sakit gigi - Batuk dan iritabilitas - Demam semua nonakut - Lemah a. Nyeri Gejala Subjektif Nyeri yang sesuai dengan daerah sinus yang terkena. Pada peradangan aktif sinus maksila atau frontal, nyeri biasanya sesuai dengan daerah yang terkena. Pada sinus yang letaknya lebih dalam seperti sinus etmoid posterior dan sfenoid, nyeri terasa jauh di dalam kepala, tak jelas letaknya atau disebarkan ke perifer kepala di daerah yang tidak ada hubungan dengan lokasi sinus. b. Sakit kepala Sakit kepala pada penyakit sinus lebih sering unilateral atau lebih terasa di satu sisi atau dimulai sebagai nyeri kepala unilateral dan meluas ke sisi lainnya. Sakit kepala yang bersumber di sinus akan meningkat jika membungkukkan badan ke depan dan jika badan tiba- Universitas Sumatera Utara tiba digerakkan. Sakit kepala ini akan menetap saat menutup mata, saat istirahat. Sakit kepala akibat penyakit di sinus frontal dinyatakan sebagai nyeri yang tajam, menusuk-nusuk, melalui mata atau nyeri dan rasa berat yang biasanya menetap. c. Nyeri pada penekanan Nyeri bila disentuh dan nyeri pada penekanan jari mungkin terjadi pada penyakit sinus yang berhubungan dengan permukaaan wajah seperti sinus frontal, sinus etmoid anterior dan sinus maksila. Nyeri tekan pada os frontal apabila ada penekanan di sudut medial rongga orbita. Pada pemeriksaan sel-sel etmoid anterior, tekanan dilakukan pada sudut medial orbital pada planum orbita os etmoid. Pada pemeriksaan sinus maksila, harus dilakukan penekanan pada fosa kanina os maksila superior. d. Gangguan Penciuman Keluhan yang paling sering adalah kehilangan sensasi penciuman. a. Pembengkakan dan edema Gejala Objektif Jika sinus yang berbatasan dengan kulit frontal, maksila dan etmoid anterior terkena secara akut, dapat terjadi pembengkakan dan edema kulit yang ringan akibat periostitis. Palpasi dengan jari mendapati sensasi seperti ada penebalan ringan. Pembengkakan ini lebih sering ditemukan di daerah sinus frontal. b. Sekret Nasal Adanya pus dalam rongga hidung seharusnya sudah menimbulkan kecurigaan adanya peradangan di sinus. Pus di meatus medius biasanya merupakan tanda terkenanya sinus frontal, sinus etmoid anterior atau sinus maksila, karena sinus-sinus ini bermuara ke dalam meatus medius. Jika pus terletak di fisura olfaktorius maka sel-sel Universitas Sumatera Utara etmoid posterior atau sfenoid yang mungkin terkena, karena sel-sel tersebut berdrainase ke dalam meatus superior di atas konka medius. c. Transiluminasi Transiluminasi sinus memberikan informasi objektif atas kondisi sinus maksila dan frontal, tetapi tidak untuk sinus lainnya. Pada transiluminasi sinus, di dalam kamar gelap, suatu sumber cahaya diletakkan dalam mulut pasien dengan mata pasien terbuka. Apabila refleks pupil merah dan bayangan sinar bulan sabit tidak ada maka kemungkinan sinus maksila terkena. Transiluminasi pada sinus frontal, cahaya diletakkan di bawah dasar sinus frontal pada sudut atas dan dalam orbita, dan kedua sisi dibandingkan, d. Cairan radioopak Untuk sinus maksila dan sfenoid hal ini mempunyai arti yang besar. Dengan adanya cairan itu, rongga sinus tampak jelas tergambar, sehingga penebalan mukosa dan adanya polip dapat diketahui dan ketidaksamaan ukuran dapat tergambar dengan jelas.Ballanger ,2002

2.3.7 DIAGNOSA

a. Rinoskopi anterior Rinoskopi anterior merupakan alat dasar untuk pemeriksaan fisik yang paling spesifik yang berkaitan dengan keadaan patologis pada daerah sinonasal. Rinoskopi adalah pemeriksaan yang paling tepat untuk mengevaluasi pasien, sebelum atau sesudah pemakaian dekongestan topikal. Sebelum dekongesti, pemeriksa mengevaluasi permukaaan anterior nasal. Biasanya hanya setelah dekongesti, middle turbinate dapat divisualisasi secara jelas. Meltzer, 2004. b. Endoskopi nasal Endoskopi nasal tidak hanya memainkan peran yang penting untuk diagnosis rinosinusitis tetapi juga dapat membantu untuk terapi yang tepat. Alasan mengapa banyak dokter menggunakan endoskopi nasal: Universitas Sumatera Utara • Gejala-Gejala pasien saja tidak dapat menjadi patokan untuk mendiagnosis. • Endoskopi merupakan fasilitas diagnostik yang lebih baik dan dapat mendeteksi kelainan yang tidak ditemukan pada saat anamnesa, pemeriksaan fisik maupun pemeriksaan pencritraan. • Perubahan warna hijau kekuningan tampak pada permukaan nasal • Kultur endoskopik berguna untuk mengetahui organisme yang menyebabkan rinosinusitis. Meltzer, 2004. c. Pemeriksaan mikrobiologi Biakan yang berasal dari hidung bagian posterior dan nasofaring biasanya lebih akurat dibandingkan dengan biakan yang berasal dari hidung bagian anterior. Namun demikian, pengambilan biakan hidung posterior juga lebih sulit. Biakan bakteri spesifik pada sinusitis dilakukan dengan mengaspirasi pus dari sinus yang terkena. Seringkali dilakukan untuk mencari antibiotik yang sesuai untuk membasmi mikroorganisme untuk penyakit ini. Brown, 2008 d. Foto polos kavitas nasal dan sinus paranasal Rinosinusitis menunjukkan gambaran berupa : 1. Penebalan mukosa, 2. Opasifikasi sinus berkurangnya pneumatisasi 3. Gambaran air fluid level yang khas akibat akumulasi pus yang dapat dilihat pada foto waters. Bagaimanapun juga, harus diingat bahwa foto polos ini memiliki kekurangan dimana foto polos gagal menunjukkan anatomi sinus yang diperlukan dan gagal menunjukkan peradangan yang meluas. Meltzer, 2004. e. CT scan CT scan adalah pemeriksaan yang dapat memberikan gambaran yang paling baik akan adanya kelainan pada mukosa dan variasi antominya tulang yang relevan untuk mendiagnosis sinusitis kronis maupun akut. Universitas Sumatera Utara Walaupun demikian, harus diingat bahwa CT scan menggunakan dosis radiasi yang sangat besar yang berbahaya bagi mata.Meltzer, 2004. f. MRI Walaupun MRI tidak dapat menunjukkan anatomi tulang sinus paranasal seperti CT scan, namun MRI dapat menunjukkan kelainan pada mukosa dengan baik. Meltzer,2004

2.3.8 TERAPI

Diberikan terapi medikamentosa berupa antibiotik empirik 2x24 jam. Antibiotik yang diberikan lini I yakni golongan penisilin atau cotrimoxazol dan terapi tambahan yakni obat dekongestan oral + topikal, mukolitik untuk memperlancar drainase dan analgetik untuk menghilangkan rasa nyeri. Pada pasien atopi, diberikan antihistamin atau kortikosteroid topikal. Jika ada perbaikan maka pemberian antibiotik diteruskan sampai mencukupi 10-14 hari. Jika tidak ada perbaikan maka diberikan terapi antibiotik lini II selama 7 hari yakni amoksisilin klavulanatampisilin sulbaktam, cephalosporin generasi II, makrolid dan terapi tambahan. Jika ada perbaikan antibiotic diteruskan sampai mencukupi 10-14 hari. Jika tidak ada perbaikan maka dilakukan rontgen- polos atau CT scan dan atau endoskopi nasal. Bila dari pemeriksaan tersebut ditemukan kelainan maka dilakukan terapi sinusitis kronik. Apabila tidak ada kelainan maka dilakukan evaluasi diagnosis yakni evaluasi komprehensif alergi dan kultur dari fungsi sinus. McCort, 2005 ; EP30S,2007 Rinosinusitis Akut Rinosinusitis Subakut Universitas Sumatera Utara Terapinya mula-mula diberikan medikamentosa, bila perlu dibantu dengan tindakan, yaitu diatermi atau pencucian sinus. Obat-obat yang diberikan berupa antibiotika berspektrum luas atau yang sesuai dengan resistensi kuman selama 10 – 14 hari. Juga diberikan obat-obat simptomatis berupa dekongestan. Selain itu dapat pula diberikan analgetika, anti histamin dan mukolitik. Tindakan dapat berupa diatermi dengan sinar gelombang pendek Ultra Short Wave Diathermy sebanyak 5 – 6 kali pada daerah yang sakit untuk memperbaiki vaskularisasi sinus. Kalau belum membaik, maka dilakukan pencucian sinus. Pada sinusitis maksilaris dapat dilakukan pungsi irigasi. Pada sinusitis ethmoid, frontal atau sphenoid yang letak muaranya dibawah, dapat dilakukan tindakan pencucian sinus cara Proetz. EP30S,2007 Jika ditemukan faktor predisposisinya, maka dilakukan tata laksana yang sesuai dan diberi terapi tambahan. Jika ada perbaikan maka pemberian antibiotik mencukupi 10-14 hari. Jika faktor predisposisi tidak ditemukan maka terapi sesuai pada episode akut lini II + terapi tambahan. Sambil menunggu ada atau tidaknya perbaikan, diberikan antibiotik alternative 7 hari atau buat kultur. Jika ada perbaikan teruskan antibiotik mencukupi 10- 14 hari, jika tidak ada perbaikan evaluasi kembali dengan pemeriksaan naso-endoskopi, sinuskopi jika irigasi 5 x tidak membaik. Jika ada obstruksi kompleks osteomeatal maka dilakukan tindakan bedah yaitu BSEF atau bedah konvensional. Jika tidak ada obstruksi maka evaluasi diagnosis. Pada sinusitis maksila dilakukan pungsi dan irigasi sinus, sedang sinusitis ethmoid, frontal atau sfenoid dilakukan tindakan pencucian Proetz. Mangunkusumo,2007 ; EP30S,2007 Rinosinusitis Kronis Universitas Sumatera Utara

2.3.9 KOMPLIKASI

1. Kelainan pada orbita Terutama disebabkan oleh sinusitis ethmoidalis karena letaknya yang berdekatan dengan mata. Komplikasi dapat melalui 2 jalur : a Direklangsung : melalui dehisensi kongenital ataupun adanya erosi pada tulang barier terutama lamina papirasea. b Retrograde tromboplebitis : melalui anyaman pembuluh darah yang berhubungan langsung antara wajah, rongga hidung, sinus dan orbita. Sinusitis ethmoidalis merupakan penyebab komplikasi pada orbita yang tersering. Pembengkakan orbita dapat merupakan manifestasi ethmoidalis akut, namun sinus frontalis dan sinus maksilaris juga terletak di dekat orbita dan dapat menimbulkan infeksi isi orbita. Terdapat lima tahapan : • Peradangan atau analgetik reaksi edema yang ringan. Terjadi pada isi orbita akibat infeksi sinus ethmoidalis didekatnya. Keadaan ini terutama ditemukan pada anak, karena lamina papirasea yang memisahkan orbita dan sinus ethmoidalis sering kali merekah pada kelompok umur ini. • Selulitis orbita, edema bersifat difus dan bakteri telah secara aktif menginvasi isi orbita namun pus belum terbentuk. • Abses subperiosteal, pus terkumpul diantara periorbita dan dinding tulang orbita menyebabkan proptosis dan kemosis. • Abses orbita, pus telah menembus periosteum dan bercampur dengan isi orbita. Tahap ini disertai dengan gejala sisa neuritis optik dan kebutaan unilateral yang lebih serius. Keterbatasan gerak otot ekstraokular mata yang tersering dan kemosis konjungtiva merupakan tanda khas abses orbita, juga proptosis yang makin bertambah. Universitas Sumatera Utara • Trombosis sinus kavernosus, merupakan akibat penyebaran bakteri melalui saluran vena kedalam sinus kavernosus, kemudian terbentuk suatu tromboflebitis septik. Casiano, 1999 ; EP30S,2007 2. Kelainan intrakranial a. Meningitis akut, salah satu komplikasi sinusitis yang terberat adalah meningitis akut, infeksi dari sinus paranasalis dapat menyebar sepanjang saluran vena atau langsung dari sinus yang berdekatan, seperti lewat dinding posterior sinus frontalis atau melalui lamina kribriformis di dekat sistem sel udara ethmoidalis. b. Abses dura, adalah kumpulan pus diantara dura dan tabula interna kranium, sering kali mengikuti sinusitis frontalis. Proses ini timbul lambat, sehingga pasien hanya mengeluh nyeri kepala dan sebelum pus yang terkumpul mampu menimbulkan tekanan intra kranial. Abses subdural adalah kumpulan pus diantara duramater dan arachnoid atau permukaan otak. Gejala yang timbul sama dengan abses dura, yaitu nyeri kepala yang membandel dan demam tinggi dengan tanda-tanda rangsangan meningen. Gejala utama tidak timbul sebelum tekanan intrakranial meningkat atau sebelum abses memecah kedalam ruang subarachnoid. c. Abses otak, setelah sistem vena dalam mukoperiosteum sinus terinfeksi, maka dapat terjadi perluasan metastatik secara hematogen ke dalam otak. Namun, abses otak biasanya terjadi melalui tromboflebitis yang meluas secara langsung. Dengan demikian, lokasi abses yang lazim adalah pada ujung vena yang pecah, meluas menembus dura dan arachnoid hingga ke perbatasan antara substansia alba dan grisea korteks seebri. 3. Kelainan pada tulang Penyebab tersering osteomielitis dan abses subperiosteal pada tulang frontalis adalah infeksi sinus frontalis. Nyeri tekan dahi setempat sangat berat. Gejala sistemik berupa malaise, demam, dan menggigil. Universitas Sumatera Utara Pembengkakan diatas alis mata juga lazim terjadi dan bertambah hebat bila terbentuk abses subperiosteal, dalam hal mana terbentuk edema supraorbita dan mata menjadi tertutup. Timbul fluktuasi dan tulang menjadi sangat nyeri tekan. Radiogram dapat memperlihatkan erosi batas-batas tulang dan hilangnya septa intrasinus dalam sinus yang keruh. EP3OS,2007 4. Mukokel dan piokel Mukokel adalah suatu kista yang mengandung mukus yang timbul dalam sinus, Kista ini paling sering ditemukan pada sinus maksilaris, sering disebut sebagai kista retensi mukus dan biasanya tidak berbahaya. Dalam sinus frontalis, ethmoidalis dan sfenoidalis, kista ini dapat membesar dan melalui atrofi tekanan mengikis struktur sekitarnya. Kista ini dapat bermanifestasi sebagai pembengkakan pada dahi atau fenestra nasalis dan dapat menggeser mata ke lateral. Dalam sinus sfenoidalis, kista dapat menimbulkan diplopia dan gangguan penglihatan dengan menekan saraf didekatnya. Piokel adalah mukokel terinfeksi, gejala piokel hampir sama dengan mukokel meskipun lebih akut dan lebih berat. Prinsip terapi adalah eksplorasi sinus secara bedah untuk mengangkat semua mukosa yang terinfeksi dan memastikan drainase yang baik atau obliterasi sinus. Fergurson, 2005 Universitas Sumatera Utara 2.4 RINOSINUSITIS DAN UMUR, JENIS KELAMIN, PEKERJAAN, TINGKAT PENDIDIKAN, KELUHAN UTAMA, LOKASI, JUMLAH SINUS YANG TERLIBAT, LAMA PENYAKIT DAN KOMPLIKASI Prevalensi rinosinusitis kronis pada kelompok usia 20-29 tahun sekitar 2,7, usia 50-59 tahun sekitar 6,6 dan pada usia 60 tahun sekitar 4,7. EP3OS,2007. Pujiwati 2006 dalam penelitiannya menyebutkan bahwa usia terbanyak yang menderita rinosinusitis yaitu 20-29 tahun sekitar 37,5, 30-39 tahun sekitar 1,3, 40-49 tahun sekitar 26,3 dan 50 tahun yaitu 5,0. Penelitian di Kanada menyebutkan prevalensi rata-rata rinosinusitis kronis lebih banyak diderita oleh wanita, dengan rasio perbandingan 6:4. Anu D, 2008 dan US Government Statistics pada tahun 1994 juga mengatakan bahwa Rinosinusitis kronis lebih sering terjadi pada wanita dibandingkan pria. Penelitian case series oleh Pujiwati 2006 terhadap 80 orang pekerja, dimana yang menderita rinosinusitis akibat kerja sebanyak 35 orang 43,8. Berdasarkan penelitian Pujiwati 2006, bahwa terdapat sekitar 82,5 penderita rinosinusitis pada orang – orang dengan pendidikan sedang, sedang pendidikan rendah sekitar 13,8 dan tinggi sekitar 3,8. Penelitian di Korea menyatakan bahwa prevalensi rinosinusitis kronis yang terdapat kurang lebih tiga gejala pada nasal selama lebih dari tiga bulan dan yang pada temuan endoskopi nya terdapat nasal polip dan atau cairan mukopurulen di meatus media yaitu sekitar 1,01. Penelitian di Belgia, Gordts et al melaporkan bahwa sekitar 6 dari subjek penelitian menderita rinosinusitis kronis disertai sekret di hidung yang kronis pula. EP3OS,2007. Menurut Mangunkusumo 2007, Sinus yang paling sering terkena adalah sinus etmoid dan maksila. Penelitian Sogebi 2008 yang menyatakan bahwa sinus maksilaris merupakan lokasi sinus yang paling banyak mendapatkan kelainan yaitu sebanyak 70,51, sedangkan sinus sfenoidalis merupakan lokasi sinus yang paling jarang terdapat kelainan yaitu 0. Universitas Sumatera Utara Penelitian oleh Ogunleye 1999 yang menyatakan di Ibadan, Nigeria, berdasarkan studi retrospektif pada 90 pasien, didapatkan bahwa yang menderita single rinosinusitis yaitu sekitar 56, multisinusitis 16 dan pansinusitis yaitu 29. Penelitian yang diadakan di Jerman pada tahun 2001 juga memaparkan bahwa angka kejadian rinosinusitis akut sebesar 6,3 juta orang dengan peresepan obat untuk rinosinusitis akut sekitar 8,5 juta resep, sedangkan angka kejadian rinosinusitis kronis sebesar 2,6 juta dan 3,4 juta peresepan obat diberikan untuk rinosinusitis kronis. GLORIA,2009 Penelitian Frisdiana 2010 , bahwa dari 102 penderita rinosinusitis kronik yang dirawat inap di Rumah Sakit Santa Elisabeth dari tahun 2006-2010, semuanya tidak ada menunjukkan adanya komplikasi. Universitas Sumatera Utara BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL 3.1. Kerangka Konsep Dalam penelitian ini yang diamati adalah umur, jenis kelamin, pekerjaan, tingkat pendidikan, keluhan utama,, lokasi sinus yang terlibat, jumlah sinus yang terlibat, lama penyakit dan komplikasi dari penyakit rinosinusitis. Kerangka konsep tentang gambaran pasien rinosinusitis dapat dijabarkan sebagai berikut: Gambar 3.1 : Kerangka konsep

3.2. Definisi Operasional

a. Rinosinusitis merupakan penyakit peradangan yang menyerang organ sinus paranasal dan kavitas nasal dengan memiliki dua atau lebih kriteria mayor atau satu kriteria mayor ditambah dua atau lebih kriteria minor . Kriteria mayor yaitu obstruksi atau adanya sumbatan di hidung, sekret di hidung atau di belakang hidung postnasal drip, kongesti atau penumpukan cairan di daerah wajah, nyeri di daerah wajah, kelainan penciuman hiposmiapenurunan sensitivitas penciuman, anosmiahilang sensasi penciuman, demam hanya pada akut. Yang masuk ke kriteria minor adalah sakit kepala, sakit pada telinga, halitosis atau nafas yang berbau, sakit gigi, batuk, demam non-akut dan lemah. Penderita Umur Jenis kelamin Pekerjaan Tingkat pendidikan Keluhan utama Lokasi Jumlah Sinus yang terlibat Lama penyakit Komplikasi Rinosinusitis Universitas Sumatera Utara rinosinusitis adalah pasien yang dinyatakan menderita rinosinusitis berdasarkan hasil diagnosis dokter dan tercatat dalam rekam medis . Cara pengukuran : Observasi Alat ukur : Rekam medis Hasil ukur : Persentase Skala ukur : Nominal b. Umur adalah lama waktu hidup atau ada sejak dilahirkan atau diadakan . Umur responden adalah jumlah tahun hidup responden sejak lahir sampai didiagnosa menderita rinosinusitis yang dinyatakan dalam satuan tahun. Cara pengukuran : Observasi Alat ukur : Rekam medis Hasil ukur : Persentase Skala ukur : Numerik c. Jenis kelamin Jenis kelamin adalah sifat jasmani yang membedakan dua makhluk sebagai laki-laki dan perempuan. Penilaian karakteristik dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu laki-laki dan perempuan. Cara pengukuran : Observasi Alat ukur : Rekam medis Hasil ukur : Persentase Skala ukur : Nominal d. Pekerjaan Pekerjaan adalah aktifitas utama atau kegiatan rutin yang dilakukan oleh penderita rinosinusitis sesuai dengan yang tercatat pada status rekam medik pasien. Cara pengukuran : Observasi Alat ukur : Rekam medis Hasil ukur : Persentase Skala ukur : Ordinal Universitas Sumatera Utara e. Tingkat pendidikan adalah jenjang pendidikan terakhir yang ditempuh oleh penderita rinosinusitis. Penilaian karakteristik dikelompokkan menjadi belum tamat SD, SD, SMP, SMA atau Sarjana. Cara pengukuran : Observasi Alat ukur : Rekam medis Hasil ukur : Persentase Skala ukur : Ordinal f. Keluhan utama adalah keluhan yang paling berat yang dirasakan oleh pasien rinosinusitis yang menyebabkan pasien berobat ke dokter. Cara pengukuran : Observasi Alat ukur : Rekam medis Hasil ukur : Persentase Skala ukur : Nominal g. Lokasi sinus yang terlibat adalah organ sinus yang mengalami kelainan pada pasien rinosinusitis. Penilaian karakteristik dikelompokkan menjadi: 1 Sinusitis maksilaris, 2 Sinusitis ethmoidalis, 3 Sinusitis sfenoidalis, 4 Sinusitis frontalis, 5 Sinusitis maksilaris serta etmoidalis, 6 Sinusitis maksilaris serta sfenoidalis, 7 Sinusitis maksilaris serta frontalis, 8 Sinusitis emoidalis serta sfenoidalis, 9 Sinusitis etmoidalis serta frontalis, 10 Sinusitis sfenoidalis dan frontalis, 11 Sinusitis maksilaris serta etmoidalis dan sfenoidalis, 12 Sinusitis maksilaris serta etmoidalis dan frontalis, 13 Sinusitis maksilaris serta sfenoidalis dan frontalis, 14 Sinusitis etmoidalis serta sfenoidalis dan frontalis, 15 Sinusitis maksilaris serta etmoidalis, sfenoidalis dan frontalis. Cara pengukuran : Observasi Alat ukur : Rekam medis Hasil ukur : Persentase Skala ukur : Nominal Universitas Sumatera Utara h. Jumlah Sinus yang terlibat adalah jumlah organ sinus yang mengalami kelainan pada pasien rinosinusitis. Penilaian karakteristik dikelompokkan menjadi: 1 Single rinosinusitis jika ditemukan keterlibatan satu sinus paranasal, 2 Multisinusitis jika ditemukan keterlibatan dua atau lebih sinus paranasal dan 3 Pansinusitis jika ditemukan keterlibatan seluruh sinus paranasal. Cara pengukuran : Observasi Alat ukur : Rekam medis Hasil ukur : Persentase Skala ukur : Ordinal i. Lama penyakit adalah lama waktu yang diderita oleh pasien rinosinusitis. Penilaian karakteristik dikelompokkan menjadi: 1 Akut : ≤ 4 minggu, 2 Subakut : 4-12 minggu dan 3 Kronis : 12 minggu Cara pengukuran : Observasi Alat ukur : Rekam medis Hasil ukur : Persentase Skala ukur : Ordinal j. Komplikasi rinosinusitis adalah penyakit lain yang bisa timbul diakibatkan dari rinosinusitis yang tercatat dalam rekam medis. Cara pengukuran : Observasi Alat ukur : Rekam medis Hasil ukur : Persentase Skala ukur : Nominal Universitas Sumatera Utara

BAB 4 METODE PENELITIAN

4.1. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan suatu studi deskriptif yang bersifat retrospektif untuk melihat gambaran pasien-pasien rinosinusitis yang datang berobat di RSUP. Haji Adam Malik Medan pada tahun 2010 .

4.2. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan di RSUP. Haji Adam Malik Medan . Pemilihan lokasi penelitian dengan pertimbangan bahwa RSUP. Haji Adam Malik Medan merupakan rumah sakit pendidikan dan juga merupakan rumah sakit rujukan yang memiliki data rekam medis yang baik. Waktu penelitian mulai dari bulan Agustus- September 2011.

4.3. Populasi dan Sampel

4.3.1 Populasi

Populasi penelitian ini adalah seluruh data penderita rinosinusitis yang datang ke RSUP. Haji Adam Malik Medan tahun 2010. Populasi target adalah rekam medis penderita rinosinusitis yang terdapat di RSUP. Haji Adam Malik Medan. Populasi terjangkau adalah rekam medis yang terdapat di RSUP. Haji Adam Malik Medan dari bulan Januari sampai Desember 2010.

4.3.2 Sampel

Sampel pada penelitian ini adalah penderita rinosinusitis yang datang ke RSUP. Haji Adam Malik Medan tahun 2010. Pengambilan sampel adalah berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi. Kriteria inklusi adalah seluruh pasien yang didiagnosa Universitas Sumatera Utara