Geguritan dalam Sastra Jawa Modern

2.2.5 Geguritan dalam Sastra Jawa Modern

Puisi Jawa Modern diartikan sebagai suatu puisi yang berbeda dengan puisi tradisional atau tembang. Puisi Jawa modern mengarah pada puisi bebas yang dalam istilah teknis sastra Jawa disebut dengan geguritan. Pada mulanya bentuk gegurtian ditadai dengan pemakaian kata sun gegurit pada awal geguritan. Lama-kelamaan kata sun gegurti itu tidak dipakai lagi sehingga kelihatan semakin bebas Mardianto 1996:123. Berbeda dengan karya sastra Jawa klasik yang menempatkan keindahan bahasa di atas aspek kepahaman para pembaca. Karya sastra Jawa modern khususnya geguritan mulai mempertimbangkan ketersampaian isi pada pembaca tanpa mengabaikan keindahan bahasa. Hal ini seirama dengan pendapat Rizal 2010:85 yang menjelaskan bahwa puisi modern lebih mengutamakan isi daripada ikatan-ikatan lainnya. Puisi modern adalah karangan bebas yang tidak terikat dengan banyaknya suku kata, tidak terikat dengan irama seperti dalam puisi lama. Penulis puisi modern umumnya lebih mengutamakan bagaimana supaya idenya bisa dipahami oleh pembacanya. Selain itu penulis juga berkeinginan mengutamakan segala yang dipikirkannya atau yang dirasakannya disampaikannya secara lugas. Meski demikian panulisnya tetap menyusun puisi modern dengan bahasa yang indah. Mengenai hal tersebut, Prawoto mengungkapkan hal serupa. Prawoto 1991:3 mengatakan bahwa bagi penyair angkatan baru, isi lah yang lebih dahulu dituangkan dari pada bentuknya, karena dengan pola-pola yang mengikat agaknya kurang memberikan kebebsan bagi penyair-penyair untuk mengungkapkan pernyataan dalam karya puisinya. Kebebasan yang menjadi ciri dari geguritan membuat karya sastra ini mampu eksis dalam dunia sastra Jawa. Di tengah guncangan akan eksistensi sastra Jawa yang tergeser oleh kepopuleran sastra Indonesia bahkan sastra asing, geguritan mampu mempertahankan posisinya di hati masyarakat Jawa. Eksistensi geguritan terbukti dengan adanya rubrik-rubrik gegutian dalam beberapa majalah berbahasa Jawa seperti majalah Jaya Baya, Panjebar Semangat, Djaka Lodang, dan lan-lain. Berkenaan dengan eksistensi geguritan, Prawoto 1991:3 menegaskan, meskipun banyak tantangan-tantangan dan kritikan terhadap bentuk puisi Jawa modern, namun buktinya sampai kini para redaktur majalah berbahasa Jawa hampir-hampir kewalahan menerima kiriman sajak-sajak bebas tersebut. Beranjak dari eksisitensi geguritan, pembahasan selanjutnya mengenai tujuan pembuatan geguritan. Sebagai sebuah karya sastra, penciptaan geguritan mengandung sebuah tujuan yaitu pendidikan. Hal ini dikemukakan juga oleh Mardianto 1996:127, bahwa tujuan penciptaan karya sastra pada periode sastra Jawa modern lebih dititikberatkan pada unsur pendidikan. Berdasarkan pemaparan tersebut, dapat disimpulkan bahwa geguritan dalam sastra Jawa modern mampu menjadi karya sastra daerah yang mampu bertahan di tengah kejayaan karya sastra nasional dan sastra asing. Geguritan dalam sastra Jawa modern memiliki fungsi sebagai bahan pendidikan. Berdasarkan teori yang telah dijabarkan, dapat disimpulkan bahwa geguritan remaja memiliki beberapa kriteria. Kriteria tersebut sebagai berikut. Tabel 2.1 Kriteria Geguritan Remaja Berdasarkan Teori

2.3 Kerangka Berfikir

Sastra Jawa khususnya geguritan merupakan karya sastra Jawa yang perlu untuk dilestarikan keberadaannya. Salah satu cara melestarikan geguritan yaitu dengan jalur pendidikan. Berkaitan dengan hal ini, pembelajaran geguritan dicantumkan dalam Kurikulum Pelajaran Bahasa Jawa di SMP dan Sekolah Sederajat. Pada Kurikulum tersebut, dijabarkan bahwa pembelajaran geguritan tercantum dalam kompetensi membaca indah geguritan. Dalam setiap pembelajaran, tak terkecuali pembelajaran membaca indah geguritan perlu adanya bahan ajar untuk membantu guru maupun siswa dalam proses pembelajaran. Bahan ajar yang digunakan dalam setiap pembelajaran hendaknya sesuai dengan kebutuhan siswa. Akan tetapi pada kenyataanya, pada pembelajaran membaca geguritan di SMP guru belum menggunakan bahan ajar yang tepat. No. Kriteria Geguritan untuk Siswa SMP Kelas VII Aspek Jenis Geguritan 1. Bahasa Transparan 2. Psikologis dan latar belakang tema Keluarga, kemanusiaan empati terhadap penderitaan sesama, patriotisme, cinta tanah air 3. Bentuk atau ragam Naratif 4. Mengandung nilai-nilai pendidikan Kejujuran, kerja keras, kepedulian, dll.