Studi Penawaran dan Permintaan Kayu Bulat Indonesia

pembangunan ekonomi Portugis sampai dengan tahun 1970 sangat tergantung kepada faktor tenaga kerja yang murah, serta hubungan perdagangan negara ini dengan negara-negara bekas koloninya di Afrika. Namun saat ini semuanya telah berubah setelah Portugis bergabung dalam Uni Eropa. Meskipun kehutanan mempunyai peran ekonomi yang sangat tinggi, selama ini penelitian dan studi ekonomi kehutanan di negara ini masih bersifat deskriptif, sekedar melakukan inventarisasi data tanpa disertai dengan pemodelan. Ekonomi kehutanan belum pernah diteliti dengan menggunakan pendekatan ekonometrika. Penelitian yang agak canggih sophisticated yang pernah dilakukan adalah dalam rangka memproyeksikan tingkat pertumbuhan dan mengidentifikasi faktor-faktor yang menyebabkan perubahan struktural di sektor kehutanan dengan menggunakan pendekatan struktur pasar Schwarzebauer, 1966. Adapun penelitian-penelitian ekonomi kehutanan lainnya difokuskan pada decision support system lebih banyak dikonsentrasikan pada pengembangan teknik-teknik operation research. Ketersediaan data dan statistik merupakan penghambat utama mengapa pendekatan ekonometrika belum digunakan dalam penelitian-penelitian ekonomi kehutanan di negara ini. Data yang ada sangat tersebar di berbagai lembaga serta dalam format yang tidak konsisten, dan ini sangat menyulitkan dalam melakukan analisis perubahan struktural sektor kehutanan, terutama pada produksi kayu bulat.

2.4. Studi Penawaran dan Permintaan Kayu Bulat Indonesia

Model-model perencanaan kehutanan untuk analisis sektor kehutanan mulai dibangun sejak tahun 1970-an dan kembali disempurnakan pada awal tahun 1980-an. Model pertama dibangun oleh Buongiorno pada tahun 1978 Nasendi, 1997 dan disebut Timber Supply Model for Indonesia TSMI. Model ini kemudian diikuti dengan pembangunan model kedua oleh Buongiorno 1979, dengan mengkaitkan produksi kayu bulat dengan kapasitas pelabuhan dan pasar internasional. Buongiorno 1980 kembali menyempurnakan model-modelnya dengan mengkaitkan rencana perluasan industri dan pemenuhan kebutuhan kayu domestik dan pasar internasional. Model-model tersebut kemudian disempurnakan lagi dengan dibangunnya the Indonesian Forestry Optimization Model INDOFOM oleh Nasendi 1982, yang bila dilihat dari sifat dan strukturnya termasuk dalam kategori model optimalisasi, dengan metode linear programming, goal programming, separable programming dan integer programming. Sinaga 1989 membangun model ekonometrika untuk menjelaskan hubungan antara penawaran, permintaan, dan harga produk kayu keras Indonesia, dengan kebijakan dan intervensi pemerintah. Secara khusus dalam studi ini Sinaga melakukan simulasi untuk mengetahui dampak larangan ekspor kayu bulat yang dilakukan oleh Indonesia maupun Malaysia dan Filipina yang saat itu merupakan pesaing dagang Indonesia. Selain itu dilakukan pula simulasi untuk mengetahui dampak kenaikan pajak ekspor kayu bulat, kayu gergajian, dan kayu lapis, serta diuji pula dampak perubahan nilai tukar mata uang rupiah terhadap kinerja industri kayu bulat dan pengolahan kayu primer. Hubungan-hubungan ekonomi dalam sistem produksi kayu bulat dan kayu olahan Indonesia tersebut dirumuskan dalam model ekonometrika melalui persamaan simultan yang melibatkan 18 persamaan perilaku behavioral equation , 3 persamaan hubungan harga, 3 persamaan teknis produksi, serta 7 persamaan identitas. Analisis dilakukan dengan menggunakan metoda Two-stage Least Square 2SLS untuk mengestimasi parameter tiap persamaan perilaku. Dalam penelitian ini diantaranya diperoleh kesimpulan bahwa sektor kayu bulat domestik, luas tebangan, dan ekspor kayu bulat Indonesia dalam jangka panjang maupun pendek tidak elastik terhadap harga price inelastic. Sementara itu konsumsi kayu bulat oleh industri kayu lapis lebih responsif terhadap perubahan nilai tukar dan harga bahan baku dan produk, dibanding industri kayu gergajian. Selain itu disimpulkan pula adanya kecenderungan menurunnya luas tebangan dan ekspor kayu bulat, sementara permintaan kayu bulat oleh industri penggergajian semakin meningkat. Dalam jangka panjang maupun pendek, ekspor kayu bulat secara elastik sangat sensitif terhadap produksi kayu bulat itu sendiri. Pada sektor kayu olahan, ekspor kayu gergajian elastik terhadap harga dalam jangka pendek maupun panjang, sedangkan ekspor kayu lapis hampir unitary price elastic pada jangka pendek dan kemudian akan menjadi elastik pada jangka panjang. Dari temuan-temuan di atas serta temuan lainnya, direkomendasikan bahwa kebijakan pembatasan ekspor kayu bulat secara umum merupakan kebijakan yang kurang menguntungkan, khusunya dalam menjaga neraca pembayaran. Kebijakan ini akan dipandang tepat bila industri pengolahan kayu domestik telah siap menyerap seluruh produksi kayu bulat Indonesia. Sementara itu, penghapusan pajak espor bagi kayu gergajian dan kayu lapis akan menjadi insentif harga yang akan merangsang pertumbuhan industri pengolahan kayu domestik, meskipun akan sedikit mengurangi pendapatan pajak. Hasil penelitian di atas ditindak lajuti oleh penelitian Manurung 1995 yang kurang lebih menyatakan bahwa larangan ekspor kayu bulat akan berdampak pada meningkatnya pertumbuhan dan kinerja ekspor industri kayu lapis dan kayu gergajian, namun perolehan devisa dari kebijakan ini ternyata lebih kecil dibanding bila tidak ada larangan ekspor kayu gergajian. Pencabutan larangan ekspor kayu bulat akan meningkatkan penerimaan rata-rata 14 selama periode 1981-1989, namun larangan tersebut akan mengurangi tenaga kerja yang lebih besar dari pada peningkatan tenaga karena adanya pertumbuhan industri kayu lapis dan kayu gergajian. Selain kedua penelitian di atas, Sukmananto 2007 dalam mengkaji kinerja ekspor produk kayu olahan memperoleh temuan umum mengenai peubah- peubah yang berpengaruh terhadap penawaran dan permintaan bahan baku kayu untuk industri pengolahan yang berorientasi ekspor. Dalam penelitiannya, Sukmananto 2007 menemukan bahwa peubah suku bunga pinjaman, tingkat upah dan pengalaman produksi tahun sebelumnya mempunyai pengaruh terhadap produksi kayu bulat. Namun pengaruh tersebut tidak dibedakan berdasarkan asal usul kayu, di mana untuk konteks Indonesia kayu bulat bisa berasal dari hutan alam, hutan tanaman, maupun hutan rakyat, yang masing-masing mempunyai pertimbangan dan perhitungan produksi yang berbeda.

2.5. Studi Empirik