Analisis penawaran dan permintaan kayu bulat: kebijakan pengaturan bahan baku untuk industry pengolahan kayu primer

(1)

ANALISIS PENAWARAN DAN PERMINTAAN KAYU BULAT:

KEBIJAKAN PENGATURAN BAHAN BAKU

UNTUK INDUSTRI PENGOLAHAN KAYU PRIMER

Oleh :

IMAN SANTOSO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(2)

SURAT PERNYATAAN

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan

dalam disertasi saya yang berjudul “ANALISIS PENAWARAN DAN PERMINTAAN KAYU BULAT: KEBIJAKAN PENGATURAN BAHAN

BAKU UNTUK INDUSTRI PENGOLAHAN KAYU PRIMER” merupakan

gagasan atau hasil penelitian disertasi saya sendiri dengan pembimbingan Komisi

Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan dengan rujukannya. Disertasi

ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program yang sejenis di

perguruan tinggi lain.

Semua sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan dengan jelas

dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, Mei 2011

Iman Santoso NRP. A5460141814


(3)

ABSTRACT

IMAN SANTOSO. Analysis of Supply and Demand of Roundwood: Raw

Material Policy Arrangement for Primary Wood Industries. (RINA OKTAVIANI

as Chairman, ARIEF DARYANTO and DUDUNG DARUSMAN as Member of

Advisory Committee).

The role of forestry sector in national economies show a declining trend. This decrease was caused by various factors. One of them is the occurrence of an imbalance between supply and demand for logs in which there is excess demand for primary wood processing industry. Many efforts have been made such as the arrangement of primary wood processing industry and implementation of a log export ban, but has not given encouraging results yet. This research is applying a simultaneous equations model of the Indonesian timber market system that are more detailed than previous studies. On the supply side, the behavioral model of timber supply from various sources (natural forests, plantation forests and community forests) is constructed. Meanwhile, on the demand side, this research constructed demand behavior of sawntimber, plywood, and pulp industries. The model developed is intended to answer questions relating to (1) the factors that influence production of roundwood production and its derivatives, (2) forms of government policies that ensure the sustainability of the forest industry (upstream-downstream), and (3) policies that can reduce the gap of supply and demand of logs. 2SLS method was used for model parameter estimation.

The results show that the decision to determine the extent of timber harvesting area in natural forest and plantation forest are influenced by previous cutting experience in addition to the demand by the industrial roundwood, roundwood prices, taxes and levies and wage rates. Roundwood production from natural and plantation forests are influenced by land productivity, while for community forest production is more affected by extensive logging. Level of demand by the industry is affected by the production of primary wood processing industry, the world price of processed wood products, and the price of logs. Efforts to accelerate the decline in the gap can be done through increased productivity of natural forests through the implementation of intensive silviculture. Other efforts that could be implemented are acceleration of development of community’s plantation forests (HTR) in production forests are not burdened with rights, implementation of compensation fee for the people who developing HTR as much as their opportunity cost if they reduce cash crops in HTR area simplify the procedure so that the community can meet the required conditions, granting access to financing credit, encouraging participants to plant perennials HTR; application of multi-system silviculture. Increased production of logs per unit area as described above is expected to increase the contribution of the forestry sector, through increased taxes and charges up to certain limits. Application of the use of efficient wood processing technology, especially in the application of new industrial units, to offset rising production costs, for example increase the wage rate.

Keywords: supply, demand, gap, roundwood, simultaneous equation, syslviculture


(4)

RINGKASAN

IMAN SANTOSO. Analisis Penawaran dan Permintaan Kayu Bulat: Kebijakan

Pengaturan Bahan Baku untuk Industri Pengolahan Kayu Primer. (RINA

OKTAVIANI sebagai Ketua, ARIEF DARYANTO dan DUDUNG

DARUSMAN sebagai Anggota Komisi Pembimbing).

Sub sektor kehutanan memberikan kontribusi pada perekonomian nasional Indonesia terutama dalam mendorong pertumbuhan ekonomi pada periode PELITA I. Dalam perdagangan internasional, sub sektor ini pada tahun 1980-an menguasi 40% ekspor kayu dunia, terutama dalam bentuk kayu bulat. Disamping itu industri di sub sektor ini pada tahun 2005 memberikan kontribusi sebesar 3,28% dari Produk Domestik Bruto dan menyerap tenaga kerja sekitar 7,91% dari seluruh sektor industri. Mengingat pentingnya sub sektor ini, berbagai kebijakan dikeluarkan oleh pemerintah untuk meningkatkan nilai tambah diantaranya dengan kemudahan dalam membangun industri pengolahan kayu dan pelarangan ekspor kayu bulat mulai dari tahun 1985. Dalam perjalanannya pemanfaatan kapasitas terpasang industri pengolahan kayu primer terutama kayu gergajian dan kayu lapis mengalami fluktuasi yang tajam dalam periode 1980 hingga 2005. Pemanfaatan tertinggi terjadi pada 1990-an yang mencapai diatas 90%, tetapi pada tahun 2005 turun drastis sampai dibawah 50%. Hal ini menunjukkan bahwa kedua industri pengolahan kayu primer tersebut tidak cukup menerima penawaran kayu bulat atau kurang mampu menyerap ketersediaan kayu yang ada.

Dari berbagai literature disebutkan bahwa terjadi ketimpangan antara penawaran dan permintaan kayu bulat, dimana terjadi kelebihan permintaan. Adanya selisih yang besar antara penawaran dan permintaan tersebut mengundang berbagai pertanyaan, diantaranya (1) seberapa jauh faktor-faktor yang berkontribusi pada tingkat produksi kayu bulat dan produk turunannya mempengaruhi tingkat produksi kayu bulat dan permintaannya oleh industri pengolahan kayu primer dan bagaimana dampaknya terhadap kinerja keduanya?; (2) Akan di arahkan kemanakah kebijakan pemerintah agar kelestarian dan kontinuitas penawaran kayu bulat terjamin dalam rangka menjaga kontinuitas dan meningkatkan kinerja industri pengolahan kayu primer?; dan (3) Faktor-faktor apakah yang secara spesifik diperkirakan akan bisa membantu meningkatkan kinerja industri pengolahan kayu primer Indonesia dalam mengatasi kesulitan pemenuhan bahan bayu kayu bulat.

Dengan demikian disertasi ini mempunyai tujuan, yaitu: (1) Mengidentifikasi faktor-faktor yang berpengaruh pada kinerja produksi kayu bulat dan kayu olahan primer serta permintaankayu bulat oleh industri pengolahan kayu primer; (2) Mengevaluasi dampak pengurangan kapasitas terpasang industri pengolahan kayu primer dan peningkatan produktivitas kayu bulat dari hutan alam, hutan tanaman dan hutan rakyat terhadap situasi permintaan dan penawaran kayu bulat dan implikasinya kepada kinerja industri pengolahan kayu primer; (3) Meramalkan dampak kebijakan tersebut terhadap industri pada masa mendatang; dan (4) Mengidentifikasi kebijakan yang harus ditempuh serta kendala yang harus diatasi untuk meningkatkan kinerja produksi kayu bulat dan industri pengolahan kayu primer. Untuk menjawab tujuan-tujuan tersebut dikembangkan suatu model ekonometrika yang menggambarkan perilaku penawaran kayu bulat dari hutan


(5)

alam, hutan tanaman, dan hutan rakyat, permintaan kayu bulat oleh industri pengolahan kayu primer; dan perilaku harga di setiap pasar dan metode pendugaan yang digunakan untuk mempelajari perilaku tersebut adalah Metode Kuadrat Terkecil Dua Tahap. Hasil analisis penawaran dan permintaan kayu bulat untuk industri pengolahan kayu primer di Indonesia untuk periode 1980 hingga 2005 diperoleh beberapa hasil mengenai perilaku ekonomi, serta kecenderungan yang akan terjadi bila ada perubahan kebijakan.

Keputusan produsen untuk untuk menentukan luas tebangan pada hutan alam dan hutan tanaman dipengaruhi oleh pengalaman tebangan pada tahun sebelumnya, juga sangat dipengaruhi oleh permintaan kayu bulat oleh industri, harga kayu itu sendiri, dan tingkat upah. Sedangkan pada penentu luas tebangan hutan rakyat adalah besarnya permintaan terhadap kayu mereka. Hal ini sejalan dengan perilaku produksi kayu bulat dari hutan alam dan hutan tanaman yang dipengaruhi oleh produktivitas, upah dan Iuran Hasil Hutan. Sementara untuk produksi kayu dari hutan rakyat dipengaruhi oleh luas tebangan.

Dari sisi harga, harga kayu bulat selain dipengaruhi harga kayu tahun sebelumnya juga dipengaruhi harga riil kayu gergajian domestik dan harga kayu bulat dunia yang menunjukkan bahwa kinerja penawaran kayu bulat lebih cenderung terkait dengan industri gergajian dan orientasi ekspor kayu bulat. Sementara tingkat harga yang diterima oleh rakyat cenderung berdasarkan pada harga kayu bulat yang diterima rakyat pada periode sebelumnya.

Permintaan kayu bulat untuk industri pengolahan kayu primer cenderung meningkat dari waktu ke waktu. Tingkat permintaan oleh industri dipengaruhi oleh tingkat produksi industri pengolahan kayu primer, harga produk kayu olahan dunia, dan harga kayu bulat. Ekspor kayu bulat selain dipengaruhi oleh kinerja ekspor tahun sebelumnya, juga dipengaruhi oleh nilai tukar Rupiah terhadap mata uang Dolar Amerika. Berlawanan dengan ekspor, impor kayu bulat dari luar negeri akan menurun bila nilai tukar Rupiah naik, dalam hal ini harga kayu bulat dari luar negeri menjadi lebih mahal bila dibayar dengan Rupiah.

Dari berbagai skenario yang dikembangkan hasil simulasi, upaya percepatan penurunan ekses permintaan kayu bulat oleh industri pengolahan kayu primer dapat dilakukan melalui peningkatan produktivitas hutan alam melalui implementasi SILIN yang dikombinasikan dengan penurunan kapasitas industri pengolahan kayu primer.

Dari hasil proyeksi untuk periode 2006-2010 terhadap permintaankayu bulat, menunjukkan terjadinya gap antara keduanya sekitar 6 juta m3 apabila tidak ada intervensi atau business as usual. Peningkatan produktivitas hutan alam sebesar 20% disertai dengan kebijakan penurunan kapasitas industri sebesar 30% menjadikan gap menurun sebesar 32.33%; Pengurangan gap tersebut masih sangat kecil, karena besaran gap masih sekitar 4 juta m3, sehingga masih memberikan peluang terjadinya illegal logging yang merugikan kelestarian sumberdaya hutan dan keamanan lingkungan. Upaya lain untuk mengurangi gap tersebut, pemerintah dapat mengupayakannya melalui kebijakan percepatan pembangunan hutan tanaman rakyat (HTR) pada kawasan hutan produksi yang sudah tidak dibebani hak (HPH/HTI). Pola HTR ini dapat dipersamakan dengan hutan rakyat, dimana pohon berkayu merupakan sisipan diantara tanaman pangan dalam pola pemanfaatan tanah masyarakat. Dengan pola ini akan mempunyai produktivitas sebesar 0.18 m3 per hektar, sehingga bila target luas pembangunan


(6)

HTR sampai dengan tahu 2014 sekitar 5.4 juta hektar maka pola ini menyumbang penawaran kayu sekitar 1 juta m3

Upaya lain adalah dengan kebijakan memberikan kompensasi bagi peserta HTR untuk peluang ekonomi yang hilang (opportunity cost) bila mereka tidak mengurangi cash crops pada areal HTR-nya, yang sangat diperlukan bagi kehidupan mereka, menyederhanakan prosedur yang memungkinkan masyarakat bias memenuhi ketentuan yang dipersyaratkan, dan pemberian akses yang memadai pada kredit pendanaan melalui berbagai skim yang tepat, termasuk memberi kemungkinan insentif pada peserta HTR yang akan menanam jenis-jenis kayu keras (hardwood). Minimalisasi gap antara penawaran dan permintaan kayu bulat juga bias ditempuh melalui penerapan multi-system silviculture yang meminimumkan biaya dan memaksimumkan produksi kayu bulat secara spesifik pada tiap areal kerja pengusahaan hutan sesuai dengan keragaman kondisi biofisik areal tersebut. Hal ini perlu karena pada kenyataannya di satu sisi keragaman lanskap areal kerja pengusahaan hutan tinggi, dan disisi lain, dengan teknologi dan situasi pasar yang ada, semua jenis kayu dapat diolah menjadi berbagai produk yang masing-masing mempunyai pasarnya sendiri.

.

Peningkatan produksi kayu bulat per satuan luas sebagaimana diuraikan di atas diharapkan akan memungkinkan menerapkan kenaikan pajak dan pungutan sampai pada batasan tertentu. Mengingat implementasi kenaikan pajak dan pungutan (IHH/DR) ini akan menurunkan efektifitas pengurangan gap. Di sisi permintaan, pengurangan gap penawaran dan permintaan kayu bulat dapat ditempuh dengan melalui kebijakan penerapan ketentuan penggunaan teknologi pengolahan kayu yang efisien, yang diperlukan untuk mengimbangi kenaikan biaya produksi yang sangat dipengaruhi oleh tingkat upah, dan pasti akan selalu bergerak naik. Kebijakan ini perlu ditekankan pada aplikasi/permohonan unit-unit industri baru.


(7)

©Hak Cipta milik IPB, tahun 2011

Hak Cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

2. Dilarang mengumpulkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apapun tanpa seizin IPB.


(8)

ANALISIS PENAWARAN DAN PERMINTAAN KAYU BULAT:

KEBIJAKAN PENGATURAN BAHAN BAKU

UNTUK INDUSTRI PENGOLAHAN KAYU PRIMER

IMAN SANTOSO

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada

Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(9)

Penguji Luar Komisi Ujian Tertutup:

Dr. Ir. M. Parulian Hutagaol, MS

Staf Pengajar pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manejemen, Institut Pertanian Bogor

Dr.Ir. Nunung Kusnadi, MS

Ketua Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manejemen, Institut Pertanian Bogor

Penguji Luar Komisi Ujian Terbuka:

Dr. Ir. Akhmad Fauzi Mas’ud, MSc.

Staf Ahli Menteri Kehutanan Bidang Ekonomi, Kementerian Kehutanan

Prof. Dr.Ir. Hermanto Siregar, M.Ec.

Staf Pengajar pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manejemen, Institut Pertanian Bogor


(10)

Menyetujui,

Menyetujui,

1.Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Rina Oktaviani, MS Ketua

Dr. Ir. Arief Daryanto, M.Ec Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman, MA Anggota Anggota

Mengetahui,

2. Ketua Program Studi 3.Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Ilmu Ekonomi Pertanian

Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr

Tanggal Ujian : Tanggal Lulus :

Judul Disertasi : Analisis Penawaran Dan Permintaan Kayu Bulat: Kebijakan Pengaturan Bahan Baku Untuk Industri Pengolahan Kayu Primer

Nama Mahasiswa : ImanSantoso

Nomor Pokok : A5460141814


(11)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas petunjuk dan rahmat-Nya sehingga penulis berhasil menyelesaikan penelitian dan merampungkan penulisan hasilnya dalam disertasi ini. Kepada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, penulis menghaturkan terimakasih dan penghargaan setinggi-tingginya atas segala fasilitas dan bimbingan teknis serta administrative terbaik yang telah diberikan hingga penulis berhasil menyelesaikan keseluruhan program doktoral di kampus tercinta ini. Demikian pula kami sampaikan terimakasih kepada seluruh pimpinan Departemen Kehutanan yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan studi dan mendorong dalam penyelesaian disertasi.

Secara khusus, ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada Komisi Pembimbing:

1. Prof. Dr. Ir. Rina Oktaviani, MS, selaku Ketua Komisi, yang sangat memahami kondisi penulis dan telah memberikan dorongan serta arahan yang tepat mulai dari penyusunan proposal penelitian hingga tersusunnya disertasi ini dan selalu memberikan arahan dan koreksi yang sangat konstruktif;

2. Prof. Dr. Dudung Darusman, MA, selaku Anggota Komisi yang sekaligus merupakan senior penulis di bidang kehutanan, yang telah memberikan bimbingan dan arahan, serta tidak berhenti memberikan motivasi hingga penulis dapat menyelesaikan seluruh penelitian dan penyusunan disertasi ini dengan baik;

3. Dr. Ir. Arief Daryanto, M.Ec, selaku Anggota Komisi yang sejak awal perkuliahan selalu memberikan perhatian pada kemajuan studi penulis dan seluruh kelas Program S3 Ekonomi Pertanian Angkatan 2002, yang telah banyak memberikan motivasi dan arahan kepada penulis dalam penyusunan disertasi ini.


(12)

Penulis berhutang budi dan mengucapkan terimakasih kepada Dr. Ir. Anny Ratnawati yang telah memberikan dorongan dan arahan kepada penulis mulai dari perkuliahan hingga penelitian. Kepada Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA, penulis mengucapkan terimakasih atas perhatiannya yang sangat besar dalam mengikuti perkembangan studi dan memberikan motivasi penulis dalam berbagai kesempatan.

Tidak lupa penulis menghaturkan terimakasih kepada Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono yang sejak awal perkuliahan memberikan semangat dan teladan dalam mengikuti perkuliahan dan pelaksanaan penelitian, serta tidak henti-henti mengikuti perkembangan studi penulis dan seluruh rekan seangkatan. Kepada seluruh rekan seangkatan yang telah bekerjasama dengan baik sampai dengan saat ini, penulis menyampaikan penghargaan yang tinggi, dan berharap persahabatan ini terus berlangsung. Kepada rekan-rekan sekerja di Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan, khususnya Sdr Ir. Deden Djaenudin, M.Si., yang telah banyak memberikan bantuan tenaga dan pikirannya serta dengan kritis memberikan koreksi atas disertasi ini, dari lubuk hati terdalam penulis mengucapkan terimakasih.

Terkahir, penulis bersyukur atas segala ketulusan dan kerelaan isteri serta kedua anak tercinta yang merupakan motivasi utama penulis dalam melakukan studi ini, yang dengan tekun berdoa dan mengikuti perkembangan studi penulis. Semoga apa yang telah penulis capai menjadi kenangan terindah dan motivasi keluarga untuk selalu berbuat yang terbaik untuk diri sendiri, keluarga dan masyarakat.

Dengan segala kekurangannya, serta selalu mengharap ridho Allah SWT, penulis berharap semoga disertasi ini bermanfaat bagi kita semua. Amin.

Bogor, Mei 2011 Penulis,

Iman Santoso


(13)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Semarang pada tanggal 22 September 1953, sebagai anak keenam dari delapan bersaudara dari ayah R. Soedarso dan R.Ng.Sarmonah. Pendidikan dasar dan menengah penulis dijalani di kota Semarang, dan pada tahun 1973 penulis mulai kuliah pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.

Pada tahun 1979 penulis mulai bekerja pada Direktorat Jenderal Kehutanan, Departemen Pertanian sebagai staf perencana program pada Balai Planologi Kehutanan Wilayah V di Banjarbaru, Kalimantan Selatan, dan kemudian menduduki jabatan sebagai Kepala Sub Balai Tata Hutan Banjarbaru pada tahun 1983. Pada tahun 1986 penulis dimutasikan ke Badan Inventarisasi dan Tata Guna Hutan di Jakarta sampai dengan tahun 1990, yang kemudian dilanjutkan dengan tugas belajar Strata 2 (Master of Science) di Department of Forestry, Michigan State University sampai dengan tahun 1992.

Pada periode 1992 hingga 2000 penulis bekerja untuk Badan Planologi Kehutanan di Jakarta dan Kantor Wilayah Departemen Kehutanan di Jayapura. Kemudian pada tahun 2000 hingga 2004 penulis bekerja sebagai forest landuse and policy expert pada Proyek Kerjasama EU-MoF dan GTZ-MoF. Pada periode itu, tepatnya pada tahun 2002 penulis mulai mengikuti Program Doktor Ekonomi Pertanian pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Pada tahun 2004 hingga 2008 penulis kembali bekerja untuk Departemen Kehutanan, berturut-turut sebagai Kepala Pusat Pengendalian Pembangunan Kehutanan Regional I Sumatera (2004-2005), Sekretaris Badan Planologi Kehutanan (2005-2007), dan Kepala Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan (2007-2008).

Penulis menikah dengan Rita Zanibar pada tahun 1980 dan telah dikaruniai dua orang putera, yaitu Krisnanto Prayogo (24 tahun) dan Mohammad Anindityo (22 tahun).


(14)

xiv

DAFTAR TABEL ... xviii

DAFTAR GAMBAR ... xxi

DAFTAR LAMPIRAN ... xxii

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 5

1.3. Tujuan Penelitian ... 7

1.4. Manfaat Penelitian ... 8

1.5. Ruang Lingkup dan Keterbatasan ... 9

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 11

2.1. Kebijakan Umum Kehutanan ... 11

2.2. Studi Global Penawaran dan Permintaan Kayu Bulat ... 14

2.3. Studi Penawaran dan Permintaan Kayu Bulat di Beberapa Negara ... 16

2.4. Studi Penawaran dan Permintaan Kayu Bulat Indonesia ... 21

2.5. Studi Empirik ... 24

III. KERANGKA PEMIKIRAN ... 26

3.1. Landasan Teori ... 26

3.1.1. Penawaran dan Permintaan serta Mekanisme Pasar ... 26

3.1.2. Elastisitas Permintaan dan Penawaran ... 27

3.1.3. Penawaran dan Permintaan pada Perdagangan Internasional ... 31

3.1.4. Suku Bunga ... 32

3.1.5. Upah ... 33

3.1.6. Nilai Tukar ... 34


(15)

xv

Kayu Olahan ... 37

3.8.2. Integrasi Vertikal ... 39

3.2.3. Permintaan Turunan ... 41

3.2.4. Kerangka Model Ekonomi ... 41

IV. METODE PENELITIAN... 43

4.1. Model Operasional ... 44

4.1.1. Blok Kayu Bulat ... 45

4.1.2. Blok Kayu Gergajian ... 50

4.1.3. Blok Kayu Lapis ... 51

4.1.4. Blok Pulp ... 52

4.1.5. Blok Penawaran dan Permintaan ... 53

4.2. Identifikasi Model ... 58

4.3. Simulasi Kebijakan ... 58

4.4. Sumber Data ... 60

V. FAKTOR-FAKTOR PENENTU PENAWARAN DAN PERMINTAAN KAYU BULAT ... 61

5.1.Hasil Pendugaan Model ... 61

5.2.Kayu Bulat ... 62

5.2.1. Luas Tebangan Hutan Alam ... 62

5.2.2. Luas Tebang Hutan Tanaman ... 64

5.2.3. Luas Tebang Hutan Rakyat ... 65

5.2.4. Produksi Kayu Bulat dari Hutan Alam ... 67

5.2.5. Produksi Kayu Bulat dari Hutan Tanaman ... 68

5.2.6. Produksi Kayu Bulat dari Hutan Rakyat ... 69

5.2.7. Harga Riil Kayu Bulat Hutan Alam ... 70

5.2.8. Harga Riil Kayu Bulat Hutan Tanaman ... 71

5.2.9. Harga Riil Kayu Bulat Hutan Rakyat ... 72

5.3.Industri Pengolahan Kayu Primer ... 73

5.3.1. Permintaan Kayu Bulat oleh Industri Kayu Gergajian ... 73


(16)

xvi

5.3.5. Permintaan Kayu Bulat Oleh Industri Pulp ... 78

5.3.6. Produksi Pulp ... 5.4.Ekspor-Impor ... 80

5.2.1. Ekspor Kayu Bulat ... 80

5.2.2. Impor Kayu Bulat ... 81

5.2.3. Ekspor Kayu Gergajian ... 82

5.2.4. Ekspor Kayu Lapis... 83

5.2.5. Ekspor Pulp ... 85

VI. APLIKASI MODEL UNTUK EVALUASI ALTERNATIF KEBIJAKAN ... 87

6.1.Validasi Model Ekonometrik ... 87

6.2.Proyeksi Penawaran dan Permintaan Kayu Bulat Tahun 2006-2010 ... 89

6.2.1.Proyeksi Penawaran Kayu Bulat ... 89

6.2.2.Proyeksi Permintaan Kayu Bulat oleh Industri Pengolahan Kayu Primer ... 91

6.2.3.Gap antara Penawaran dan Permintaan Kayu Bulat ... 92

6.3.Simulasi Skenario Kebijakan Sebagai Upaya Penurunan Gap ... 92

6.3.1.Kenaikan Upah sebesar 5% ... 92

6.3.2.Penurunan Kapasitas Terpasang Industri Pengolahan ... 93

6.3.3. Kenaikan Suku Bunga 5% ... 94

6.3.4. Kenaikan Dana Reboisasi dan Iuran Hasil Hutan ... 96

6.3.5. Peningkatan Produktivitas Hutan Tanaman ... 98

6.3.6. Peningkatan Produktivitas Hutan Alam ... 99

6.3.7. Peningkatan Luas Tebangan Hutan Rakyat ... 101

6.3.8. Skenario Kombinasi Peningkatan Produktivitas dengan Variasi Kebijakan Lain ... 102


(17)

xvii

7.2. Implikasi Kebijakan... 109

7.3. Saran-saran ... 113

DAFTAR PUSTAKA ... 115

LAMPIRAN ... 118


(18)

xviii

Nomor Halaman

1. Peran Produk Kayu Primer Indonesia di Pasar Dunia

Tahun 1998-2002 ... 3

2. Kayu Bulat Indonesia yang Terjual di Beberapa Negara

Tujuan Tahun 1997-2005 ... 5

3. Deforestasi per Wilayah di Indonesia Tahun 2001-2005 ... 13

4 . Hasil Estimasi Persamaan Luas Tebangan Hutan Alam di Indonesia

Tahun 2005 ... 63

5 . Hasil Estimasi Persamaan Luas Tebangan Hutan Tanaman di

Indonesia Tahun 2005 ... 65

6 . Hasil Estimasi Persamaan Luas Tebangan Hutan Rakyat di Indonesia

Tahun 2005 ... 66

7 . Hasil Estimasi Persamaan Produksi Kayu Bulat dari Hutan Alam di

Indonesia Tahun 2005 ... 68

8 . Hasil Estimasi Persamaan Produksi Kayu Bulat Hutan Tanaman di

Indonesia Tahun 2005 ... 69

9 . Hasil Estimasi Persamaan Produksi Kayu Bulat Hutan Rakyat di

Indonesia Tahun 2005 ... 69

10. Hasil Estimasi Persamaan Harga Kayu Bulat Alam di Indonesia

Tahun 2005 ... 71

11. Hasil Estimasi Persamaan Harga Kayu Bulat Tanaman di Indonesia

Tahun 2005 ... 72

12. Hasil Estimasi Harga Kayu Hutan Rakyat di Indonesia Tahun

2005 ... 73

13. Hasil Estimasi Persamaan Permintaan Kayu Bulat oleh Industri

Kayu Gergajian di Indonesia Tahun 2005 ... 73

14. Hasil Estimasi Persamaan Produksi Kayu Gergajian di Indonesia


(19)

xix

16. Hasil Estimasi Persamaan Produksi Kayu Lapis di Indonesia

Tahun 2005 ... 77

17. Hasil Estimasi Persamaan Permintaan Kayu Bulat Industri Pulp

di Indonesia Tahun 2005 ... 78

18. Hasil Estimasi Persamaan Produksi Pulp di Indonesia Tahun 2005 ... 80

19. Hasil Estimasi Persamaan Ekspor Kayu Bulat di Indonesia

Tahun 2005 ... 81

20. Hasil Estimasi Persamaan Impor Kayu Bulat di Indonesia

Tahun 2005 ... 82

21. Hasil Estimasi Ekspor Kayu Gergajian di Indonesia Tahun 2005 ... 83

22. Hasil Estimasi Persamaan Ekspor Kayu Lapis di Indonesia

Tahun 2005 ... 84

23. Hasil Estimasi Persamaan Ekspor Pulp di Indonesia Tahun 2005 ... 85

24. Keragaan Validasi pada Model Ekonometrika Penawaran dan

Permintaan Kayu Bulat ... 88

25. Proyeksi Penawaran Kayu Bulat Produksi Sah Hutan Indonesia

Tahun 2006-2010 ... 90

26. Proyeksi Permintaan Kayu Bulat di Indonesia Tahun 2006-2010 ... 91

27. Proyeksi selisih (gap) antara Penawaran dan Permintaan Kayu

Bulat di Indonesia Tahun 2006-2010 ... 92

28. Hasil Simulasi Kebijakan Upah, Nilai Tukar, Kapasitas Industri,

dan Suku Bunga ... 95

29. Simulasi Peningkatan Dana Reboisasi dan Iuran Hasil Hutan

Tahun 2006-2010 ... 97

30. Simulasi Peningkatan Produktivitas Hutan Tanaman di Indonesia

Tahun 2006-2010 ... 98

31. Simulasi Peningkatan Produktivitas Hutan Alam di Indonesia


(20)

xx

33. Ringkasan Kombinasi Skenario Peningkatan Produktivitas Hutan Alam 20%, Hutan Tanaman 30%, Penurunan Kapasitas


(21)

xxi

Nomor Halaman

1. Arus Kayu Bulat untuk Bahan Baku Industri ... 4

2. Kurva Penawaran dan Permintaan ... 27

3. Kurva Pergeseran Permintaan dan penawaran ... 28

4. Keseimbangan Harga Relatif Komoditi ... 31

5. Hubungan Antara Suku Bunga dan Investasi ... 33

6. Dampak Pajak dan Pungutan Terhadap Biaya dan Penerimaan ... 36

7. Rangkaian Produksi dan Pasar Kayu Bulat ... 37

8. Kerangka Model Penawaran dan Permintaan Kayu Bulat ... 42

9. Penawaran Kayu Bulat dari Produksi Sah Hutan Indonesia Tahun 2006-2010 ... 93

10. Permintaan Kayu Bulat oleh Industri Pengolahan Primer di Indonesia Tahun 2006-2010 ... 94


(22)

xxii

Nomor Halaman

1. Program Komputer SAS Versi 9.1 Pendugaan Model Persamaan

Simultan dengan Metode Two State Least Square (2SLS) ... 123

2. Hasil Estimasi dengan Metode 2SLS ... 127


(23)

1.1. Latar Belakang

Peran sub sektor kehutanan pada perekonomian nasional Indonesia cukup

menonjol terutama dalam mendorong pertumbuhan ekonomi pada periode

Pembangunan Lima Tahun Pertama (PELITA I). Sub sektor ini pada tahun

1980-an pernah mencatat prestasi internasional y1980-ang s1980-angat tinggi deng1980-an menempati

40% ekspor kayu dunia, terutama dalam bentuk kayu bulat. Pada periode

1993-2005, kontribusi sub sektor ini pada Produk Domestik Bruto berkisar antara

1.7%–3.1%. Kinerja ini dinilai sangat bagus bila dibandingkan dengan rata-rata

kontribusi kehutanan di negara-negara Asia (FAO, 2005).

Di sisi industri, Departemen Perindustrian Indonesia mencatat bahwa pada

tahun 2005 nilai produksi industri pengolahan hasil hutan Indonesia mencapai Rp.

89.67 trilyun atau sekitar 3.28% dari Produk Domestik Bruto, dan sekitar 11.71%

dari output sektor non-migas. Nilai ekspor dari industri ini mencapai US$ 6.41

milyar atau sekitar 9.68% dari total ekspor nasional, dan sekitar 11.26% dari total

ekspor industri. Serapan tenaga kerja mencapai 921.773 orang, yang berarti

sekitar 7.91% dari penyerapan tenaga kerja seluruh sektor industri, atau 0.97%

dari total angkatan kerja yang bekerja (Seno, 2008).

Kondisi ini kemudian dicoba untuk lebih disempurnakan dengan

membangun industri pengolahan kayu untuk meningkatkan nilai tambah ekspor

produk kayu, di antaranya melalui pelarangan ekspor kayu bulat (log export ban)


(24)

membangkitkan pertumbuhan industri pengolahan kayu primer, namun pada

kenyataannya pelarangan ekspor kayu bulat tersebut dalam beberapa hal dinilai

secara keseluruhan masih belum memberikan hasil yang memuaskan. Hal

tersebut antara lain diperlihatkan oleh: masih adanya kayu bulat yang mengalir

secara illegal ke luar negeri (Santoso dan Christanto, 2003), kerugian dari sisi

neraca pembayaran dan belum adanya serapan kayu maksimal oleh industri

domestik pada pertengahan tahun 1980-an (Sinaga, 1988), dan tidak sepadannya

pertambahan devisa dari ekspor kayu olahan dibanding dengan hilangnya

kesempatan untuk memperoleh tambahan devisa yang cukup besar dari ekspor

kayu bulat (Manurung, 1995).

Meskipun demikian menjelang tahun 1999 Indonesia mulai meningkatkan

produksi dan ekspor produk kayu olahan primer berupa kayu gergajian, kayu

lapis, dan pulp. Produk-produk kayu primer Indonesia ini di pasar dunia

dianggap cukup penting pada tahun 1998-2002, paling tidak bila dilihat dari sisi

Indonesia. Meskipun demikian, peran ini pada tahun 2001 dan 2002 mulai

memperlihatkan kecenderungan yang menurun, hal ini diperlihatkan oleh statistik

yang dirangkum dari data yang ada pada FAO, COMTRADE, dan ITTO (Tissari

dan Astana, 2004). Perkembangan peran produk kayu olahan primer Indonesia di

pasar dunia menurunan secara substantial terjadi pada produksi kayu lapis yang

pada tahun 2002 mengalami penurunan sebesar 14% dari tahun sebelumnya,

sedangkan pada produksi kayu gergajian dan pulp masing-masing hanya turun


(25)

Tabel 1. Peran Produk Kayu Primer Indonesia di Pasar Dunia Tahun 1998-2002

Produk

Unit 1998 1999 2000 2001 2002

Kayu gergajian

Juta US $ 320.2 465.0 637.6 628.7 523.4 1.000 ton 742.7 984.6 1.477.7 2.188.5 1.425.5 Kayu

Lapis

Juta US$ 1.533.2 1.924.3 1.816.1 1.560.7 1.522.6 1.000 ton 2.238.1 2.130.5 2.111.9 2.185.5 1.981.1

Pulp Juta US $ 539.8 457.6 969.8 911.2 866.4

1.000 ton 1.412.1 1.063.5 1.524.2 2.275.8 2.187.7 Sumber: Tissari dan Astana, 2004

Kemampuan produksi kayu bulat dan kayu olahan tersebut ditunjang oleh

melimpahnya kayu yang merupakan bagian dari sumberdaya Hutan Produksi (HP)

yang ditunjuk oleh pemerintah seluas kurang lebih 60.9 juta hektar di seluruh

Indonesia (Badan Planologi Kehutanan, 2005). Produksi dari kawasan ini secara

insidental masih ditambah oleh produksi kayu melalui Ijin Pemanfaatan Kayu dari

konversi kawasan Hutan Produksi yang dapat dikonversi (HPK) dalam rangka

perluasan perkebunan pemukiman dan penggunaan kawasan lainnya, sebagaimana

skema pada Gambar 1.

Ketersediaan kayu bulat untuk industri pengolahan kayu primer di

Indonesia selain berasal dari pasokan kayu bulat dari hasil tebangan Kawasan HP

dan dari hasil IPK pada HPK, juga berasal dari Hutan Rakyat, dan hasil

penebangan peremajaan kebun kelapa, kelapa sawit dan karet. Kesemuanya itu

merupakan pasokan legal dari ijin-ijin tebangan yang sah dari pemerintah.

Pasokan legal dari sumber-sumber domestik tersebut dalam beberapa kesempatan


(26)

Sumber: Wagener, 2004

Gambar 1. Arus Kayu Bulat untuk Bahan Baku Industri di Indonesia

Selain itu, pasokan kayu bulat sebagai bahan baku industri tidak terlepas

dari kemungkinan pasokan kayu-kayu tidak sah hasil dari penebangan ilegal

(illegal logging) dari seluruh kategori hutan, sehingga secara keseluruhan

kayu-kayu tersebut merupakan ketersediaan kayu-kayu bulat di Indonesia. Ketersediaan kayu-kayu

bulat tersebut ternyata selain menjadi pasokan bagi industri pengolahan kayu

primer, juga menuju ke pasar dunia secara ilegal, sebagaimana data yang

ditunjukkan oleh Tabel 2. Dengan adanya perdagangan yang bersifat ilegal

tersebut dikuatirkan akan semakin menurunkan jumlah kawasan hutan dan

menurunkan kualitas sumberdaya hutan.

Daratan Indonesia (187 juta ha)

Kawasan Hutan (133.1 juta ha) Tanah Perkebunan dan lain-lain (54.7 juta ha)

Kawasan Konservasi (19.88 juta ha) Hutan Lindung (30.05 juta ha)

Hutan Produksi (60.9 juta ha) Hutan Produksi yang dapat

dikonvensi (22.7 juta ha)

Kebun Kayu Rakyat

Kebun Karet, Kelapa dan Sawit

Industri Kayu Gergajian,

Kayu Lapis dan Pulp Ekspor Kayu Bulat


(27)

Tabel 2. Kayu Bulat Indonesia yang Terjual di Beberapa Nagara Tujuan Tahun 1997-2005

No Negara Tujuan Jumlah (m3

Nilai

) (1000$) No Negara Tujuan

Jumlah (m3

Nilai ) (1000$)

1 Austria 24 13 9 Norwegia 16 18

2 China 660404 99120 10 Polandia 169 203

3 Perancis 26 54 11 Romania 4 3

4 Jerman 433 305 12 Singapore 13036 4620

5 Guatemala 782 465 13 Afrika Selatan 114 43

6 Irlandia 33 20 14 Inggris 327 534

7 Mauritius 2 1 15 Amerika Serikat 9 4

8 Maroko 25 12 16 Tidak terspesifikasi 22 3 Sumber: Wagener, 2004

1.2. Perumusan Masalah

Pada periode tahun 1980 hingga 2005 industri-industri pengolahan kayu

primer di Indonesia mengalami dinamika produksi yang sangat luar biasa.

Menurut studi yang dilakukan oleh In-house Expert Working Group, Departemen

Kehutanan (2007) pemanfaatan kapasitas terpasang industri kayu gergajian yang

pada tahun 1980 sekitar 86%, kemudian meningkat menjadi sekitar 97% pada

tahun 1989, yang kemudian menurun dengan drastis menjadi hanya 41% pada

tahun 2005. Fenomena yang sama juga terjadi pada industri kayu lapis yang pada

tahun 1980 hanya memanfaatkan 51% dari kapasitasnya, yang kemudian naik

dengan pesat sehingga pada tahun 1997 pemanfaatan kapasitas terpasangnya

mencapai 99%, dan kemudian turun secara drastis menjadi sekitar 42% pada

tahun 2005. Hal ini menunjukkan bahwa kedua industri pengolahan kayu primer

tersebut tidak cukup menerima pasokan kayu bulat, atau kurang mampu menyerap

ketersediaan kayu yang ada.

Untuk itulah maka pemerintah mengeluarkan berbagai kebijakan yang

berkaitan dengan pasokan dan pemanfaatan kayu oleh industri pengolahan kayu,


(28)

tahunan dari hutan alam yang berimplikasi terhadap menurunnya produksi kayu

dari hutan alam dan selanjutnya mengurangi pasokan kayu terhadap industri

kehutanan (HPH dan industri pengolahan kayu). Dengan kebijakan ini

diharapkan industri kehutanan dapat melakukan penyesuaian kapasitasnya,

sehingga apabila terjadi penurunan pasokan bahan baku tidak mengakibatkan

penurunan kinerja dari industri tersebut (Justianto, 2007).

Situasi ini tidak terjadi pada industri pulp yang sejak tahun 1989 hingga

tahun 2005 penyerapan bahan bakunya meningkat. Kapasitas terpasang industri

ini pada tahun 1989 hanya termanfaatkan sekitar 65%, namun dari tahun ke tahun

terjadi peningkatan pemanfaatan kapasitas terpasangnya, dan terakhir pada tahun

2005 pemanfaatannya meningkat sampai 85%. Fenomena di atas menunjukkan

adanya perbedaan perilaku ekonomi antara industri-industri tersebut dalam

menyerap bahan baku kayu bulat.

Hal lain yang perlu dicermati adalah bahwa dari realisasi produksi industri

perkayuan primer yang tercatat, maka pada tahun 1980 industri-industri itu

memerlukan paling sedikit 24.1 juta m3 kayu bulat. Angka ini meningkat menjadi 42.1 m3 pada tahun 1985, dan mencapai puncaknya sebesar 52.7 juta m3 pada tahun 2003. Angka itu kemudian turun dengan drastis menjadi 44.5 juta pada tahun 2005. Di sisi kayu bulat, produksi legal yang tercatat pada tahun 2003

hanya sekitar 11.4 juta m3 dan kemudian pada 2005 hanya mencapai 24.2 juta m3. Bila selisih antara permintaan bahan baku dengan penawaran legal diasumsikan

dari produksi ilegal (In-house Experts, 2004), maka pada tahun 2003 industri

pengolahan kayu primer telah mengkonsumsi sekitar 41.3 juta m3 kayu ilegal, dan sekitar 20.3 juta m3 tahun 2005.


(29)

Adanya selisih yang besar antara penawaran dan permintaan (supply and

demand gap), dan kenyataan bahwa produksi industri pengolahan kayu primer

masih relatif tinggi dibanding secara proporsional dengan jumlah bahan baku

yang ditawarkan, sudah barang tentu mengundang berbagai pertanyaan yang tidak

hanya diarahkan kepada mengapa hal itu terjadi, namun juga pada pertanyaan

mengenai fenomena ekonomi apa yang sebetulnya terjadi pada situasi itu.

Dengan demikian maka secara spesifik penelitian ini akan diarahkan untuk

menjawab beberapa hal dibawah ini, yaitu:

1. Sampai seberapa jauh faktor-faktor yang berpengaruh (peubah) pada produksi

kayu bulat dan kayu olahan primer mempengaruhi produksi kayu bulat dan

permintaannya oleh industri pengolahan dan bagaimana dampaknya terhadap

kinerja keduanya?

2. Akan diarahkan kemanakah kebijakan pemerintah agar kelestarian dan

kontinuitas pasokan kayu bulat terjamin dalam rangka menjaga kontinuitas

dan meningkatkan kinerja industri pengolahan kayu primer?

3. Faktor-faktor apakah yang secara spesifik diperkirakan akan bisa membantu

meningkatkan kinerja industri pengolahan kayu primer Indonesia dalam

mengatasi kesulitan pemenuhan bahan bayu kayu bulat?

1.3. Tujuan Penelitian

Dengan memperhatikan latar belakang dan uraian permasalahan yang

terjadi dalam konteks penyediaan bahan baku kayu bulat (penawaran) dan

kebutuhan bahan baku tersebut untuk industri (permintaan), maka penelitian ini


(30)

1. Mengidentifikasi faktor-faktor yang berpengaruh pada produksi kayu bulat

dan kayu olahan primer.

2. Mengevaluasi dampak pengurangan kapasitas terpasang industri pengolahan

kayu primer dan peningkatan produktivitas kayu bulat dari hutan alam, hutan

tanaman dan hutan rakyat terhadap situasi permintaan dan penawaran kayu

bulat dan implikasinya kepada kinerja industri pengolahan kayu primer.

3. Meramalkan dampak kebijakan tersebut terhadap industri pada masa

mendatang.

4. Mengidentifikasi kebijakan yang harus ditempuh serta kendala yang harus

diatasi untuk meningkatkan kinerja produksi kayu bulat dan industri

pengolahan kayu primer.

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan pada:

1. Pengkayaan dan pembaruan (up-date) hasil-hasil kajian dan pengetahuan di

bidang kehutanan, khususnya yang terkait dengan ekonomi produksi kayu

bulat dan kayu olahan primer, dengan mempertimbangkan peubah-peubah

yang berpengaruh kepada keduanya.

2. Pertimbangan pemerintah dalam merumuskan berbagai kebijakan yang terkait

dengan kelestarian produksi dan sumberdaya hutan, peningkatan kinerja

industri pengolahan, serta implikasinya terhadap sumbangan ekonomi sub


(31)

1.5. Ruang Lingkup dan Keterbatasan

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui fenomena ekonomi dari

penawaran dan permintaan kayu bulat sebagai bahan baku industri pengolahan

kayu primer, berdasarkan data dari tahun 1980 hingga 2005. Adapun kayu bulat

yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kayu bulat tanpa dibedakan jenisnya,

namun dibedakan menurut asal usul pohonnya yaitu dari hutan alam, hutan

tanaman dan hutan rakyat. Dengan demikian maka dalam kurun waktu 1980

hingga 2005 dapat dipahami bahwa kayu dari hutan alam adalah kayu keras dan

dari hutan tanaman dan hutan rakyat adalah jenis cepat tumbuh yang harga dan

penggunaannya di industri berbeda.

Bahan baku kayu bulat ke industri selain berasal dari tebangan hutan, juga

dari hasil tebangan peremajaan kebun karet, kelapa dan kelapa sawit, maka dalam

penelitian ini pasokan dari tebangan peremajaan kebun tidak secara khusus

dijadikan peubah endogen. Hal ini dikarenakan data untuk jenis-jenis kayu

tersebut kurang memadai, sementara harganya relatif sama dengan harga kayu

keras, sehingga kehadiran kayu perkebunan ini dijadikan satu dengan

kayu-kayu dari hutan alam. Demikian pula kayu-kayu-kayu-kayu dari tebangan ilegal tidak

dimasukkan dalam analisis, di mana seluruh data yang ada diasumsikan

merupakan data resmi yang tercatat sehingga tidak melibatkan data kayu ilegal.

Dalam model yang dibangun pada penelitian ini, diasumsikan bahan baku

kayu lapis dan pulp hanya berupa kayu, meskipun pada kenyataannya dewasa ini

berbagai jenis kayu lapis sudah dicampur dengan bahan lain seperti bambu,

sedangkan pulp bisa diproses dari bahan baku merang atau kertas limbah. Selain


(32)

yaitu kayu gergajian, kayu lapis, dan pulp karena ketiga produk itulah yang

berdasarkan volume dan nilainya mendominasi produk-produk kayu olahan

primer Indonesia. Dengan demikan selisih antara jumlah bahan baku yang

diminta industri dengan bahan baku yang diminta untuk ketiga produk itu

merupakan jumlah bahan baku untuk produk-produk primer lainnya (antara lain:


(33)

2.1. Kebijakan Umum Kehutanan

Situasi industri kayu bulat dan industri pengolahan tidak terlepas dari kebijakan pengelolaan kawasan dan sumberdaya hutan Indonesia yang mulai dilakukan sejak diterbitkannya Undang Undang Pokok Kehutanan No.5 tahun 1967 dan kebijakan pengusahaan hutan pada tahun 1970-an, serta peraturan-peraturan setelah itu. Menurut Ngadiono (2004) pengelolaan kawasan dan sumberdaya hutan di Indonesia mulai dari Orde Baru, atau lebih spesifik lagi mulai 1968, dapat dibagi menjadi empat periode pengelolaan yang masing-masing mempunyai penekanan yang berbeda antar yang satu dengan lainnya.

Periode pertama antara tahun 1968 sampai 1980 pada saat Indonesia sedang mengejar pertumbuhan ekonomi, sumberdaya hutan dijadikan modal pembangunan dengan memanfaatkan kayu sebanyak-banyaknya melalui pengusahaan hutan yang difasilitasi oleh Undang-Undang No.1 tahun 1967 mengenai Penanaman Modal, dan Undang-Undang No. 5 tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Kehutanan. Kondisi ini terus berlanjut dengan berbagai penyempurnaan peraturan sampai dengan tahun 1980 di mana hampir semua kawasan Hutan Produksi (HP) dieksploitasi melalui pemberian Hak Pengusahaan Hutan (HPH) di mana setiap pemegang hak dibebani kewajiban untuk membayar Iuran Hak Pengusahaan Hutan (IHPH) atau license fee, Iuran Hasil Hutan (IHH), dan Dana Jaminan Reboisasi (DJR). Pada akhir periode ini kawasan HP menjadi semakin terdegradasi, dan penebangan untuk produksi kayu bulat semakin jauh


(34)

dari infrastruktur karena pohon-pohon terdekat sudah mulai berkurang bahkan habis, sehingga biaya dan harga kayu bulat menjadi semakin tinggi.

Dengan pengalaman itu maka pada periode kedua, yaitu antara tahun 1980 dan 1990 sumberdaya hutan ditempatkan sebagai suatu ekosistem yang diperlukan untuk menunjang kehidupan (life supporting system). Dengan sistem ini tebangan dan produksi kayu bulat sangat dibatasi dengan berbagai peraturan, termasuk dengan diaplikasikannya Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Periode ini ditandai dengan adanya penunjukkan kawasan hutan secara makro dan indikatif di tiap provinsi melalui Rencana Pengukuhan dan Penatagunaan Hutan, atau yang biasa disebut sebagai Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK). Pada periode ini pula pemerintah mulai memikirkan pembangunan industri pengolahan kayu primer guna memperoleh nilai tambah dan penyerapan tenaga kerja, sehingga ekspor dikurangi.

Pada periode ketiga, yaitu antara tahun 1990 hingga 2000 kawasan hutan dan sumberdaya yang ada di atasnya dipandang sebagai bagian dari kesatuan ruang yang harus dikelola secara lestari dengan memperhatikan keamanan dan kenyaman lingkungan hidup. Periode ini ditandai dengan terbitnya Undang-Undang No.5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Habitatnya, serta Undang-Undang No.24 tahun 1992 mengenai Penataan Ruang. Dengan kedua Undang-Undang tersebut maka pengelolaan sumberdaya hutan menjadi semakin konservatif, sehingga target produksi kayu bulat menjadi semakin mengecil meskipun realisasinya masih tetap besar karena adanya peningkatan permintaan industri pengolahan kayu primer yang semakin berkembang.


(35)

Pada periode keempat yaitu antara tahun 2000 hingga sekarang, seharusnya arah pengelolaan sumberdaya hutan yang lestari secara ekologis bisa dilanjutkan sehingga produksi hasil hutan merupakan bagian dari kesatuan pembangunan ruang wilayah. Namun pada periode ini terjadi perubahan politik yang besar di mana sebagian besar urusan kehutanan didesentralisasikan ke pemerintah daerah.

Tabel 3. Deforestasi per Wilayah di Indonesia Tahun 2001-2005

Periode

Luas Deforestasi (hektar) per Wilayah di Indonesia

Sumatera Kalimntan Sulawesi Maluku Papua Jawa Bali &

Nusa Indonesia

2000-2001 259 500

212 000 154 000 20 000 147 200 118 300 107 200 1 018 200

2001-

2002 202 600

129 700 150 400 41 400 160 500 142 100 99 600 926 300

2002-

2003 339 000

480 400 385 800 132 400 140 800 343 400 84 300 1 906 100

2003-

2004 208 700

173 300 41 500 10 600 100 800 71 700 28 100 634 700

2004-

2005 335 700

234 700 134 600 10 500 169 100 37 300 40 600 962 500

Jml 1 345 500

1 230 100 866 300 214 900 718 400 712 800 359 800 5 447 800

Rata-Rata 269 100 246 020 173 260 42 980 143 680 142 560 71 960 1 089 560

Sumber: Departemen Kehutanan, 2006

Secara khusus urusan produksi kayu menjadi wewenang dari pemerintah kabupaten, yang sayangnya pada suasana euphoria reformasi wewenang tersebut dilaksanakan secara berlebihan (excessive) sehingga menimbulkan berbagai kerusakan dan penurunan produktivitas hutan alam atau deforestasi (Barr, 2006; dan Santoso, 2008), sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 3. Pada periode inilah selisih antara permintaan kayu bulat untuk industri pengolahan dengan penawaran legal dari kawasan hutan sangat besar, dan tebangan illegal marak terjadi di hampir semua provinsi.


(36)

Ekploitasi sumberdaya hutan yang berlebihan menjadikan semakin menurunnya sumberdaya hutan yang dimiliki Indonesia. Secara ekonomi, eksploitasi sumberdaya hutan yang berlebihan dapat merupakan akibat dari tidak tercapainya kondisi pasar persaingan sempurna sebagai akibat dari adanya ketidaksimetrisan informasi (asymmetrical information) dalam perdagangan hasil hutan terutama kayu. Kondisi ini mendorong terjadinya kegagalan pasar, salah satu sumber terjadinya ketidaksimetrisan informasi ini adalah tingkat pengetahuan produsen dan konsumen kayu yang berbeda terhadap kualitas kayu. Faktor ini memungkinkan kayu dengan berbagai kualitas dijual pada tingkat harga yang sama dan konsumen tidak punya kemampuan untuk membedakan kualitas kayu tersebut. Sehingga pemasok kayu akan mengeksploitasi sumberdaya kayu dengan berbagai kualitas mulai dari yang paling rendah.

Kaitannya dengan pencegahan pembalakan liar, pemerintah Indonesia telah melakukan berbagai upaya seperti penjaminan kepastian legalitas dan asal usul kayu. Upaya yang dilakukan dengan membangun sebuah inisiatif kerjasama antara negara-negara produsen dengan konsumen untuk bekerjasama dalam pemberantasan penebangan liar. Salah satu bentuk kerjasama tersebut adalah penerapan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK). Skema ini dibangun secara multipihak untuk menghindari terjadinya konflik kepentingan.

2.2. Studi Global Penawaran dan Permintaan Kayu Bulat

Adam dan Castano (2002) memberi gambaran mengenai penawaran dan permintaan kayu dunia secara umum dalam dasawarsa 1990 - 2000, dengan melihat ekspor dan impor kayu per wilayah dunia. Analisis yang mereka lakukan


(37)

didasarkan atas laporan-laporan dari the Intergovernmental Forum on Forests, the

ITTO Libreville Action Plan, 1998-2001, dan the FAO's Strategic Plan for

Forestry.

Dalam analisisnya, mereka membedakan produk kayu menjadi dua kategori, yaitu produk kayu primer dan produk kayu sekunder, kemudian dari data yang ada dilihat proses-proses perluasan dan penyusutan perdagangan kedua kategori produk produk tersebut di pasar dunia (expansion or contraction

processes). Studi mereka juga melihat berbagai dampak intervensi pemerintah

terhadap penawaran dan permintaan produk-produk kayu di setiap negara, serta berbagai permasalahan yang dihadapi oleh negara-negara tersebut. Studi ini melaporkan bahwa perdagangan produk kayu dunia pada periode tahun 1997-1998 mengalami penurunan sebesar 3.9%, dan diperkirakan akan naik kembali sebesar 5% pada tahun 1999, dan kenaikan ini merefleksikan perbaikan pada permintaan pasar Asia, perbaikan atas harga beberapa jenis produk, serta adanya pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi pada negara-negara Amerika Utara dan Eropa.

Produksi kayu bulat diramalkan naik 2% pada tahun 1998, hal ini terutama disebabkan oleh kenaikan produksi kayu bulat tropika, meskipun perekonomian pada negara-negara wilayah ini terkena dampak yang cukup parah oleh krisis moneter. Dilaporkan pula bahwa meskipun produksi kayu lapis dunia meningkat sekitar 2.5% dikarenakan adanya kenaikan kapasitas industri-industri baru, namun pasar untuk produk ini kurang menarik. Dalam konteks ini dicatat pula bahwa dalam jangka panjang akan ada kenaikan substitusi kayu lapis diantaranya oleh


(38)

jangka panjang juga diramalkan akan ada penurunan produksi kayu lapis tropika karena adanya kesulitan bahan baku.

Secara spesifik untuk situasi global penawaran dan permintaan kayu bulat diteliti oleh Multi-Client Studies pada tahun 1998. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengevaluasi kembali asumsi-asumsi dasar dalam analisis penawaran dan permintaan kayu bulat dunia. Penelitian ini ditujukan juga untuk meramalkan situasi permintaan dan penawaran kayu bulat dunia periode 1997-2030. Disamping itu, penelitian ini juga dimaksudkan untuk membuat ramalan baru mengenai perdagangan, investasi, dan kecenderungan harga kayu bulat dan produk-produk turunannya.

Penelitian ini menyingkapkan kekeliruan ramalan studi-studi yang sebelumnya. Bila pada awal tahun 1990 beberapa studi memproyeksikan adanya defisit kayu bulat pada millenium ketiga karena eksploitasi hutan ditengarai telah melebihi batas-batas kelestarian. Namun demikian, sejak 1995 dunia dibanjiri dengan pasokan kayu yang cukup banyak yang diperoleh melalui eksploitasi yang relatif murah, sehingga harganya kurang bagus. Saat ini penawaran kayu bulat dunia diperkuat dengan perluasan hutan tanaman dan peningkatan produktivitas hutan. Permintaan kayu bulat oleh negara-negara Asia terpengaruh oleh restrukturisasi perekonomian negara-negara tersebut, serta melambatnya laju pertumbuhan perekonomian dunia.

2.3. Studi Penawaran dan Permintaan Kayu Bulat di Beberapa Negara

Berbagai studi dan penelitian yang terkait dengan penawaran (supply) dan permintaan (demand) kayu bulat telah dilakukan di beberapa negara, baik yang


(39)

dihubungkan pada satu produk kayu olahan tertentu maupun pada berbagai produk sebagaimana dilakukan pada penelitian ini. Dari sisi metodologi, studi tersebut diantaranya menggunakan ekonometrika untuk menganalisis perilaku penawaran dan permintaan kayu bulat.

Studi penawaran dan permintaan kayu bulat yang dilakukan di Amerika Serikat, diarahkan untuk mengetahui situasi sumberdaya sampai dengan tahun 2050, terutama untuk: memproyeksikan ketersediaan kayu dan faktor-faktor yang terkait dengan itu, estimasi berbagai kemungkinan perubahan penggunaan hutan dan sumberdaya hutan, melihat berbagai implikasi kebijakan dari proyeksi dan estimasi sumberdaya tersebut, dan mencari opsi-opsi logis untuk memenuhi kebutuhan kayu domestik.

Studi tersebut menyimpulkan bahwa sampai dengan tahun 2050 akan ada surplus ketersediaan kayu lunak di negara-negara bagian Selatan, sedangkan untuk negara-negara di bagian utara akan cenderung akan mengalami penurun produksi kayu keras (Haynes, 2000). Secara keseluruhan wilayah, proyeksi ketersediaan atau penawaran kayu bulat untuk Amerika Serikat akan cukup untuk memenuhi konsumsi atau permintaan domestik negara ini pada 50 tahun ke depan. Dengan demikian tidak perlu dilakukan kebijakan untuk mengimpor atau membatasi permintaan dengan menaikkan harga kayu. Meskipun demikian, skenario ini hanya akan menjadi kenyataan apabila: negara-negara di bagian Selatan meneruskan upaya penanaman kayu lunak, disertai dengan kenaikan intensitas manajemen hutan tersebut, secara nasional harus ada pengurangan permintaan kayu keras secara tepat (moderat), dan penelitian dan pengembangan


(40)

meningkatkan efisiensi input kayu bulat pada industri pengolahan kayu, termasuk

pulp harus terus dilanjutkan. Skenario ini juga memberikan beberapa implikasi

manajemen, diantaranya negara-negara di bagian Barat tidak perlu meningkatkan kapasitas produksi industri pulp panel kayu (kayu lapis dan lain-lain).

Di Taiwan studi penawaran dan permintaan kayu dilakukan oleh Chang dan Jen pada 1986-an dengan merinci komoditi itu kedalam dua sektor, yaitu sektor kayu untuk kertas dan kayu utuh (solid wood). Sektor solid wood

kemudian dirinci lagi menjadi industri produk-produk solid wood, dan pasar kayu keras dan kayu lunak. Melalui teori dualitas (duality theory) fungsi-fungsi biaya dan keuntungan yang terkait dengan fungsi produksi Cobb-Douglas digunakan untuk menurunkan fungsi output supply dan fungsi permintaan factor input.

Fungsi-fungsi ini kemudian digunakan untuk membangun model ekonometrik non-linier.

Dari analisis ini diketahui bahwa sektor kertas Taiwan tidak mempunyai skala ekonomi. Oleh karena itu biaya produksi per ton tidak akan menurun mengikuti kenaikan produksi. Harga kertas tidak mempunyai pengaruh yang nyata kepada biaya produksinya. Baik konsumsi maupun impor kertas bersifat elastik terhadap pendapatan (income elastic) namun tidak elastik terhadap harga (price

inelastic). Untuk sektor industri solid wood, diramalkan sudah tidak lagi

mengalami kenaikan yang pesat pada ekspor kayu furniture, oleh karena itu rencana investasi pada sektor ini harus dipertimbangkan dengan cermat. Kayu lapis mempunyai skala ekonomi yang signifikan, dimana dengan pengurangan kapasitas industri secara gradual maka akan terjadi diferensiasi harga yang tinggi antara kayu lapis produksi dalam negeri dengan kayu lapis impor. Adapun untuk


(41)

pasar kayu lunak dan kayu keras, produksinya tidak elastik terhadap harga (price

inelastic). Dengan kebijakan kehutanan yang baru, maka produksi kayu lunak

akan berkurang 15%, sedangkan produksi kayu keras akan berkurang 25%. Di Soviet, penelitian mengenai penawaran dan permintaan kayu bulat dimaksudkan untuk melihat kemampuan Soviet, khususnya Northern European

Russia and Siberia memenuhi kebutuhan kayu domestik dan melayani pasar dunia

(Barr, 1978). Secara lebih spesisik penelitian tersebut dilakukan untuk melihat: 1) pengaruh permintaan pasar kayu domestik dan internasional terhadap kinerja

produksi dan penawaran kayu bulat di 87 wilayah Soviet,

2) Faktor-faktor yang menjamin keberlanjutan penawaran kayu bulat untuk wilayah masing-masing, dan

3) memperoleh perkiraan biaya produksi dan harga kayu yang tepat di tiap wilayah.

Penelitian yang dilakukan oleh Barr ini menghasilkan kesimpulan bahwa dengan rencana pembangunan jangka menegah 15 tahun yang saat itu diberlakukan, sumberdaya yang ada mempunyai potensi untuk tetap bisa memenuhi kebutuhan kayu domestik, sekaligus masih mempunyai peran yang besar pada pasar kayu internasional, bila efesiensi pemanfaatan dan pengolahan kayu ditingkatkan melalui penyempurnaan teknologi.

Di Jerman penelitian-penelitian serupa telah dilaksanakan sejak tahun 1970 di negara ini, namun tidak terselenggara secara kontinu dan belum menggunakan pendekatan ekonometrika, meskipun metode itu telah banyak dikembangkan di negara-negara di Amerika Utara dan Skandinavia. Pada tahun 1980 – 1985 ekonometrik digunakan oleh Mantau (1988) untuk melihat perilaku


(42)

ekonomi pada industri kertas, dengan mengamati 6 peubah dan menghasilkan kesimpulan-kesimpulan yang memuaskan bagi kalangan usaha untuk bernegosiasi harga.

Mantau (1996) membangun model ekonometrik pertama untuk pasar papan kayu gergajian Jerman. Model yang dibangun digunakan untuk simulasi

ex-post untuk melihat fluktuasi nilai mata uang. Rintisan ini kemudian diteruskan

oleh beberapa peneliti, antara lain Bergen dan Moog yang pada tahun 1988 melakukan kajian dengan menggunakan one demand one supply equation untuk melihat elastisitas penawaran kayu bulat jenis Spruce. Model pasar kayu bulat yang paling maju kemudian dibangun oleh Flinkmann dan Baudin. Model ini didasarkan pada spesifikasi 9 sektor pengguna akhir (end users) dan 7 sektor input untuk konstruksi, dan 5 pasar lainnya. Konsumsi kayu diturunkan dari koefisien teknis, dan peramalan dilakukan melalui proses autoregresif.

Ronnila (1997) dalam makalahnya yang berjudul "Consequences of

structural changes in roundwood and forest product markets" (Solber dan

Maiseyev, 1997) menguraikan perkembangan model-model yang digunakan untuk manganalisis penawaran dan permintaan produk-produk hasil hutan kayu Finlandia. Terkait dengan faktor tenaga kerja, penelitian yang dilakukan oleh Ronnila untuk Finlandia menemukan fakta bahwa koefisien jumlah tenaga di sektor lain yang secara tidak langsung tergantung kepada sektor kehutanan adalah 0.74, ternyata pada beberapa penelitian terakhir telah diusulkan agar koefisien tersebut disesuaikan menjadi 0.52.

Faktor tenaga kerja pada fenomena penawaran dan permintaan kayu bulat juga diteliti di Portugis. Dalam penelitian ini Borges (1990) menyatakan bahwa


(43)

pembangunan ekonomi Portugis sampai dengan tahun 1970 sangat tergantung kepada faktor tenaga kerja yang murah, serta hubungan perdagangan negara ini dengan negara-negara bekas koloninya di Afrika. Namun saat ini semuanya telah berubah setelah Portugis bergabung dalam Uni Eropa.

Meskipun kehutanan mempunyai peran ekonomi yang sangat tinggi, selama ini penelitian dan studi ekonomi kehutanan di negara ini masih bersifat deskriptif, sekedar melakukan inventarisasi data tanpa disertai dengan pemodelan. Ekonomi kehutanan belum pernah diteliti dengan menggunakan pendekatan ekonometrika. Penelitian yang agak canggih (sophisticated) yang pernah dilakukan adalah dalam rangka memproyeksikan tingkat pertumbuhan dan mengidentifikasi faktor-faktor yang menyebabkan perubahan struktural di sektor kehutanan dengan menggunakan pendekatan struktur pasar (Schwarzebauer, 1966). Adapun penelitian-penelitian ekonomi kehutanan lainnya difokuskan pada

decision support system lebih banyak dikonsentrasikan pada pengembangan

teknik-teknik operation research.

Ketersediaan data dan statistik merupakan penghambat utama mengapa pendekatan ekonometrika belum digunakan dalam penelitian-penelitian ekonomi kehutanan di negara ini. Data yang ada sangat tersebar di berbagai lembaga serta dalam format yang tidak konsisten, dan ini sangat menyulitkan dalam melakukan analisis perubahan struktural sektor kehutanan, terutama pada produksi kayu bulat.

2.4. Studi Penawaran dan Permintaan Kayu Bulat Indonesia

Model-model perencanaan kehutanan untuk analisis sektor kehutanan mulai dibangun sejak tahun 1970-an dan kembali disempurnakan pada awal tahun


(44)

1980-an. Model pertama dibangun oleh Buongiorno pada tahun 1978 (Nasendi, 1997) dan disebut Timber Supply Model for Indonesia (TSMI). Model ini kemudian diikuti dengan pembangunan model kedua oleh Buongiorno (1979), dengan mengkaitkan produksi kayu bulat dengan kapasitas pelabuhan dan pasar internasional. Buongiorno (1980) kembali menyempurnakan model-modelnya dengan mengkaitkan rencana perluasan industri dan pemenuhan kebutuhan kayu domestik dan pasar internasional. Model-model tersebut kemudian disempurnakan

lagi dengan dibangunnya the Indonesian Forestry Optimization Model

(INDOFOM) oleh Nasendi (1982), yang bila dilihat dari sifat dan strukturnya termasuk dalam kategori model optimalisasi, dengan metode linear programming,

goal programming, separable programming dan integer programming.

Sinaga (1989) membangun model ekonometrika untuk menjelaskan hubungan antara penawaran, permintaan, dan harga produk kayu keras Indonesia, dengan kebijakan dan intervensi pemerintah. Secara khusus dalam studi ini Sinaga melakukan simulasi untuk mengetahui dampak larangan ekspor kayu bulat yang dilakukan oleh Indonesia maupun Malaysia dan Filipina yang saat itu merupakan pesaing dagang Indonesia. Selain itu dilakukan pula simulasi untuk mengetahui dampak kenaikan pajak ekspor kayu bulat, kayu gergajian, dan kayu lapis, serta diuji pula dampak perubahan nilai tukar mata uang rupiah terhadap kinerja industri kayu bulat dan pengolahan kayu primer.

Hubungan-hubungan ekonomi dalam sistem produksi kayu bulat dan kayu olahan Indonesia tersebut dirumuskan dalam model ekonometrika melalui persamaan simultan yang melibatkan 18 persamaan perilaku (behavioral


(45)

persamaan identitas. Analisis dilakukan dengan menggunakan metoda Two-stage

Least Square (2SLS) untuk mengestimasi parameter tiap persamaan perilaku.

Dalam penelitian ini diantaranya diperoleh kesimpulan bahwa sektor kayu bulat domestik, luas tebangan, dan ekspor kayu bulat Indonesia dalam jangka panjang maupun pendek tidak elastik terhadap harga (price inelastic). Sementara itu konsumsi kayu bulat oleh industri kayu lapis lebih responsif terhadap perubahan nilai tukar dan harga bahan baku dan produk, dibanding industri kayu gergajian. Selain itu disimpulkan pula adanya kecenderungan menurunnya luas tebangan dan ekspor kayu bulat, sementara permintaan kayu bulat oleh industri penggergajian semakin meningkat.

Dalam jangka panjang maupun pendek, ekspor kayu bulat secara elastik sangat sensitif terhadap produksi kayu bulat itu sendiri. Pada sektor kayu olahan, ekspor kayu gergajian elastik terhadap harga dalam jangka pendek maupun panjang, sedangkan ekspor kayu lapis hampir unitary price elastic pada jangka pendek dan kemudian akan menjadi elastik pada jangka panjang.

Dari temuan-temuan di atas serta temuan lainnya, direkomendasikan bahwa kebijakan pembatasan ekspor kayu bulat secara umum merupakan kebijakan yang kurang menguntungkan, khusunya dalam menjaga neraca pembayaran. Kebijakan ini akan dipandang tepat bila industri pengolahan kayu domestik telah siap menyerap seluruh produksi kayu bulat Indonesia. Sementara itu, penghapusan pajak espor bagi kayu gergajian dan kayu lapis akan menjadi insentif harga yang akan merangsang pertumbuhan industri pengolahan kayu domestik, meskipun akan sedikit mengurangi pendapatan pajak.


(46)

Hasil penelitian di atas ditindak lajuti oleh penelitian Manurung (1995) yang kurang lebih menyatakan bahwa larangan ekspor kayu bulat akan berdampak pada meningkatnya pertumbuhan dan kinerja ekspor industri kayu lapis dan kayu gergajian, namun perolehan devisa dari kebijakan ini ternyata lebih kecil dibanding bila tidak ada larangan ekspor kayu gergajian. Pencabutan larangan ekspor kayu bulat akan meningkatkan penerimaan rata-rata 14% selama periode 1981-1989, namun larangan tersebut akan mengurangi tenaga kerja yang lebih besar dari pada peningkatan tenaga karena adanya pertumbuhan industri kayu lapis dan kayu gergajian.

Selain kedua penelitian di atas, Sukmananto (2007) dalam mengkaji kinerja ekspor produk kayu olahan memperoleh temuan umum mengenai peubah-peubah yang berpengaruh terhadap penawaran dan permintaan bahan baku kayu untuk industri pengolahan yang berorientasi ekspor. Dalam penelitiannya, Sukmananto (2007) menemukan bahwa peubah suku bunga pinjaman, tingkat upah dan pengalaman produksi tahun sebelumnya mempunyai pengaruh terhadap produksi kayu bulat. Namun pengaruh tersebut tidak dibedakan berdasarkan asal usul kayu, di mana untuk konteks Indonesia kayu bulat bisa berasal dari hutan alam, hutan tanaman, maupun hutan rakyat, yang masing-masing mempunyai pertimbangan dan perhitungan produksi yang berbeda.

2.5. Studi Empirik

Dari studi dan penelitian diberbagai negara maupun di Indonesia, sebagaimana di uraikan di atas dapat ditarik pelajaran bahwa kajian-kajian tentang penawaran dan permintaan kayu bulat untuk industri pengolahan kayu selalu menyentuh beberapa hal penting, antara lain yang terkait dengan: volume


(47)

produksi kayu bulat dan komponen-komponen biaya produksi kayu bulat, jumlah kayu bulat yang dibutuhkan oleh tiap industri pengolahan, produksi kayu olahan, harga kayu olahan, jumlah kayu olahan yang dijual, dan peubah-peubah eksogen seperti nilai mata uang, tingkat suku bunga pinjaman, bahkan pendapatan nasional bruto.

Selain itu, studi-studi tersebut menyatakan bahwa untuk dapat melakukan analisis ekonomi dengan metode ekonometrika maka perlu dilakukan beberapa asumsi perubahan, terutama yang terkait dengan: 1) perubahan situasi fiskal dan moneter, 2) produktivitas unti-unit produksi yang ada dalam model analisis, 3) adanya kemungkinan perbedaan biaya produksi maupun harga produk karena adanya perbedaan lokasi (pertimbangan spasial), 4) adanya berbagai teknologi, dan 5) pentingnya ketersediaan dan konsistensi data dan statistik.

Karena informasi mengenai fenomena penawaran dan permintaan kayu bulat tersebut sangat penting untuk pengaturan kelestarian sumber daya hutan Indonesia, maka hasil–hasil penelitian yang pernah dilakukan pada masa lalu perlu di mutakhirkan dengan penelitian yang menggunakan data yang telah berkembang hingga kini. Bila penelitian-penelitian terkini lebih telah difokuskan pada perdagangan kayu olahan ke luar negeri, maka penelitian ini yang lebih difokuskan pada pemenuhan bahan baku industri primer dalam negeri.


(48)

3.1. Landasan Teori

Landasan teori mengenai penawaran dan permintaan barang dan jasa serta elastisitas harga dan mekanisme keseimbangan pasar secara umum berlaku sebagai landasan untuk analisis penawaran dan permintaan kayu bulat untuk pasokan industri pengolahan kayu primer. Di samping itu, teori yang berkaitan dengan faktor-faktor yang berpengaruh seperti suku bunga, pungutan, dan upah perlu juga untuk diperhatikan dalam melihat perilaku ekonomi dari fenomena ini.

Dalam kaitannya dengan permintaan dan penawaran kayu bulat dan kayu olahan primer dari dan ke luar negeri, dipandang perlu juga untuk melihat basis teori perdagangan internasional yang terkait dengan perdagangan komoditi tersebut. Kemudian, untuk memfokuskan penelitian ini, maka perlu juga dilihat hasil-hasil empirik penelitian tentang penawaran dan permintaan kayu bulat yang pernah dilakukan sebelumnya, baik untuk Indonesia maupun negara-negara lain. Dari studi empirik ini bisa dilihat hal-hal yang perlu dilakukan dalam penelitian ini.

3.1.1. Penawaran dan Permintaan serta Mekanisme Pasar.

Marshall, dalam Nicholson (2000), menyatakan bahwa kurva permintaan mempunyai slope negatif yang merefleksikan prinsip marginalis dimana pembeli cenderung tidak berkeinginan menambah jumlah barang atau jasa yang dibelinya, kecuali bila harga barang atau jasa tersebut turun. Sebaliknya, kurva penawaran mempunyai slope positif yang memperlihatkan bahwa produsen hanya akan menaikkan produksinya bila harga produk itu naik, karena adanya kecenderungan


(49)

kenaikan biaya produksi per unit barang atau jasa, untuk setiap kenaikan produksi barang atau jasa tersebut.

Bila kurva penawaran diletakkan bersama dengan kurva permintaan pada gambar yang menghubungkan harga barang dengan jumlah yang dibeli atau yang diproduksi, dan asumsikan semua faktor tetap (ceteris paribus), maka akan diperoleh keseimbangan harga dan barang sebagaimana terlukis pada Gambar 2 berikut.

Sumber: Nicholson,2000

Gambar 2. Kurva Penawaran dan Permintaan

Pada Gambar 2, terlihat bahwa mekanisme pasar mengarahkan harga suatu barang atau jasa untuk berubah sedemikian rupa sehingga terjadi keseimbangan

(equal) pada titik E dimana jumlah barang yang ditawarkan sama dengan jumlah

yang diminta (Q0) pada harga P0. Pada titik keseimbangan ini, tidak ada

kekurangan (shortage) maupun kelebihan (surplus) atas jumlah barang yang ditawarkan di pasar (Pindyck and Rubinfeld, 2009).

Harga (P)

P1 P0 P2

Q 0 Jumlah (Q)

Permintaan (D) Penawaran (S)

Surplus

Shortage E


(50)

Kedua kurva pada Gambar 2 akan bergeser apabila faktor-faktor di luar harga mengalami perubahan dan menghasilkan keseimbangan harga dan jumlah barang yang baru. Misalkan, apabila di suatu saat upah buruh turun maka kurva penawaran akan bergeser ke kanan, sedangkan bila ada peningkatan permintaan rumah baru maka akan terjadi peningkatan permintaan kayu sehingga kurva permintaan komoditi ini juga akan bergeser ke kanan, sebagaimana nampak pada Gambar 3. Pergeseran kedua kurva tersebut mengakibatkan kesimbangan baru E2

dimana harga dan jumlah kesimbangan yang lama (P1 dan Q1) bergeser ke harga

dan jumlah keseimbangan baru (P2 dan Q2).

Sumber: Pindyck and Rubinfeld, 2009

Gambar 3. Kurva Pergeseran Permintaan dan Penawaran

3.1.2. Elastisitas Permintaan dan Penawaran

Permintaan akan kayu bulat tidak hanya tergantung pada harga kayu itu sendiri, namun dipengaruhi juga oleh peubah (variable) lain seperti daya beli industri yang menggunakan kayu itu sebagai bahan baku. Demikian pula penawaran kayu bulat tidak hanya dipengaruhi oleh harga kayu itu di pasar namun juga oleh biaya tebangan di hutan, atau peubah lainnya. Kepekaan suatu peubah

Harga (P)

Q 1 Q2 Jumlah (Q)

P2

P1

S1  S2

D1

D2

E2


(51)

terhadap perubahan peubah lain dalam permintaan maupun penawaran barang atau jasa diukur dengan nilai elastisitas.

Elastisitas permintaan terhadap harga (price elasticity), didefinisikan sebagai persentase perubahan permintaan yang disebabkan oleh kenaikan satu persen atas harga barang atau jasa itu. Secara matematis konsep itu dituliskan sebagai:

Ep = (% ∆Q) / (% ∆P) atau

Ep = (∆Q/Q) / (∆P/P), sehingga Ep = P. ∆Q / Q.∆P

Elastisitas permintaan biasanya negatif, hal ini memberikan gambaran bahwa kenaikan harga selalu mengakibatkan penurunan permintaan, namun besaran elastisitas (magnitude) selalu dinyatakan secara absolut. Bila elastisitas harga suatu barang lebih dari 1 (Ep>1) maka perubahan permintaan akan barang tersebut lebih besar dibanding dari perubahan harganya, sehingga permintaan barang ini dinyatakan elastis terhadap harga (price elastic). Sebaliknya bila besaran elastisitas barang itu kurang dari satu (Ep<1), maka permintaan barang tersebut kurang elastis terhadap harga (price inelastic) karena perubahan permintaan atas barang itu tidak sebesar perubahan harganya.

Elastisitas permintaan biasanya ditentukan oleh keberadaan barang substitusi. Dalam hal ini bila harga suatu barang naik, sementara itu di pasar ada substitusi untuk barang itu, maka konsumen akan cenderung beralih membeli barang substitusi tersebut, sehingga permintaan akan barang tersebut menjadi sangat elastis (highly price elastic). Sebaliknya bila di pasar tidak tersedia substitusi atas barang tersebut, maka permintaannya menjadi tidak elastik (price


(52)

Dengan cara yang sama elastisitas penawaran didefiniskan sebagai persentase perubahan jumlah yang diminta terhadap 1 persen perubahan harga. Elastisitas ini biasanya positif, dimana setiap kenaikan harga suatu barang atau jasa akan cenderung meningkatkan jumlah penawaran barang atau jasa tersebut. Namun bila penawaran dikaitkan dengan peubah lain seperti tingkat suku bunga, upah, dan harga faktor produksi lainnya maka elastisitasnya menjadi negatif karena kenaikan harga faktor produksi akan cenderung menurunkan produksi dan menurunkan jumlah penawaran (Pindyck and Rubinfeld, 2009).

Dalam berbagai kasus perubahan harga suatu barang tidak segera diikuti oleh perubahan permintaan secara substansial atau tidak elastis dalam jangka pendek (short run). Perubahan permintaan secara nyata baru terjadi setelah beberapa waktu, atau elastis dalam jangka panjang (long run). Sebagai contoh, kenaikan harga kayu bulat secara praktis tidak segera diikuti oleh penurunan jumlah permintaan oleh industri kayu primer, karena peralatan dan mesin yang ada di industri masih sama sehingga jumlah pasokan kayu bulat yang dibutuhkan untuk bahan baku industri relatif sama. Namun demikian, pada saat umur peralatan dan mesin sudah terlampaui, industri akan membeli peralatan dan mesin baru yang efisien dalam penggunaan bahan baku, sehingga mengurangi permintaan kayu bulat.

Dalam kasus lain suatu barang permintaannya elastis pada jangka pendek, namun kurang elastis pada jangka panjang. Permintaan kayu lapis oleh industri

packaging segera meningkat pada saat harga barang itu turun, namun secara

gradual tambahan permintaan itu akan menurun setelah industri itu mempunyai stok yang cukup.


(53)

3.1.3. Penawaran dan Permintaan pada Perdagangan Internasional

Perdagangan barang antarnegara, termasuk kayu bulat dan olahan, terjadi karena adanya perbedaan harga relatif komoditi yang diperdagangkan. Dalam analisis keseimbangan parsial, keseimbangan harga relatif komoditi (the

quilibrium-relative commodity price) pada perdagangan tersebut terjadi melalui

proses (Gambar 4).

Pada Panel I, negara 1 memproduksi komoditi X dan konsumsinya sebesar A dengan harga relatif P1; sementara itu negara 3 pada Panel II memproduksi dan mengkonsumsi komoditi yang sama sebanyak A’ pada harga P3. Bila kedua negara melakukan perdagangan, maka harga relatif komoditi itu berada di antara P1 dan P3. Pada harga di atas P1 produksi komoditi itu pada negara 1 melebihi yang dibutuhkan, dan akan mengekspor kelebihan itu (excess supply) ke negara 2. Di lain pihak, di negara 2 pada saat harga berada di bawah P3, permintaan komoditi itu akan melebihi produksi domestiknya (excess demand), sehingga negara 2 akan mengimpor dari negara 1.

Sumber: Salvatore, 2004

Gambar 4. Keseimbangan Harga Relatif Komoditi

Pada saat harga komoditi P1 terjadi di negara 1, maka terjadi kesimbangan antara produksi dan penawaran di negara itu dan negara tersebut tidak melakukan ekspor, sehingga pada Panel II jumlah komoditi yang ditawarkan di pasar

P3

P2

P1 0 X 0 X 0 X

Ekspor Sx

Sx

B E

A Dx A” B* A* S E* A’

B’ E’

Impor Dx

Panel I Pasar Komoditi X Pada Negara 1

Panel II

Pasar Internasional Komoditi X


(54)

internasional berada di titik A*. Bila harga komoditi berada pada P2

Di sisi lain, Pada Panel III, pada saat harga komoditi berada pada P maka negara 1 mengalami kelebihan penawaran (excess supply) sebesar BE yang dapat di tawarkan atau diekspor ke pasar internasional, sehingga pada Panel II jumlah yang ditawarkan itu sebesar B*E*. Dengan demikian titik A* dan E* membentuk kurva penawaran pada pasar international di Panel II.

3, negara 2 berada dalam keseimbangan antara penawaran dan permintaan sehingga tidak perlu melakukan impor dan hal ini diposisikan sebagai titik A” pada Panel II yang menginformasikan bahwa pada harga P3, tidak ada jumlah yang diminta di pasar internasional. Pada saat harga komoditi berada di P2, negara 2 mengalami kelebihan permintaan (excess demand) sebanyak B’E’ dibanding produksi domestiknya, sehingga jumlah itu perlu dipenuhi melalui impor dari pasar internasional. Jumlah B’E’ yang diminta di pasar internasional tersebut sama dengan jumlah B*E* pada Panel II, sehingga garis A”E* membentuk kurva permintaan pada panel ini. Dengan demikian harga P2

3.1.4. Suku Bunga

merupakan harga keseimbangan relatif pada pasar internasional.

Bunga pinjaman mengkait dengan investasi dalam rangka pembelian barang modal baru seperti mesin dan peralatan, baik investasi untuk pengusahaan kayu bulat maupun untuk industri kayu olahan. Tingkat suku bunga biasanya ditentukan oleh Bank Sentral yang kemudian diikuti sebagai pedoman oleh bank-bank lainnya. Pergerakan tingkat suku bunga dari r1 ke r2 , dan dampak negatifnya (berlawanan) terhadap investasi dimana pada saat tingkat suku bunga


(55)

sebesar r1 maka minat investasi sebesar I1, namun bila suku bunga naik menjadi r2 maka minat investasi akan turun menjadi I2 (Gambar 5).

Gambar 5. Hubungan Antara Suku Bunga dan Investasi

3.1.5. Upah

Sektor produksi kayu bulat maupun kayu olahan merupakan sektor yang padat pekerja, sehingga tingkat upah tenaga kerja menjadi faktor produksi yang sangat penting. Gregory (1987) mendefiniskan upah (wage) sebagai pembayaran dalam bentuk apapun atas jasa yang diberikan oleh seorang tenaga kerja. Oleh karena itu, secara keseluruhan upah bisa juga meliputi gaji, asuransi, tunjangan dalam bentuk barang (in natura), dan bahkan termasuk layanan kesehatan dan rekreasi. Dalam penelitian ini upah hanya dibatasi pada pembayaran atas tenaga yang dicurahkan dalam proses produksi.

Upah sering menjadi subyek kebijakan pemerintah untuk menjaga kesejahteraan buruh di satu sisi, dan menjaga daya saing produk di sisi lain. Secara umum kenaikan tingkat upah akan berdampak pada penurunan produksi namun akan menaikkan harga produk kayu bulat maupun kayu olahan.

I1 I2

r2

r1 Suku bunga


(1)

Model: QMKB

Dependent variable: QMKB Analysis of Variance

Sum of Mean

Source DF Squares Square F Value Prob>F Model 6 278489062204 46414843701 20.146 0.0001 Error 19 43773775705 2303882931.8

U Total 25 322262837909

Root MSE 47998.78052 R-Square 0.8642 Dep Mean 81180.92000 Adj R-SQ 0.8213 C.V. 59.12569

NOTE: The NOINT option changes the definition of the R-Square statistic to: 1 - (Residual Sum of Squares/Uncorrected Total Sum of Squares). Parameter Estimates

Parameter Standard T for H0:

Variable DF Estimate Error Parameter=0 Prob > |T| DPWKB 1 -7105.239257 7184.903089 -0.989 0.3351 DPKBA 1 4085.703439 28732 0.142 0.8884 QDKB 1 2.864939 1.562980 1.833 0.0825 RGDPINA 1 -9.163983 7.285234 -1.258 0.2237 EXCR 1 0.531180 5.379358 0.099 0.9224 QMKB1 1 0.684279 0.214883 3.184 0.0049

Durbin-Watson 2.148 (For Number of Obs.) 25 1st Order Autocorrelation -0.076


(2)

Model: QSL

Dependent variable: QSL Analysis of Variance

Sum of Mean

Source DF Squares Square F Value Prob>F Model 6 5641312370.9 940218728.48 95.951 0.0001 Error 19 186179677.18 9798930.3780

U Total 25 5827492048.1

Root MSE 3130.32432 R-Square 0.9681 Dep Mean 14693.41831 Adj R-SQ 0.9580 C.V. 21.30426

NOTE: The NOINT option changes the definition of the R-Square statistic to: 1 - (Residual Sum of Squares/Uncorrected Total Sum of Squares). Parameter Estimates

Parameter Standard T for H0:

Variable DF Estimate Error Parameter=0 Prob > |T| DPKBA 1 915.339224 1641.708529 0.558 0.5837 RPWKB 1 949.934731 577.432010 1.645 0.1164 RUPAH 1 -1.261422 46.058289 -0.027 0.9784 INTR 1 -42.589127 88.755114 -0.480 0.6368 T 1 257.754514 130.378475 1.977 0.0627 QSL1 1 0.461121 0.234529 1.966 0.0641

Durbin-Watson 1.505 (For Number of Obs.) 25 1st Order Autocorrelation 0.061


(3)

Model: QIL

Dependent variable: QIL Analysis of Variance

Sum of Mean

Source DF Squares Square F Value Prob>F Model 5 310542519.53 62108503.906 4.090 0.0109 Error 19 288533134.08 15185954.425

C Total 24 599075653.61

Root MSE 3896.91601 R-Square 0.5184 Dep Mean -857.80187 Adj R-SQ 0.3916 C.V. -454.29092

Parameter Estimates

Parameter Standard T for H0:

Variable DF Estimate Error Parameter=0 Prob > |T| INTERCEP 1 3084.217870 3242.987116 0.951 0.3535 DKAP 1 -2903.364758 3203.059861 -0.906 0.3761 DPKBA 1 1586.180494 2302.344619 0.689 0.4992 EXCR 1 0.048147 0.560778 0.086 0.9325 T 1 -250.351206 330.949059 -0.756 0.4586 QIL1 1 0.434209 0.195341 2.223 0.0386

Durbin-Watson 1.203 (For Number of Obs.) 25 1st Order Autocorrelation 0.278


(4)

Model: DIKG

Dependent variable: DIKG Analysis of Variance

Sum of Mean

Source DF Squares Square F Value Prob>F Model 5 67116216.072 13423243.214 9.218 0.0001 Error 19 27667669.706 1456193.1424

C Total 24 94783885.778

Root MSE 1206.72828 R-Square 0.7081 Dep Mean 5266.13265 Adj R-SQ 0.6313 C.V. 22.91489

Parameter Estimates

Parameter Standard T for H0:

Variable DF Estimate Error Parameter=0 Prob > |T| INTERCEP 1 1504.905584 4789.877900 0.314 0.7568 RPKG 1 -116.534394 404.948922 -0.288 0.7766 RPKBA 1 -685.898672 851.973518 -0.805 0.4307 RPWKG 1 118.404072 153.846904 0.770 0.4510 T 1 -38.605960 172.393347 -0.224 0.8252 DIKG1 1 0.734091 0.172624 4.253 0.0004

Durbin-Watson 2.037 (For Number of Obs.) 25 1st Order Autocorrelation -0.071


(5)

Model: DIKL

Dependent variable: DIKL Analysis of Variance

Sum of Mean

Source DF Squares Square F Value Prob>F Model 5 184143600.75 36828720.150 13.258 0.0001 Error 19 52779328.675 2777859.4040

C Total 24 236922929.42

Root MSE 1666.69115 R-Square 0.7772 Dep Mean 9437.64357 Adj R-SQ 0.7186 C.V. 17.66003

Parameter Estimates

Parameter Standard T for H0:

Variable DF Estimate Error Parameter=0 Prob > |T| INTERCEP 1 -1964.139827 5527.974722 -0.355 0.7263 RPKL 1 414.725780 458.547713 0.904 0.3771 RPKBA 1 -3396.898024 2208.545652 -1.538 0.1405 RPWKL 1 433.055449 638.181073 0.679 0.5056 T 1 176.413185 203.856289 0.865 0.3976 DIKL1 1 0.448266 0.183408 2.444 0.0244

Durbin-Watson 2.326 (For Number of Obs.) 25 1st Order Autocorrelation -0.171


(6)

Model: DIPP

Dependent variable: DIPP Analysis of Variance

Sum of Mean

Source DF Squares Square F Value Prob>F Model 5 263011757.15 52602351.430 7.721 0.0004 Error 19 129443564.24 6812819.1707

C Total 24 392455321.39

Root MSE 2610.13777 R-Square 0.6702 Dep Mean 6241.21969 Adj R-SQ 0.5834 C.V. 41.82096

Parameter Estimates

Parameter Standard T for H0:

Variable DF Estimate Error Parameter=0 Prob > |T| INTERCEP 1 -3572.519655 6843.173364 -0.522 0.6077 RPPP 1 144.847015 127.425650 1.137 0.2698 RPKBA 1 -1155.678747 1108.032331 -1.043 0.3100 RPWPP 1 87.029887 156.623160 0.556 0.5849 T 1 333.485817 311.819474 1.069 0.2983 DIPP1 1 0.685719 0.195902 3.500 0.0024

Durbin-Watson 1.749 (For Number of Obs.) 25 1st Order Autocorrelation 0.105