TINJAUAN PUSTAKA Model Pengendalian Alih Fungsi Lahan Sawah Melalui Kebijakan Insentif Untuk Mewujudkan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan Di Kabupaten Tanjung Jabung Timur
diatur dalam RTRW di mana setiap jenis tanaman pertanian memiliki alokasi lahan masing-masing dan ketentuan yang mengatur alih fungsi lahan tersebut.
Menurut Wicke et al. terdapat dua pendekatan penggunaan lahan, yaitu :
1 Pendekatan Business as Usual BAU; mengasumsikan penggunaan lahan
mengikuti cara-cara lama atau cara-cara sebelumnya seperti hilangnya tutupan hutan, perubahan lahan pertanian dan pertumbuhan lahan perkebunan
mengikuti tren pada masa lalu, di mana sumber lahan untuk pengembangan perkebunan bisa dari kategori lahan yang berbeda-beda.
2 Pendekatan Sustainability; mengasumsikan penebangan hutan dihentikan,
pertumbuhan lahan pertanian mengikuti proyeksi FAO tahun 2030 untuk wilayah Asia Timur dan tanaman hutan atau HTI tumbuh dengan laju tetap.
Pendekatan ini diterapkan dengan menggunakan lahan yang terdegradasi sebagai sumber lahan baru perkebunan karena hal ini mengurangi tekanan
terhadap lahan hutan dan dapat berfungsi sebagai carbon sink pengurang emisi karbon.
Keterangan: -
Nilai negatif pada lahan pertanian dan tanaman hutan merujuk kepada persyaratan lahan tambahan pada setiap kategori di masa datang. Persyaratan tersebut harus
dilengkapi untuk memenuhi permintaan produksi sawit dan karenanya dikurangi dari lahan yang tersedia saat ini.
- Jumlah lahan terdegradasi berbeda antara sistem BAU dan Sustainability karena untuk BAU laju lahan terdegradasi diasumsikan meningkat sesuai pertumbuhan tahun
sebelumnya sedangkan pada sustainability diasumsikan konstan.
Pada Tabel 1, jika Indonesia melakukan pendekatan penggunaan lahan
dengan cara berkeberlanjutan, maka masih tersedia lahan potensial untuk pertanian seluas 8.7 juta ha, yang bersumber dari lahan terdegradasi Wicke et al.
. Pendekatan BAU dalam menggunakan sumber daya lahan berperan dalam meningkatkan laju alih fungsi lahan sawah, yaitu terjadinya perebutan lahan antar
tanaman pertanian. Menurut Kementrian Pertanian alih fungsi lahan sawah tahun 1998-2002 mencapai 100 000 hatahun. Alih fungsi sawah belum dapat dicegah,
salah satunya akibat penerapan RTRW oleh pemda kabupatenkota yang kurang berpihak kepada pertanian Kementan 2013b, Saili dan Purwadio 2012.
Menurut Pasandaran 2006 terdapat tiga faktor yang berdiri sendiri atau secara bersama-sama menentukan terjadinya alih fungsi lahan sawah, yaitu
Tabel . Ketersediaan lahan pertanian termasuk untuk produksi sawit dan
tanaman hutan di Indonesia tahun 2005-
Lahan tersedia yang bersumber dari Business as usual
juta ha Sustainability
juta ha 1. Lahan hutan Forest covered land
. .
2. Lahan pertanian Agricultural land − .
− . 3. Tanaman hutan atau HTI Forest plantations
− . − .
4. Lahan terdegradasi Degraded land .
. TOTAL
. .
Sumber : Wicke et al.
kelangkaan sumber daya lahan dan air, dinamika pembangunan, serta peningkatan jumlah penduduk. Ditambahkannya, sistem persawahan irigasi memiliki tiga
fungsi utama yang saling terkait, dan ketiganya harus tersedia dengan baik agar sawah dapat dipertahankan. Pertama, fungsi yang menopang produksi pangan
seperti lahan, air, praktek bercocok tanam, dan kelembagaan. Kedua, fungsi konservasi, seperti pemeliharaan elemen-elemen biofisik jaringan irigasi dan
persawahan dan ketiga fungsi pewarisan nilai-nilai budaya; termasuk dalam fungsi tersebut adalah kapital sosial dan kearifan lokal yang mengatur hubungan
antar manusia, serta manusia dengan lingkungannya. Pengelolaan konflik dalam rangka pemanfaatan sumber daya merupakan salah satu elemen dari nilai-nilai
budaya tersebut.
Faktor ekonomi berupa rendahnya harga jual padi dan land rent lahan pertanian dibandingkan dengan kegiatan sektor lain juga menjadi dorongan kuat
alih fungsi lahan sawah. Penelitian Pambudi 2008 di Kecamatan Ciampea Kabupaten Bogor menunjukkan rasio land rent sawah dengan lahan pemukiman
. Harga komoditi pangan yang rendah di Indonesia khususnya padi karena belum memasukkan nilai positive externalities lahan sawah dan produk padi
sebagai faktor utama terwujudnya ketahanan pangan. Nilai intrinsik dari lahan sawah jauh lebih tinggi dari nilai pasarnya namun nilai-nilai tersebut belum
tercipta pasarannya sehingga pemilik lahanpetani belum memperoleh nilai finansialnya Tatiek 2013.
Alih fungsi lahan sawah menjadi sawit mengakibatkan menurunnya produksi beras di Provinsi Jambi. Mengacu kepada jumlah penduduk yang
mencapai 3. 4 juta jiwa pada tahun 201 , maka kebutuhan beras per tahun
Provinsi Jambi mencapai kg atau ton per tahunnya angka
konsumsi beras versi BPS 113. kgkapitatahun. Pada tahun 201 produksi
padi sawah dan ladang mencapai ton BPS 2015a atau setara dengan
ton beras. Berdasarkan data tersebut, Provinsi Jambi surplus beras sekitar ton. Jumlah tersebut semakin berkurang jika alih fungsi lahan sawah terus
terjadi. Persaingan dalam memperebutkan sumber daya lahan di Provinsi Jambi diperkirakan dimulai sejak tumbuh pesatnya perkebunan sawit tahun 1990-an dan
dicanangkannya program penanaman kembali karet tahun 2005. Pada tahun 2009 luas lahan sawah di Provinsi Jambi 177 323 ha BPS 2010 dan tahun 2013 seluas
167 623 ha BPS 2014b atau menyusut sekitar 10 000 ha.
Tabel . Perkembangan luas lahan sawah dan sawit di empat kabupaten sentra
padi di Provinsi Jambi tahun 2009 dan 2014
Sumber: BPS Provinsi Jambi tahun 20 dan 2014
Pada periode yang sama luas lahan sawit bertambah dari 493 737 ha 2009 menjadi 593 433 ha 2013 atau naik sekitar 99 000 ha. Pertambahan luas kebun
sawit terjadi di kabupaten yang secara tradisional merupakan lumbung padi Provinsi Jambi, yaitu Kabupaten Tanjung Jabung Timur dan Barat, Sarolangun
dan Merangin. Pada Tabel ditampilkan empat kabupaten yang mengalami
kehilangan sawah tertinggi berdasarkan hasil kegiatan audit lahan Dinas Pertanian Provinsi Jambi tahun 2012 dan data BPS tahun 2014. Pada periode 2009-2013
atau selama masa empat tahun, sawah di daerah ini menyusut sebanyak 21.02. Persentase penyusutan ini lebih rendah dari Tanjung Jabung Barat atau
menduduki ranking kedua namun secara absolut, kehilangan sawah di Tanjung Jabung Timur merupakan yang tertinggi di Provinsi Jambi.
Pertumbuhan kebun sawit yang cepat didukung oleh kebijakan daerah bersangkutan seperti terlihat pada Rencana Tata Ruang Wilayah RTRW
Kabupaten Tanjung Jabung Timur di mana alokasi lahan pengembangan sawit melebihi alokasi untuk program LP2B. Berdasarkan PP Nomor 1 Tahun 2011,
agar
sebuah wilayah
memiliki LP2B,
pemerintah kabupaten
harus mengusulkannya ke pemerintah provinsi di mana usulan tersebut memuat data dan
informasi tekstual, numerik, dan spasial mengenai indikasi luas baku dengan memperhatikan saran dan pendapat masyarakat Pasal 15. Pada Gambar 2.
terlihat perkebunan bertambah pesat dari tahun 2005 ke tahun 2011 sementara sawah menurun tajam.
Sumber: Audit Lahan oleh Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jambi Tahun 2012
Gambar . Perubahan luas lahan sawah, perkebunan dan pemukiman di
Kabupaten Tanjung Jabung Timur tahun 2005 dan 2011
Model Perlindungan Lahan Pertanian dan Insentif yang Diberikan
Alih fungsi lahan pertanian menjadi penggunaan lain dapat dicegah jika terdapat pemahaman yang lebih baik tentang fungsi pertanian yang tidak hanya
sebagai penghasil pangan namun memiliki fungsi lain yaitu menghasilkan barang dan jasa yang tidak berbentuk komoditi seperti penyejuk udara, penyimpan air,
mempertahankan komposisi tanah dan lain-lain. Fungsi pertanian dapat diklasifikasi dalam bentuk warna: fungsi hijau sebagai manejemen landskep,
kehidupan liar, habitat untuk kehidupan liar serta kesejahteraannya dan lain-lain; fungsi biru berupa manejemen air, meningkatkan kualitas air, mencegah banjir,
penampungan air dan pemanfaatannya sebagai energi; fungsi kuning merujuk kepada peran pertanian sebagai faktor pengikat dan penting di pedesaan,
eksploitasi warisan budaya dan sejarah, menciptakan sebuah identitas regional, agroturisme dan lain-lain; serta warna putih untuk penyediaan keamanan dan
ketahanan pangan Xu 2011. Menurut Huylenbroeck et al.
telah terjadi pergeseran peran pertanian khususnya pertanian tanaman pangan yang tidak
sekedar menyediakan pangan namun juga untuk memberi layanan lingkungan dan lensekap, pengelolaan air dan lain-lainnya. Menurut Rustiadi et al.
, mekanisme pasar dapat berujung kepada market failure kegagalan pasar, yaitu
suatu kondisi ketika sumber daya gagal didistribusikan secara produktif, adil dan efisien. Guna mencegah kegagalan pasar, intervensi pemerintah dapat dilakukan.
Menurut Newburn et al. , pemberian insentif lebih efektif dalam
melindungi keragaman pada lahan pribadi dibanding dengan regulasi dan penetapan zonakawasan. Pearce dan Turner 1990 menyusun opsi instrumen
kebijakan manejemen lahan basah seperti terlihat pada Tabel 2.3.
Tabel . Opsi instrumen kebijakan untuk penataan lahan basah
Opsi Instrumen Instrumen
1. Regulasi a. Desain Perencanaan
Pelarangan, zonasi
dan penataan
ruang, perizinan
b. Pengurangan Polusi Kontrol
khusus atas
penggunaan lahan,
pemberlakuan standar kualitas secara khusus 2. Akuisisi dan Penataan
a. Pembelian organisasibadan publik, lembaga amal dengan
bantuanhibah dari publik b. Kontrak atau sewa
melalui pembuatan kontrak langsung dengan pemilik
atau melalui
lembaga yang
terakreditasi c. Perjanjian dengan pemilik lahan
d. Kesepakatan tertentu 3. Insentif dan Pengenaan Biaya
a. Subsidi untuk konservasi kompensasi untuk lahan basah, kehidupan
liarkerusakan tanaman, praktik konservasi b. Insentif pajak untuk konservasi
untuk lahan, input dan biaya lainnya c. Pengenaan biaya
d. Pengenaan biaya pengguna biaya memasuki suatu tempat, lisensi
e. Subsidi kegiatan pembangunan pertanian, pembangunan jalan, rekreasi, dll
Sumber: Pearce dan Turner 1990
Menurut Xu 2011, intervensi kebijakan dilakukan dengan cara menginternalkan ekternalitas tersebut sehingga tercapai efisiensi ekonomi. Untuk
menetapkan alokasi efisiensi ekonomi, dengan cara menghitung nilai non pasar suatu sumber daya fungsi ekosistem, barang dan jasa yang dihasilkan oleh
pertanian. Rustiadi et al. menawarkan mekanisme pengendalian tata ruang
yang mencakup perizinan, zonasi, insentif ekonomi, pajak dan lain-lain. Kebijakan ekonomi pertanian di berbagai negara disajikan pada Tabel 2.4.
Penerapan regulasi untuk mencegah alih fungsi lahan pertanian diberlakukan hampir di semua negara. India dan Bhutan menerapkan pengetatan prosedur
penjualan lahan pertanian, Pakistan melalui cara konsolidasi lahan dan pembatasan ukuran lahan di mana untuk pertanian subsistence lahannya harus
12.5 acre setara dengan 5.06 ha sedangkan kepemilikan skala ekonomi 50 acre setara dengan 20.23 ha. Pemecahan di bawah ukuran tersebut dilarang Niroula
dan Thapa 2005.
Tabel . Perbandingan kebijakan ekonomi pertanian di berbagai negara
No Negara
Bentuk Kebijakan Pertanian Dampak
Sumber Malaysia
subsidi harga jual memicu distorsi harga sangat besar
antara pasar domestik dan pasar bebas Athukorala
dan Loke
Nigeria pajak impor beras 50
mendorong produksi
beras dan
pengolahan paska panen Oguntade
Amerika Serikat
Agricultural Conservation
Easements alih fungsi lahan pertanianterbuka
terkendali Lassner
Indonesia - insentif pertanian ekonomi dan
non ekonomi PP Nomor
- subsidi saprodi dan proteksi harga namun tarif impor pangan rendah
belum memacu
produktivitas, Indonesia dibanjiri produk pertanian
negara lain Hafidh tahun
tidak diketahui;
- proteksi harga melalui kebijakan harga dasar pembelian pemerintah
HDPP jaminan harga jual, meningkatkan
produktivitas namun menurunkan daya
saing beras
premium, kemampuan Bulog menyerap padi
terbatas karena keterbatasan anggaran Maulana
India subsidi input, subsidi paska
produksi kebijakan
Harga Pendukung Minimum Minimum
Support Price dan Kebijakan
Harga Dasar Procurement Price merangsang perbaikan teknologi
usaha, menjamin
ketersediaan pangan, membangun sistim distribusi
pangan masyarakat dan bagian dari skema kesejahteraan sosial
Vijay 2012.
Thailand regulasi ketat terhadap beras impor
proteksi beras
lokal, mencegah
produk pertanian luar menguasai pasar domestik
Warr 2008 China
menaikkan harga
beras dan
menurunkan sewa lahan belum berhasil menahan petani untuk
beralih menanam sayur-sayuran yang harga pasarnya jauh lebih tinggi
Lu et al. Jepang
pajak impor tinggi, subsidi bunga bank agar petani bisa membeli
mesinsarana produksi, investasi pemerintah untuk prasarana di area
pedesaan Swasembada pangan
Purnama
Cara lain yang dilakukan di negara-negara di Asia Selatan yaitu dengan pengelolaan bersama lahan pertanian membentuk koorporasi. Cara ini cukup
berhasil sampai tahun 1970-an tapi kini tidak lagi diterapkan. Mulanya subsidi dan dana operasi berhasil menarik perhatian petani namun kemudian gagal karena
konflik kepentingan, ketidakefiesiensian dalam menajemen serta pola ini tidak dikenal dalam kebudayaan masyarakat setempat Niroula dan Thapa 2005.
Diantara kebijakan-kebijakan tersebut, Pearce dan Turner 1990 berpendapat pemberian insentif dan pengenaan biaya merupakan instrumen yang
paling efektif dalam manajemen pengendalian lahan. Model kebijakan pertanian yang memberikan insentif dalam bentuk tunai di Amerika Serikat dinamakan
Conservation Easement
. Menurut Strong 1983 Easement berkembang pesat di AS sejak tahun 1970-an. Program Agricultural Easement umumnya dibiayai oleh
pemerintah, sedangkan program Natural Resource Easement kebanyakan diinisiasi oleh pihak swasta.
. Conservation Easement
bersifat sukarela namun mengikat di mana pemilik lahan berkomitmen untuk membatasi pembangunan atau perubahan pada lahannya
Tabel . Perbandingan program Conservation Easement AS dan PLP2B
Indonesia
Kategori Conservation Easement
CE Perlindungan Lahan Pertanian Pangan
Berkelanjutan LP2B Konsep Dasar
Perlindungan lahan terbukaekosistempangan
secara sukarela, diikat perjanjian
Perlindungan lahan pertanian melalui penetapan pemerintah
Tujuan melindungi habitat,
sumber air, bufer, lahan pertanian
melindungi lahan pangan; mewujudkan kemandirian, meningkatkan perlindungan dan
pemberdayaan petani; melindungi kepemilikan lahan pertanian pangan milik petani; dll
Kriteria lahan lahan pertanian, lahan
terbuka lainnya lahan beririgasi, lahan reklamasi rawa pasang
surut dan non pasang surut lebak, danatau lahan tidak beririgasi.
Penyelenggara Organisasi konservasi
lahan dan Pemerintah Pemerintah
Jenis insentif direct cash payment
, keringanan pajak
keringanan PBB; pengembangan infrastruktur pertanian; pembiayaan penelitian dan
pengembangan benih varietas unggul; kemudahan mengakses informasi dan teknologi;
dll
Konsekuensi pembiayaan
ditanggung Land Trust, sumbangan masyarakat,
dana Pemerintah ditanggung oleh pemerintah
Sumber: Cross et al. , Anderson dan Weinhold 2008, Lassner 1998,
Meyer et al. , Pocewicz et al. , Strong 1983
guna melindungi fungsi sosial dari lahan tersebut Cross et al. sedangkan
menurut Pocewicz et al. , Conservation Easement merupakan kesepakatan
antara pemilik lahan dan organisasi perlindungan Land Trust di mana si pemilik menjual atau mendonasikan lahannya untuk mencegah pemecahansubdivision
atau pembangunan lahan. Perjanjian seperti ini memiliki kekuatan yang lebih besar untuk membatasi pemecahan lahan dan pembangunan konstruksi atau
struktur jalan dibanding yang dapat dikenakan oleh regulasi pemerintah setempat Tabel
. Nilai kompensasi Conservation Easement secara umum dihitung dari selisih
nilai lahan sebelum pembatasan pembangunan dengan nilai lahan tersebut setelah adanya pembatasan penggunaan lahan. Semakin banyak pembatasan yang
dilakukan semakin tinggi nilai kompensasi yang diperoleh pemilik lahan, demikian juga sebaliknya Lassner 1998. Menurut Anderson dan Weinhold
, harga lahan yang terikat Conservation Easement turun sekitar 35-50 dan tergantung pada ketat longgarnya aturan dalam perjanjian tersebut. Namun
hal ini berdampak positif kepada petani penyewa lahan karena sewa lahan menjadi lebih terjangkau. Pola pemberian insentif ini berbeda dengan pemberian insentif di
Indonesia yang berbentuk bantuan saprodi dan saranaprasarana pertanian lainnya. Opsi mengakuisisi lahan dalam jumlah besar untuk tujuan pertanian dilakukan
pemerintah Indonesia melalui proyek Merauke Integrated Food and Energy Estate
MIFEE di Provinsi Papua bagian selatan, dimulai pada tahun 2010. Tujuan dari proyek ini adalah : 1 memperkuat keamanan pangan nasional dan
meningkatkan ekspor pangan; 2 mengurangi anggaran untuk impor pangan; 3 mempercepat pembangunan di wilayah timur Indonesia; dan 4 memacu
pertumbuhan ekonomi lokal dan nasional. Proyek ini menargetkan produksi beras sebanyak 1.95 juta ton namun skemanya tidak jelas terutama menyangkut luas
lahan yang dialokasikan dan pembangunan irigasi serta infrastruktur pertanian lainnya. Terkesan proyek ini mengartikan
„food‟ sebatas sawit sebagai penghasil CPO, yang juga termasuk bagian dari program ini Obidzinski et al.
. Menurut Tietenberg dan Lynne 2009, penerapan zonasi pengetatan pengambil-
alihan lahan dalam suatu wilayah dan memberikan izin serta penggunaan lahan secara khusus dalam zona tersebut juga dapat menekan negative externalities alih
fungsi lahan. Contoh kebijakan zonasi di Indonesia adalah instruksi untuk membuat PERDA yang menjamin ketersediaan lahan pangan abadi di setiap
provinsi, kabupaten dan kota.
Pada PP Nomor 12 Tahun 2012 dijelaskan tentang pemberian insentif secara berjenjang mulai dari pemerintah pusat, provinsi dan kabupatenkota. Secara
umum terlihat bahwa jenis insentif yang diberikan antara pemerintah pusat dan provinsi persis sama yaitu: a. pengembangan infrastruktur pertanian; b.
pembiayaan penelitian, pengembangan benih dan varietas unggul; c. kemudahan mengakses informasi dan teknologi; d. penyediaan sarana dan prasarana produksi
pertanian; e. jaminan penerbitan sertipikat hak atas tanah pada lahan pertanian pangan berkelanjutan; danatau f. penghargaan bagi petani berprestasi tinggi. Pada
level Pemerintah Provinsi Jambi, Gubernur melalui Peraturan Nomor 14 Tahun
juga diatur Pencegahan Alih Fungsi Lahan Tanaman Pangan Dan Hortikultura untuk Pemanfaatan Lain. Pada Pasal 4 dijelaskan bahwa lahan
tanaman pangan dan hortikultura yang telah ditetapkan wajib dilindungi dan dilarang dialihfungsikan untuk peruntukan tanaman perkebunan, perikanan dan
pembangunan perumahan serta pembangunan fisik lainnya, kecuali untuk kepentingan umum sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Kemungkinan
mengubah peruntukan tersebut terbuka hanya jika sesuai dengan Rencana Umum Tata Ruang dan harus mendapat persetujuan Pemerintah KabupatenKota
setempat. Pada Pasal 8 Peraturan Gubernur ini dijelaskan tentang pemberian insentif kepada orang atau badan hukum yang tetap mempertahankan pemanfaatan
lahan untuk usaha budidaya tanaman pangan dan hortikultura secara optimal dan tidak mengalihfungsikan untuk peruntukan lain ayat 1 dan sebaliknya akan
memperoleh disinsentif untuk orangpihak yang sengaja rnengalihfungsikan lahan tanaman pangan dan hortikultura untuk peruntukan lain Pasal 8 ayat 3. Namun
jenis, nilai dan pendistribusian insentif tidak dijelaskan lebih lanjut. Pada Tabel
dijelaskan pertimbangan dan kriteria pemberian insentif di level kabupatenkota
Keberadaan UU Desa Nomor 6 Tahun 2014 dapat memperkuat partisipasi masyarakat dalam proses penetapan lahan pertanian pangan dan memperjuangkan
insentif ekonomi yang memadai. Hal ini terkait dengan kewenangan desa melalui Kepala Desanya Pasal 26 diantaranya: membina dan meningkatkan
perekonomian desa serta mengintegrasikannya agar mencapai perekonomian skala produktif untuk sebesar-besarnya kemakmuran masyarakat desa; mengembangkan
sumber pendapatan desa; serta mengoordinasikan pembangunan desa secara Tabel
. Pertimbangan dan kriteria pemberian insentif
No Pertimbangan Kriteria
Keterangan tipologi Lahan
a. lahan beririgasi; b. lahan rawa pasang surut lebak; c. lahan
tidak beririgasi lahan rawa pasang surut lebak
memperoleh tambahan insentif kesuburan tanah
kesesuaian lahan pada komoditas tertentu yang diatur
dengan Peraturan Menteri Lahan dengan kesuburan rendah
diberikan insentif lebih banyak. luas tanam
minimal 25 Ha satu hamparan - irigasi
a. kinerja jaringan irigasi; b. tingkat operasi; c. pemeliharaan
irigasi Prioritas: memerlukan rehabilitasi
jaringan irigasi; yang operasi dan pemeliharaannya baik luasan maks
1.000 Ha
tingkat fragmentasi lahan
fragmentasi pada satu hamparan Prioritas: tidak mengalami fragmentasi pada satu hamparan
produktivitas usaha tani
produktivitas rata-rata Prioritas: tingkat produktivitasnya di
bawah produktivitas rata-rata kabupatenkota
lokasi jarak antara lokasi lahan dan
jaringan jalan Prioritas: LP2B yang terletak kurang
dari 100 meter dari badan jalan kolektivitas usaha
pertanian tingkat kolektivitas usaha tani
Prioritas: daerah irigasi dan rawa pasang dengan tingkat kolektivitas
usaha taninya tinggi; daerah tidak beririgasi yang memiliki kolektiivitas
usaha tani
praktik usaha tani ramah lingkungan.
menerapkan teknologi ramah lingkungan
-
Sumber : Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2012
partisipatif. Selain itu terdapat asset desa seperti tanah ulayat Pasal 76 yang dapat dikembangkan menjadi lahan pertanian dan program desa yang salah
satunya untuk pengembangan ekonomi pertanian berskala produktif pasal 80.
Dampak Sawit terhadap Lingkungan
Menurut Feintrenie et al. sawit lebih unggul dalam hal produktivitas,
masa pra-produksi yang singkat, adanya produk sekunder, serta rendahnya biaya investasi dan input. Perkebunan sawit dinilai sangat berpropspek dalam
perdagangan minyak nabati dunia Saili dan Purwadio 2012. Menurut Hersuroso , pengembangan kelapa sawit berefek multiplier bagi perekonomian berupa
meningkatnya pendapatan petani plasma dari penjualan produksi petani berupa tandan buah segar TBS, timbulnya usaha seperti jasa transportasi dan jasa
penyedia sarana serta prasarana perusahaan perkebunan penyediaan bahan, peralatan dan mesin pertanian dan berkembangnya pelaku ekonomi yang
bergerak disektor informal antara lain: pedagang kecil, tukang ojek, bengkel, tukang las dan lain-lain .
Hasil penelitian Astuti et al. di Bengkulu menunjukkan bahwa
dipandang dari aspek ekonomi, lingkungan dan teknis, petani lebih mengunggulkan sawit dibanding padi. Dari setiap aspek terdapat beberapa faktor
yang menyebabkan petani yang pada tahun 1990-an bersawah kini beralih ke sawit. Faktor tersebut dari aspek ekonomis terdiri dari 1 harga jual tanaman
pangan yang rendah khususnya pada saat panen; 2 panen sawit dilakukan kontinyu setiap dua minggu; 3 keuntungan berkebun sawit lebih tinggi; 4 harga
sawit lebih terjaminstabil; dan 5 biaya pemeliharaan tanaman sawit lebih rendah. Aspek lingkungan terdiri dari 1 kecocokan lahan untuk kebun sawit; 2
ancaman hama dan penyakit pada tanaman pangan; 3 kondisi irigasi tidak mendukung; 4 posisi tawar petani sawit lebih tinggi; dan 5 tenaga kerja kebun
sawit lebih sedikit. Aspek teknis terdiri dari 1 tanaman sawit berumur panjang; 2 proses pascapanen tanaman pangan lebih sulit; 3 teknik budidaya sawit lebih
mudah; dan 4 kesulitan pengadaan pupuk untuk tanaman pangan.
Akhir-akhir ini sawit dikembangkan untuk memproduksi biodiesel. Namun dampak negatifnya terhadap lingkungan seperti emisi carbon, kebakaran lahan
yang terjadi setiap tahun, subsidence dan resiko banjir, konflik lahan serta penurunan pendapatan petani kecil karena jatuhnya harga tandan buah segar
TBS mendorong pemerintah mengeluarkan regulasi untuk mengatur penanaman sawit khususnya di lahan basah seperti Peraturan Pemerintah Nomor 712014
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut, Keputusan Presiden Nomor 321990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung, Instruksi Presiden Nomor
62013 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Premier dan Lahan Gambut Afriyanti et al.
. Ketidakberlanjutan sawit dan produksinya menurut Wicke et al.
dapat dilihat dari perubahan penggunaan lahan di Asia Tenggara di mana hutan alam,
hutan gambut, daerah pertanian dan jenis lahan lainnya berubah jadi sawit. Perubahan ini selanjutnya berimplikasi pada masalah sosial dan lingkungan.
Menurut Afriyanti et al. , the World Research Institute WRI telah
menetapkan standar keberlanjutan di mana sawit dapat ditanam pada lahan yang mengandung 35 ton carbonha, area yang keanekaragaman hayatinya rendah
serta tidak mengkonversi hutan dan lahan basah. Namun perkembangan terakhir menunjukkan khusus untuk Sumatra dan Kalimantan, ekspansi sawit menyasar ke
lahan basah seiring dengan makin terbatasnya lahan mineral. Sejak tahun 2013 pemberian izin pembukaan lahan gambut telah dihentikan moratorium
berdasarkan Instruksi Presiden Nomor
Penurunan kualitas lahan yang ditanami sawit menurut Firmansyah 2014 terjadi karena pembuatan saluran drainase yang lebar dan dalam guna
menciptakan zona perakaran bagi kelapa sawit. Hal ini mengakibatkan lapisan pirit teroksidasi yang mengeluarkan sulfat sehingga tanah menjadi masam.
Dampak lainnya akibat pembuatan drainase tersebut adalah surutnya air rawa, permukaan air tanah menurun, gambut mengering, menimbulkan bahaya
kebakaran, serta meningkatkan emisi gas rumah kaca. Berdasarkan hasil penelitian Widodo 2011 di Kabupaten Siak Riau, sebelum adanya perkebunan
kelapa sawit debit air di daerah tersebut sebesar 2 708 m3s dan sesudah adanya perkebunan kelapa sawit menjadi
359 m3s. Penurunan debit air berarti berkurangnya nilai air tersedia untuk pengguna air terutama untuk kebutuhan
domestik atau rumah tangga. Pemanfaatan lahan gambut untuk sawit terutama yang ketebalan gambutnya 3 meter kurang tepat karena mempercepat subsiden
atau degradasi akibat pertukaran kondisi anaerob menjadi aerob dan pertumbuhan sawit miringroboh karena tidak adanya tanah bagi akar sawit untuk bertumpu.
Hal ini telah dicantumkan dalam Permentan Nomor 142009 tentang Pedoman Pemanfaatan
Lahan Gambut
untuk Budidaya
Kelapa Sawit
http:balittra.litbang.pertanian.go.id 2013. Menurut Razialdi 2016 yang melakukan penelitian di Muara Sabak Timur,
salah satu kecamatan di Tanjung Jabung Timur, keberadaan dan ketebalan gambut sudah sangat sedikit dan tipis di daerah ini di mana areal kubah gambut yang
berpotensi sebagai lumbung air pertanian sudah tidak memadai. Hal ini disebabkan konservasi kawasan lindung pesisir pantai dan sempadan sungai
serta kawasan potensi perlindungan air tanah kubah gambut atau potensi perlindungan lainnya belum dilakukan secara optimal. Potensi areal perlindungan
air baku juga terdegradasi akibat kesalahan pembuatan saluran drainase.
Dampak negatif sawit berpotensi mereduksi keuntungan ekonomi terutama bila dampak negatif tersebut dimasukkan sebagai faktor biaya. Permasalahan lain
yang patut dipertimbangkan dalam pengembangan perkebunan sawit ke depannya adalah harga Crude Palm Oil CPO yang cenderung menurun di pasar
internasional. Pasar di Uni Eropa dan Amerika Serikat menyaratkan CPO untuk biodiesel harus berasal dari perkebunan sawit non lahan gambut, sementara untuk
kondisi di Provinsi Jambi sebagian besar perkebunan sawit berada di lahan gambut. Sebagai bukti sawit telah menjalankan manajemen berkelanjutan, petani
swadaya maupun petani plasma melalui kelompok tani masing-masing didorong untuk memiliki sertipikat Roundtable on Sustainable Palm Oil RSPO namun
sampai saat ini baru satu kelompok tani swadaya di Provinsi Jambi yang memiliki sertipikat ini dengan luas sawit 346 ha RSPO 2016 sedangkan petani sawit di
Tanjung Jabung Timur belum ada yang memiliki sertipikat ini.
Potensi konflik kepemilikan lahan karena ekspansi sawit juga sangat besar. Hal ini disebabkan sebagian besar petanitransmigran tidak memiliki sertipikat
lahan seperti yang dialami transmigran di Kecamatan Geragai Kabupaten Tanjung
Jabung Timur yang lahannya dikuasai oleh sebuah perkebunan swasta sawit yang memegang Hak Guna Usaha dari pemerintah Samon dan Syahroni 2007.
State of The Art
Penelitian tentang konservasi lahan telah banyak dilakukan khususnya untuk perlindungan habitat dan ekosistem seperti Ulvevadet dan Hausner 2011 yang
meneliti program perlindungan padang penggembalaan rusa di Norwegia dan Newburn et al.
yang menguji efektifitas pendanaan untuk melindungi habitatekologi di lahan privat terutama dalam hal menetapkan skala prioritas
lahan yang akan diberi perlindungan. Meyer et al. menganalis faktor
kebijakan dan sosial ekonomi yang mendorong peningkatan jumlah wilayah yang dikonservasi serta pentingnya membangun inovasi metode konservasi lahan untuk
mencapai perlindungan lahan yang lebih baik di masa depan. Metode penelitian perlindungan lahan dengan menggunakan insentifdisinsentif ekonomi dilakukan
antara lain oleh Amigues et al.
dan Lindhjem dan Mitani 2012 dengan menggunakan metoda WTA serta Karki 2013 yang meneliti pengaruh pemberian
insentif ekonomi untuk perlindungan Nepal‘s Bardia National Park terhadap keberlanjutan matapencaharian penduduk lokal yang tinggal di sekitar kawasan
hutan.
Penelitian untuk mengetahui nilai insentif yang sesuai untuk melindungi lahan pangan khususnya sawah masih sedikit. Umumnya penelitian tersebut
dilakukan di negara China dan negara berpenduduk besar lainnya dan diawali dengan pengungkapan nilai pasar dan non pasar komoditi pertanian tersebut. Xu
dengan menggunakan pendekatan Total Economic Value TEV dan Jianjun et al.
menggunakan pendekatan nilai WTP. Penelitian ini menyangkut besaran dan jenis insentif yang sesuai agar
masyarakat bersedia mendukung program PLP2B. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menyelamatkan lahan sawah secara fisik dan secara tidak langsung ikut
menyelamatkan intangible value-nya di Indonesia namun disadari akan berdampak pada penambahan anggaran pembangunan pertanian untuk membayar
insentif. Dibutuhkan political will yang kuat untuk menerapkan kebijakan insentif ini, apalagi harus berhadapan dengan kondisi keuangan daerah yang terbatas dan
kuatnya paradigma bahwa regulasi saja sudah cukup untuk mengatasi masalah alih fungsi lahan jika ditegakkan dengan tegas. Anggapan tersebut tidak
sepenuhnya benar karena lahan sawah merupakan milik masyarakat, yang hak- haknya harus diakui dan kepentingan mereka semestinya diakomodasi agar
sebuah program dapat berjalan dengan baik. Menurut Pambudi 200
, pemaksaan kepada masyarakat petani untuk mengikuti suatu program tanpa ada upaya untuk
peningkatan produktivitas lahan serta nilai jual produk pertanian guna meningkatkan land rent sawah maka hal ini merupakan suatu bentuk
ketidakadilan. Perkembangan terakhir menunjukkan bahwa pendekatan command and control
mulai ditinggalkan dan diganti dengan pendekatan yang memadukan antara pendekatan penegakan regulasi dan pemberian insentif Yakin 2015.
Alasan perlunya pembayaran insentif kepada petani didukung oleh antara lain; kebijakan ini telah dilakukan di banyak negara Ulvevadet dan Hausner
, Newburn et al. , Meyer et al. , Pocewicz et al. dan
memberikan hasil memuaskan bila dikelola dengan tepat, merupakan cara yang paling efektif untuk melindungi lahan basah Pearce dan Turner 1990 dan
merupakan suatu cara untuk meningkatkan land rent sawah sekaligus kesejahteraan petani padi.
Petani pangan di Tanjung Jabung Timur perlu diberi insentif yang layak untuk menekan keinginan mereka melakukan alih fungsi lahan sawah karena
dibandingkan kebun sawit pendapatan mereka lebih rendah. Indikasi lainnya adalah besarnya keengganan untuk tidak menandatangani Surat Pernyataan
Memiliki LP2B karena banyaknya kewajiban yang harus mereka penuhi sementara bentuk dan besaran insentif yang mereka terima belum jelas. Menurut
Suryana dan Kariyasa 2008, Pemerintah perlu memberi insentif karena petani termasuk kelompok masyarakat yang kapasitasnya kurang dalam mengembangkan
produksi pertanian sedangkan Rode et al.
mengatakan, penghargaan uang akan mendorong masyarakat untuk berpartisipasi dalam aksi kolektif yang sulit
diperoleh dalam kegiatan yang tidak ada hadiah uang. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi berapa dana insentif yang diharapkan petani, jenis
yang mereka paling sukai dan dana yang dikeluarkan pemerintah untuk melindungi target LP2B yang besarannya akan sangat dipengaruhi pertumbuhan
penduduk dan konsumsi beras serta terget suplai beras ke luar daerah untuk menopang ketahanan pangan Provinsi Jambi.