TINJAUAN PUSTAKA Model Pengendalian Alih Fungsi Lahan Sawah Melalui Kebijakan Insentif Untuk Mewujudkan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan Di Kabupaten Tanjung Jabung Timur

diatur dalam RTRW di mana setiap jenis tanaman pertanian memiliki alokasi lahan masing-masing dan ketentuan yang mengatur alih fungsi lahan tersebut. Menurut Wicke et al. terdapat dua pendekatan penggunaan lahan, yaitu : 1 Pendekatan Business as Usual BAU; mengasumsikan penggunaan lahan mengikuti cara-cara lama atau cara-cara sebelumnya seperti hilangnya tutupan hutan, perubahan lahan pertanian dan pertumbuhan lahan perkebunan mengikuti tren pada masa lalu, di mana sumber lahan untuk pengembangan perkebunan bisa dari kategori lahan yang berbeda-beda. 2 Pendekatan Sustainability; mengasumsikan penebangan hutan dihentikan, pertumbuhan lahan pertanian mengikuti proyeksi FAO tahun 2030 untuk wilayah Asia Timur dan tanaman hutan atau HTI tumbuh dengan laju tetap. Pendekatan ini diterapkan dengan menggunakan lahan yang terdegradasi sebagai sumber lahan baru perkebunan karena hal ini mengurangi tekanan terhadap lahan hutan dan dapat berfungsi sebagai carbon sink pengurang emisi karbon. Keterangan: - Nilai negatif pada lahan pertanian dan tanaman hutan merujuk kepada persyaratan lahan tambahan pada setiap kategori di masa datang. Persyaratan tersebut harus dilengkapi untuk memenuhi permintaan produksi sawit dan karenanya dikurangi dari lahan yang tersedia saat ini. - Jumlah lahan terdegradasi berbeda antara sistem BAU dan Sustainability karena untuk BAU laju lahan terdegradasi diasumsikan meningkat sesuai pertumbuhan tahun sebelumnya sedangkan pada sustainability diasumsikan konstan. Pada Tabel 1, jika Indonesia melakukan pendekatan penggunaan lahan dengan cara berkeberlanjutan, maka masih tersedia lahan potensial untuk pertanian seluas 8.7 juta ha, yang bersumber dari lahan terdegradasi Wicke et al. . Pendekatan BAU dalam menggunakan sumber daya lahan berperan dalam meningkatkan laju alih fungsi lahan sawah, yaitu terjadinya perebutan lahan antar tanaman pertanian. Menurut Kementrian Pertanian alih fungsi lahan sawah tahun 1998-2002 mencapai 100 000 hatahun. Alih fungsi sawah belum dapat dicegah, salah satunya akibat penerapan RTRW oleh pemda kabupatenkota yang kurang berpihak kepada pertanian Kementan 2013b, Saili dan Purwadio 2012. Menurut Pasandaran 2006 terdapat tiga faktor yang berdiri sendiri atau secara bersama-sama menentukan terjadinya alih fungsi lahan sawah, yaitu Tabel . Ketersediaan lahan pertanian termasuk untuk produksi sawit dan tanaman hutan di Indonesia tahun 2005- Lahan tersedia yang bersumber dari Business as usual juta ha Sustainability juta ha 1. Lahan hutan Forest covered land . . 2. Lahan pertanian Agricultural land − . − . 3. Tanaman hutan atau HTI Forest plantations − . − . 4. Lahan terdegradasi Degraded land . . TOTAL . . Sumber : Wicke et al. kelangkaan sumber daya lahan dan air, dinamika pembangunan, serta peningkatan jumlah penduduk. Ditambahkannya, sistem persawahan irigasi memiliki tiga fungsi utama yang saling terkait, dan ketiganya harus tersedia dengan baik agar sawah dapat dipertahankan. Pertama, fungsi yang menopang produksi pangan seperti lahan, air, praktek bercocok tanam, dan kelembagaan. Kedua, fungsi konservasi, seperti pemeliharaan elemen-elemen biofisik jaringan irigasi dan persawahan dan ketiga fungsi pewarisan nilai-nilai budaya; termasuk dalam fungsi tersebut adalah kapital sosial dan kearifan lokal yang mengatur hubungan antar manusia, serta manusia dengan lingkungannya. Pengelolaan konflik dalam rangka pemanfaatan sumber daya merupakan salah satu elemen dari nilai-nilai budaya tersebut. Faktor ekonomi berupa rendahnya harga jual padi dan land rent lahan pertanian dibandingkan dengan kegiatan sektor lain juga menjadi dorongan kuat alih fungsi lahan sawah. Penelitian Pambudi 2008 di Kecamatan Ciampea Kabupaten Bogor menunjukkan rasio land rent sawah dengan lahan pemukiman . Harga komoditi pangan yang rendah di Indonesia khususnya padi karena belum memasukkan nilai positive externalities lahan sawah dan produk padi sebagai faktor utama terwujudnya ketahanan pangan. Nilai intrinsik dari lahan sawah jauh lebih tinggi dari nilai pasarnya namun nilai-nilai tersebut belum tercipta pasarannya sehingga pemilik lahanpetani belum memperoleh nilai finansialnya Tatiek 2013. Alih fungsi lahan sawah menjadi sawit mengakibatkan menurunnya produksi beras di Provinsi Jambi. Mengacu kepada jumlah penduduk yang mencapai 3. 4 juta jiwa pada tahun 201 , maka kebutuhan beras per tahun Provinsi Jambi mencapai kg atau ton per tahunnya angka konsumsi beras versi BPS 113. kgkapitatahun. Pada tahun 201 produksi padi sawah dan ladang mencapai ton BPS 2015a atau setara dengan ton beras. Berdasarkan data tersebut, Provinsi Jambi surplus beras sekitar ton. Jumlah tersebut semakin berkurang jika alih fungsi lahan sawah terus terjadi. Persaingan dalam memperebutkan sumber daya lahan di Provinsi Jambi diperkirakan dimulai sejak tumbuh pesatnya perkebunan sawit tahun 1990-an dan dicanangkannya program penanaman kembali karet tahun 2005. Pada tahun 2009 luas lahan sawah di Provinsi Jambi 177 323 ha BPS 2010 dan tahun 2013 seluas 167 623 ha BPS 2014b atau menyusut sekitar 10 000 ha. Tabel . Perkembangan luas lahan sawah dan sawit di empat kabupaten sentra padi di Provinsi Jambi tahun 2009 dan 2014 Sumber: BPS Provinsi Jambi tahun 20 dan 2014 Pada periode yang sama luas lahan sawit bertambah dari 493 737 ha 2009 menjadi 593 433 ha 2013 atau naik sekitar 99 000 ha. Pertambahan luas kebun sawit terjadi di kabupaten yang secara tradisional merupakan lumbung padi Provinsi Jambi, yaitu Kabupaten Tanjung Jabung Timur dan Barat, Sarolangun dan Merangin. Pada Tabel ditampilkan empat kabupaten yang mengalami kehilangan sawah tertinggi berdasarkan hasil kegiatan audit lahan Dinas Pertanian Provinsi Jambi tahun 2012 dan data BPS tahun 2014. Pada periode 2009-2013 atau selama masa empat tahun, sawah di daerah ini menyusut sebanyak 21.02. Persentase penyusutan ini lebih rendah dari Tanjung Jabung Barat atau menduduki ranking kedua namun secara absolut, kehilangan sawah di Tanjung Jabung Timur merupakan yang tertinggi di Provinsi Jambi. Pertumbuhan kebun sawit yang cepat didukung oleh kebijakan daerah bersangkutan seperti terlihat pada Rencana Tata Ruang Wilayah RTRW Kabupaten Tanjung Jabung Timur di mana alokasi lahan pengembangan sawit melebihi alokasi untuk program LP2B. Berdasarkan PP Nomor 1 Tahun 2011, agar sebuah wilayah memiliki LP2B, pemerintah kabupaten harus mengusulkannya ke pemerintah provinsi di mana usulan tersebut memuat data dan informasi tekstual, numerik, dan spasial mengenai indikasi luas baku dengan memperhatikan saran dan pendapat masyarakat Pasal 15. Pada Gambar 2. terlihat perkebunan bertambah pesat dari tahun 2005 ke tahun 2011 sementara sawah menurun tajam. Sumber: Audit Lahan oleh Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jambi Tahun 2012 Gambar . Perubahan luas lahan sawah, perkebunan dan pemukiman di Kabupaten Tanjung Jabung Timur tahun 2005 dan 2011 Model Perlindungan Lahan Pertanian dan Insentif yang Diberikan Alih fungsi lahan pertanian menjadi penggunaan lain dapat dicegah jika terdapat pemahaman yang lebih baik tentang fungsi pertanian yang tidak hanya sebagai penghasil pangan namun memiliki fungsi lain yaitu menghasilkan barang dan jasa yang tidak berbentuk komoditi seperti penyejuk udara, penyimpan air, mempertahankan komposisi tanah dan lain-lain. Fungsi pertanian dapat diklasifikasi dalam bentuk warna: fungsi hijau sebagai manejemen landskep, kehidupan liar, habitat untuk kehidupan liar serta kesejahteraannya dan lain-lain; fungsi biru berupa manejemen air, meningkatkan kualitas air, mencegah banjir, penampungan air dan pemanfaatannya sebagai energi; fungsi kuning merujuk kepada peran pertanian sebagai faktor pengikat dan penting di pedesaan, eksploitasi warisan budaya dan sejarah, menciptakan sebuah identitas regional, agroturisme dan lain-lain; serta warna putih untuk penyediaan keamanan dan ketahanan pangan Xu 2011. Menurut Huylenbroeck et al. telah terjadi pergeseran peran pertanian khususnya pertanian tanaman pangan yang tidak sekedar menyediakan pangan namun juga untuk memberi layanan lingkungan dan lensekap, pengelolaan air dan lain-lainnya. Menurut Rustiadi et al. , mekanisme pasar dapat berujung kepada market failure kegagalan pasar, yaitu suatu kondisi ketika sumber daya gagal didistribusikan secara produktif, adil dan efisien. Guna mencegah kegagalan pasar, intervensi pemerintah dapat dilakukan. Menurut Newburn et al. , pemberian insentif lebih efektif dalam melindungi keragaman pada lahan pribadi dibanding dengan regulasi dan penetapan zonakawasan. Pearce dan Turner 1990 menyusun opsi instrumen kebijakan manejemen lahan basah seperti terlihat pada Tabel 2.3. Tabel . Opsi instrumen kebijakan untuk penataan lahan basah Opsi Instrumen Instrumen 1. Regulasi a. Desain Perencanaan Pelarangan, zonasi dan penataan ruang, perizinan b. Pengurangan Polusi Kontrol khusus atas penggunaan lahan, pemberlakuan standar kualitas secara khusus 2. Akuisisi dan Penataan a. Pembelian organisasibadan publik, lembaga amal dengan bantuanhibah dari publik b. Kontrak atau sewa melalui pembuatan kontrak langsung dengan pemilik atau melalui lembaga yang terakreditasi c. Perjanjian dengan pemilik lahan d. Kesepakatan tertentu 3. Insentif dan Pengenaan Biaya a. Subsidi untuk konservasi kompensasi untuk lahan basah, kehidupan liarkerusakan tanaman, praktik konservasi b. Insentif pajak untuk konservasi untuk lahan, input dan biaya lainnya c. Pengenaan biaya d. Pengenaan biaya pengguna biaya memasuki suatu tempat, lisensi e. Subsidi kegiatan pembangunan pertanian, pembangunan jalan, rekreasi, dll Sumber: Pearce dan Turner 1990 Menurut Xu 2011, intervensi kebijakan dilakukan dengan cara menginternalkan ekternalitas tersebut sehingga tercapai efisiensi ekonomi. Untuk menetapkan alokasi efisiensi ekonomi, dengan cara menghitung nilai non pasar suatu sumber daya fungsi ekosistem, barang dan jasa yang dihasilkan oleh pertanian. Rustiadi et al. menawarkan mekanisme pengendalian tata ruang yang mencakup perizinan, zonasi, insentif ekonomi, pajak dan lain-lain. Kebijakan ekonomi pertanian di berbagai negara disajikan pada Tabel 2.4. Penerapan regulasi untuk mencegah alih fungsi lahan pertanian diberlakukan hampir di semua negara. India dan Bhutan menerapkan pengetatan prosedur penjualan lahan pertanian, Pakistan melalui cara konsolidasi lahan dan pembatasan ukuran lahan di mana untuk pertanian subsistence lahannya harus 12.5 acre setara dengan 5.06 ha sedangkan kepemilikan skala ekonomi 50 acre setara dengan 20.23 ha. Pemecahan di bawah ukuran tersebut dilarang Niroula dan Thapa 2005. Tabel . Perbandingan kebijakan ekonomi pertanian di berbagai negara No Negara Bentuk Kebijakan Pertanian Dampak Sumber Malaysia subsidi harga jual memicu distorsi harga sangat besar antara pasar domestik dan pasar bebas Athukorala dan Loke Nigeria pajak impor beras 50 mendorong produksi beras dan pengolahan paska panen Oguntade Amerika Serikat Agricultural Conservation Easements alih fungsi lahan pertanianterbuka terkendali Lassner Indonesia - insentif pertanian ekonomi dan non ekonomi PP Nomor - subsidi saprodi dan proteksi harga namun tarif impor pangan rendah belum memacu produktivitas, Indonesia dibanjiri produk pertanian negara lain Hafidh tahun tidak diketahui; - proteksi harga melalui kebijakan harga dasar pembelian pemerintah HDPP jaminan harga jual, meningkatkan produktivitas namun menurunkan daya saing beras premium, kemampuan Bulog menyerap padi terbatas karena keterbatasan anggaran Maulana India subsidi input, subsidi paska produksi kebijakan Harga Pendukung Minimum Minimum Support Price dan Kebijakan Harga Dasar Procurement Price merangsang perbaikan teknologi usaha, menjamin ketersediaan pangan, membangun sistim distribusi pangan masyarakat dan bagian dari skema kesejahteraan sosial Vijay 2012. Thailand regulasi ketat terhadap beras impor proteksi beras lokal, mencegah produk pertanian luar menguasai pasar domestik Warr 2008 China menaikkan harga beras dan menurunkan sewa lahan belum berhasil menahan petani untuk beralih menanam sayur-sayuran yang harga pasarnya jauh lebih tinggi Lu et al. Jepang pajak impor tinggi, subsidi bunga bank agar petani bisa membeli mesinsarana produksi, investasi pemerintah untuk prasarana di area pedesaan Swasembada pangan Purnama Cara lain yang dilakukan di negara-negara di Asia Selatan yaitu dengan pengelolaan bersama lahan pertanian membentuk koorporasi. Cara ini cukup berhasil sampai tahun 1970-an tapi kini tidak lagi diterapkan. Mulanya subsidi dan dana operasi berhasil menarik perhatian petani namun kemudian gagal karena konflik kepentingan, ketidakefiesiensian dalam menajemen serta pola ini tidak dikenal dalam kebudayaan masyarakat setempat Niroula dan Thapa 2005. Diantara kebijakan-kebijakan tersebut, Pearce dan Turner 1990 berpendapat pemberian insentif dan pengenaan biaya merupakan instrumen yang paling efektif dalam manajemen pengendalian lahan. Model kebijakan pertanian yang memberikan insentif dalam bentuk tunai di Amerika Serikat dinamakan Conservation Easement . Menurut Strong 1983 Easement berkembang pesat di AS sejak tahun 1970-an. Program Agricultural Easement umumnya dibiayai oleh pemerintah, sedangkan program Natural Resource Easement kebanyakan diinisiasi oleh pihak swasta. . Conservation Easement bersifat sukarela namun mengikat di mana pemilik lahan berkomitmen untuk membatasi pembangunan atau perubahan pada lahannya Tabel . Perbandingan program Conservation Easement AS dan PLP2B Indonesia Kategori Conservation Easement CE Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan LP2B Konsep Dasar Perlindungan lahan terbukaekosistempangan secara sukarela, diikat perjanjian Perlindungan lahan pertanian melalui penetapan pemerintah Tujuan melindungi habitat, sumber air, bufer, lahan pertanian melindungi lahan pangan; mewujudkan kemandirian, meningkatkan perlindungan dan pemberdayaan petani; melindungi kepemilikan lahan pertanian pangan milik petani; dll Kriteria lahan lahan pertanian, lahan terbuka lainnya lahan beririgasi, lahan reklamasi rawa pasang surut dan non pasang surut lebak, danatau lahan tidak beririgasi. Penyelenggara Organisasi konservasi lahan dan Pemerintah Pemerintah Jenis insentif direct cash payment , keringanan pajak keringanan PBB; pengembangan infrastruktur pertanian; pembiayaan penelitian dan pengembangan benih varietas unggul; kemudahan mengakses informasi dan teknologi; dll Konsekuensi pembiayaan ditanggung Land Trust, sumbangan masyarakat, dana Pemerintah ditanggung oleh pemerintah Sumber: Cross et al. , Anderson dan Weinhold 2008, Lassner 1998, Meyer et al. , Pocewicz et al. , Strong 1983 guna melindungi fungsi sosial dari lahan tersebut Cross et al. sedangkan menurut Pocewicz et al. , Conservation Easement merupakan kesepakatan antara pemilik lahan dan organisasi perlindungan Land Trust di mana si pemilik menjual atau mendonasikan lahannya untuk mencegah pemecahansubdivision atau pembangunan lahan. Perjanjian seperti ini memiliki kekuatan yang lebih besar untuk membatasi pemecahan lahan dan pembangunan konstruksi atau struktur jalan dibanding yang dapat dikenakan oleh regulasi pemerintah setempat Tabel . Nilai kompensasi Conservation Easement secara umum dihitung dari selisih nilai lahan sebelum pembatasan pembangunan dengan nilai lahan tersebut setelah adanya pembatasan penggunaan lahan. Semakin banyak pembatasan yang dilakukan semakin tinggi nilai kompensasi yang diperoleh pemilik lahan, demikian juga sebaliknya Lassner 1998. Menurut Anderson dan Weinhold , harga lahan yang terikat Conservation Easement turun sekitar 35-50 dan tergantung pada ketat longgarnya aturan dalam perjanjian tersebut. Namun hal ini berdampak positif kepada petani penyewa lahan karena sewa lahan menjadi lebih terjangkau. Pola pemberian insentif ini berbeda dengan pemberian insentif di Indonesia yang berbentuk bantuan saprodi dan saranaprasarana pertanian lainnya. Opsi mengakuisisi lahan dalam jumlah besar untuk tujuan pertanian dilakukan pemerintah Indonesia melalui proyek Merauke Integrated Food and Energy Estate MIFEE di Provinsi Papua bagian selatan, dimulai pada tahun 2010. Tujuan dari proyek ini adalah : 1 memperkuat keamanan pangan nasional dan meningkatkan ekspor pangan; 2 mengurangi anggaran untuk impor pangan; 3 mempercepat pembangunan di wilayah timur Indonesia; dan 4 memacu pertumbuhan ekonomi lokal dan nasional. Proyek ini menargetkan produksi beras sebanyak 1.95 juta ton namun skemanya tidak jelas terutama menyangkut luas lahan yang dialokasikan dan pembangunan irigasi serta infrastruktur pertanian lainnya. Terkesan proyek ini mengartikan „food‟ sebatas sawit sebagai penghasil CPO, yang juga termasuk bagian dari program ini Obidzinski et al. . Menurut Tietenberg dan Lynne 2009, penerapan zonasi pengetatan pengambil- alihan lahan dalam suatu wilayah dan memberikan izin serta penggunaan lahan secara khusus dalam zona tersebut juga dapat menekan negative externalities alih fungsi lahan. Contoh kebijakan zonasi di Indonesia adalah instruksi untuk membuat PERDA yang menjamin ketersediaan lahan pangan abadi di setiap provinsi, kabupaten dan kota. Pada PP Nomor 12 Tahun 2012 dijelaskan tentang pemberian insentif secara berjenjang mulai dari pemerintah pusat, provinsi dan kabupatenkota. Secara umum terlihat bahwa jenis insentif yang diberikan antara pemerintah pusat dan provinsi persis sama yaitu: a. pengembangan infrastruktur pertanian; b. pembiayaan penelitian, pengembangan benih dan varietas unggul; c. kemudahan mengakses informasi dan teknologi; d. penyediaan sarana dan prasarana produksi pertanian; e. jaminan penerbitan sertipikat hak atas tanah pada lahan pertanian pangan berkelanjutan; danatau f. penghargaan bagi petani berprestasi tinggi. Pada level Pemerintah Provinsi Jambi, Gubernur melalui Peraturan Nomor 14 Tahun juga diatur Pencegahan Alih Fungsi Lahan Tanaman Pangan Dan Hortikultura untuk Pemanfaatan Lain. Pada Pasal 4 dijelaskan bahwa lahan tanaman pangan dan hortikultura yang telah ditetapkan wajib dilindungi dan dilarang dialihfungsikan untuk peruntukan tanaman perkebunan, perikanan dan pembangunan perumahan serta pembangunan fisik lainnya, kecuali untuk kepentingan umum sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Kemungkinan mengubah peruntukan tersebut terbuka hanya jika sesuai dengan Rencana Umum Tata Ruang dan harus mendapat persetujuan Pemerintah KabupatenKota setempat. Pada Pasal 8 Peraturan Gubernur ini dijelaskan tentang pemberian insentif kepada orang atau badan hukum yang tetap mempertahankan pemanfaatan lahan untuk usaha budidaya tanaman pangan dan hortikultura secara optimal dan tidak mengalihfungsikan untuk peruntukan lain ayat 1 dan sebaliknya akan memperoleh disinsentif untuk orangpihak yang sengaja rnengalihfungsikan lahan tanaman pangan dan hortikultura untuk peruntukan lain Pasal 8 ayat 3. Namun jenis, nilai dan pendistribusian insentif tidak dijelaskan lebih lanjut. Pada Tabel dijelaskan pertimbangan dan kriteria pemberian insentif di level kabupatenkota Keberadaan UU Desa Nomor 6 Tahun 2014 dapat memperkuat partisipasi masyarakat dalam proses penetapan lahan pertanian pangan dan memperjuangkan insentif ekonomi yang memadai. Hal ini terkait dengan kewenangan desa melalui Kepala Desanya Pasal 26 diantaranya: membina dan meningkatkan perekonomian desa serta mengintegrasikannya agar mencapai perekonomian skala produktif untuk sebesar-besarnya kemakmuran masyarakat desa; mengembangkan sumber pendapatan desa; serta mengoordinasikan pembangunan desa secara Tabel . Pertimbangan dan kriteria pemberian insentif No Pertimbangan Kriteria Keterangan tipologi Lahan a. lahan beririgasi; b. lahan rawa pasang surut lebak; c. lahan tidak beririgasi lahan rawa pasang surut lebak memperoleh tambahan insentif kesuburan tanah kesesuaian lahan pada komoditas tertentu yang diatur dengan Peraturan Menteri Lahan dengan kesuburan rendah diberikan insentif lebih banyak. luas tanam minimal 25 Ha satu hamparan - irigasi a. kinerja jaringan irigasi; b. tingkat operasi; c. pemeliharaan irigasi Prioritas: memerlukan rehabilitasi jaringan irigasi; yang operasi dan pemeliharaannya baik luasan maks 1.000 Ha tingkat fragmentasi lahan fragmentasi pada satu hamparan Prioritas: tidak mengalami fragmentasi pada satu hamparan produktivitas usaha tani produktivitas rata-rata Prioritas: tingkat produktivitasnya di bawah produktivitas rata-rata kabupatenkota lokasi jarak antara lokasi lahan dan jaringan jalan Prioritas: LP2B yang terletak kurang dari 100 meter dari badan jalan kolektivitas usaha pertanian tingkat kolektivitas usaha tani Prioritas: daerah irigasi dan rawa pasang dengan tingkat kolektivitas usaha taninya tinggi; daerah tidak beririgasi yang memiliki kolektiivitas usaha tani praktik usaha tani ramah lingkungan. menerapkan teknologi ramah lingkungan - Sumber : Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2012 partisipatif. Selain itu terdapat asset desa seperti tanah ulayat Pasal 76 yang dapat dikembangkan menjadi lahan pertanian dan program desa yang salah satunya untuk pengembangan ekonomi pertanian berskala produktif pasal 80. Dampak Sawit terhadap Lingkungan Menurut Feintrenie et al. sawit lebih unggul dalam hal produktivitas, masa pra-produksi yang singkat, adanya produk sekunder, serta rendahnya biaya investasi dan input. Perkebunan sawit dinilai sangat berpropspek dalam perdagangan minyak nabati dunia Saili dan Purwadio 2012. Menurut Hersuroso , pengembangan kelapa sawit berefek multiplier bagi perekonomian berupa meningkatnya pendapatan petani plasma dari penjualan produksi petani berupa tandan buah segar TBS, timbulnya usaha seperti jasa transportasi dan jasa penyedia sarana serta prasarana perusahaan perkebunan penyediaan bahan, peralatan dan mesin pertanian dan berkembangnya pelaku ekonomi yang bergerak disektor informal antara lain: pedagang kecil, tukang ojek, bengkel, tukang las dan lain-lain . Hasil penelitian Astuti et al. di Bengkulu menunjukkan bahwa dipandang dari aspek ekonomi, lingkungan dan teknis, petani lebih mengunggulkan sawit dibanding padi. Dari setiap aspek terdapat beberapa faktor yang menyebabkan petani yang pada tahun 1990-an bersawah kini beralih ke sawit. Faktor tersebut dari aspek ekonomis terdiri dari 1 harga jual tanaman pangan yang rendah khususnya pada saat panen; 2 panen sawit dilakukan kontinyu setiap dua minggu; 3 keuntungan berkebun sawit lebih tinggi; 4 harga sawit lebih terjaminstabil; dan 5 biaya pemeliharaan tanaman sawit lebih rendah. Aspek lingkungan terdiri dari 1 kecocokan lahan untuk kebun sawit; 2 ancaman hama dan penyakit pada tanaman pangan; 3 kondisi irigasi tidak mendukung; 4 posisi tawar petani sawit lebih tinggi; dan 5 tenaga kerja kebun sawit lebih sedikit. Aspek teknis terdiri dari 1 tanaman sawit berumur panjang; 2 proses pascapanen tanaman pangan lebih sulit; 3 teknik budidaya sawit lebih mudah; dan 4 kesulitan pengadaan pupuk untuk tanaman pangan. Akhir-akhir ini sawit dikembangkan untuk memproduksi biodiesel. Namun dampak negatifnya terhadap lingkungan seperti emisi carbon, kebakaran lahan yang terjadi setiap tahun, subsidence dan resiko banjir, konflik lahan serta penurunan pendapatan petani kecil karena jatuhnya harga tandan buah segar TBS mendorong pemerintah mengeluarkan regulasi untuk mengatur penanaman sawit khususnya di lahan basah seperti Peraturan Pemerintah Nomor 712014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut, Keputusan Presiden Nomor 321990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung, Instruksi Presiden Nomor 62013 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Premier dan Lahan Gambut Afriyanti et al. . Ketidakberlanjutan sawit dan produksinya menurut Wicke et al. dapat dilihat dari perubahan penggunaan lahan di Asia Tenggara di mana hutan alam, hutan gambut, daerah pertanian dan jenis lahan lainnya berubah jadi sawit. Perubahan ini selanjutnya berimplikasi pada masalah sosial dan lingkungan. Menurut Afriyanti et al. , the World Research Institute WRI telah menetapkan standar keberlanjutan di mana sawit dapat ditanam pada lahan yang mengandung 35 ton carbonha, area yang keanekaragaman hayatinya rendah serta tidak mengkonversi hutan dan lahan basah. Namun perkembangan terakhir menunjukkan khusus untuk Sumatra dan Kalimantan, ekspansi sawit menyasar ke lahan basah seiring dengan makin terbatasnya lahan mineral. Sejak tahun 2013 pemberian izin pembukaan lahan gambut telah dihentikan moratorium berdasarkan Instruksi Presiden Nomor Penurunan kualitas lahan yang ditanami sawit menurut Firmansyah 2014 terjadi karena pembuatan saluran drainase yang lebar dan dalam guna menciptakan zona perakaran bagi kelapa sawit. Hal ini mengakibatkan lapisan pirit teroksidasi yang mengeluarkan sulfat sehingga tanah menjadi masam. Dampak lainnya akibat pembuatan drainase tersebut adalah surutnya air rawa, permukaan air tanah menurun, gambut mengering, menimbulkan bahaya kebakaran, serta meningkatkan emisi gas rumah kaca. Berdasarkan hasil penelitian Widodo 2011 di Kabupaten Siak Riau, sebelum adanya perkebunan kelapa sawit debit air di daerah tersebut sebesar 2 708 m3s dan sesudah adanya perkebunan kelapa sawit menjadi 359 m3s. Penurunan debit air berarti berkurangnya nilai air tersedia untuk pengguna air terutama untuk kebutuhan domestik atau rumah tangga. Pemanfaatan lahan gambut untuk sawit terutama yang ketebalan gambutnya 3 meter kurang tepat karena mempercepat subsiden atau degradasi akibat pertukaran kondisi anaerob menjadi aerob dan pertumbuhan sawit miringroboh karena tidak adanya tanah bagi akar sawit untuk bertumpu. Hal ini telah dicantumkan dalam Permentan Nomor 142009 tentang Pedoman Pemanfaatan Lahan Gambut untuk Budidaya Kelapa Sawit http:balittra.litbang.pertanian.go.id 2013. Menurut Razialdi 2016 yang melakukan penelitian di Muara Sabak Timur, salah satu kecamatan di Tanjung Jabung Timur, keberadaan dan ketebalan gambut sudah sangat sedikit dan tipis di daerah ini di mana areal kubah gambut yang berpotensi sebagai lumbung air pertanian sudah tidak memadai. Hal ini disebabkan konservasi kawasan lindung pesisir pantai dan sempadan sungai serta kawasan potensi perlindungan air tanah kubah gambut atau potensi perlindungan lainnya belum dilakukan secara optimal. Potensi areal perlindungan air baku juga terdegradasi akibat kesalahan pembuatan saluran drainase. Dampak negatif sawit berpotensi mereduksi keuntungan ekonomi terutama bila dampak negatif tersebut dimasukkan sebagai faktor biaya. Permasalahan lain yang patut dipertimbangkan dalam pengembangan perkebunan sawit ke depannya adalah harga Crude Palm Oil CPO yang cenderung menurun di pasar internasional. Pasar di Uni Eropa dan Amerika Serikat menyaratkan CPO untuk biodiesel harus berasal dari perkebunan sawit non lahan gambut, sementara untuk kondisi di Provinsi Jambi sebagian besar perkebunan sawit berada di lahan gambut. Sebagai bukti sawit telah menjalankan manajemen berkelanjutan, petani swadaya maupun petani plasma melalui kelompok tani masing-masing didorong untuk memiliki sertipikat Roundtable on Sustainable Palm Oil RSPO namun sampai saat ini baru satu kelompok tani swadaya di Provinsi Jambi yang memiliki sertipikat ini dengan luas sawit 346 ha RSPO 2016 sedangkan petani sawit di Tanjung Jabung Timur belum ada yang memiliki sertipikat ini. Potensi konflik kepemilikan lahan karena ekspansi sawit juga sangat besar. Hal ini disebabkan sebagian besar petanitransmigran tidak memiliki sertipikat lahan seperti yang dialami transmigran di Kecamatan Geragai Kabupaten Tanjung Jabung Timur yang lahannya dikuasai oleh sebuah perkebunan swasta sawit yang memegang Hak Guna Usaha dari pemerintah Samon dan Syahroni 2007. State of The Art Penelitian tentang konservasi lahan telah banyak dilakukan khususnya untuk perlindungan habitat dan ekosistem seperti Ulvevadet dan Hausner 2011 yang meneliti program perlindungan padang penggembalaan rusa di Norwegia dan Newburn et al. yang menguji efektifitas pendanaan untuk melindungi habitatekologi di lahan privat terutama dalam hal menetapkan skala prioritas lahan yang akan diberi perlindungan. Meyer et al. menganalis faktor kebijakan dan sosial ekonomi yang mendorong peningkatan jumlah wilayah yang dikonservasi serta pentingnya membangun inovasi metode konservasi lahan untuk mencapai perlindungan lahan yang lebih baik di masa depan. Metode penelitian perlindungan lahan dengan menggunakan insentifdisinsentif ekonomi dilakukan antara lain oleh Amigues et al. dan Lindhjem dan Mitani 2012 dengan menggunakan metoda WTA serta Karki 2013 yang meneliti pengaruh pemberian insentif ekonomi untuk perlindungan Nepal‘s Bardia National Park terhadap keberlanjutan matapencaharian penduduk lokal yang tinggal di sekitar kawasan hutan. Penelitian untuk mengetahui nilai insentif yang sesuai untuk melindungi lahan pangan khususnya sawah masih sedikit. Umumnya penelitian tersebut dilakukan di negara China dan negara berpenduduk besar lainnya dan diawali dengan pengungkapan nilai pasar dan non pasar komoditi pertanian tersebut. Xu dengan menggunakan pendekatan Total Economic Value TEV dan Jianjun et al. menggunakan pendekatan nilai WTP. Penelitian ini menyangkut besaran dan jenis insentif yang sesuai agar masyarakat bersedia mendukung program PLP2B. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menyelamatkan lahan sawah secara fisik dan secara tidak langsung ikut menyelamatkan intangible value-nya di Indonesia namun disadari akan berdampak pada penambahan anggaran pembangunan pertanian untuk membayar insentif. Dibutuhkan political will yang kuat untuk menerapkan kebijakan insentif ini, apalagi harus berhadapan dengan kondisi keuangan daerah yang terbatas dan kuatnya paradigma bahwa regulasi saja sudah cukup untuk mengatasi masalah alih fungsi lahan jika ditegakkan dengan tegas. Anggapan tersebut tidak sepenuhnya benar karena lahan sawah merupakan milik masyarakat, yang hak- haknya harus diakui dan kepentingan mereka semestinya diakomodasi agar sebuah program dapat berjalan dengan baik. Menurut Pambudi 200 , pemaksaan kepada masyarakat petani untuk mengikuti suatu program tanpa ada upaya untuk peningkatan produktivitas lahan serta nilai jual produk pertanian guna meningkatkan land rent sawah maka hal ini merupakan suatu bentuk ketidakadilan. Perkembangan terakhir menunjukkan bahwa pendekatan command and control mulai ditinggalkan dan diganti dengan pendekatan yang memadukan antara pendekatan penegakan regulasi dan pemberian insentif Yakin 2015. Alasan perlunya pembayaran insentif kepada petani didukung oleh antara lain; kebijakan ini telah dilakukan di banyak negara Ulvevadet dan Hausner , Newburn et al. , Meyer et al. , Pocewicz et al. dan memberikan hasil memuaskan bila dikelola dengan tepat, merupakan cara yang paling efektif untuk melindungi lahan basah Pearce dan Turner 1990 dan merupakan suatu cara untuk meningkatkan land rent sawah sekaligus kesejahteraan petani padi. Petani pangan di Tanjung Jabung Timur perlu diberi insentif yang layak untuk menekan keinginan mereka melakukan alih fungsi lahan sawah karena dibandingkan kebun sawit pendapatan mereka lebih rendah. Indikasi lainnya adalah besarnya keengganan untuk tidak menandatangani Surat Pernyataan Memiliki LP2B karena banyaknya kewajiban yang harus mereka penuhi sementara bentuk dan besaran insentif yang mereka terima belum jelas. Menurut Suryana dan Kariyasa 2008, Pemerintah perlu memberi insentif karena petani termasuk kelompok masyarakat yang kapasitasnya kurang dalam mengembangkan produksi pertanian sedangkan Rode et al. mengatakan, penghargaan uang akan mendorong masyarakat untuk berpartisipasi dalam aksi kolektif yang sulit diperoleh dalam kegiatan yang tidak ada hadiah uang. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi berapa dana insentif yang diharapkan petani, jenis yang mereka paling sukai dan dana yang dikeluarkan pemerintah untuk melindungi target LP2B yang besarannya akan sangat dipengaruhi pertumbuhan penduduk dan konsumsi beras serta terget suplai beras ke luar daerah untuk menopang ketahanan pangan Provinsi Jambi.

3. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

Kabupaten Tanjung Jabung Timur dibentuk berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Sarolangun, Tebo, Muaro Jambi dan Kabupaten Tanjung Jabung Timur. Kabupaten ini terletak antara 0 ○ ‘- ○ ‘ Lintang Selatan dan antara ○ - ○ 31 Bujur Timur. Di sebelah Utara dan Timur wilayah ini terdapat Laut Cina Selatan, sedangkan di sebelah selatan berbatasan dengan Provinsi Sumatera Selatan dan Kabupaten Muaro Jambi serta di sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Tanjung Jabung Barat dan Kabupaten Muaro Jambi. Luas Kabupaten Tanjung Timur 5 445 km , meliputi 11 kecamatan dan 93 desa BPS 2014a. Sejalan dengan berlakunya Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, luas wilayah Kabupaten Tanjung Jabung Timur termasuk perairan dan 30 pulau kecil menjadi 13 102.25 km2. Kabupaten ini memiliki panjang pantai sekitar 191 km atau 90.5 dari panjang pantai Provinsi Jambi BPS 2014a. Penduduk wilayah ini tahun 2014 berjumlah 212 084 jiwa BPS 2015a, merupakan campuran berbagai etnis; Jawa, Bugis, dan Melayu merupakan etnis mayoritas, dan beberapa etnis lain yang jumlahnya lebih kecil seperti Gambar . Peta Kabupaten Tanjung Jabung Timur Minangkabau, Kerinci, Banjar, Batak, dan Tionghoa. Etnis Melayu atau dikenal dengan sebutan Melayu Timur merupakan penduduk asli. Masing-masing etnis cenderung bekerja pada sektor tertentu, seperti orang Jawa berprofesi sebagai petani kebun dan sawah, orang Bugis sebagai pencari ikannelayan, dan orang Minangkabau serta Tionghoa sebagai pedagang Lindayanti dan Witrianto 2014. Sebanyak 66.55 penduduk usia di atas 15 tahun bekerja di lapangan usaha pertanian, kehutanan, perburuan dan perikanan BPS 2015b. Kabupaten Tanjung Jabung Timur memiliki 11 kecamatan dan 93 desakelurahan. Topografi desakelurahan berdasarkan letak wilayah dibedakan menjadi tiga bentuk yaitu: lereng bagian dari gunungbukit yang terletak di antara puncak sampai lembah, mencakup punggung bukit dan puncaknya, lembah daerah rendah yang terletak di antara dua pegunungan atau daerah yang lebih rendah dibandingkan daerah sekitarnya dan dataran bagian atau sisi bidang tanah yang tampak datar, rata, dan membentang. Sebagian besar 98. topografi wilayah desa adalah dataran BPS 2014c dengan ketinggian 0-5 dpl Bappeda . Dataran di daerah ini dibentuk oleh tanah yang kaya air dan rentan banjir pasang surut karena banyaknya sungai kecil dan besar yang melewatinya Bappeda 2007. Jenis tanah dominan adalah gley humus rendah dan orgosol yang bergambut. Daya dukung lahan untuk pengembangan wilayah sangat rendah sehingga membutuhkan input teknologi. Sumber air di daerah ini berasal dari air tanah dan air permukaan. Air permukaan berasal dari Sub DAS Mendahara dan Tungkal di mana pola alirannya berbentuk radial Bappeda 2007. Rata-rata suhu udara di daerah ini antara 26 o C – . o C dan puncak curah hujan terbanyak 2 575 mm pada tahun 2014 terjadi pada bulan Desember BPS 2015b. Dari sisi penggunaan lahan, sebagian besar wilayah ini merupakan lahan kering sebagaimana disajikan pada Tabel . Tabel . Banyaknya desa menurut topografi wilayah tahun Kecamatan LerengPuncak Lembah Dataran Jumlah Mendahara Mendahara Ulu Geragai Dendang Muara Sabak Barat Muara Sabak Timur Kuala Jambi Rantau Rasau Berbak Nipah Panjang Sadu Tanjung Jabung Timur Sumber: Potensi Desa Kabupaten Tanjung Jabung Timur 2014 Luas lahan yang dikategorikan kritis dan sangat kritis di daerah ini masing- masing . ha dan . BLHD 2014. Selain untuk pengembangan wilayah, sebagian kawasan di daerah ini merupakan lahan konservasi dengan rincian cagar alam seluas ha, Taman Nasional Berbak 138 ha, Taman Hutan Rakyat Tahura ha dan Hutan Lindung Gambut 23 ha. Sisanya seluas 54 ha merupakan kawasan hutan produksi Yuwana 2003. Namun beberapa tahun belakangan, kawasan tersebut rusak oleh ekspansi sawit, pembalakan liar dan kebakaran. Pada tahun 2014, luas hutanlahan yang terbakar di Tanjung Jabung Timur mencapai ha BLHD 2014. . Tabel Luas wilayah menurut penggunaan tahun 2014 No Penggunaan lahan Luas ha Lahan Non Pertanian . Lahan Sawah . Lahan Kering . Lahan Perkebunan . Lahan Hutan . Lahan Badan Air . TOTAL . Sumber : BLHD Provinsi Jambi tahun 2014

4. ALIH FUNGSI LAHAN SAWAH DAN TANTANGAN

PELAKSANAAN PROGRAM PERLINDUNGAN LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN DI KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR ABSTRAK Pembukaan wilayah pantai timur Provinsi Jambi dilakukan Pemerintah Pusat guna menempatkan puluhan ribu transmigran melalui Program Pembangunan Lima Tahun PELITA I sampai VI. Kegiatan ini berhasil menjadikan daerah ini sebagai lumbung padi. Pada masa otonomi daerah, tanaman sawit masuk ke wilayah ini dan dapat dianggap sebagai titik awal terjadinya alih fungsi lahan sawah secara masif. Di permukaan terlihat bahwa masalah ekonomi sebagai faktor pendorong petani untuk beralih fungsi lahan namun kebijakan pemerintah yang mengubah daerah ini yang awalnya sentra produksi padi namun kemudian terbuka untuk pengembangan sawit, ikut berperan. Penelitian ini bertujuan mendekripsikan awal terjadinya alih fungsi lahan sawah, menganalisis tantangan yang dihadapi untuk menerapkan PERDA PLP2B serta menyusun struktur model lembagaaktor, kendala dan aktivitas berpengaruh dalam pengendalian alih fungsi lahan sawah. Data primer diperoleh dari observasi dan wawancara dengan narasumber terpilih serta data sekunder dari instansi pemerintah dan BPS. Analisa data dilakukan secara deskriptif kualitatif, overlay peta penggunaan lahan dan pendekatan sistem. Dapat disimpulkan bahwa kejadian alih fungsi lahan sawah berawal dari perubahan pola pemerintahan dan inkonsistensi kebijakan pembangunan pertanian yang kemudian menjalar kepada masalah lain seperti pengairan, kerusakan lahan dan kurangnya insentif untuk petani. Tantangan yang dihadapi sangat besar; kurangnya insentif, penurunan kualitas lahan, koordinasi antara instansi terkait, kelengkapan PERDA PLP2B dan pendanaan. Struktur model berdasarkan analisis Interpretive Structural Model menghasilkan tiga level untuk masing-masing elemen aktor, kendala dan kegiatan. Level ke-3 atau level yang paling berpengaruh ditempati delapan sub elemen aktor, dua sub elemen kendala serta delapan sub elemen kegiatan. Agar pengendalian alih fungsi lahan sawah terkelola dengan baik maka kelengkapan PERDA serta ketersediaan dana harus ditangani lebih dahulu. Kata Kunci : degradasi lahan, insentif, pembiayaan, pengairan, sawit ABSTRACT The region in the east coast of Jambi Province was opened by Indonesian Government through the Five Yearly Development Program to place thousands of transmigrants. This program was successful in making up this region as the centre of paddy. Palm oil was introduced in Regional Autonomy era that can be considered as the starting point of paddy land conversion that happens massively in this region after that. From the outset seems that the economic factor becomes the main reason to do land conversion. Yet the change of government pattern and followed by the change of policycommitment which previously focused on developing this area as paddy centre but then switched into palm oil development area also influenced it. This research aims to describe the beginning period of paddy land conversion, analyse the challenges to implement the Regencial Regulation Number 18 Year 2013 and to make the structural model of institutionsactors, problems as well as activities involved. The primary data gained from observation and interview with a couple of source persons and the secondary data came from government institutions and Statistics Beareou. Data were analysed descriptively qualitative, overlaying land use maps and by system approach. It can be concuded that the paddy land conversion into palm oil rooted from the change of governance pattern as well as inconsistency of development policies that then worsened the other aspects such as water management, the decrease of land quality and incentive issues for the paddy farmers. The challenges to succed the implementation of PSFAL are huge; lack of incentives, land degradation, lack of coordination among the stakeholders, some weakneses found in the regulation and the limitness of development fund. The structure model based on Interpretive Structural Model analysis results three levels for each element of actor, problem and activity. The 3th level or the most influenced level is placed by eight sub elements of actor, two sub elements of problem and eight sub elements of activity. In order to control the paddy land conversion, the problems relate with the local regulation and avaibility of fund should be overcome first. Key words : financing, incentive, land degradation, palm oil, watering issue Pendahuluan Latar Belakang Undang-undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan PLP2B mendefenisikan LP2B sebagai bidang lahan pertanian yang ditetapkan untuk dilindungi dan dikembangkan secara konsisten guna menghasilkan pangan pokok bagi kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan nasional. Berdasarkan undang-undang ini perlindungan lahan pangan tidak semata-mata untuk mempertahankan luasan lahan pangan dan kaitannya dengan ketahanan pangan, namun juga memperjuangkan kesejahteraan petani dan penambahan lapangan kerja aspek ekonomi serta perlindungan terhadap ekologi aspek lingkungan. Sudah sewajarnya kehadiran regulasi tentang LP2B dan penetapan alih fungsi lahan pertanian menekankan pada tindakan berbasis masyarakat community based action yang bersifat kolektif, yang strateginya dikembangkan dengan memperhatikan dimensi manusia dan hubungan sistem ekonomi, ekologi serta sosial Sriartha dan Windia 2015, Zakaria dan Rachman 2013. Alih fungsi lahan sawah menjadi sawit di Kabupaten Tanjung Jabung Timur dipengaruhi beragam faktor yang saling terkait. Di permukaan terlihat bahwa faktor ekonomi sangat menonjol mendorong beralihnya fungsi lahan sawah. Namun jika ditarik ke belakang, akan ditemukan faktor lain yang tak kalah berperan sebagai pemicu terjadinya alih fungsi lahan sawah, yaitu faktor kebijakan pemerintah. Awalnya wilayah pantai timur Provinsi Jambi dibuka untuk lokasi transmigrasi bersamaan dengan dicetaknya ratusan ribu hektar sawah baru. Kebijakan pada Pelita I tersebut berhasil menjadikan Kabupaten Tanjung Jabung Timur sebelum tahun 2000 masih tergabung dalam Kabupaten Tanjung Jabung