Perumusan Masalah dan Pendekatan Masalah
Wilayah di pantai timur Provinsi Jambi ini merupakan daerah pasang surut yang pada era Pelita I dibuka untuk menampung transmigran dari Pulau Jawa.
Pemerintah Pusat membangun parit dan pintu air untuk mengantisipasi naiknya air Sungai Batanghari bersamaan dengan pencetakan ribuan hektar sawah. Kabupaten
Tanjung Jabung Timur sampai tahun 2004 masih merupakan penghasil padi nomor satu di Provinsi Jambi dengan produktivitas rata-rata 3.4 tonha dan
menyumbang 27 dari total produksi padi Provinsi Jambi. Sejak tahun 2005 produksi padi daerah ini hanya menyumbang sekitar
- atau sebagai penghasil padi kedua terbesar setelah Kabupaten Kerinci meskipun
produktivitasnya meningkat menjadi 3.6 tonha. Banyaknya sawah yang beralih fungsi menjadi kebun sawit merupakan
penyebab terjadinya penurunan produksi padi daerah ini. Berdasarkan hasil pendataan audit lahan yang dilaksanakan oleh Dinas Pertanian Provinsi Jambi
Gambar . Kerangka pikir penelitian
tahun 2012, penyusutan luas lahan sawah dari tahun 2005 ke tahun 2011 mencapai 246 ha. Pada sisi lain penggunaan lahan untuk perkebunan karet, sawit dan
lain-lain menunjukkan pertumbuhan yang sangat pesat yaitu sebanyak 72 104 ha. Data lain yang bersumber dari BPS menunjukkan pertambahan lahan sawit pada
periode 2009-2013 di Tanjung Jabung Timur sebanyak 107 288 ha. Sampai saat ini belum tersedia data luas lahan sawah yang beralih fungsi menjadi sawit
meskipun permasalahan ini banyak dibahas di lingkup Pemerintahan Provinsi Jambi. Hal ini merupakan salah satu alasan pentingnya dilakukannya penelitian ini,
yaitu untuk mengetahui tanaman perkebunan yang menjadi ancaman utama sawah di Tanjung Jabung Timur.
Penyebab alih fungsi lahan sawah menjadi sawit karena pendapatan dari sawit lebih tinggi sedangkan produktivitas sawah per hektar rendah yang
terendah di antara kabupatenkota lainnya dan musim tanam hanya satu kali per tahun serta resiko gagal tanam dan panen padi yang besar. Guna menghindari
kehilangan sawah yang lebih banyak, Pemerintah Daerah menerbitkan PERDA Nomor 182013, yang bertujuan melindungi lahan sawah sebanyak 17 000 ha dan
cadangannya sebanyak
000 ha. Sebagai tindak lanjutnya, sejak tahun 2014 Dinas Pertanian Kabupaten Tanjung Jabung Timur melaksanakan validasi lahan
sawah yang masuk perlindungan LP2B namun setelah dua tahun berjalan, realisasi validasi tersebut belum mencapai 50. Banyak petani yang tidak bersedia
menandatangai surat pernyataan memiliki lahan LP2B karena khawatir terikat atau tidak bisa menggunakan lahan sesuai dengan keinginan mereka.
Insentif yang disediakan dalam PERDA LP2B seharusnya dapat menjadi faktor penarik bagi petani untuk bergabung dalam program pemerintah tersebut
namun realisasinya belum memuaskan. Insentif dalam PERDA yang disusun secara top down dan belum mengakomodasi harapan petani tentang jenis dan
besaran insentif yang diinginkan diduga menjadi salah satu penyebab mengapa realisasi validasi LP2B rendah. Berdasarkan kondisi tersebut, penelitian ini
mencoba menjawab beberapa pertanyaan berikut: 1.
Bagaimanakah kebijakan pembangunan khususnya pertanian di Kabupaten Tanjung Jabung Timur yang mengarah pada terjadinya alih fungsi lahan
sawah serta tantangan yang dihadapi dalam melaksanakan Program Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan?
2. Berapakah luas lahan sawah yang telah beralih fungsi menjadi sawit dan
perbandingan nilai land rent sawah dan sawit? 3.
Bagaimanakah preferensi masyarakat terhadap besaran insentif ekonomi yang ditawarkan dan bentuk insentif ekonomi yang paling disukai?
4. Bagaimanakah model dinamis pengendalian alih fungsi lahan sawah yang
berbasis instrumen kebijakan insentif? Secara umum pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini merupakan
gabungan antara pendekatan deskriptif kualitatif, kuantitatif, pemanfaatan data Citra Landsat dan pendekatan sistem. Untuk menjawab pertanyaan penelitian
pertama digunakan pendekatan deskriptif kualitatif dengan meriviu kebijakan pemerintah daerah yang dilakukan selama ini terutama yang menyangkut
penggunaan lahan serta pendekatan sistem Intrepretive Structural ModelISM sedangkan untuk mengetahui luas lahan sawah yang telah beralih fungsi menjadi
lahan sawit, dipakai pendekatan overlay peta penggunaan lahan sehingga
diperoleh informasi luas sawah menjadi sawit pada periode pengamatan tertentu. Pendekatan kuantitatif dilakukan untuk mengetahui perbandingan nilai land rent
antara sawah dan sawit serta nilai insentif yang dapat diterimadisetujui petani agar mau bergabung dalam Program PLP2B, pendekatan permodelan sistem
dinamis digunakan untuk merancang suatu model pengendalian alih fungsi lahan sawah melalui kebijakan insentif. Diagram alir proses penelitian disajikan pada
Gambar 1.
.
Tujuan Penelitian
Tujuan umum penelitian adalah merumuskan Model Pengendalian Alih fungsi Lahan Sawah melalui Kebijakan Insentif untuk Mewujudkan Lahan
Pertanian Pangan Berkelanjutan di Kabupaten Tanjung Jabung Timur. Tujuan khusus penelitiannya adalah:
1.
Menganalisis kebijakan pembangunan khususnya pertanian di Kabupaten Tanjung Jabung Timur yang mengarah kepada terjadinya alih fungsi lahan
sawah serta tantangan yang dihadapi dalam melaksanakan Program Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan
2. Menganalisis luas lahan sawah yang telah beralih fungsi menjadi sawit dan
perbandingan nilai land rent sawah dan sawit 3.
Menganalisis preferensi masyarakat terhadap besaran insentif ekonomi yang ditawarkan dan bentuk insentif ekonomi yang paling disukai.
4. Merancang model dinamis pengendalian alih fungsi lahan sawah yang
berbasis instrumen kebijakan insentif.
Kebaruan Penelitian
Novelti atau kebaruan penelitian ini dapat dilihat dari rancangan jenis dan nilai insentif di mana di Indonesia lazimnya dibuatdiputuskan secara top down
namun dalam
penelitian ini
dirancang secara
bottom up
dengan mempertimbangkan aspirasi petani melalui metode Willingness To Accept WTA.
Penggunaan tools WTA untuk menaksir nilai insentif juga termasuk baru karena Gambar
. Diagram alir proses penelitian
biasanya metode WTA dipakai untuk menaksir nilai kompensasi bagi mereka yang terdampak negatif oleh kebijakan pemerintah. Namun dalam hal
perlindungan lahan pertanian pangan, sebenarnya petani dan masyarakat luas memperoleh keuntungan positif jangka panjang dari kebijakan ini.
Hal baru lain dalam disertasi ini berupa informasi luas lahan perkebunan sawit yang berkembang di luar ruang peruntukannya mengacu kepada pola
ruang dan aktor dominan yang melakukan alih fungsi lahan sawah menjadi sawit petani atau perusahaan sawit. Selain itu juga disajikan kebaruan informasi
tentang pentingnya menginternalkan intangible value sawah dari segi lingkungan dan sosial sebagai justifikasi memberi insentif yang lebih besar kepada petani.
Kebaruan berikutnya adalah dimasukkannya premi asuransi pertanian dan cash payment
sebagai instrumen insentif guna mengendalikan alih fungsi lahan sawah yang tidak terdapat dalam PP Nomor 122013. Insentif tersebut tidak
sekedar menyelamatkan fisik sawah namun termasuk menyelamatkan intangible value
sawah yang luput dari tujuan perlindungan LP2B. Hal ini termasuk kategori kebaruan dalam hal perbaikan asumsi dan kebaruan berupa sumbangan bermakna
untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi IPB 2012.
2. TINJAUAN PUSTAKA
Ketahanan Pangan, Kemandirian Pangan dan Kedaulatan pangan
Mewujudkan ketahanan pangan di suatu daerah merupakan amanat Undang- undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan. Pada Pasal 1 secara berurutan
dijelaskan tentang Kedaulatan pangan, Kemandirian Pangan dan Ketahanan Pangan. Kedaulatan Pangan adalah hak negara secara mandiri menentukan
kebijakan pangan yang sesuai dengan potensi sumber daya lokal sedangkan Kemandirian Pangan adalah kemampuan negara dan bangsa dalam memproduksi
pangan yang beraneka ragam dari dalam negeri yang dapat menjamin pemenuhan kebutuhan pangan yang cukup sampai di tingkat perseorangan dengan
memanfaatkan potensi sumber daya alam, manusia, dan sosial. Ketahanan Pangan diartikan sebagai suatu kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan
perseorangan dengan tersedianya pangan yang cukup.
Menurut Dharmawan dan Kinseng 2006 konsep ketahanan pangan food security
, kedaulatan pangan food sovereignty, kemandirian pangan food resilience
sering saling dipertukarkan. Konsep ketahanan pangan berkaitan dengan beberapa konsep turunannya, yaitu kemandirian pangan dan kedaulatan
pangan. Kemandirian pangan menunjukkan kemampuan suatu kawasan untuk memenuhi kebutuhan pangannya secara swasembada self-sufficiency sedangkan
kedaulatan pangan merujuk pada kemandirian pangan plus beberapa variabel tambahan di bidang sosio-produksi dan sosio-politis dari sebuah sistem pangan di
suatu kawasan seperti siapa yang menguasai sumber-sumber pangan dan siapa yang termarjinalisasi atas sumber pangan dan pangan yang tersedia di kawasan
tersebut. Sistem pangan yang dianggap berketahanan tinggi adalah sistem yang mampu menjamin ketersediaan produksi pangan dalam jumlah dan mutu yang
memadai, aman, merata serta terjangkau sepanjang waktu.
Ketahanan, kemandirian dan kedaulatan pangan penting untuk dicapai karena jumlah penduduk Indonesia dan proporsi penduduk yang bekerja di sektor
pertanian khususnya pertanian tanaman pangan sangat besar. Guna memenuhi konsumsi dalam negeri, Indonesia masih mendatangkan beras dari luar negeri.
Pada tahun 2013 jumlah beras yang diimpor 472 675 ton atau senilai dengan US246 038
Kementan 2014. Sedangkan kebutuhan beras dan penyediaan beras nasional pada tahun tersebut menurut Nurmalina 2007 yang melakukan
penghitungan dengan simulasi sistem dinamik masing-masing 32 113 584 ton dan 55 ton sehingga terdapat defisit beras sebanyak 5 680 425.44 ton pada
tahun tersebut. Perdagangan beras termasuk sangat sedikit, hanya 6-7 dari total produksi dunia sehingga dikategorikan sebagai thin market yaitu pasaran suatu
komoditi yang sangat sedikit dibandingkan total keseluruhan barang yang diproduksi. Eksportir beras dunia akan menghentikanmengurangi ekspor jika
ketahanan pangan negaranya berkurang Sawit 2005.
Jumlah penduduk yang bekerja di sub sektor tanaman pangan menurut hasil sensus pertanian tahun 2013, sebanyak 17.73 juta rumah tangga. Rumah tangga
usaha pertanian padi menurun dari 355 rumah tangga tahun 2003
menjadi 14 147 861 rumah tangga tahun 2013 atau penurunan sekitar 0.41. Berdasarkan penggunaan lahan, rumah tangga usaha pertanian sub sektor
tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, peternakan, perikanan, kehutanan dan
jasa pertanian paling banyak menguasai lahan dengan luas antara 0.20 – 49 ha,
yaitu sebanyak 6.73 juta rumah tangga. Kondisi ini berbeda dengan hasil sensus pertanian tahun 2003 di mana jumlah rumah tangga usaha pertanian terbanyak
menguasai lahan dengan luas kurang dari 0.10 ha, yaitu sebanyak 9.38 juta rumah tangga. Rumah tangga petani di Jambi yang tergolong petani gurem memiliki
lahan pertanian kurang dari 0.5 ha berjumlah sebanyak 101 836 rumah tangga tahun 2003, menurun menjadi 65 499 rumah tangga tahun 2013 atau terjadi
penurunan sekitar 36.337 rumah tangga. Dari segi kepemilikan lahan sawah, petani di Jambi rata-rata memiliki lahan dengan luas 1 028.41 m
atau 0.1 ha tahun 2003. Luasan ini menurun pada tahun 2013 menjadi rata-rata 0.
963 ha per rumah tangga petani BPS 2013.
Penetapan LP2B merupakan langkah awal untuk menjamin kontinuitas penyediaan lahan sawah Barus et al.
. Perlindungan lahan pertanian ini akan membantu mendukung ketahanan pangan dari segi suplai ketersediaan
produksi pangan Dharmawan dan Kinseng 2006, meskipun belum dapat menjamin tercapainya ketahanan pangan itu sendiri karena adanya indikator lain
yang juga sangat berpengaruh yaitu aksesibilitas pangan dan pemanfaatan pangan Nurmalina 2007.
Alih fungsi Lahan Pertanian di Berbagai Negara
Alih fungsi lahan dari penggunaan satu ke penggunaan lainnya terjadi jika terdapat pergeseran fungsi land rent Tietenberg dan Lynne 2009, Nelson 1992.
Di negara berkembang banyak terjadi alih fungsi dari wilayah liaralami menjadi area pertanian didorong oleh i tingginya pertambahan populasi domestik yang
menuntut pertambahan pangan, ii terbukanya pasar ekspor untuk pertanian sehingga permintaan terhadap tanaman produksi meningkat, iii pergeseran dari
pertanian subsisten menjadi pertanian ekspor sehingga terjadi pula peningkatan keuntungan per areal lahan pertanian, penerapan teknologi baru yang menurunkan
biaya dan meningkatkan keuntungan serta penurunan biaya angkut produksi pertanian misalnya karena dibangunnya jalan menuju lahan hutan Tietenberg dan
Lynne 2009.
Lahan memiliki peran penting terhadap aktivitas ekonomi dan distribusi pendapatan antara individu dan kelompok dalam suatu masyarakat sehingga
pemahaman terhadap land rent menjadi sangat penting. Menurut Jager 2009, land rent
tidak hanya menyangkut pasar namun merangkul analisis sistematik tentang kelembagaan, struktur sosial dan minat yang membentuk pasar tersebut.
Menurutnya, terdapat dua garis besar teori tradisi tentang land rent; pendekatan pertama memandang land rent sebagai tradisi sejarah yang bersifat tidak spesifik
historical invariant institution
yang diinterpretasikan sebagai suatu mekanisme yang natural dan pendekatan kedua menginterpretasikan land rent sebagai tradisi
sejarah yang bersifat khusus specific historical institution yang terus berubah sepanjang waktu.
Johann Heinrich von Thunen adalah pakar pertama yang menggabungkan teori land rent dengan geografi sehingga dapat menjelaskan struktur ruang
produksi dalam sebuah model yang koheren Jager 2009. Pola penggunaan tanah menurut von Thunen dipengaruhi oleh tingkat sewa tanah dan aksesibilitas relatif.
Pakar lainnya, Alfred Weber mengembangkan teori yang menekankan dua kekuatan lokasional primer yaitu transportasi dan tenaga kerja Adisasmita 2013.
Jager 2009 mengatakan pendekatan tradisional yang memandang pasar bebas dan land rent akan membawa kepada alokasi sumber daya lahan yang optimal,
namun studi terbaru menunjukkan eksternalitis dan pasar tidak sempurna menghasilkan dampak tidak seperti yang diharapkan. Pendekatan baru yang
mengarah kepada political economy yang menunjukkan tingkat keragaman yang tinggi, menurutnya menyajikan pemahaman yang lebih luas terhadap fenomena
perkotaan yang kompleks yang terkait dengan masalah ekonomi, proses dan kelas sosial.
Menurut Rustiadi et al. , economic rent atas penggunaan sebidang
lahan terbagi dua: 1 nilai instrinsik yang terkandung dalam sebidang lahan kesuburan, topografi dan lain-lainnya atau dikenal dengan Ricardiant Rent dan
2 nilai yang disebabkan oleh perbedaan jaraklokasi Location Rent. Berdasarkan teori ekonomi pertanian, lahan memiliki dua fungsi: fungsi pertama
sebagai tempat berlangsungnya aktivitas ekonomi dan fungsi kedua sebagai tempat penyimpanan elemen fisik, kimia dan biologi yang dibutuhkan oleh
tanamanternak. Sebagai sebuah faktor produksi, lahan memiliki sifat penting yaitu sebagai subjek dari Law of Diminishing Return penambahan unit tenaga
kerja atau modal dapat meningkatkan pendapatan untuk sementara waktu, namun peningkatan tersebut akan semakin berkurang sampai akhirnya tidak terdapat
peningkatan pendapatan lagi, suplainya terbatas dan memiliki kualitas yang beragam Desai 2010.
Sebelum reformasi agraria di China tahun 1978, sumber daya lahan tidak memiliki harga atau nilai namun setelah adanya pasar tanah di negara tersebut,
distribusi lahan dimonopoli oleh negara dan harga lahan tidak mempresentasikan total nilai dari sumber daya lahan tersebut. Harga tanah yang rendah mendorong
pemerintahan lokal untuk menguasai dan menyisihkan lahan tersebut untuk menarik investor industri. Industrialisasi dan pembangunan ekonomi negara
tersebut akhirnya berdampak pada meningkatkan standar hidup yang memacu meningkatnya permintaan akan perumahan yang lebih layak Xu 2011. Alih
fungsi lahan di China secara umum disebabkan oleh urbanisasi, pertumbuhan penduduk, industrialisasi dan pembangunan ekonomi namun diklaim tidak
menyebabkan turunnya produksi padi khususnya pada periode 1986-2000. Menurut Deng et al.
, laju alih fungsi lahan pertanian pangan di China pada periode 1986-2000 sebanyak 0.16 sedangkan lahan pertanian pangan baru yang
dicetak atas investasi pemerintah mencapai 5.7 juta ha atau 2.1 dari total lahan pangan waktu itu. Lahan pangan yang dialihfungsikan tersebut merupakan lahan
yang berada di sekitar pantai dan dekat perkotaan sehingga alih fungsi tersebut dapat dijustifikasi sebab memberikan nilai ekonomi lebih besar dibanding
penggunaannya sebagai lahan pertanian. Penelitian oleh Wang et al.
mengungkapkan maraknya alih fungsi lahan di China disebabkan fluktuasi ekonomi dan pelaksanaan kebijakan yang lambat untuk melindungi lahan pangan.
Sebuah penelitian menarik yang dilakukan Vliet et al. dengan
menganalisis 137 studi menyangkut perubahan penggunaan lahan pertanian di Eropa pada periode 1945-2013 menunjukkan banyak wilayah di Eropa yang
menghadapi perubahan bertahap dari masyarakat perdesaan menjadi perkotaan atau semi kota. Daerah pertanian sekitar perkotaan tidak lagi secara eksklusif
digunakan untuk pertanian tapi beralih menyediakan jasa seperti pemandangan yang menarik atau aktivitas rekreasi menunggang kuda terutama di wilayah
lebih makmur seperti Eropa bagian barat laut sedangkan daerah pertanian yang jauh dari kota mengalami perpindahan besar-besaran eksodus. Juga terdapat
perubahan perhatian ke arah kesadaran lingkungan yang direfleksikan dalam kebijakan penggunaan lahan dan subsidi di mana terdapat peningkatan perhatian
pada manajemen lingkungan, perlindungan alam dan restorasi lanskep dibanding ke arah produksi pertanian. Selain itu sebagian wilayah Eropa terutama di bagian
tengah dan timur mengalami perubahan politik dari sosialis menjadi post-sosialis yang berdampak pada penggunaan lahan pertanian. Pada masa sosialis sejumlah
lahan dikumpulkan dan digabungkan menjadi tanah pertanian yang luas namun setelah masa itu berakhir, terjadi pemecahan dan privatisasi lahan. Hal ini
menyebabkan banyak lahan pertanian yang ditinggalkan terutama di daerah yang jauh dan terisolasi. Penelantaran lahan ini diperburuk dengan tidak adanya
jaminan kepemilikan lahan akibat politik pengembalian lahan yang baru, kurangnya keterkaitan, perhatian dan pengetahuan pertanian dari pemilik lahan,
dan hilangnya subsidi produksi yang disediakan pada rezim sebelumnya. Di sebagian tempat lain terjadi kemunduran ke arah pertanian subsisten dan migrasi
keluar petani-petani potensial untuk mencari pekerjaan yang bayarannya lebih baik Vliet et al.
. Pada wilayah Asia Selatan seperti India, Bhutan dan Pakistan, alih fungsi
lahan pertanian sebagian disebabkan oleh kepemilikan lahan yang kecil yang menjadi tidak ekonomis ketika dikelola menjadi lahan pertanian Niroula dan
Thapa 2005. Dijelaskannya petani kecil tidak dapat bersaing dengan petani besar di pasar karena petani besar dengan lahan yang lebih luas dapat menjual panennya
dengan margin keuntungan yang tipis dan peroleh penghasilan lebih besar. Sebaliknya petani kecil tidak mampu melakukan hal tersebut karena harus
membeli input produksi dan mesin melalui kredit pinjaman. Pupuk dan benih juga menjadi relatif mahal harganya jika dibeli dalam jumlah kecil dan biaya
operasional mesin lebih tinggi jika tidak dipergunakan sesuai kapasitasnya.
Alih fungsi Lahan Sawah di Indonesia
Cepatnya alih fungsi tanah pertanian menjadi non-pertanian akan berpengaruh buruk pada: a menurunnya produksi pangan yang menyebabkan
terancamnya ketahanan pangan, b hilangnya mata pencaharian petani dan meningkatkan pengangguran serta masalah sosial lainnya, dan c hilangnya
investasi infrastruktur pertanian irigasi yang menelan biaya sangat tinggi Kementan 2013b. Menurut Syamson 2011, pencegahan dan pengendalian alih
fungsi lahan sawah mendesak dilakukan, karena mengancam upaya swasembada pangan nasional dan ekosistem sawah yang relatif stabil dengan tingkat erosi yang
relatif kecil. Selain itu alih fungsi lahan sawah akan menyebabkan ketidakseimbangan hubungan sistematik antara pelaku usaha pertanian dan
lahannya di mana sawah merupakan pengikat kelembagaan perdesaan sekaligus menjadi public good yang mendorong masyarakat perdesaan bekerja sama secara
lebih produktif.
Kompetisi memperebutkan sumber daya lahan antar tanaman pertanian dapat dikurangi jika pengaturan dilakukan dengan baik. Pengaturan tersebut telah
diatur dalam RTRW di mana setiap jenis tanaman pertanian memiliki alokasi lahan masing-masing dan ketentuan yang mengatur alih fungsi lahan tersebut.
Menurut Wicke et al. terdapat dua pendekatan penggunaan lahan, yaitu :
1 Pendekatan Business as Usual BAU; mengasumsikan penggunaan lahan
mengikuti cara-cara lama atau cara-cara sebelumnya seperti hilangnya tutupan hutan, perubahan lahan pertanian dan pertumbuhan lahan perkebunan
mengikuti tren pada masa lalu, di mana sumber lahan untuk pengembangan perkebunan bisa dari kategori lahan yang berbeda-beda.
2 Pendekatan Sustainability; mengasumsikan penebangan hutan dihentikan,
pertumbuhan lahan pertanian mengikuti proyeksi FAO tahun 2030 untuk wilayah Asia Timur dan tanaman hutan atau HTI tumbuh dengan laju tetap.
Pendekatan ini diterapkan dengan menggunakan lahan yang terdegradasi sebagai sumber lahan baru perkebunan karena hal ini mengurangi tekanan
terhadap lahan hutan dan dapat berfungsi sebagai carbon sink pengurang emisi karbon.
Keterangan: -
Nilai negatif pada lahan pertanian dan tanaman hutan merujuk kepada persyaratan lahan tambahan pada setiap kategori di masa datang. Persyaratan tersebut harus
dilengkapi untuk memenuhi permintaan produksi sawit dan karenanya dikurangi dari lahan yang tersedia saat ini.
- Jumlah lahan terdegradasi berbeda antara sistem BAU dan Sustainability karena untuk BAU laju lahan terdegradasi diasumsikan meningkat sesuai pertumbuhan tahun
sebelumnya sedangkan pada sustainability diasumsikan konstan.
Pada Tabel 1, jika Indonesia melakukan pendekatan penggunaan lahan
dengan cara berkeberlanjutan, maka masih tersedia lahan potensial untuk pertanian seluas 8.7 juta ha, yang bersumber dari lahan terdegradasi Wicke et al.
. Pendekatan BAU dalam menggunakan sumber daya lahan berperan dalam meningkatkan laju alih fungsi lahan sawah, yaitu terjadinya perebutan lahan antar
tanaman pertanian. Menurut Kementrian Pertanian alih fungsi lahan sawah tahun 1998-2002 mencapai 100 000 hatahun. Alih fungsi sawah belum dapat dicegah,
salah satunya akibat penerapan RTRW oleh pemda kabupatenkota yang kurang berpihak kepada pertanian Kementan 2013b, Saili dan Purwadio 2012.
Menurut Pasandaran 2006 terdapat tiga faktor yang berdiri sendiri atau secara bersama-sama menentukan terjadinya alih fungsi lahan sawah, yaitu
Tabel . Ketersediaan lahan pertanian termasuk untuk produksi sawit dan
tanaman hutan di Indonesia tahun 2005-
Lahan tersedia yang bersumber dari Business as usual
juta ha Sustainability
juta ha 1. Lahan hutan Forest covered land
. .
2. Lahan pertanian Agricultural land − .
− . 3. Tanaman hutan atau HTI Forest plantations
− . − .
4. Lahan terdegradasi Degraded land .
. TOTAL
. .
Sumber : Wicke et al.