ALIH FUNGSI LAHAN SAWAH DAN TANTANGAN
Jabung Timur Nomor 18 Tahun 2013 dan 3 Siapakah lembagaaktor yang terlibat serta kendala dan aktivitas apa yang paling berpengaruh pada Program
Perlindungan LP2B?
Metode Pemilihan Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di Kabupaten Tanjung Jabung Timur yang dipilih secara purposive dengan pertimbangan sebagai berikut:
1. Kabupaten ini merupakan lumbung padi di Provinsi Jambi yang mengalami
penyusutan luas lahan sawah yang sangat besar. 2.
Kabupaten ini pada 10 tahun terakhir menjadi lokasi pengembangan tanaman perkebunan terutama kelapa sawit dengan pertumbuhan sawit tertinggi di
Provinsi Jambi. 3.
Kabupaten ini merupakan satu-satunya kabupatenkota di Provinsi Jambi yang telah menetapkan perlindungan lahan pertanian melalui PERDA Nomor 18
Tahun 2013 tentang PLP2B.
Teknik Penentuan Narasumber
Narasumber untuk analisis ISM berjumlah orang berasal dari berbagai
latar belakang; Kepala Dinas Pertanian Pangan Kabupaten Tanjung Jabung Timur, pejabat Bappeda Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Pejabat Dinas Pertanian
Tanaman Pangan Provinsi Jambi, penyuluh dan pemerhatiaktivis masalah lingkungan. Pemilihan narasumber mengacu kepada pengetahuan mereka tentang
kondisi daerah ini dan kejadian alih fungsi sawah menjadi sawit.
Metode Pengumpulan Data
Data yang digunakan berupa data primer yang diperoleh melalui observasi, penyebaran angket dan wawancara mendalam indepth interview dengan
narasumber. Data sekunder berasal dari dinasinstansi terkait serta BPS. Pengambilan data dimulai bulan Agustus sampai Desember 2015.
Metode Analisis Data
Analisis data penelitian dilakukan secara deskriptif kualitatif dengan membandingkan kondisi yang ditemui di Tanjung Jabung Timur dengan kondisi
di daerah lain atau kondisi ideal menurut regulasi terkait perlindungan LP2B, dan secara kuantitatif melalui overlay peta penggunaan lahan dengan peta pola ruang
untuk memperoleh datainformasi tentang adanya inkonsistensi kebijakan dalam hal tata ruang khususnya mengetahui luas lahan peruntukan sawah yang
digunakan untuk mengembangkan sawit serta pendekatan sistem.
Hasil Awal Alih fungsi Lahan Sawah Menjadi Sawit
Dari berbagai literatur diketahui bahwa pembukaan lahan pasang surut di pantai timur di Provinsi Jambi diinisiasi oleh masyarakat Bugis, Banjar dan
Melayu yang memilih lokasi di daerah pinggiran sungai. Tanah di kawasan tersebut dianggap subur dan paling cocok untuk irigasi pasang surut guna
ditanami padi dan kelapa dengan luasan relatif kecil. Proyek Pembukaan lahan pasang surut pertama dilakukan melalui Proyek Pelita I seluas 1 000 ha di tepi
Sungai Batang Berbak, 70 km ke arah hilir Kota Jambi Penghulu Rantau Rasau dan Marga Berbak. Pada awalnya dibangun tiga parit, yaitu parit I sepanjang 6.5
km, parit II sepanjang 6.0 km dan parit III sepanjang 4.0 km. Jumlah penduduk transmigrasi yang ditempatkan waktu itu sebanyak 249 kepala keluarga KK.
Berikutnya dibuka lokasi ke arah barat dari pinggir sungai seperti Rantau Rasau, Lambur, Lagan, dan Dendang dan penempatan transmigrasi terakhir dilakukan
tahun 2001. Berdasarkan data BPS total transmigran yang ditempatkan tahun
8 sampai tahun 2001 sebanyak 10 359 KK BPS 2014a, Sa‘ad . Tanaman sawit dan karet diperkirakan masuk ke Tanjung Jabung Timur
sekitar tahun 2000-an. Sebelum tahun 2007 luas kebun sawit di Kabupaten Tanjung Jabung Timur belum tercantum dalam data tahunan BPS Provinsi Jambi.
Data sawit muncul pertama kali tahun 2007 dengan jumlah 15 930 ha BPS 2007, sedangkan berdasarkan hasil penelitian
Sa‘ad dengan menggunakan analisis data citra, luas kebun sawit pada tahun 2008 masih seluas 2 625 ha. Pada
Tabel terlihat luas sawah pada tahun 1989 sempat melonjak sebanyak 7 000 ha
dari tahun 1973, namun kemudian menurun tajam pada periode sembilan dan delapan belas tahun kemudian. Awalnya penanaman sawit dilakukan secara
swadana oleh masyarakat karena melihat perkembangan sawit yang bagus di kabupaten tetangga Batanghari dan Muaro Jambi.
Tabel . Penggunaan lahan di Kabupaten Tanjung Jabung Timur tahun 1973 –
Luas ha No Penggunaan Lahan
Hutan Sawah
Semak Belukar Kebun Campuran
Kelapa Perkampungan
Karet Kelapa Sawit
Jumlah
Sumber Sa‘ad
Seiring diluncurkannya Program Satu Juta Hektar Lahan Sawit oleh Gubernur Jambi, peran pemerintah kemudian sangat besar dalam mendorong
penanaman sawit. Hal itu ditunjukkan dengan adanya pembagian bibit sawit gratis yang dimulai pada tahun 2004 dan 2005 Bappeda 2006. Pemerintah saat itu
menganjurkan petani untuk menanam sawit di lahan mereka yang masih kosong. Namun bibit sawit yang dibagikan sangat banyak dan berlebih sehingga petani
berinisitif menanam sawit tersebut di lahan sawah mereka. Praktek tumpangsari antara tanaman padi dan sawitkelapa dalam untuk tiga tahun pertama biasa
dilakukan di daerah ini, namun setelah itu seluruh lahan sawah beralih fungsi menjadi sawit.
Dukungan pemerintah yang besar terhadap sawit bersamaan dengan menurunnya perhatian terhadap tanaman padi. Salah satu indikasinya adalah
luasnya lahan yang ditelantarkan di Desa Rantau Rasau I, Rantau Rasau II, Pamusiran, Lambur, Pandan Lagan, dan Dendang
Sa‘ad . Kendala seperti biofisik yakni lahan yang masam dan beracun sebagai akibat adanya drainase
berlebihan over drained, sarana dan prasarana tata air yang kurang lengkap serta tingkat penggunaan teknologi budidaya pertanian yang masih rendah sangat jamak
ditemui. Banyaknya pendatang non Melayu Jambi yang berasal dari beragam etnis ikut mempengaruhi pengembangan sawit di Tanjung Jabung Timur karena
motivasi mereka mencari lahan baru untuk meningkatkan taraf hidup sangat kuat. Mayoritas penduduk di daerah ini adalah etnis Jawa, diikuti Bugis, Melayu, dan
Banjar sedangkan Melayu Jambi berada di urutan kelima etnis terbesar pada tahun
http:migas.bisbak.com 2012. Drainase yang sangat buruk mempengaruhi minat petani untuk menggarap sawahnya. Di daerah ini terdapat saluran air primer
yang dibangun pada Pelita I yang lebarnya 9 m dan saluran sekunder yang lebarnya 4 m
Sa‘ad . Setiap tahun, saluran air mendapat perbaikan dari Dinas
Pekerjaan Umum
PU Provinsi
Jambi. Pada
tahun 2015,
pemeliharaanperbaikan irigasi rawa dilakukan di 20 lokasi dari total 30 daerah irigasi rawa DIR yang terdapat di Kabupaten ini.
Pada Tabel .2 diketahui DIR di daerah ini mencakup 12 869 ha. Dalam
melaksanakan tugas pemeliharaan saluran air, Dinas PU Provinsi Jambi berpedoman pada spesifikasi dan target yang diberikan pimpinan baik di provinsi
maupun kementrian dan kurang berkoordinasi dengan Dinas Pertanian Kabupaten Tanjung Jabung Timur sebagai pihak yang mengetahui kebutuhan petani padi.
Beberapa tahun terakhir, pengerjaan rasionalisasi saluran air primer dan sekunder menggunakan mesin pengeruk dan hal ini dituding sebagai penyebab makin
naiknya pirit tanah. Menurut petani dan pihak Dinas Pertanian Kabupaten Tanjung Jabung Timur, pengerukan saluran air primer dan sekunder sebaiknya dilakukan
secara manual, tidak perlu menggunakan escavator karena tujuannya hanya untuk mengangkat lapisan lumpur. Penggunaan escavator cenderung membuat saluran
air lebih dalam dari yang dibutuhkan untuk mengairi sawah. Saluran air yang terlalu dalam justru lebih menguntungkan pengairan perkebunan sawit. Sawah dan
sawit memiliki kebutuhan air yang berbeda; sawit butuh air 60-80 cm di bawah permukaan tanah sedangkan sawah membutuhkan air yang tergenang sehingga
secara alamiah sawah dan sawit tidak bisa berdampingan.
Perbedaan karakteristik kebutuhan air ini nampaknya belum disadari oleh Dinas PU. Keluhan petani semakin meningkat seiring banyaknya pintu air dan
tanggul yang rusak. Dinas PU telah melakukan perbaikan secara berkala namun belum memadai.
Selain tanaman padi, kelapa dalam coconut juga mengalami penurunan produksi sekitar 13 000 ton dan penurunan luas lahan sekitar
000 ha. Penurunan tersebut dipicu oleh menurunnya harga pasar kelapa dan terdapatnya
kecendrungan petani untuk beralih ke tanaman perkebunan baru yaitu karet dan kelapa sawit. Komoditas lain seperti karet, kopi dan pinang walaupun luas
tanamnya tidak meningkat pesat namun cukup bertahan karena harganya yang cukup baik di pasaran Bappeda 2005. Alih fungsi lahan sawah juga terjadi
karena pembangunan infrastruktur. Banyak sawah hilang di Kecamatan Muara Sabak ketika wilayah ini dijadikan ibukota kabupaten. Pada tahun 2003 luas
panen padi di kecamatan ini mencapai 12 071 ha dengan produktivitas tertinggi diantara semua kecamatan lain yaitu 4.56 tonha Bappeda 2005 namun pada
tahun 2013 luas panen di wilayah ini Kecamatan Muara Sabak kemudian dimekarkan menjadi Kecamatan Muara Sabak Barat dan Muara Sabak Timur
hanya 5 544 ha BPS 2014a.
Pergantian kepala daerah ikut mempengaruhi ekspansi sawit ke Tanjung Jabung Timur. Pada Pelita I sampai V, tanaman padi mendapat prioritas utama.
Pada awal tahun 2000 dan selama pemerintahan Bupati pertama Tanjung Jabung Tabel
. Daerah Irigasi Rawa DIR di Kabupaten Tanjung Timur
Sumber: Balai Wilayah Sungai Sumatera VI Jambi tahun 2015
Timur 2002 - 2011 sawit memperoleh peluang untuk berkembang pesat dan pada masa pemerintahan Bupati kedua 2011-2016, tanaman padi kembali
mendapat perhatian. Pada Lampiran terlihat bagaimana pergeseran kebijakan
Pemerintah Kabupaten Tanjung Jabung Timur dan Provinsi Jambi ikut menentukan perkembangan kedua komoditi pertanian ini serta dampaknya pada
alih fungsi lahan sawah.
Peluang kebun sawit untuk berkembang bebas sangat besar karena PERDA Kabupaten Tanjung Jabung Timur Nomor 11 Tahun 2012 tentang Rencana Tata
Ruang Wilayah Kabupaten Tanjung Jabung Timur Tahun 2011- mencantumkan pengembangan perkebunan kelapa sawit direncanakan 22
44 ha yang terdapat di 10 kecamatan sedangkan kawasan untuk pertanian pangan
berkelanjutan dialokasikan di lahan basah dengan target 17 000 ha dari total 33 457 ha lahan basah di 8 kecamatan di sini terdapat perbedaan; pada PERDA
RTRW lokasi LP2B terdapat di 8 kecamatan sedangkan pada PERDA Perlindungan LP2B terdapat di 9 kecamatan. Ini artinya sawit dan sawah akan
berkompetisi sangat ketat untuk berebut wilayah karena di PERDA RTRW tidak disebutkan batasan lokasi pengembangan sawit. Saat ini izin kebun sawit
menyebar hingga ke lahan basahgambut di mana terdapat sembilan perusahaan perkebunan sawit yang beroperasi sebagaimana terlihat pada Tabel
Inkonsistensi kebijakan juga terlihat dari sebaran kebun sawit saat ini yang menyimpang dari peruntukan lahan berdasarkan peta pola ruang yang merupakan
bagian dari PERDA RTRW Kabupaten Tanjung Jabung Timur tahun 2011-2031. Sawit telah menyebar ke wilayah peruntukan sawah, hutan dan kawasan strategis
provinsi. Hal ini menandakan bahwa pengembangan sawit di daerah ini berpotensi menguasai wilayah untuk pengembangan komoditi pertanian lainnya jika
pemerintah daerah tidak tegas menegakkan aturan dan berpihak pada komitmen untuk mencapai target PLP2B sebanyak 17 000 ha. Hasil overlay peta pola ruang
011-2031 dengan peta penggunaan lahan tahun 2014 ditampilkan pada Lampiran .
Tabel . Penyebaran izin lokasi perkebunan sawit di Tanjung Jabung Timur
Provinsi Jambi tahun 2005-
No Nama Perusahaan
Luas ha Penggunaan lahan
Sawit Mas Perkasa lahan basahgambut
Mendahara Agro Jaya Industri lahan basahgambut
Nazrin Nurdin Nusaphala lahan basahgambut
Indo Nusa lahan basah dan kering
Mederang Planta Korpusa lahan kering
Kaswari Unggul lahan basah dan kering
Agro Tumbuh Gemilang Abadi lahan basahgambut
Metro Yakin Jaya lahan kering
Citra Indo Niaga lahan kering
Total
Sumber : DPP Lembaga Pemantau, Penyelamat Lingkungan Hidup tahun 2015
Data yang diperoleh dari overlay disajikan pada Tabel .4. Jika melihat
kepada data ini, peruntukan lahan untuk sawah yang beralih fungsi menjadi sawit sebanyak 30 254 ha atau penyimpangan penggunaan ruang sawah sebanyak
55.60. Berdasarkan hasil overlay peta penggunaan lahan tahun 2006-2014, sawah yang telah beralih fungsi menjadi sawit sebanyak 15 616 ha. Itu artinya,
sebanyak 51.62 dari penyimpangan alokasi lahan sawah tersebut dilakukan oleh petani dan hal ini menjustifikasi pasar atau faktor ekonomilah yang
menyebabkan kejadian alih fungsi lahan sawah tersebut.
Dari Tabel diketahui penyimpangan alokasi lahan sawah sisanya
sekitar 48.38 dilakukan oleh perusahaan perkebunan sawit. Hal ini menunjukkan dari awal telah terjadi pelanggaran pemberian izin oleh pemerintah
daerah untuk perkebunan sawit yang menurut UU Perkebunan masa berlaku HGU ini selama 35 tahun dan dapat diperpanjang maksimal 25 tahun.
Tantangan Implementasi PERDA LP2B
Pada Tabel .5 disajikan target luasan PLP2B per kecamatan di mana
beberapa kecamatan memiliki target di atas 3 000 ha. Kecamatan Rantau Rasau memiliki target PLP2B sebanyak 2 246.36 ha sawah namun belum tercapai
sampai akhir tahun 2015. Tabel
. Penyimpangan penggunaan ruang berdasarkan peta pola ruang RTRW Kab. Tanjung Jabung Timur tahun 2011-
Tabel . Luas lahan per kecamatan yang ditetapkan menjadi LP2B di
Kabupaten Tanjung Jabung Timur
No Kecamatan
Jumlah DesaKelurahan
terikat LP2B Jumlah Kelompok
Tani Kelompok
Luas Lahan ha
Sadu Nipah Panjang
Berbak Rantau Rasau
Ma.Sabak Timur Ma. Sabak Barat
Dendang Geragai
Mendahara Ulu
Jumlah
Sumber: Lampiran PERDA Kab. Tanjung Jabung Timur Nomor 18 Tahun 2013
Pada Tabel . terlihat berdasarkan hasil realisasi validasi LP2B sampai
akhir tahun 2015 target tersebut baru terealisasi 938.75 ha. Belum tercapainya target tersebut, disebabkan sebagian lahan yang ditetapkan tersebut terlanjur telah
beralih fungsi menjadi sawitperuntukan lain atau petaninya belum bersedia menandatangai Surat Pernyataan Memiliki LP2B karena adanya sanksi denda
maksimal Rp 1 milyar atau kurungan penjara 5 tahun Pasal 63 bagi petani yang melanggar ketentuan Perda. Semua kecamatan yang menjadi target PLP2B juga
mengalami masalah yang hampir sama, yaitu belum berhasil mencapai target validasi.
Secara umum tantangan yang dihadapi daerah ini untuk mewujudkan target PLP2B dapat dikelompokkan sebagai berikut: 1 penyediaan insentif, 2 kondisi
wilayah pasang surut dan kemasaman lahan, 3 koordinasi antar instansi terkait, 4 kelengkapan PERDA PLP2B, dan 5 pendanaan. Insentif yang disediakan
dalam Program Perlindungan LP2B sangat mempengaruhi minat petani untuk bergabung. Petani tidak mau mengikatkan dirinya pada program perlindungan
sawah yang berdasarkan PERDA PLP2B Pasal 6 ayat 6 direncanakan untuk jangka waktu 20 tahun rencana jangka panjang, 5 tahun rencana jangka
menengah dan 1 tahun rencana jangka pendek serta dapat dievaluasi sedikitnya satu kali dalam dua tahun Pasal 10 ayat 3, jika tidak terdapat jaminan bantuan
atau insentif dari pemerintah. Kewajiban pemilik LP2B Pasal 17 adalah memanfaatkan lahan untuk kepentingan pertanian pangan pokok.
Masalah pembiayaan merupakan poin penting dalam program ini. Berdasarkan PP Nomor 30 Tahun 2012 tentang Pembiayaan Perlindungan LP2B,
salah satu jenis pembiayaan berupa pencetakan sawah. Sejak tahun 2013 kegiatan ini telah menyerap dana APBN sebanyak Rp19
000. Pada tahun 2015 kegiatan cetak sawah dihentikan sementara karena adanya permasalahan hukum
pada kegiatan pencetakan sawah tahun sebelumnya. Tabel
. Rekapitulasi hasil validasi LP2B di Kecamatan Rantau Rasau tahun
No DesaKelurahan
Jumlah Kelpk
Tani Luas
Lahan ha
Status Kepemilikan Lahan Pemilikan
orang Penggarap
orang Bandar Jaya
Marga Mulya -
Harapan Makmur -
Karya Bakti Bangun Karya
- Pematang Mayan
- Rantau Rasau I
Rantau Rasau II -
Tri Mulya -
JUMLAH
Sumber: Badan Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Perkebunan Kecamatan Rantau Rasau tahun 2015
Hambatan yang berasal dari program cetak sawah ikut mempengaruhi pencapaian target PLP2B karena sebagian target diperoleh dari kegiatan cetak
sawah. Berdasarkan wawancara dengan Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Tanjung Jabung Timur, masalah cetak sawah berawal dari prosedur swakelola
belanja sosial kegiatan. Kelompok tani kurang memahami penyelesaian administrasi keuangan kegiatan tersebut serta beratnya lokasi lahan yang harus
dibersihkan sedangkan biaya yang disediakan pemerintah tidak mencukupi.
Selain cetak sawah, pemerintah juga menyalurkan insentif dalam bentuk alat dan mesin pertanian alsintan. Sampai tahun 2014 alsintan yang disebarkan di
daerah ini berupa hand tractor 481 unit, Power Tresher 324 unit, RMU 234 unit, APPO 22 unit, UPPO 1 unit, pompa air 90 unit, Cont Sailer 5 unit,
cultivator 3 unit, Paddy Mower 60 unit, Drayer 2 unit, RP3O 4 unit, dan alat tanam padi 25 unit DPTP 2014. Insentif berupa sarana produksi padi
saprodi yang diberikan berupa pupuk, benih, herbisida, insektisida dan biaya menanam Rp150 000ha. Jenis dan jumlah insentif yang diterima petani di
beberapa kecamatan atau kelompok tani bervariasi. Sampai saat ini belum terdapat Peraturan Bupati yang menjelaskan besaran insentif yang akan diterima petani dan
instansi apa yang bertanggung jawab dalam pendistribusian insentif dan hal-hal lain berkenaan dengan PLP2B.
Kemasaman lahan merupakan masalah klasik di daerah ini. Menurut Sa‘ad
keasaman tinggi di daerah ini disebabkan oleh lahan rawa pasang surut yang memiliki tanah organik gambut di atasnya, lalu mengalami perbaikan
sistem tata air sehingga terjadi oksidasi, pencucian, pengeringan, penggenangan dan subsiden. Selanjutnya pembakaran lahan yang dilakukan sebagai persiapan
penanaman mengakibatkan munculnya tanah mineral yang mengandung pirit dan berpotensi sulfat masam. Pasang surut air sungai ikut mempengaruhi produktivitas
sawah. Menurut Kepala Kantor Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Perkebunan Kecamatan Rantau Rasau, gagal persemaian sering terjadi karena benih yang baru
ditanam disapu oleh air pasang. Hal ini mendorong kebutuhan benih yang tinggi di mana pada sawah beririgasi rata-rata kebutuhan benih hanya 25 kgha, namun
di Rantau Rasau bisa mencapai 65 kgha akibat pengulangan persemaian. Banyaknya tanggul yang rusak ikut menambah tingginya angka kegagalan
persemaian. Koordinasi yang kurang lancar antara dinasinstansi terkait termasuk tantangan yang dihadapi dalam menerapkan PERDA LP2B. Dalam hal perbaikan
saluran air misalnya, Dinas PU dituding berjalan sendiri sehingga rasionalisasi Tabel
. Kegiatan cetak sawah di Kabupaten Tanjung Jabung Timur tahun 2013 dan 2014
Tahun Kegiatan
Kategori Volume
HargaUnit Rp
Total Rp
Umumtidak ada kategori ha
Vegetasi Ringan ha
Vegetasi Sedang ha
Vegetasi Berat ha
TOTAL ha
Sumber: Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan Provinsi Jambi
saluran air bukannya menguntungkan sawah namun memunculkan masalah baru berupa naiknya asam tanah karena penggalian yang terlalu dalam. Sebagai respon
atas keluhan ini, berdasarkan informasi Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Kementrian PU menginstruksikan perbaikan semua
saluran air mulai tahun
harus memperoleh persetujuan dari Dinas Pertanian dan Dinas PU Kabupaten Tanjung Jabung Timur untuk menghindari kesalahan
yang terjadi selama ini. Koordinasi kurang baik juga terjadi antara Dinas Pertanian Tanjung Jabung
Timur dengan Badan Pertanahan Nasional BPN Kabupaten Tanjung Jabung Timur. Sertifikasi sawah yang dananya telah tersedia dari APBN tidak berjalan
baik karena kurangnya respon dari BPN terhadap permintaan penerbitan sertipikat sawah maupun ketidakhadiran mereka pada pertemuanrapat untuk membahas
PLP2B. Permasalahan yang dihadapi daerah ini terkait pelaksanaan PLP2B disarikan pada Tabel
.
PERDA Nomor 18 Tahun 2013 juga masih memiliki kekurangan yang substansial, yaitu belum tersedianya peta indikatif LP2B dan data pendukung
lainnya. Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun tentang Sistem Informasi LP2B, setiap wilayah administrasi harus memiliki
data dasar luas dan lokasi lahan Pasal 6 ayat 1 yang memuat data: a letak lahan; b luas lahan; c lokasi lahan; dan d tematik lahan. Kabupaten Tanjung
Jabung Timur belum memiliki data tersebut. Mengacu pada Gambar
.1, tahapan Program LP2B saat ini baru mencapai Tahap II yaitu sosialisasi dan inventarisasi
lahan sawah untuk masuk Program PLP2B. Proses penetapan PLP2B melalui kegiatan validasi menggunakan form Surat Pernyataan Memiliki LP2B yang harus
ditandatangani petani di atas materai, juga dinilai berpotensi mempersulit pencapaian target karena prosedur ini sebenarnya tidak terdapat pada Peraturan
Pemerintah Nomor 1 Tahun 2011. Tabel
. Permasalahan pelaksanaan Program PLP2B terkait koordinasi antar lembaga
No Permasalahan
Koordinasi Lintas InstansiLembaga
Belum adanya peraturan bupati untuk menjelaskan pelaksanaan PERDA termasuk jenis dan jumlah
insentif yang akan diterima oleh petani Sekretariat Daerah Tanjung Jabung
Timur, Bappeda, Dinas Pertanian Cetak sawah dihentikan sementara karena adanya
kasus hukum yang menjerat salah satu kelompok tani
Dinas Pertanian, Kelompok Tani, Kepolisian, BPK Provinsi Jambi
Lemahnya koordinasi antara instansi terkait dalam hal pengaturan pengairan dan sertifikasi sawah.
Dinas Pertanian, Dinas PU, BPN, Kelompok Tani
Belum adanya penunjukan tentang dinasinstansi yang bertugas sebagai pendamping kelompok tani
BupatiSekretariat Daerah, BP3K , Dinas Pertanian
Petani keberatan menandatangani surat pernyataan karena sanksi terlalu berat sedangkan insentif yang
mereka terima belum pasti jenis dan jumlahnya. Kelompok Tani, Dinas Pertanian,
BP4K di setiap kecamatan Kondisi lahan yang masam karena faktor alam dan
salah kelola Dinas Pertanian, BP3K, Dinas PU
dan Kelompok Tani
Sumber: hasil wawancara dengan narasumber
Selain hal yang memberatkan dan cenderung tidak sesuai dengan regulasi di atasnya, terdapat juga hal yang meringankan dalam proses penetapan LP2B. Pada
PP Nomor 12 Tahun 2012, lahan yang memperoleh insentif adalah yang luasannya 25 ha pada satu hamparan Pasal 23. Berhubung luasan sawah satu
hamparan yang ditemukan di Tanjung Jabung Timur maksimal hanya 6 ha atau 7 ha karena telah diselingi oleh tanaman sawit maka aturan pada PP tersebut
berlaku fleksibel. Demikian juga halnya insentif berupa layanan perbaikan irigasi di mana menurut Pasal 24 layanan perbaikan irigasi untuk luas daerah irigasi di
atas 3 000 ha diberikan oleh pemerintah pusat, 1 000
– ha diberikan oleh pemerintah provinsi dan di bawah 1 000 ha diberikan oleh pemerintah kabupaten,
namun Dinas PU Provinsi tetap akan melayani perbaikan irigasisaluran air di wilayah ini meskipun berada di bawah luasan 3 000 ha selama ada pemintaan dari
pemerintah kabupaten setempat.
Pendanaan juga menjadi masalah besar. APBD Kabupaten Tanjung Jabung Timur tahun 2014 mengalami defisit sebanyak Rp113
000. Pemerintah Sumber: Perda Kabupaten Tanjung Jabung Timur Nomor 18
Gambar . Tahapan pelaksanaan PLP2B
daerah telah berusaha memenuhi ketentuan dalam Permendagri Nomor 27 Tahun 2013 untuk menekan biaya belanja pegawai di bawah 30 dan memaksimalkan
belanja modal sehingga minimal berada di kisaran 30. Belanja pegawai daerah ini pada tahun 2014 mencapai 34 Rp342
790 dan belanja modal sebanyak 39 atau Rp397
466. Pendanaan yang dialokasikan untuk Dinas Pertanian Tanaman Kabupaten Tanjung Jabung Timur bersumber dari dana
APBN dan APBD. Terdapat peningkatan dana dari Pemerintah Pusat untuk pembangunan pertanian pangan namun kecendrungan sebaliknya terdapat pada
kucuran dana dari APBD Kabupaten Tanjung Jabung Timur. Jumlah dana menunjukkan penurunan pada tahun 2014 dan 2015, justru pada saat kegiatan
sosialisasi dan validasi LP2B sedang dilakukan. Prosentase dana untuk kegiatan pertanian termasuk tinggi yaitu 76.
, namun terjadi penurunan alokasi dana sekitar Rp2 milyar dibanding tahun 2013.
Pencapaian target LP2B dapat dilakukan dengan cara ekstensifikasi melalui
pemanfaatan lahan sub optimal, lahan terlantar dan lahan di bawah tegakan tanaman tahunan. Peluang ekstensifikasi lahan sawah di beberapa kecamatan
terbatas seperti Kecamatan Nipah Panjang dan Sadu yang berbatasan langsung dengan pantai Timur Provinsi Jambi dan sebagian wilayahnya merupakan bagian
dari Taman Nasional Berbak dan Hutan Lindung Gambut sedangkan Kecamatan Tabel
. Dana pembangunan pertanian Dinas Pertanian Kabupaten Tanjung Jabung Timur non belanja pegawai dan rutin tahun 2013-
Sumber: Dinas Pertanian Kabupaten Tanjung Jabung Timur tahun 2015
Muara Sabak Barat telah menjadi kawasan perkotaan. Alternatif lahan yang dapat digunakan untuk pengembangan pertanian adalah lahan kering yang cukup luas,
yaitu mencapai 232 746 ha BLHD 2014.
Lembagaaktor, kendala dan aktivitas berpengaruh pada Program Perlindungan LP2B
Langkah pertama dalam ISM adalah mengidentifikasi elemen kunci dalam sebuah sistem. Pada sistem pengendalian alih fungsi lahan sawah tiga elemen
kunci yang diidentifikasi berdasarkan observasi, wawancara dengan narasumber dan FGD adalah lembaga atau kelompok yang terlibat, kendala permasalahan
dan aktivitas yang dibutuhkan untuk perubahan. Menurut Chandramowli et al.
, ISM membantu mengidentifikasi kendala-kendala yang berada pada prioritas tertinggi, yang memiliki pengaruh paling tinggi dan yang memerlukan
perhatian dan upaya ekstra untuk menanganinya.
Tabel . Rincian sub elemen dan elemen kunci lembagaaktor yang terlibat,
kendalapermasalahan dan aktivitas yang dibutuhkan untuk perubahan
No Elemen
Sub elemen Lembaga
aktor yang terlibat
1. BupatiKepala Daerah
2. Dinas Pertanian Tanaman Pangan
3. Penyuluh
4. Bappeda
5. Dinas PUPengairan
6. BPN Kabupaten
7. Kelompok Tani
8. Dinas Perkebunan
9. Penegak Hukum
10. Koperasi kendala
permasalahan 1.
Kesulitan dalam pendistribusianpenyediaan insentif jumlah, jenis dan ketepatan waktunya
2. Kondisi wilayah pasang surut
3. Kemasaman lahan sawah
4. Motivasi petani rendah untuk mempertahankan
sawahnya 5.
Koordinasi antar instansi pemerintah lemah 6.
Masalah pengairan 7.
Produktivitas sawah rendah 8.
Resiko gagal panen dan semai tinggi 9.
Kurangnya dana pembangunan pertanian pangan 10. PERDA LP2B belum lengkap atau belum siap pakai
aplicable aktivitas yang
dibutuhkan untuk
perubahan 1.
Insentif saprodi pertanian pangan 2.
Sanksi bagi pelaku alih fungsi lahan sawah 3.
Cetak sawah 4.
Memperbaikimenambah irigasi 5.
Memperbaiki kerusakankemasaman lahan 6.
Asuransi pertanian 7.
Sertifikasi lahan sawah 8.
Kenaikan HPP gabah 9.
Meningkatkan produktivitas atau indeks tanam 10. Hibah atau kredit lunak untuk petani
Langkah berikutnya adalah mendefenisikan hubungan antar sub elemen dalam bentuk structural self-integration matrix SSIM dan membangun
reachibilty matrices RM. Hubungan antar sub elemen pada tiap elemen
didefenisikan berdasarkan konsensus para pakar yang diwawancarai dafar pakar terdapat pada Lampiran
. Hubungan antar sub elemen tersebut berbentuk salah satu dari empat jenis hubungan berikut, yaitu: V sub elemen i mempengaruhi sub
elemen j; atau A sub elemen j mempengaruhi sub elemen I atau X sub elemen I dan j saling mempengaruhi atau O sub elemen i dan j tidak memiliki
hubungan. Berdasarkan proses tersebut terbentuk matriks SSIM. Menurut Chandramowli et al.
, meskipun hubungan antar sub elemen dapat dilihat pada matriks SSIM tapi belum memperlihatkan sistem yang dibutuhkan secara
umum atau belum memperlihatkan driving atau dependence power dari masing- masing sub elemen sehingga diperlukan Reachibilty Matrix dan Partitioned ISM.
Langkah terakhir ISM adalah membangun Matrix Cross Reference Multiplication Applied to a Classification
MICMAC dan Partitioning Reachibilty Matrix
atau pemisahan sub elemen ke dalam level yang berbeda-beda sehingga membentuk sebuah representasi visual dari sebuah sistem. MICMAC
analisis membantu mengklasifikasi karakter sebuah variabel dalam sistem dan bagaimana mengatur atau mengelolanya. Analisis terhadap setiap elemen kunci
diuraikan sebagai berikut. Lembaga aktor yang terlibat
Simbol hubungan V,A,X,O pada matrix SSIM diterjemahkan kedalam notasi-notasi V1,0, A0,1, X1,1 dan O0,0 sehingga terbentuk Reachibility
Matrix awal. RM awal ini selanjutnya diperiksa transitivity rulenya-nya sehingga membentuk matiks yang tertutup Marimin 2004 sebagaimana terlihat pada Tabel
. Pada binary reachability matrix dapat dilihat driving dan dependence power setiap sub elemen atau variabel. Driving power sebuah sub elemen adalah jumlah
total sub elemen yang dapat dipengaruhinya sedangkan dependence power adalah jumlah total sub elemen yang kemungkinan mempengaruhinya.
Tabel .
Reachibility Matrix final aktorlembaga yang terlibat
RM final digunakan untuk menyusun Diagram Model Struktur Gambar . . yang menunjukkan struktur sistem lembagaaktor yang terlibat. Pada
diagram ini, aktorlembaga terlibat ini disusun menurut urutan ranking berdasarkan hubungannya dengan aktorlembaga lain. Aktorlembaga yang
pertama kali dipisahkan adalah yang hubungannya paling terbatas dan menempati posisi bagian atas diagram sedangkan variabel yang memiliki hubungan yang
saling mempengaruhi dan menunjukkan peningkatan hubungan ditempatkan pada bagian bawah diagram.
Hasil analisis MICMAC pada Gambar . , terlihat delapan lembagaaktor
yang memiliki driving power maupun dependence power tinggi. `
Gambar . Diagram model struktur dari elemen lembagaaktor yang
berpengaruh dalam Program Perlindungan LP2B
Gambar . Matrks Driver Power-Dependence untuk elemen lembaga aktor
yang berpengaruh dalam Program PLP2B
Mereka adalah BPN, penyuluh, Dinas Pertanian Tanaman Pangan, Bupati, Bappeda, Dinas PUPengairan, Dinas Perkebunan dan Koperasi. Mereka harus
ditangani secara hati-hati sebab hubungan antar sub elemen tidak stabil, setiap tindakan pada sub elemen tertentu bisa mengakibatkan dampak pada sub elemen
lain dan umpan balik akan memperbesar dampak. Dua sub elemen lain kelompok tani dan penegak hukum berada di sektor II memiliki driving power rendah dan
ketergantungan tinggi. Keduanya merupakan sub elemen yang tidak bebas.
Kendala yang dihadapi
Transfer nilai V,A,X,O ke dalam bilangan binary menghasilkan Reachibility Matrix dan setelah diperiksadirevisi, maka dihasilkan RM Final Tabel
. Disini terlihat kekuatan masing-masing sub elemen untuk men-drive sub elemen
lain maupun ketergantungan sub elemen tertentu pada sub elemen lain.
Dari RM final ini dapat dilihat driving dan dependence power masing- masing sub elemen. Berdasarkan hal tersebut selanjutnya dibangun Diagram
Model Struktur sebagaimana terlihat pada Gambar . Terdapat dua sub elemen
yang sangat dominan driving power tinggi namun ketergantungannya rendah yaitu kurangnya dana pembangunan pertanian serta Perda PLP2B yang belum siap
pakai. Tabel
. Reachibility Matrix final kendala yang dihadapi
Pada Gambar . terdapat 6 sub elemen atau variabel yang berada di sektor
III yang artinya memiliki driving dan dependence power tinggi dan harus ditangani secara hati-hati karena hubungan yang saling pengaruh mempengaruhi
membuatnya tidak stabil, yaitu: kesulitan dalam pendistribusianpenyediaan insentif jumlah, jenis dan ketepatan waktunya, kondisi wilayah pasang surut,
kemasaman lahan sawah, motivasi petani rendah untuk mempertahankan sawahnya, koordinasi antar instansi pemerintah lemah, dan masalah pengairan.
Sedangkan dua sub elemen sisanya tergolong lemah karena ketergantungan tinggi. Gambar
. Diagram model struktur elemen kendala
Gambar . Matriks Driver Power-Dependence untuk elemen kendala
Dua sub elemen yang berada di sektor II tersebut yaitu produktivitas sawah rendah dan resiko gagal panensemai tinggi, merupakan sub elemen yang tidak
bebas. Artinya keduanya ditangani paling akhir diantara sub elemen lainnya.
Aktivitas berpengaruh untuk perubahan
Matrik RM final aktivitas yang berpengaruh untuk perubahan disajikan pada Tabel
. Pada matriks ini telah dapat dlihat sub elemen yang memiliki dependency
ataupun driving power tinggirendah serta ranking yang nantinya akan menentukan posisi mereka dalam diagram struktur dan MICMAC.
Berdasarkan diagram ini dapat diketahui akan terbentuk tiga level nantinya.
Berdasarkan nilai driving dan dependence power disusun Diagram Struktur Gambar
yang menempatkan sub elemen pada level masing-masing. Tabel
. Reachibility Matrix final aktivitas yang berpengaruh untuk perubahan
Gambar . Diagram model struktur untuk aktivitas yang berpengaruh
Pada Gambar . setiap sub elemen ditempatkan pada sektor masing-masing
yang memperlihatkan kekuatan men-drive maupun ketergantungan setiap elemen. Terlihat bahwa terdapat dua sub elemen yang berada di sektor II yaitu sanksi bagi
pelaku alih fungsi lahan sawah dan cetak sawah. Keduanya merupakan sub elemen yang tidak bebas. Sebanyak 8 sub elemen lainnya berada di sektor III,
yang artinya sub elemen ini memiliki baik driving dan dependence power tinggi.
Mereka adalah: insentif saprodi pertanian pangan, memperbaikimenambah irigasi, memperbaiki kerusakankemasaman lahan, asuransi pertanian, sertifikasi
lahan sawah, kenaikan HPP gabah, meningkatkan produktivitas lahan atau indeks tanam, dan hibah atau kredit lunak untuk petani.
Pembahasan
Pergantian kepemimpinan di tingkat nasional, provinsi dan kabupaten berperan besar sebagai awal terjadinya alih fungsi lahan sawah di Tanjung Jabung
Timur. Pada masa pembukaannya oleh Pemerintah Pusat, wilayah ini dikembangkan sebagai pusat produksi padi. Ini sesuai dengan tujuan
Pembangunan Lima Tahun PELITA I 1969-1974 yang menekankan pada pembangunan pertanian hingga PELITA IV 1984-1989 yang menargetkan
swasembada pangan. Pada waktu itu pendekatan pembangunan di Indonesia bersifat sentralistik. Menurut Fane dan Warr 200
, pada masa orde baru insentif dan dukungan untuk sub sektor pertanian pangan sangat berlimpah dalam bentuk
stabilisasi harga beras, gerakan revolusi hijau di mana pemerintah meningkatkan pendanaan untuk membiayai irigasi, pupuk, benih dan pestisida, peningkatan
pelayanan penyuluhan dan fasilitas kredit ringan untuk petani
Pada kejadian alih fungsi lahan sawah di daerah ini terlihat inkonsistensi kebijakan pemerintah dalam dua hal: 1 kebijakan pertanian makro yang berubah-
Gambar . Matriks Driver Power-Dependence aktivitas dibutuhkan untuk
perubahan
ubah tergantung kepada kepala daerah waktu itu dan 2 pelanggaran tata ruang di mana izin pengembangan sawit diberikan di atas lahan yang peruntukannya untuk
sawah dan hutan. Menurut Mayrowani 2012, pada era otonomi, pemerintah daerah diberi keleluasaan untuk memberdayakan sumber daya lokal sehingga
terjadi peningkatan PAD namun terdapat ancaman inkonsistensi dari birokrasi dan legislator daerah tentang pentingnya pembangunan pertanian dan menurut
Sa‘ad serta Sriartha dan Windia 2015, kebijakan pemerintah sangat
berpengaruh terhadap terjadinya alih fungsi lahan sawah. Daerah lain seperti Langkat Sumatera Utara Siagian et al.
, sejumlah kebijakan pemerintah tidak menguntungkan untuk mempertahankan penggunaan lahan pertanian atau
adanya pertentangan kebijakan antara pemerintah pusat dan daerah dalam mempertahankan perencanaan penggunaan lahan tertentu. menjadi penyebab
terjadinya alih fungsi lahan sawah. Menurut Duangjai et al. , dukungan
pemerintah dan kekuatan pasar berpengaruh terhadap perubahan pola penggunaan lahan.
Perubahan orientasi pembangunan pertanian dari tanaman padi ke sawit dirasakan dampak langsungnya oleh petani padi. Perbaikan saluran air yang
seharusnya dinikmati oleh petani padi, sebaliknya menjadi merugikan karena digali terlalu dalam yang dampaknya pada naiknya pirit tanah Firmansyah 2014.
Keluhan tentang masalah pengairan merupakan salah satu kendala paling menonjol dalam produksi beras di Indonesia Suryana dan Kariyasa 2008, akibat
kurangnya pemeliharaan jaringan irigasi. Sekitar 30 jaringan irigasi di Indonesia dalam kondisi rusak. Pada kondisi tersebut, petani membutuhkan sumber
pendapatan baru dan sawit menjadi pilihan karena adanya dukungan dari pemerintah, para investor serta harga sawit yang tinggi waktu itu. Gambar
.8 meringkas alur terjadinya alih fungsi lahan sawah menjadi sawit.
Ekspansi tanaman perkebunan sangat cepat, menurut Feintrenie et al. karena keterlibatan beragam aktor mulai dari pemerintah di semua level, pebisnis,
penduduk lokal dan para pendatang yang datang sendiri atau disponsori Gambar
. Alur alih fungsi lahan sawah menjadi sawit di Kabupaten Tanjung Jabung Timur
pemerintah sedangkan nilai jual sawit yang lebih besar menjadi alasan petani untuk beralih fungsi lahan sawah Feintrenie et al.
, Astuti et al. , Siagian et al.
. Pada kondisi sekarang, sawah di Tanjung Jabung Timur belum bisa
diandalkan sebagai sumber penghasilan utama petani. Hal ini antara lain karena: 1 rendahnya produktivitas sawah di Kabupaten Tanjung Jabung Timur yaitu 3.
- .6 tonha BPS 2014a atau yang terendah diantara semua kabupatenkota di
Provinsi Jambi dan hanya ditanam satu kali setahun; dan 2 Sumber penghasilan tambahan dari jagung, kedelei dan tanaman sayuran tidak menonjol. Dari luas 28
463 ha sawah, luas panen jagung hanya 576 ha, kedelai 317 ha, kacang tanah 80 ha, kacang hijau 57 ha, ubi kayu dan ubi jalar masing-masing 334 ha dan 130 ha
DPTP 2014. Menurut Suryana dan Kariyasa 2008 sebagian besar petani pangan di Indonesia belum bisa menjadikan lahan sawahnya sebagai sumber
penghasilan utama untuk menafkahi keluarga.
Target PLP2B yang mencapai 17 000 ha dan cadangannya 4 000 ha termasuk sangat tinggi, meskipun lebih rendah dari target pengembangan sawit
yang mencapai 044 ha. Bila dihitung secara matematis, dengan jumlah
penduduk tahun 2014 sebanyak 212 084 jiwa dan kebutuhan beras per KK sekitar .48 kgtahun maka kebutuhan beras 1 tahun wilayah ini sekitar 24 .32
kg 24 067 ton. Berdasarkan produktivitas sawah 3.6 kgha maka untuk memenuhi kebutuhan beras domestik, luas sawah yang dibutuhkan sekitar
ha. Ini artinya kalau untuk memenuhi kebutuhan sendiri atau self-sufficiency, Pemerintah Kabupaten Tanjung Jabung Timur tidak perlu menetapkan target
LP2B terlalu tinggi. Namun jika tujuan perlindungan lahan pertanian pangan tersebut sebagaimana tercantum pada Pasal 3 PERDA LP2B, juga untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan lapangan kerja, maka target tersebut layak diperjuangkan. Menurut Phuc et al.
, jika negara mengontrol lahan maka dapat melindungi stakeholders yang lemah dari keroyokan kekuatan pasar.
Tantangan yang dihadapi untuk mewujudkan target LP2B sangat besar; indikasi awalnya terlihat dari lambannya realisasi validasi sawah yang ditetapkan
untuk dilindungi. Selama jenis, besaran dan mekanisme distribusi insentif belum diatur dalam sebuah regulasi turunan PERDA PLP2B setingkat Peraturan
Bupati, insentif ini akan selalu menjadi kendala dan dipertanyakan oleh petani yang masih sangat tergantung kepada bantuan pemerintah untuk bertani. Menurut
Furuseth dan Pierce 1982, dalam proses perlindungan lahan pangan yang sifatnya wajib mandatory, proses pendefinisian dan identifikasi sumber daya
lahan yang harus dilindungi serta penciptaan sistem administrasi agar kebijakan tersebut dapat diimplementasikan dan diawasi, merupakan komponen biaya yang
terbesar atau utama. Pemaksaan bagi pemerintah dan individu untuk terlibat dalam pelaksanaan program serta komposisi kebijakan yang tepat berupa insentif
langsung dan tidak langsung akan sangat berpengaruh terhadap efektifitas program perlindungan lahan pertanian pangan ini.
Koordinasi antar lembaga yang belum berjalan baik perlu mendapat perhatian. Menurut Flaherty et al.
, banyak badan yang bertugas untuk menegakkan peraturan, dan masing-masing memperoleh mandat untuk
menegakkan regulasi tertentu dan hal ini bisa mengakibatkan kompetisi terbuka serta perselisihan diantara badan-badan tersebut. Siagian et al.
mengungkapkan kebijakan penggunaan lahan sulit untuk diterapkan karena
lemahnya koordinasi antar instansi termasuk antara pemerintah daerah dengan pusat, ketidakkonsistenan kebijakan oleh pengambil keputusan di daerah karena
mengutamakan keuntungan jangka pendek, serta masalah penerapan kebijakan di mana banyak kebijakan pengaturan penggunaan lahan ditujukan ke perusahaan
sedangkan dalam praktiknya banyak penyimpangan penggunaan lahan termasuk alih fungsi lahan sawah dilakukan oleh individumasyarakat.
Guna memperlancar proses penetapan LP2B, aturan yang menyulitkan seperti keharusan menandatangi form Surat Pernyataan Memiliki Lahan Pertanian
Pangan Berkelanjutan di atas materai, harus disederhanakan, apalagi mekanisme tersebut tidak terdapat pada Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2011 tentang
Penetapan dan Alih fungsi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Hal ini tidak lazim di negara berkembang yang kebijakan lahan dan regulasinya umumnya
bersifat top-down dari pemerintah pusat Duangjai et al.
namun pemerintah daerah tidak boleh meniadakan sama sekali hak masyarakat untuk menentukan
penggunaan lahannya. Solusi yang banyak digunakan saat ini menurut Yakin adalah dengan menggabungkan pendekatan hukum dan regulasi command
and control dan insentif, yang dinamakan New Environmental Policy
Instrument NEPI.
Efisiensi penggunaan anggaran pembangunan perlu mendapat perhatian, apalagi saat terjadi penurunan pendapatan dari Migas. Pada tahun 2013,
penurunan Dana Bagi Hasil Migas mencapai Rp35 milyar dan pada tahun 2015 mencapai 100 milyar. Saat ini terdapat indikasi bahwa Pemerintah Kabupaten
Tanjung Jabung Timur gamang untuk menuntaskan kegiatan validasi sawah yang akan dimasukkan ke dalam Program PLP2B karena konsekuensi pendanaan yang
harus ditanggung jika kegiatan validasi tersebut selesai dan peta indikatif LP2B dimiliki. Pada kondisi belum dibuatnya peta indikatif LP2B dan belum
tersedianya data pendukung seperti diatur dalam PP Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2012 tentang Sistem Informasi LP2B maka akan sulit bagi pemerintah
kabupaten untuk meminta dukungan lebih besar dari Pemerintah Pusat untuk menyukseskan program perlindungan LP2B ini.
Kegiatan ekstensifikasi melalui pencetakan sawah baru juga harus memperoleh perhatian agar tidak banyak petani yang terjerat hukum akibat
kelalaian dalam penyelesaian administrasi kegiatan. Sedangkan pencetakan sawah di lahan kering yang potensinya cukup besar di daerah ini harus dipersiapkan
matang dengan membangun irigasi dan memperbaiki kondisi lahan agar sesuai untuk ditanami padi dan tidak ditelantarkan kemudian hari sebab biaya
pembuatannya mahal dan perlu waktu lama agar lahan itu benar-benar produktif Santosa et al.
. Penegakan aturan terhadap pelanggaran alih fungsi lahan sawah maupun
pelanggaran terhadap rencana tata ruang harus mendapat perhatian serius karena terdapat indikasi yang kuat pemerintah lemah dalam menegakkan aturan yang
dibuatnya sendiri. Konflik pemberian izin yang simpang siur karena faktor pergantian kepala daerah di mana setiap kepala daerah memberikan izin sesuai
dengan kepentingan masing-masing tanpa melihatmempertimbangkan kebijakan yang dikeluarkan oleh bupati sebelumnya. Ini terlihat dengan luasnya sawit yang
tumbuh di wilayah yang bukan untuk pengembangan sawit berdasarkan RTRW Kabupaten Tanjung Jabung Timur.
Terdapat tiga alternatif untuk mengatasi pelanggaran tata ruang ini, yaitu: 1 pelanggaran tata ruang yang dilakukan perkebunan sawit swasta yang
memperoleh izin sebelum pemberlakuan RTRW 2011- menerapkan pola
satu daur artinya membiarkan perkebunan sawit yang berada di dalam kawasan pengembangannya untuk meneruskan kebunnya hanya selama periode produktif
sawit 25 tahun karena mempertimbangkan investasi yang telah mereka keluarkan serta keterlibatan penduduk sekitar, namun setelah itu harus kembali ke fungsi
awal ruang tersebut; 2 kebun sawit milik rakyat: meneruskan berkebun sawit sampai usia produktif sawit habis, setelah itu tidak dibolehkan melakukan
replanting. Sebagai insentif, mereka diberi dana pembongkaran sawit dan setelah fungsi sawah dikembalikan, mereka mendapat insentif sebagaimana yang diterima
oleh petani Program PLP2B lainnya; dan 3 mencabut izin perkebunan sawit swasta yang melakukan pelanggaran mengacu kepada UU Perkebunan Nomor
. Tiga pelanggaran yang menyebabkan dicabutnya izin perkebunan sawit adalah tidak memiliki analisis mengenai dampak lingkungan hidup atau upaya
pengelolaan lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup; tidak memiliki analisis dan manajemen risiko yang menggunakan hasil rekayasa
genetik; dan tidak menyediakan sarana, prasarana, dan sistem tanggap darurat yang memadai untuk menanggulangi terjadinya kebakaran dalam pembukaan dan
atau pengolahan lahan.
Hasil analisis ISM terhadap lembagaaktor, kendala dan aktivitas yang diperlukan untuk perubahan pengendalian alih fungsi lahan sawah menunjukkan
sebagian besar sub elemen memiliki driving dan dependence power tinggi atau dalam Diagram MICMAC masuk ke sektor III. Menurut Chandramowli et al.
dan Lendaris 1981, variabel yang berada pada sektorkelompok III ini dipengaruhi oleh tindakannya sendiri sehingga bersifat tidak stabil dan sulit untuk
ditangani. Hal ini merupakan indikasi bahwa permasalahan alih fungsi lahan sawah menjadi sawit bersifat kompleks, melibatkan banyak kepentingan dan
seharusnya ditangani dengan serius.
Pada analisis ISM terhadap elemen kunci kendala ditemukan dua sub elemen yang berada di sektor IV, yaitu kurangnya dana pembangunan pertanian
pangan dan PERDA LP2B belum lengkap atau belum siap pakai aplicable. Menurut Chandramowli et al.
, variabel pada sektor ini memiliki driving power
tinggi tapi dependence power-nya lemah, variabel ini harus ditangani paling awal. Ini berarti kendala tersebut harus ditangani lebih dulu sebelum
Pemerintah Kabupaten Tanjung Jabung Timur menangani kendala-kendala lainnya.
Variabel yang masuk sektor II berdasarkan analisis ISM pada elemen kunci lembagaaktor adalah kelompok tani dan penegak hukum, produktivitas sawah
yang rendah serta resiko gagal panen dan semai tinggi pada elemen kunci kendala, serta cetak sawah dan sanksi bagi pelaku alih fungsi lahan sawah pada
elemen kunci aktivitas. Variabel-variabel ini memiliki driving power sangat lemah dan ketergantungannya tinggi pada variabel lain. Menurut Chandramowli et
al.
, tindakan terhadap variabel ini harus menunggu sampai penanganan terhadap varibael yang mendrive-nya tuntas. Tidak ditemukan variabel yang
termasuk ke sektor I autonomous yaitu variabel yang memiliki driving dan dependence power yang lemah, mereka ini relatif terisolasi dari sistem dibanding
variabel lainnya dan dapat ditangani secara terpisah. Menurut Lendaris 1981,
hasil analisis MICMAC tersebut di atas dapat menjadi arahanpedoman untuk mengelola sub elemen atau variabel terkait dengan pengendalian alih fungsi lahan
sawah.
Simpulan
Kejadian alih fungsi lahan sawah menjadi kebun sawit, salah satunya disebabkan oleh inkonsistensi kebijakan pembangunan pemerintah yang dilatari
pergantian kepemimpinan pemerintah di level kabupaten dan provinsi. Pemimpin baru membawa misivisi baru yang seringkali tidak tersambung dengan baik
dengan rencana awal pengembangan daerah tersebut serta pelanggaran pelaksanaan tata ruang. Pelanggaran tata ruang peruntukan sawah terbanyak
dilakukan oleh petani 51.62 dan sisanya dilakukan oleh perkebunan swasta sawit. Hal ini menegaskan kekuatan pasar sebagai faktor pendorong petani
melakukan alih fungsi lahan sawah.
Faktor inkonsistensi kebijakan pemerintah pada gilirannya menjalar kepada masalah lain seperti kurangnya sarana dan prasarana pengairan, kebakaran
hutanlahan dan kurangnya bantuaninsentif kepada petani. Tantangan menjadi lebih berat karena kurang memadainya regulasi yang dimiliki, lemahnya
implementasi regulasi dan koordinasi antar pemangku kepentingan, serta ketersediaan dana pembangunan yang sangat terbatas dan sangat tergantung pada
dana pusat. Kendala paling berpengaruh berdasarkan analisis ISM yaitu kurang lengkapnya PERDA dan kurangnya dana, kedua masalah ini harus memperoleh
prioritas penanganan. Hasil analisis ISM juga menunjukkan sebagian besar sub elemen yang dianalisis berada di sektor III yang artinya memiliki keterkaitan
tinggi dan menggambarkan permasalahan alih fungsi lahan yang kompleks.