Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi land rent sawit

Tabel . Satuan biaya maksimum per hektar pembangunan kebun peserta program revitalisasi perkebunan tahun 2012 No Kegiatan Jumlah Dana Rpha Pembukaan lahan dan penanaman tenaga kerja, infrastruktur, bahan dan alat, manajemen fee dan sertifikasi lahan Pemeliharaan tahun pertama tenaga kerja, bahan dan alat, manajemen fee Pemeliharaan tahun kedua tenaga kerja, bahan dan alat, manajemen fee Pemeliharaan tahun pertama tenaga kerja, bahan dan alat, manajemen fee Jumlah keseluruhan Sumber: Keputusan Dirjen Perkebunan Nomor 211KptsRC.11082012 haKK. Kepemilikan lahan sawah di daerah ini lebih tinggi dari rata-rata kepemilikan sawah nasional yang 0.096 ha per petani Dabukke dan Iqbal, 2014 dan tidak terlalu jauh berbeda dengan rata-rata kepemilikan sawah di Jepang, yaitu 1.6 hapetani Suryana dan Kariyasa, 2008. Hal ini juga menegaskan bahwa fragmentasi lahan yang menyebabkan tidak terpenuhinya skala usaha minimal dan mendorong terjadinya alih fungsi lahan sawah Niroula dan Thapa, 2005; Nurmalina, 2008 bukan menjadi penyebab utama alih fungsi lahan sawah di daerah ini. Demikian juga tidak terdapat ancaman dari pengembangan pemukiman atau industri Irawan 20 karena belum terdapat pengembang perumahan atau pembangunan industri besar di daerah ini sebagaimana fenomena di Pulau Jawa. Permasalahan utama terletak pada produksi sawah yang rendah dan jauh di bawah produktivitas sawah Kabupaten Kerinci yang mencapai 5 742 kgha dan Bungo 4 798 kgha BPS 2015a serta biaya produksi yang tinggi. Faktor rendahnya produktivitas di daerah ini disebabkan oleh tiga hal: 1 musim tanam padi hanya satu kali dalam setahun, 2 terbatasnya penggunaan teknologi dalam manajemen lahan tanam di mana menurut Busyra et al. , hal ini terlihat dari masih menggunakan bibit lokal, pengolahan lahan yang belum sesuai hingga tingginya serangan hama dan penyakit; dan 3 penurunan kualitas lahan pertanian Sa‘ad . Sebagian dari masalah ini dicoba diatasi dengan diluncurkannya program Gerakan Serentak Tanam Padi Dua Kali Setahun GERTAK TANPA DUSTA di mana Kecamatan Rantau Rasau menargetkan lahan untuk kegiatan ini seluas 650 ha BP4K 2015. Namun untuk masalah kedua dan ketiga kurang terlihat upayaprogram yang dilakukan untuk mengatasinya. Pada sisi lain usaha kebun sawit memiliki produksi lebih tinggi dan dapat dipanen dua kali dalam sebulan sehingga pendapatannya lebih menjanjikan. Dari segi investasi awal sebenarnya pembukaan kebun sawit membutuhkan dana cukup besar, seperti terlihat pada Tabel .8. Rincian biaya tersebut merupakan satuan biaya per hektar perluasan kebun kelapa sawit di lahan basah pada tahun 2012 program kemitraan yang dikeluarkan oleh Dirjen Perkebunan. Biaya ini jauh lebih besar jika dibandingkan dengan biaya cetak sawah pada kondisi lahan bervegetasi berat, yaitu Rp13 DPPJ 2013. Namun dengan land rent sawit yang tinggi, investasi awal sawit dapat dikembalikan dengan cepat terutama saat harga sawit tinggi. Pada tahun-tahun sebelumnya harga TBS pernah mencapai Rp 500kg, sehingga petani menikmati penghasilan yang tinggi. Pada analisis land rent yang dilakukan pada penelitian ini tidak menghitung biaya pembukaan lahan karena biaya ini tidak ada pada kejadian alih fungsi lahan sawah menjadi sawit. Petani tidak perlu mengeluarkan komponen biaya 1 pada Tabel Perbedaan land rent antara sawah dan sawit menjadi salah satu faktor pendorong terjadinya alih fungsi lahan sawah di Tanjung Jabung Timur selain faktor kebijakan di masa lalu seperti diuraikan pada BAB sebelumnya. Hal ini sesuai dengan pendapat Tietenberg dan Lynne 2009, Rustiadi dan Wafda 2008 dan Zakaria dan Rachman 2013. Selain itu Mubyarto 1977 menyebutkan faktor perbedaan kesuburan tanah mempengaruhi land rent di Indonesia serta faktor lain seperti perbedaan jarak dari pasar, perbedaan biaya produksi dan perbedaan lahan yang terbatas scarcity of land. Dari uraian di atas diketahui terdapat dua gap land rent yang harus diatasi agar petani pangan bersedia mempertahankan lahan sawahnya. Yang pertama adalah gap land rent sawah yang diterima oleh individu petani dan yang diterima oleh masyarakat secara keseluruhan economic land rent vs economic, social and environment land rent atau maksimum social net benefit lahan menurut Rustiadi et al. . Yang kedua adalah gap land rent antara tanaman padi dan sawit itu sendiri. Kedua macam gap land rent ini dapat diatasi dengan intervensi pemerintah. Menurut Yakin 2015, jika permasalahan dalam mengelola lingkungan dan sumber daya alam tidak bisa dilakukan dengan kerjasama antara pihak-pihak yang terlibat maka pemerintah dituntut mengambil peran yang lebih dominan. Selanjutnya dikatakannya subsidi memiliki tiga bentuk, yaitu: penghargaan kepada pihak yang memberikan kontribusi pada lingkungan, untuk mempercepat perubahan prilaku atau teknologi kepada output yang diharapkan serta pemberian kompensasi bagi biaya-biaya penyesuaian yang tidak bisa diterima misalnya penurunan pendapatan yang drastis akibat faktor lingkungan tertentu. Ketiga bentuk ini dapat diberikan kepada petani sesuai dengan maksud intervensi itu sendiri. Wawancara dengan petani menunjukkan tidak semua kebun sawit yang dibangun di atas lahan sawah memberi hasil yang memuaskan. Petani yang merasa kebun sawitnya gagal –karena lahan terlalu basah atau dulunya menggunakan bibit sawit tidak bersertipikat- bersedia membongkar kebunnya asal mendapat bantuan pemerintah. Hal ini menunjukkan bahwa petani belum memperoleh informasi yang memadai tentang kesesuaian lahan sebelum bertanam sawit. Melalui dana APBN pemerintah menyediakan bantuan kegiatan Optimasi Lahan sebanyak Rp 000ha kebun sawit yang akan dibongkar. Petani cukup menyadari bahwa kehadiran kebun sawit di tengah hamparan sawah akan berdampak negatif kepada sawah-sawah sekitarnya seperti adanya hama burung dan tikus, namun hal tersebut tidak cukup untuk mencegah terjadinya alih fungsi lahan sawah menjadi sawit. Feintrenie et al. berdasarkan hasil penelitiannya di tiga lokasi berbeda di Indonesia Jambi, Lampung dan Sulawesi Tengah menyimpulkan bahwa petani pada dasarnya bukanlah seorang yang peduli lingkungan conservasionist. Petani lebih condong memilih tanaman yang memberi keuntungan cepat, rendah penggunaan tenaga kerjanya serta tidak terlalu terpengaruh oleh musim. Berdasarkan kondisi di lapangan, upaya untuk mempertahankan lahan pertanian tidak bisa disandarkan kepada petani saja karena mereka juga membutuhkan kehidupan yang layak dari usaha pertaniannya. Menurut Pambudi 2008, tanpa ada upaya untuk peningkatan produktivitas lahan serta nilai jual produk pertanian guna meningkatkan land rent sawah maka hal ini merupakan suatu bentuk ketidakadilan. Rendahnya ekspektasi petani terhadap hasil sawah berpengaruh kepada keengganan sebagian petani di Kabupaten Tanjung Jabung Timur untuk menandatangani Surat Pernyataan Memiliki LP2B karena pada surat pernyataan tersebut terdapat banyak kewajiban yang harus mereka penuhi sedangkan insentif yang diberikan belum pasti jumlah dan bentuknya. Kewajiban tersebut adalah: 1 Bersedia lahan kelompok tani menjadi LP2B dan turut berpartisipasi untuk melindungi lahan agar tidak terjadi alih fungsi lahan; 2 Bersedia bekerja sama dengan kelompok tani untuk membangun fisik pekerjaan di sektor pertanian tanaman pangan demi terciptanya swasembada pangan di Kabupaten Tanjung Jabung Timur; 3 Tidak akan menuntut ganti rugi terhadap penggunaan lahan menjadi lahan LP2B; 4 Bersedia dan sanggup menanam komoditi tanaman pangan sesuai petunjuk teknis dan rekomendasi petugas pertanian; 5 Bersedia menerima kemudahan dan sanksi yang diberikan oleh pemerintah daerah sesuai dengan PERDA Nomor 18 Tahun 2013; dan 6 Dari point 1 sd 5 apabila petani tidak taat kepada pernyataan ini, petani tersebut bersedia menerima sanksihukuman sesuai peraturan yang berlaku. Simpulan Alih fungsi lahan sawah menjadi tanaman perkebunan di Kabupaten Tanjung Jabung terjadi secara masif. Diantara tanaman perkebunan yang berkembang sawit, karet, pinang dan kelapa dalam, sawit merupakan ancaman utama terhadap keberlangsungan sawah. Pada dua periode waktu yang diamati, luas sawah menjadi sawit 15 616 ha, sawah menduduki urutan ketiga sebagai sumber lahan untuk pengembangan sawit, berada di bawah lahan tegalan dan hutan. Perbandingan land rent sawah dan sawit adalah 1:2. Perbandingan ini bisa menjadi lebih rendah jika dampak negatif perkebunan sawit terhadap lingkungan diinternalkan ke nilai land rent sawit dan dampak positif sawah terhadap lingkungan serta sosial jaminan ketahanan pangan diiternalkan ke land rent sawah. Hal ini menimbulkan optimisme bahwa alih fungsi lahan sawah dapat dikendalikan jika land rent sawah dapat ditingkatkan melalui perbaikan pada faktor-faktor yang berpengaruh seperti produksi dan biaya produksi serta menginternalkan dampak posiif sawah yang selama ini tidak dinilai dengan selayaknya. Peran atau intervensi pemerintah diperlukan sebab telah terjadi alokasi sumber daya alam yang tidak efisien di mana petani tidak memperoleh social net benefit yang optimal dari lahannya

6. ANALISA PREFERENSI PETANI TERHADAP JENIS DAN

BESARAN INSENTIF PROGRAM PERLINDUNGAN LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN DI KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR ABSTRAK Kesuksesan Program Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan PLP2B sangat tergantung kepada persetujuan petani dalam bentuk kesediaan menandatangani Surat Pernyataan Memiliki LP2B. Lahan sawah merupakan milik pribadi sehingga petani tidak dapat dipaksa untuk bergabung dengan program ini serta adanya praktik distribusi insentif yang kurang memuaskan di masa lalu maka pendapat petani sangat diperlukan agar diperoleh masukan tentang jenis dan besaran insentif yang sesuai agar mereka mau bergabung dengan program PLP2B. Data penelitian ini diperoleh dari wawancara terstruktur menggunakan kuisioner dan wawancara mendalam serta dukungan data sekunder dari berbagai sumber. Metode analisis data menggunakan Willingness to Accept WTA untuk mengetahui nilai tengah mean WTA insentif yang diinginkan petani serta total dana yang dibutuhkan untuk melindungi target 17 000 ha. Dapat disimpulkan bahwa petani menyadari dampak negatif meluasnya sawit di lingkungan sawah mereka berupa ancaman konversi lahan dan serangan hama penyakit. Sebagian besar responden memiliki persepsi positif terhadap program LP2B. Jenis insentif yang paling disukai untuk lingkup kabupaten adalah sarana produksi pertanian, kenaikan Harga Pembelian Pemerintah dan insentif berbentuk dana segar namun dalam lingkup yang lebih kecil responden di Kecamatan Nipah Panjang memilih premi asuransi dan sertipikat lahan. Nilai rata-rata insentif yang diinginkan Rp 983hatahun sehingga total dana yang dibutuhkan untuk melindungi target LP2B di Kabupaten Tanjung Jabung Timur Rp33 948 711 000 setiap tahunnya. Kata Kunci : insentif, perlindungan lahan, sawah, Willingness to Accept ABSTRACT The success of the Protection of Sustainability Food Agricultural Land PSFAL Program is very dependent on the willingness of paddy farmers to sign The Statement Letter of Having Sustainability Food Agricultural Land. Farmers cannot be forced to join the PSFAL Program since paddy land is private property and there was a bad practice of incentive distribution in the past so the farmers‟ opinion needed to give input about the kinds and amount of incentives they are willing to accieve in order to join this program. The data were gained from structured and indepth interviews as well as supported by the secondary data. Data then analysed by using Willingness to Accept method to get the mean value of WTA and the total fund needed to protect 17 000 ha of paddy land. It can be concluded that the farmers are quite aware about the negative impacts of palm oil expansion toward ther paddy land. Also they have a positive perception about the core of PSFAL program. The kinds of incentive they prefer more than the others in the regencial scope are subsidized seedsfertilisers pesticides, price support policy and cash payment, however in a smaller scope, the farmers in Nipah Panjang District prefer more on insurance premium and land certificate than the other kinds of incentive. The mean WTA is IDR 983hayear so the total fund to protect PSFAL target in East Tanjung Jabung Regency is IDR 000 per year. Key words : incentives, land protection, paddy land, Willingness to Accept Pendahuluan Latar Belakang Pertanian tanaman pangan di banyak negara mendapat perhatian besar dari pemerintah karena menyangkut kebutuhan dasar penduduk serta pertimbangan pentingnya menjaga ketahanan pangan. Upaya untuk menjaga ketahanan pangan seringkali membutuhkan intervensi pemerintah agar alokasi sumber daya pangan termasuk lahan dapat dikelola secara efisien. Hal ini sesuai dengan pendapat Rustiadi et al. yang mengatakan jika sumber daya alam seluruhnya diserahkan pada mekanisme pasar maka dapat berujung kepada market failure kegagalan pasar sehingga intervensi pemerintah diperlukan agar sumber daya dapat didistribusikan secara produktif, adil dan efisien. Pro dan kontra tentang perlunya intervensi pemerintah untuk menjaga ketahanan pangan suatu negara ditemukan dalam banyak literatur. Pendapat yang kontra mencontohkan subsidi harga jual beras di Malaysia yang menimbulkan distorsi harga sangat besar antara pasar domestik dengan pasar bebas Athukorala dan Loke 2009 dan menurut Karki 2013, distribusi insentif di Bhutan gagal karena tidak adanya ukuran yang bisa dipedomani tentang pemberian insentif. Menurutnya terdapat hal negatif pada program yang berbasis insentif Incentive- based Program yaitu: 1 mempertegas perbedaan sosial, menghasilkan ekspektasi yang tinggi namun sering tidak tercapai dan distribusi keuntunganmanfaat yang tidak adil; 2 terbatasnya keberhasilan dalam mendistribusikan manfaat konservasi itu kepada masyarakat sekitar; dan 3 dampak sosial kepada masyarakat dalam bentuk denda, pembatasan-pembatasan dan konflik. Pendapat yang pro terhadap pemberian insentif juga banyak diantaranya Pearce dan Turner 1990 yang menyebutkan intervensi dalam bentuk pemberian insentif ekonomi lebih efektif dibanding insentif dalam bentuk regulasi dan akuisisipenataan, praktik pemberian insentif di Jepang dalam bentuk subsidi bunga bank agar petani bisa membeli mesinsarana produksi Purnama 2010 dan di Thailand dalam bentuk regulasi yang ketat untuk mencegah masuknya bahan pangan impor Warr 2008 terbukti berhasil membawa negara tersebut mencapai swasembada pangan. Mekanisme kebijakan berbasis insentif dianggap sebagai instrumen yang efektif untuk menjembatani antara konservasi dan pembangunan. Berbeda dengan pendekatan command and control, yang menegakkan peraturan secara top-down dan sanksi pelanggaran dengan hukuman, mekanisme berbasis insentif berfungsi sebagai wortel, artinya, orang-orang dihargai ketika tindakan mereka sesuai dengan tujuan lingkungan Ulvevadet dan Hausner 2011. Pemerintah Indonesia melalui Undang-undang Nomor 41 Tahun 2009 mengatur perlindungan lahan pangan melalui mekanisme pengendalian tata ruang yang dikaitkan dengan pemberian insentif dan disinsentif bagi pihak-pihak terlibat terutama petani pangan. Syarat, ketentuan dan mekanisme perlindungan lahan dan pemberian insentif diatur dalam regulasi turunannya yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2011 tentang Penetapan dan Alih Fungsi Lahan Pertanian Berkelanjutan dan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2012 tentang Insentif LP2B. Insentif ini hanya dapat diberikan jika suatu daerah telah memiliki zona LP2B melalui RTRW kabupatenkota setempat serta aturan pemberian insentif dalam PERDA LP2B. Kabupaten Tanjung Jabung Timur merupakan satu-satunya kabupaten di Provinsi Jambi yang PERDA RTRWnya ditindaklanjuti dengan penetapan PERDA Nomor 18 Tahun 2013 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Keberadaan kedua regulasi tersebut PERDA RTRW dan PERDA LP2B belum menjamin pelaksanaan perlindungan lahan pangan akan berjalan mulus karena tanaman sawit telah tumbuh meluas di Kabupaten Tanjung Timur, yang secara ekonomi lebih menguntungkan dari paditanaman pangan lainnya. Distribusi insentif untuk tanaman pangan yang salah sasaran atau jumlahnya tidak mencukupi turut mempersulit implementasi PERDA LP2B. Penolakan petani setempat terlihat dengan keberatan mereka untuk menandatangani Surat Pernyataan Memiliki LP2B yang merupakan bagian dari kegiatan validasi sawah yang akan ditetapkan untuk dilindungi. Agar program LP2B berjalan baik, persepsi petani tentang program LP2B serta jenis dan besaran insentif yang mereka inginkan perlu diperhatikan. Hal ini sesuai dengan pendapat Rode et al. , sebelum menerapkan insentif ekonomi secara luas dalam suatu program konservasi maka harus diketahui lebih dulu motivasi instrinsik yang ada saat ini dan perubahan yang diharapkan dari masyarakat setelah implementasi insentif tersebut. Pada penelitian ini nilai insentif yang diinginkan petani dianalisis melalui metode Contingent Valuation Method CVM yang merupakan bagian dari metode valuasi ekonomi stated preferences yaitu metode yang mengungkap nilai suatu barangjasa non market melalui referendum atau voting di mana responden bersedia menerima pembayaran tertentu untuk menyediakan suatu barang non marketable tertentu dalam penelitian ini barang tersebut adalah lahan sawah. Menurut Grafton et al. , terdapat enam tahap kajian contingen valuation CV yaitu: identifikasi isu secara general; 2 deskripsi spesifik tentang kondisi sekarang dan perubahan yang terjadi di masa datang jika terjadi perubahan lewat FGD; 3 deskripsi metode pembayaran; 2 elisitasi nilai WTA atau pilihan keputusan dalam kerangka pilihan yang jelas; 5 satu set pertanyaan untuk mengidentifikasi seberapa pasti responden memilihmemberi jawaban, mengapa memilih jawab tersebut dan memperoleh informasi lain tentang reaksi responden terhadap proses penilaian tersebut dan 6 menapiselisitasi karakter demografi dan sikap responden. Penapisan nilai insentif bid menggunakan metode single bounded dichotomous choices Garrod dan Willis 2002. Tulisan ini bertujuan menjawab tiga pertanyaan berikut: 1 Bagaimanakah profil dan persepsi petani tentang Program LP2B yang diluncurkan oleh Pemerintah Kabupaten Tanjung Jabung Timur; 2 Apakah jenis insentif yang paling mereka inginkan; dan 3 Berapa besaran insentif yang diinginkan agar mereka bersedia bergabung dalam program perlindungan LP2B. Metode Pemilihan Lokasi Penelitian Lokasi penelitian dipilih berdasarkan overlay peta perubahan penggunaan lahan 2006-2010 dan 2010- yang menunjukkan lima kecamatan yang mengalami alih fungsi lahan sawah menjadi sawit tertinggi di Kabupaten Tanjung Jabung Timur pada periode 2006-2014 yaitu: Kecamatan Rantau Rasau, Sabak Timur, Berbak, Nipah Panjang, dan Kuala Jambi. Karena sulit menemukan sawah di Kuala Jambi saat ini, wilayah ini diganti dengan Geragai. Pengambilan data dilakukan bulan Agustus sampai Desember 2015. Teknik Pengambilan Data dan Sampel Survei menggunakan kuisioner yang berisi pertanyaan terbuka dan tertutup terhadap 153 responden petani tanaman pangan tergabung dalam kelompok maupun tidak dan dipilih secara acak. Interviu mendalam dilakukan terhadap pejabat pemerintah Kabupaten Tanjung Jabung Timur, penyuluh serta akedemisi untuk lebih memahami kondisi alih fungsi lahan sawah di lapangan. Data sekunder diperoleh dari instansi pemerintah di level Kabupaten Tanjung Jabung Timur seperti BPS, Dinas Pertanian Tanaman Pangan, Bappeda, dan BP4K. Metode Analisis Data Guna menghitung peluang responden untuk menerimamenolak tawaran insentif LP2B dilakukan analisa regresi berganda yang akan menghasilkan Model Regresi Logit. Berbeda dengan regresi linear yang menggunakan pendekatan Ordinary Least Square OLS, model Regeresi Logistik menggunakan pendekatan Maximum Likelihood ML dengan tujuan memaksimumkan peluang kejadian dari variabel-variabel yang digunakan dalam model ini. Menurut Widarjono 2010 jika terdapat k variabel independen maka model regresi logistik ditulis sebagai berikut: ln Pi Pi i B Bk k Keterangan: Zi = peluang responden bersedia menerima insentif LP2B bernilai 1 dan tidak bersedia bernilai 0 = Konstanta k = koefisien regresi dst = variabel bebas i = responden ke I , , dst Pada penelitian ini peubah dependen adalah keputusan petani untuk menerima atau menolak insentif LP2B yang ditawarkan sedangkan peubah independen penjelas terdiri dari: Bid X1 : Nilai insentif yang ditawarkan, berkisar antara Rp500 000hatahun sampai dengan Rp3 000 000hatahun Jenis kelamin X2 : 1 laki-laki dan 0 perempuan Umur X3 : umur responden tahun Pendapatan X4 : pendapatan responden yang berasal dari usaha non sawah Pendidikan X5 : pendidikan responden; 1 SD, 2 SMP; dan 3 SMA Jumlah keluarga X6 : jumlah anggota keluarga orang Pengalaman bersawah X7 : Dihitung dari lama bersawah tahun Pengetahuan LP2B X8 : pengetahuan tentang program LP2B; 1 jika pernah mendengar LP2B dan 0 jika tidak pernah mendengar LP2B Penawaran pada pasaran hipotetik diperlihatkan pada Gambar .1. Nilai penawaran bid value mengacu kepada selisih nilai land rent antara kebun sawit dan sawah pada satuan unit luas dan waktu yang sama. Berdasarkan analisis land rent , diperoleh selisih land rent sebesar Rp per hatahun. Nilai insentif yang ditawarkan dimulai dari Rp500 000hatahun sampai dengan Rp 0hatahun. Skenario penawaran insentif tidak mencapai nilai maksimal Rp 000 000hatahun dengan pertimbangan: 1 nilai tersebut terlalu tinggi dan berada di luar jangkauan pemerintah serta 2 maksud pemberian insentif sebagai pendukungstimulan bagi petani sawah, bukan sebagai kompensasi terhadap opportunity cost petani padi karena tidak menanam sawit di lahan sawah tersebut. Setiap responden ditawari nilai bid WTA tertentu yang dipilih secara acak diantara rentang bid di atas. Responden kemudian menjawab ya atau tidak sebagai respon terhadap skenario LP2B dan nilai yang ditawarkan. Setelah persamaan regresi logit diperoleh maka nilai tengah WTA bisa dihitung dari koefisien 0 konstanta dan koefiesien bid. Menurut Jianjun et al. formula untuk mengkalkulasi nilai tengah WTP atau WTA sebagai berikut: Keterangan: 1 = koefisien estimasi terhadap jumlah penawaran 0 = nilai konstan Mean WTA = - B0B1 Gambar . Pasar hipotetik insentif untuk Program LP2B