ANALISA PREFERENSI PETANI TERHADAP JENIS DAN
Bid X1 :
Nilai insentif yang ditawarkan, berkisar antara Rp500 000hatahun sampai dengan Rp3 000 000hatahun
Jenis kelamin X2 : 1 laki-laki dan 0 perempuan
Umur X3 : umur responden tahun
Pendapatan X4 : pendapatan responden yang berasal dari usaha non sawah
Pendidikan X5 : pendidikan responden; 1 SD, 2 SMP; dan 3 SMA
Jumlah keluarga X6 : jumlah anggota keluarga orang
Pengalaman bersawah X7 : Dihitung dari lama bersawah tahun Pengetahuan LP2B X8
: pengetahuan tentang program LP2B; 1 jika pernah mendengar LP2B dan 0 jika tidak pernah mendengar LP2B
Penawaran pada pasaran hipotetik diperlihatkan pada Gambar .1. Nilai
penawaran bid value mengacu kepada selisih nilai land rent antara kebun sawit dan sawah pada satuan unit luas dan waktu yang sama. Berdasarkan analisis land
rent , diperoleh selisih land rent sebesar Rp
per hatahun. Nilai insentif yang ditawarkan dimulai dari Rp500 000hatahun sampai dengan Rp
0hatahun. Skenario penawaran insentif tidak mencapai nilai maksimal Rp 000 000hatahun dengan pertimbangan: 1 nilai tersebut terlalu tinggi dan berada
di luar jangkauan pemerintah serta 2 maksud pemberian insentif sebagai pendukungstimulan bagi petani sawah, bukan sebagai kompensasi terhadap
opportunity cost
petani padi karena tidak menanam sawit di lahan sawah tersebut. Setiap responden ditawari nilai bid WTA tertentu yang dipilih secara acak
diantara rentang bid di atas. Responden kemudian menjawab ya atau tidak sebagai respon terhadap skenario LP2B dan nilai yang ditawarkan.
Setelah persamaan regresi logit diperoleh maka nilai tengah WTA bisa dihitung dari koefisien
0 konstanta dan koefiesien bid. Menurut Jianjun et al.
formula untuk mengkalkulasi nilai tengah WTP atau WTA sebagai berikut:
Keterangan: 1 = koefisien estimasi terhadap jumlah penawaran
0 = nilai konstan
Mean WTA = - B0B1
Gambar . Pasar hipotetik insentif untuk Program LP2B
Tabel . Statistik deskripsi responden WTA
Variabel Keterangan
Unit Nilai
Jenis Kelamin Laki-laki
. Perempuan
. Umur
20-40 tahun .
41-60 tahun .
60 tahun .
rata-rata tahun
. Pendidikan
SD .
SMP .
SMA .
IncomeKK Pendapatan non sawah
Rp Keluarga
rata-rata jumlah Anggota jiwa
. Pengalaman Bersawah
10 tahun .
10-20 tahun .
20 tahun .
rata-rata tahun
. Pengetahuan LP2B
Pernah mendengar LP2B .
Tidak pernah mendengar LP2B .
Total WTA atau nilai insentif yang harus disediakan guna melindungi target LP2B Kabupaten Tanjung Jabung Timur dihitung dengan mengalikan luas target
LP2B 17 000 ha dengan nilai Mean WTA. Sedangkan bentuk insentif yang akan dinilai tingkat preferensinya oleh petani mengacu kepada berbagai literatur seperti
cash payment
, premi asuransi, penyediaan infrastruktur pertanian dan saprodi seperti tercantum dalam PP Nomor 12 Tahun 2012, kenaikan Harga Pembelian
PemerintahHPP dan lain-lain. Analisis data dilakukan dengan menggunakan software Minitab 14 dan Microsoft office excels 2010.
Hasil Profil dan Pendapat Responden tentang LP2B
Pada Tabel .1 disajikan gambaran umum responden. Dilihat dari segi
umur, rata-rata responden berada dikisaran umur 43 tahun dan berpengalaman bersawah selama 19 tahun. Dari data tersebut dapat diartikan bahwa responden
cukup matang dan berpengalaman untuk mengambil keputusan serta memberi pendapat tentang Program PLP2B. Namun dari segi pendidikan responden masih
rendah di mana hampir 80 berpendidikan dibawah sekolah menengah pertama. Kondisi ini mendekati profil pendidikan penduduk Tanjung Jabung Timur di
mana pada tahun 2014 sebanyak 76.92 penduduknya berpendidikan dibawah SMP dan tidak bersekolah BPS 2014a.
Pengalaman bersawah responden cukup lama yaitu rata-rata 18.97 tahun, hal ini dapat dijelaskan dengan sejarah lokasi penelitian sebagai wilayah penempatan
transmigrasi. Sebagian besar responden merupakan keturunan kedua dan ketiga transmigran yang didatangkan dari pulau Jawa pada tahun 19671968 sampai
tahun 2001. Setiap keluarga diberikan lahan sawah dua ha plus 0.25 ha untuk rumah dan pekarangan. Jumlah keluarga transmigran yang ditempatkan di
kabupaten ini mencapai 10 359 KK BPS 2014a.
Dari survei sebelumnya BAB V diketahui pendapatan dari sawah sekitar Rp
jutahatahun. Penghasilan tersebut tidak memadai untuk menghidupi keluarga yang rata-rata anggotanya 4 jiwakeluarga. Sebagian besar penduduk
mengandalkan usaha non sawah sebagai sumber utama penghasilan keluarga. Hasil survei menunjukkan rata-rata pendapatan keluarga dari berbagai sumber
usaha non sawah sekitar Rp13 604 575 per tahun. Usaha non sawah yang berkembang pesat di daerah ini adalah sawit, karet, kelapa dalam dan pinang.
Tabel . Perbandingan penggunaan lahan untuk usaha sawah dan non sawah
perkebunan utama di lima kecamatan tahun 2013
Dari Tabel terlihat bahwa penggunaan lahan untuk sawit dan kelapa
dalam sangat menonjol, diikuti oleh pinang dan karet. Petani cukup diuntungkan oleh komoditi perkebunan tersebut terutama dari segi harga jual dan kemudahan
pemasaran. Pada bulan Agustus 2015 harga jual TBS sawit mengalami penurunan dan berada di kisaran Rp800
–Rp 200kg, namun sebelumnya harga TBS pernah mencapai Rp
500kg. Sedangkan harga karet berkisar Rp14 600kg, kelapa dalam Rp
200-Rp 500butir dan harga pinang ketika survei dilakukan sangat menggembirakan petani yaitu mencapai Rp18 000kg. Sementara harga beras
keluaran Tanjung Jabung Timur pada tahun 2015 berkisar antara Rp – Rp
000kg. Program PLP2B telah disosialisasikan kepada petani sejak tahun 2014 lalu.
Namun belum semua petani mendengar istilah LP2B tersebut dan memahaminya. Berdasarkan hasil survei, masih ada sekitar 34.64 responden yang belum pernah
mendengar istilah LP2B tersebut. Dari 65.36 responden yang pernah mendengar istilah PLP2B, pemahaman mereka tentang program perlindungan lahan sawah ini
dapat dikelompokkan sebagai berikut: sebanyak 27 mengatakan program PLP2B menekankan pada keharusan menanami sawah dan tidak boleh alih
fungsikan menjadi lahan perkebunan serta ada sanksi jika melanggar penekanan informasi pada kewajiban petani dan sanksi; sebanyak 15 mengatakan
pemerintah akan membantu biaya produksi pertanian tanaman pangan penekanan informasi pada adanya bantuan pemerintah, 21 mengatakan PLP2B merupakan
No Kecamatan
Sawah ha luas panen
Sawit Karet
Kepala Dalam Pinang
1 Rantau Rasau
3 774 2 420
1 663 960
179 2
Muara Sabak Timur 2 988
1 276 288
9 417 2 573
3 Nipah panjang
6 153 1 118
269 7 266
346 4
Berbak 7 420
546 450
158 110
5 Geragai
593 3 931
396 2 587
256 Sumber: Data dan Informasi Kabupaten Tanjung Jabung Timur Tahun 2014
Usaha perkebunan utama ha
program meningkatkan produksi padi dan palawijaya serta mempertahankan lahan sawah informasi normatif, dan 3 mengatakan hanya sebatas mendengar nama
PLP2B namun tidak memahami tujuannya.
Menjawab pertanyaan apakah pengembangan sawit ke desa mereka menimbulkan ancaman untuk tanaman pangan, sebanyak 11 responden
mengatakan sangat setuju, 37 setuju, 19 cukup setuju, 32 tidak setuju dan 1 sangat tidak setuju. Responden yang menjawab dalam kelompok sangat
setujusetujucukup setuju beralasan bahwa kebun sawit menjadi ancaman karena mendorong terjadinya alih fungsi lahan sawah, menjadi sarang hama tikus dan
burung, serta lahan sekitar menjadi kering dan keras. Sedangkan yang berpendapat tidak setuju dan sangat tidak setuju umumnya beralasan mereka tidak
melihat pengaruh negatif sawit saat ini dan petani bisa menilai mana lahan yang baik untuk tanaman pangan atau sawit sehingga jika diatur dengan baik, tidak
akan menimbulkan dampak negatif bagi desalingkungan mereka. Dari jawaban tersebut diketahui bahwa lebih dari 65 merasakan adanya dampak negatif
pengembangan sawit di lahan sawah, namun kesadaran tersebut tidak cukup kuat untuk mendukung perlindungan LP2B jika pemerintah tidak memberi insentif
yang layak dan mereka sukai.
Hasil survei menunjukkan sebanyak 16 responden sangat setuju petani yang melanggar perjanjian LP2B diberi sanksi pidana, 58 responden setuju,
12 responden cukup setuju, 10 tidak setuju dan 4 sangat tidak setuju. Responden yang menjawab sangat setuju setujucukup setuju mengemukakan
alasan sanksi tersebut patut diberikan karena petani telah menekan kontrak dan guna memberi efek jera. Sedangkan yang menjawab tidak setujusangat tidak
setuju beralasan bahwa lahan tersebut milik pribadi sehingga sanksi tersebut sulit untuk diterima, sanksi pidana dianggap terlalu keras dan lingkungan sekitar telah
ditanami sawit sehingga dimasa datang akan sulit menegakkan sanksi tersebut.
Responden yang ditanyai pendapat mereka tentang kesediaan menerima tawaran insentif agar mau bergabung dengan program LP2B, jawabannya sebagai
berikut: sebanyak 17 responden menyatakan sangat setuju, 55 menyatakan setuju, 19 cukup setuju dan hanya 9 yang menyatakan tidak setuju. Melihat
kepada jawaban ini di mana lebih dari 90 responden tidak keberatan dengan kebijakan insentif tersebut memunculkan optimisme bahwa program perlindungan
LP2B ini bisa berjalan. Sedangkan mengenai alasan melakukan alih fungsi lahan sawah menjadi sawit, jawaban petani dapat dikelompokkan sebagai berikut:
sebanyak 56 menyatakan pekerjaan bersawit lebih ringan dan pendapatan lebih baik, sebanyak 35 mengatakan hasil sawah rendah, sering gagal panen, bosan
bersawah, kesuburan tanah berkurang serta 10 menjawab ikut-ikutan bersawit karena di lingkungan mereka telah dikelilingi tanaman perkebunan tersebut.
Jenis Insentif yang Disukai Petani
Pada penelitian ini terdapat sembilan jenis insentif yang disodorkan kepada petani padi. Setiap responden yang bersedia menerima nilai insentif yang
ditawarkan diminta memilih 3 tiga opsi insentif yang paling disukainya. Dari 153 responden yang diwawancarai, sebanyak 67 responden 44 menerima
insentif yang ditawarkan dan sisanya menolak.
Berdasarkan pilihan responden, tiga opsi insentif yang paling disukai petani adalah: 1 subsidi input saprodi
; 2 kenaikan HPP gabah dan cash paymentkompensasi tunai . Bentuk insentif konvensional
berupa sarana produksi pertanian seperti yang selama ini didistribusikan oleh pemerintah masih merupakan yang paling disukai Tabel
Menyangkut subsidi saprodi responden meminta ada tambahan jumlah dan pengayaan jenis saprodi seperti kapur untuk mengurangi keasaman lahan mereka.
Petani juga mengeluhkan distribusi benih yang tidak tepat waktu dan jumlahnya kurang. Alokasi bantuan benih dari pusat untuk satu hektar sawah sekitar 25
kgha, mengacu kepada kebutuhan benih untuk sawah beririgasi. Jumlah tersebut sangat kurang karena pada sawah pasang surut resiko gagal persemaian sangat
tinggi. Di Kecamatan Rantau Rasau rata-rata kebutuhan benihha sawah adalah 65 kg Kiswanto, komunikasi pribadi.
Harga Pembelian Pemerintah HPP menurut Inpres Nomor 5 Tahun 2015 tentang Kebijakan Pengadaan GabahBeras dan Penyaluran Beras, harga
pembelian Gabah Kering Panen GKP dalam negeri dengan kadar air maksimum 25 persen dan kadar hampa maksimum 10 persen adalah Rp
700 per kilogram kg di petani, atau Rp
750kg di penggilingan. Sementara harga pembelian Gabah Kering Giling GKG dengan kualitas kadar air minum 14 dan kotoran
maksimum 3 adalah Rp 600kg di penggilingan atau Rp 650kg di gudang
Bulog. Sedangkan untuk harga pembelian beras kualitas kadar air maksimum , butir patah maksimum 20, kadar menir maksimum 2 dan derajat sosoh
minimum 95 adalah Rp 300kg. Untuk wilayah yang transportasinya terbatas
dan mahal seperti Tanjung Jabung Timur, ongkos angkut ke gudang Bulog ditanggung oleh petani sehingga hal ini menambah biaya produksi, sedangkan
hasil panen sawit langsung dijemput ke kebun atau ditaruh di pinggir jalan sehingga menekan biaya angkut ke pasar. Berdasarkan hasil FGD dengan petani,
mereka mengharapkan harga beli beras di pasaran Rp10 000kg. Saat ini harga jual beras berkisar Rp
-Rp 000kg sehingga subsidi harga jual dari pemerintah sangat mereka harapkan.
Jawaban responden tentang jenis insentif yang paling disukai berbeda antar kecamatan di mana petani di Kecamatan Nipah Panjang memiliki pilihan insentif
yang lebih progresifmaju dibanding kecamatan lain Tabel . Di sini terlihat
Tabel . Peringkat opsi insentif pertanian yang disukai petani di Kabupaten
Tanjung Jabung Timur No
Jenis insentif subsidi saprodi
Kenaikan HPP gabah kompensasi tunai
Sapras Penerbitan sertipikat tanah
premi asuransi Pembelian lahan sawah baru dengan harga murah
Pengetatan regulasi Sewa lahan milik pem.
bahwa petani di Kecamatan Nipah Panjang adalah satu-satunya yang menempatkan premi asuransi
dan sertipikat tanah sebagai dua pilihan paling disukai dari sembilan jenis insentif yang ditawarkan. Jenis insentif
yang paling sedikit atau sama sekali tidak dipilih di semua kecamatan adalah pengetatan regulasi dan sewa lahan milik pemerintah
Beberapa jenis insentif menempati ranking persentase yang sama seperti terlihat pada Tabel
Namun mayoritas petani di empat kecamatan kecuali Nipah Panjang masih mengunggulkan insentif saprodi dibanding jenis insentif
lainnya di posisiranking pertama. Tabel
. Peringkat opsi insentif pertanian yang disukai petani pada lima kecamatan di Kabupaten Tanjung Jabung Timur
Tabel . Matriks insentif yang paling disukai per kecamatan di Kabupaten
Tanjung Jabung Timur
No Kecamatan
Peringkat Opsi Insentif I
II III
Rantau Rasau Subsidi
input saprodi
Kompensasi tunaiPremi
asuransiSapras Kenaikan HPP gabah
Geragai Subsidi
input saprodi
Kenaikan HPP gabah
SaprasPenerbitan sertipikat tanah
Berbak Subsidi
input saprodi
SaprasPremi asuransi
Kompensasi tunaiKenaikan HPP gabahPembelian lahan
sawah baru dengan harga murahPenerbitan sertipikat
tanah
Nipah Panjang Premi asuransi
Penerbitan sertipikat tanah
Kompensasi tunaiKenaikan HPP gabah
Sabak Timur Subsidi
input saprodi
Kenaikan HPP gabah
Kompensasi tunai
Program PLP2B telah dimulai pada tahun 2014 dan Gerakan Tanam Serentak Dua Kali Setahun GERTAK TANPA DUSTA dimulai pada tahun
2012 namun masih banyak petani yang belum tersentuh bantuan. Berdasarkan survei sebanyak 71 responden menerima insentif dari pemerintah pada satu
tahun terakhir dalam bentuk sarana produksi saprodi pertanian berupa pupuk, benih, herbisida dan peptisida serta sebagian diantaranya juga menerima dana
segar untuk menanam padi Rp150 000ha. Sisanya sebanyak 29 tidak menerima insentif pada satu tahun terakhir. Rata-rata insentif yang mereka terima
jika dikonversikan ke rupiah, nilainya mencapai Rp870 800petani. Nilai ini masih jauh di bawah perhitungan kebutuhan saprodi untuk petani padi yang dibuat oleh
Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Tanjung Jabung Timur sebagaimana terlihat pada Tabel
.
Pada Tabel 6.6, terlihat bahwa kebutuhan benih hanya dicantumkan 25 kgha, padahal dalam kenyataannya kebutuhannya mencapai 65 kgha karena
sering gagal semai akibat air pasang. Menyangkut bantuan benih, petani juga mengeluhkan keterlambatannya di mana bantuan datang terlambat atau setelah
musim hujan berakhir sehingga mereka terpaksa membeli sendiri benih tersebut dan bantuan dari pemerintah menjadi mubazir.
Diantara 71 responden yang pernah menerima bantuan pemerintah berupa saprodi, sebanyak 1.83 menyatakan sangat puas, 40.37 puas, 30.28 cukup
puas, 22.94 tidak puas dan 2.59 sangat tidak puas. Sebagian besar responden mengaku jenis saprodi yang diberikan telah sesuai dengan kebutuhan mereka
namun perlu ditingkatkan jumlah, jenis insentif lain dan ketepatan waktu pendistribusiannya. Selain itu mereka juga mengharapkan bantuan untuk
kelompok berupa traktor tangan, treser dan pompa air ditingkatkan jumlahnya.
Analisis Besaran Insentif yang Diinginkan Petani
Pada penelitian ini, skenario yang ditawarkan kepada petani dicontohkan sebagai berikut:
“Jika sawah saudara termasuk ke dalam program perlindungan LP2B dengan jangka waktu 20 tahun, bersediakan saudara menerima insentif dari pemerintah
yang nilainya setara Rp Rp 1 jutaRp 1.5 jutaRp 2 jutaRp 2.5 jutaRp 3
juta per ha sawah selama jangka waktu tersebut di atas?”
Tabel . Kebutuhan saprodi untuk tanaman padiha tahun 2015
No Jenis
Saprodi Kebutuhanha Satuan
Harga Satuan Rp
Jumlah Rp
Benih padi kgha
Pupuk urea kgha
Pupuk SP36 kgha
Herbisida liter
Insektisida liter
TOTAL
Guna mengetahui peluang petani untuk menerima tawaran insentif WTA=1 atau menolak WTA=0 dilakukan dengan mengestimasi model regresi.
Sebelum perhitungan estimasi mean WTA, lebih dulu dilakukan uji keragaman karakteriristik responden. Koefisien Keragaman KK dihitung dengan membagi
nilai Standar Deviasi Std dengan nilai rataan average masing-masing karakteristik responden. Hasil perhitungan KK disajikan pada Tabel 6.7.
Besarnya KK variabel-variabel penjelas berada di antara 25 sampai 83. Menurut Hendayana 2013 KK di atas 25 menunjukkan data yang heterogen.
Asumsi yang dibangun terhadap variabel didasarkan pada pengetahun tentang karakteristik petani di Indonesia pada umumnya. Variabel Bid atau insentif yang
ditawarkan diduga berbanding positif dengan keinginan menerima insentif yang ditawarkan. Semakin tinggi nilai bid maka semakin tinggi kecendrungan
responden untuk menerima insentif LP2B. Variabel Umur diduga berbanding positif dengan keinginan menerima insentif yang ditawarkan. Semakin bertambah
tua usia responden, semakin tinggi keinginan untuk menerima insentif LP2B. Variabel Pendapatan diduga berbanding negatif dengan keinginan menerima
insentif. Semakin tinggi pendapatan non sawah petani maka semakin rendah keinginan responden untuk menerima insentif yang ditawarkan karena tidak
terlalu membutuhkannya serta bisa menghindari perjanjian larangan mengalih fungsikan lahan sawah selama 20 tahun. Variabel Pendidikan diduga berbanding
negatif dengan keinginan menerima insentif yang ditawarkan. Responden yang berpendidikan lebih tinggi menyadari penghasilan yang lebih besar dari sawit
dibanding sawah sehingga keinginan menerima tawaran insentif lebih rendah.
Variabel Anggota Keluarga diduga berbanding positif dengan keinginan menerima tawaran insentif LP2B. Semakin banyak anggota keluarga semakin
tinggi keinginan menerima tawaran tersebut karena insentif LP2B dapat mendukung produksi dan sebagian hasil sawah digunakan untuk memenuhi
kebutuhan internal pangan keluarga.Variabel Pengalaman Bersawah diduga berbanding negatif dengan keinginan menerima insentif LP2B, semakin lama
bersawah muncul kejenuhan apalagi dengan adanya alternatif menanam sawit yang lebih mudah pengerjaannya dan pendapatannya lebih tinggi sehingga petani
cendrung menolak insentif yang ditawarkan. Variabel Pengetahuan PLP2B diduga Tabel
. Koefisien keragaman karakteristik responden
St. Deviasi Rataan
Koef. Keragaman
Bid X1 Jenis kelamin X2
Umur X3 Pendapatan X4
Pendidikan X5 Anggota keluarga X6
Pengalaman bersawah X7 Pengetahuan LP2B X8
berbanding lurus dengan keinginan menerima insentif LP2B karena petani yang pernah mendengar program ini semakin tinggi kesadarannya untuk
mempertahankan sawah serta adanya tawaran insentif dari pemerintah. Tabulasi data hasil survei menunjukkan responden yang menjawab ―tidak‖ terhadap
penawaran insentif LP2B dari pemerintah lebih banyak dibanding yang menjawab ―ya‖ yaitu sebanyak
Dari Gambar .2 terlihat konsistensi survei di mana proporsi jawaban
―tidak‖ akan menurun seiring dengan meningkatnya nilai bid, dan sebaliknya proporsi jawaban ―ya‖ akan meningkat seiring dengan meningkatnya nilai insentif
yang ditawarkan.
Berdasarkan hasil analisis regresi logistik, dari sembilan model yang dihasilkan Model 1 sampai Model 9 terdapat pada Lampiran 1
, dipilih satu model yang terbaik untuk mengestimasi peluang responden bersedia atau tidak
bersedia menerima insentif LP2B serta variabel-variabel yang secara nyata dapat mempengaruhi peluang tersebut. Model terbaik tersebut adalah Model 6 dengan
hasil analisis regresi logit sebagaimana terlihat pada Tabel .8. Dengan
mengikutkan semua variabel penjelas menghasilkan Log-likelihood = -81.171 dengan statistik G = 47.396 dan nilai p-value = 0,000. Karena nilai p-value ini
jauh di bawah taraf nyata α maka dapat disimpulkan H0 ditolak atau H1
diterima. Artinya Rancangan Model Regresi Logistik secara keseluruhan termasuk baik dicirikan oleh paling sedikit ada satu parameter
yang tidak sama dengan nol pada taraf nyata 5 .
Gambar . Distribusi jawaban ya dan tidak terhadap nilai bid
Uji kelayakan model Goodness of Fit menggunakan metode Pearson, deviance dan Hosmer-Lemeshow memberikan hasil chi square
χ hitung secara berturut-turut
; dan dengan nilai p-value masing-masing ; dan . Menurut Erhardt [tahun tidak diketahui], ketiganya
merupakan tipe residual sehingga semakin besar nilainya akan semakin fit model terhadap data.
Secara parsial, dari hasil Uji Wald W yang ditunjukkan koefisien Z yang menghasilkan P-value terdapat empat peubah penjelas yang berpengaruh nyata
terhadap keputusan petani untuk menerima atau menolak bid WTA dengan α
1, 5 dan 10 yaitu: 1 peubah Bid; 2 peubah Jenis kelamin; 3 peubah Umur dan 4 peubah Pengalaman Bersawah. Peubah lainnya yaitu Pendapatan,
Anggota keluarga dan Pengetahuan LP2B tidak berpengaruh nyata terhadap pengambilan keputusan petani untuk menerimamenolak insentif LP2B. Berikut
ini akan diuraikan variabel-variabel bebas yang berpengaruh nyata, yaitu: 1.
Variabel Bid berpengaruh sangat nyata dengan taraf 1 dan memiliki tanda koefisien positif + yang berarti semakin tinggi nilai bid maka rasio peluang
petani untuk menerima tawaran insentif LP2B bertambah besar. Nilai odd ratio 1.00 mengartikan bahwa jika bid dinaikkan satu tingkat Rp500 000
maka peluang untuk menerima penawaran insentif LP2B naik sebanyak 1 kali.
2. Variabel Jenis kelamin berpengaruh nyata dengan taraf 10 dan memiliki
tanda negatif -. Ini berarti ratio peluang petani berjenis kelamin laki-laki untuk menolak tawaran insentif LP2B lebih besar 0.
kali dari pada petani perempuan.
3. Variabel Umur berpengaruh nyata dengan taraf 5 dan bertanda positif +
yang mengartikan ratio kemungkinan petani untuk menerima insentif LP2B bertambah besar dengan meningkatnya umur petani. Melihat kepada nilai odds
ratio , petani yang umurnya bertambah 1 tahun maka ratio kemungkinan
menerima insentif LP2B meningkat sebesar 1.04 kali. 4.
Variabel Pengalaman bersawah berpengaruh nyata dengan taraf 1 dan bertanda negatif -. Ini artinya dengan bertambahnya lamapengalaman petani
bersawah 1 tahun maka ratio kemungkinan menolak tawaran insentif LP2B Tabel
. Tabel regresi logistik Variabel
Koefisien P-value
Odds Ratio Constant
- X1
a
X2 -
c
X3
b
X4 -
X6 -
X7 -
a
X8
Ket: Taraf nyata a, b, dan c untuk masing-masing 1 , 5 dan Log-Likelihood = -
Test that all slopes are zero: G = 47.396, DF = 7, P-Value = 0.000
semakin besar. Berdasarkan nilai odds ratio, dengan bertambahnya masa bersawah sebanyak satu tahun maka ratio peluang menolak insentif LP2B
meningkat 0.95 kali.
Persamaan Regresi logistik untuk peluang menerima tawaran insentif LP2B sebagai berikut:
i Selanjutnya perhitungan nilai estimasi nilai tengah WTA dilakukan dengan
menggunakan satu peubah, yaitu Bid sebagai regresor. Hal ini dilakukan untuk memperoleh nilai
dan . Perintah logit pada Minitab 14 menghasilkan nilai koefisien bid sebesar 0.0000012. Nilai koefisien ini berdasarkan P-value sangat
signifikan, artinya jika nilai tawaran insentif dinaikkan maka peluang jawaban ―ya‖ terhadap keinginan menerima insentif akan ikut naik.
Nilai Mean WTA dapat dihitung secara manual yaitu dengan membagi koefisien konstanta dengan koefisien Bid
. .0000012 dan diperoleh nilai sebesar Rp1
983hatahun. Mean
WTA = - - -
Total WTA 000 x 1
Dari perhitungan tersebut disimpulkan guna mencapai target program LP2B serta mendorong masyarakat bersedia menandatangani surat pernyataan memiliki
LP2B maka Pemerintah Kabupaten Tanjung Jabung Timur harus menyediakan insentif senilai Rp
983hatahun. Mengacu kepada target sawah yang akan dilindungi seluas 17 000 ha maka Total WTA atau total dana insentif yang harus
disiapkan pemerintah Kabupaten, Provinsi, dan Pusat untuk program LP2B ini
sekitar Rp33 948 711 000 setiap tahunnya.
Pembahasan
Gambaran petani padi di Tanjung Jabung Timur secara umum menyerupai profil petani Indonesia, yaitu berpendidikan rendah, anggota keluarga relatif besar
Tabel . Tabel regresi logistik constant vs bid
Predictor Coef
SE Coef Z
P Constant
- .
- Bid
. .
Log-Likelihood = - Test that all slopes are zero: G = 30.440, DF = 1, P-Value = 0.
dan penghasilan rendah. Hal tersebut selanjutnya berpengaruh terhadap penghasilan usahatani padi serta pendapat mereka terhadap program
pembangunan pertanian khususnya PLP2B. Pemahaman mereka tentang LP2B belum utuh tapi lebih terpusat kepada berbagai kewajiban untuk bertanam padi
sedangkan insentif atau reward yang akan mereka terima jika bergabung dalam program ini belum tersosialisasi dengan baik. Jika insentif yang mereka terima
jelas jenis dan jumlahnya, pemahaman mereka tentang PLP2B akan lebih berimbang. Insentif memegang peranan penting dalam keberhasilan program
LP2B, mengacu kepada pendapat Zakaria dan Rachman 2013, insentif dapat memotivasi petani secara individu maupun kelompok, namun perlu dikaji bentuk
insentif ekonomi yang operasional dan aspek kelembagaan penunjang yang efektif.
Petani padi menyadari bahwa keberadaan kebun sawit di tengah hamparan sawah bisa mendatangkan dampak negatif namun sawit masih jadi pilihan yang
memikat saat ini. Ketika dihadapkan pada pertimbangan lingkungan atau ekonomi, petani padi lebih mendahulukan pertimbangan ekonomi karena
menyangkut pemenuhan kebutuhan hidup sekarang. PLP2B hanya akan terwujud jika seluruh pelaku ekonomi di atas lahan tersebut memperoleh rangsangan
ekonomi yang memadai dan berkeadilan Zakaria dan Rachman 2013. Pemerintah sudah seharusnya menyodorkan insentif ekonomi dan non ekonomi
untuk mendorong petani bertahan dengan lahan sawahnya sekaligus menekan alih fungsi lahan sawah menjadi sawit. Fungsi insentif sendiri menurut Zakaria dan
Rachman 2013 sebagai cara untuk mendistribusikan benefit, cost dan risk dalam ketahanan pangan nasional, regional dan lokal. Pemerintah perlu memberi insentif
karena petani termasuk kelompok masyarakat yang kapasitasnya kurang dalam mengembangkan produksi pertanian, guna memberdayakan petani menjadi
masyarakat mandiri, dan menjaga eksistensi sektor pertanian.
Insentif bagi petani tanaman pangan dapat dianggap sebagai hak mereka karena land rent yang mereka terima saat ini hanya dinilai dari aspek ekonomi
sedangkan nilai instrinsik lainnya dari aspek lingkungan dan sosial belum tergabung dalam nilai padiberas di pasaran saat ini. Petani tanaman pangan
adalah aktor yang sangat berperan dalam menciptakan ketahanan pangan di Indonesia. Ketahanan pangan sendiri dapat danggap sebagai public good dalam
arti yang luas termasuk ke dalam kelompok ini adalah common goodcommon pool recources, club good dan pure public good
dan barang kolektif. Menurut Rustiadi et al.
, barang kolektif atau barang sosial ini disediakan oleh pemerintah dengan alasan tertentu dan dibiayai misalnya melalui pajak.
Sesuai dengan UU Pangan, pemerintah diamanatkan mewujudkan ketahanan pangan yang cukup jumlahnya serta mudah diakses. Ketahanan pangan dapat
diibaratkan sebagai barang publik, merupakan kewajiban negara untuk mewujudkannya dan menjadi hak masyarakat sehingga mendorong munculnya
kebijakan pangan murah. Pada satu sisi kebijakan tersebut tidak menguntungkan petani pangan karena pendapatan mereka menjadi rendah, namun pada sisi lain
masyarakat umum diuntungkan sebab pangan tersedia dan harganya terjangkau. Sebagian anggota masyarakat terutama dari kalangan menengah atas dapat disebut
sebagai free riders yang menurut Rustiadi et al.
adalah kelompok masyarakat yang menerima manfaat tetapi tidak menyumbang pada biaya-biaya
yang dikeluarkan untuk menyediakan, memelihara dan mengatur sumber daya.
Dalam hal ini pemerintah dipaksa menanggung semua biaya untuk menjaga ketahanan pangan. Salah satu yang harus dibayarkan itu adalah insentif untuk
petani pangan agar kesenjangan antara nilai pasar beras beras market value of rice
dan nilai beras sebenarnya real value of rice menjadi lebih sempit. Pemberian insentif ini nantinya perlu dievaluasi apakah dapat memperbaiki
prilaku petani untuk melindungi sumber daya lahan pertanian dan menggerakkan masyarakat serta swasta untuk lebih menghargai keberadaan sawah. Menurut
Yakin 2015, suatu kebijakan lingkungan yang baik adalah yang mampu memberikan perbaikan lingkungan dalam jangka panjang long run improvement
dan menggerakkan elemen masyarakat dan perusahan untuk lebih memperhatikan dampak tindakan mereka terhadap lingkungan.
Sebagian besar responden -+ 86 setuju adanya pemberian sanksi terhadap pelanggaran PLP2B. Hal ini menunjukkan pemahaman responden
tentang konsekuensi menandatangani Surat Pernyataan Memiliki LP2B yang tidak hanya untuk dirinya pribadi namun juga untuk anak-anak yang akan mewarisi
lahan tersebut. Jawaban survei ini jauh berbeda dengan penelitian sebelumnya di kabupaten yang sama di mana
74 tidak setuju dengan adanya sanksi tersebut Mukhlis 2014. Perbedaan ini kemungkinan disebabkan pada penelitian
sebelumnya tidak ada skenario insentif yang ditawarkan kepada petani sehingga muncul penolakan.
Distribusi insentif pada tahun 20142015 berbeda-beda di setiap kecamatan, sebagian dilatari oleh luas lahan yang dimiliki oleh petani namun tidak terdapat
penjelasan yang meyakinkan tentang mengapa sebuah desa memperoleh insentif yang lebih tinggi dari desa lainnya, atau antara suatu kelompok tani dengan
kelompok tani lainnya. Hal ini berpotensi buruk atau dapat menimbulkan kecemburuan antara petani. Menurut Karki 2013 kegagalan program insentif di
Nepal disebabkan kurangnya alat ukur untuk memenuhi kebutuhan penghidupan masyarakat lokal dan distribusi yang tidak seimbang antara desa-desa yang
terlibat. Ulvevadet dan Hausner 2011 mengatakan kebijakan insentif bisa berjalan efektif jika regulator memiliki informasi yang baik, risiko kegagalan
pemerintah rendah, dan tujuan yang diinginkan dapat dicapai dengan memberlakukan persyaratan yang sama pada kelompokindividu yang berbeda.
Pada PP Nomor 12 Tahun 2012 tentang insentif LP2B disebutkan lahan dengan kesuburan rendah serta produktivitas yang berada di bawah rata-rata produktivitas
kabupatenkota diberikan insentif yang lebih tinggi dibanding lahan pada kondisi lebih baik. Hal ini menunjukkan bahwa di Indonesia pemberian insentif LP2B
tidak sama untuk semua petani tapi tergantung kepada kondisi lahan masing- masing. Tujuannya adalah untuk mendorong petani untuk lebih produktif dengan
asumsi bahwa petani yang memiliki lahan dengan kualitas bagus tidak memerlukan banyak dukungan lagi untuk berproduksi. Ini juga dapat diartikan
bahwa pemberian insentif akan dihentikantidak dilanjutkan bila kondisi pertanian tanaman pangan telah berjalan baik di lapangan. Bila mengacu kepada regulasi ini
maka perlu langkah antisipatif dari pemerintah daerah untuk menjelaskan perbedaan ini kepada masyarakat sehingga insentif pertanian yang diberikan tidak
berbalik menjadi disinsentif karena petani merasa diperlakukan tidak adil.
Melihat kepada ketiga bentuk insentif yang paling disukai petani, -subsidi input sarana produksi, HPP dan cash payment-, sangat menggambarkan
kebutuhan petani saat ini. Subsidi dalam bentuk sarana input bibit, pupuk
peptisida dll termasuk pilihan yang konvensional karena sudah diberikan sejak dulu. Insentif ini masih jadi pilihan walaupun banyak terjadi penyimpangan dan
pelaksanaannya. Hal ini disebabkan biaya usaha pertanian yang paling besar terdapat di biaya input saprodi. Pilihan insentif ini tidak berbeda jauh dengan
penelitian sebelumnya di Kabupaten Siak Provinsi Riau Saili dan Purwadio
. Insentif dalam bentuk HPP menggambarkan harapan petani untuk
memperoleh pendapatan lebih baik. Pada satu sisi, kebijakan ini dapat memperbaiki pendapatan petani Putri et al.
, namun pada sisi lain akan memberatkan keuangan pemerintah dan resiko penyelundupan beras luar ke pasar
domestik Athukorala dan Loke 200 . Namun di negara lain seperti India Vijay
memberi dampak positif yaitu merangsang perbaikan teknologi usaha, menjamin ketersediaan pangan, membangun sistem distribusi pangan masyarakat
dan bagian dari skema kesejahteraan sosial. Insentif berupa cash payment meskipun tidak terdapat dalam PP Nomor 12 Tahun 2012 termasuk yang
ditawarkan dalam penelitian ini karena banyak ditemukan dalam literatur terutama pada program konservasi lahan di Eropa dan Amerika dan terbukti efektif Strong
, Pocewicz et al. , Cross et al. . Munculnya insentif ini sebagai salah satu yang paling disukai merupakan wujud keinginan petani untuk
mengelola sendiri dana insentif sesuai dengan kebutuhan atau karakteristik lahan mereka. Hal ini terkait pengalaman selama ini di mana distribusi insentif sering
terlambat atau ada sarana input yang mereka butuhkan seperti kapur untuk mengurangi keasaman tanah tapi tidak diberikan. Pilihan insentif ketiga ini bisa
mengefisienkan distribusi insentif jika bisa dikelola dengan baik.
Diantara jenis insentif lain yang sebenarnya sangat penting dan dapat dijadikan alat untuk mengikat petani agar tidak melakukan alih fungsi lahan
sawah adalah premi asuransi dan sertifikasi lahan sawah. Namun pilihan ini tidak termasuk yang paling disukai karena masih asing, kecuali untuk Kecamatan Nipah
Panjang. Petani bisa diikat dengan sertifikasi sawah karena di dalam sertipikat tersebut dicantumkan fungsi lahan sebagai sawah sehingga tidak bisa dijadikan
penggunaan lain sedangkan asuransi pertanian dapat melindungi petani dari resiko gagal panen terutama oleh pengaruh perubahan iklim Boer 2012 yang sering
dihadapi oleh petani padi. Asuransi pertanian di Indonesia meskipun telah diatur dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2013 tentang
Perlindungan dan Pemberdayaan petani serta Peraturan Menteri Pertanian Nomor 40 Tahun 2015 tentang Fasilitas Asuransi Pertanian, saat ini masih dalam bentuk
uji coba. Asuransi pertanian sulit berkembang disebabkan antara lain keengganan perusahaan asuransi untuk merambah sektor pertanian karena mereka
membutuhkan lembaga penjamin reinsurance dan tingginya biaya untuk melakukan verifikasi di lapangan ketika kegagalan panen terjadi Boer 2012 serta
kurangnya data tentang sejarah hasil panen, skala usaha pertanian yang kecil, nilai panen yang rendah dan relatif tingginya biaya asuransi Rao 2010.
Petani di Kecamatan Nipah Panjang memilih premi asuransi dan sertipikat tanah sebagai pilihan terbanyak, kemungkinan disebabkan wilayah ini merupakan
pencampuran dari berbagai etnis yang datang secara swadaya atau bukan melalui jalur transmigrasi sehingga pemikiran mereka lebih terbuka. Selain itu, akhir-akhir
ini Nipah Panjang yang terletak dekat ke pantai timur Provinsi Jambi ini bersama dengan Kecamatan Sadu dan Kuala Jambi sering dihantam abrasi air laut
sehingga keinginan petani untuk memperoleh insentif berupa premi asuransi semakin kuat.
Insentif dapat digabungkan dalam dua kelompok yaitu insentif langsung upah, hibah subsidi atau pinjaman lunak dalam bentuk barang dan insentif tidak
langsung berupa pengaturan fiskal, pajak, jaminan harga input-output, pengaturan pemilikan lahan Zakaria dan Rachman 2013. Berdasarkan hal tersebut dapat
disimpulkan petani padi di Tanjung Jabung Timur menempatkan insentif langsung lebih tinggi dibanding insentif tidak langsung. Menurut Indraningsih 2011,
keputusan petani untuk mengadopsi inovasi teknologi pertanian terpadu dipengaruhi oleh faktor keuntungan relatif, kesesuaian, dan persepsi petani
terhadap pengaruh mediainformasi interpersonal, dalam hal ini adalah penyuluh pertanian. Ini dapat diartikan bahwa persepsi petani terhadap insentif tersebut di
atas dapat berubah jika informasi atau penyuluhan yang mereka terima tentang LP2B berimbang. Menurut Zakaria 2010 tahapan guna menumbuhkan
partisipasi petani adalah: 1 mencairkan penolakan atau mengusahakan penerimaan terhadap inovasi atau program yang ditawarkan, 2 menampilkan
petani sebagai partisipan yang aktif dan bertanggung jawab melalui upaya lanjut yang memungkinkan petani terbiasa mengembangkan kegiatan inovatif, dan 3
meningkatkan peran petani sehingga lebih aktif mengembangkan produksi di daerahnya.
Meningkatnya peluang untuk menerima tawaran insentif LP2B seiring dengan meningkatnya nilai bid merupakan hal yang wajar karena masyarakat
petani terbiasa berhitung tentang manfaat yang bisa mereka peroleh jika mengikuti program pemerintah. Dalam hal ini, masyarakat masih melihat program
LP2B dari sisi bantuan ekonomi, belum melihatnya dari aspek lingkungan atau konservasi lahan sawah. Tindakan petani untuk berpartisipasi terkait dengan
kemampuan diri serta perhitungan untung-rugi di mana dalam keadaan normal, petani tidak akan melakukan hal-hal di luar kemampuanpengetahuannya atau
yang berpotensi merugikan dirinya Zakaria 2010. García-Amado et al.
mengatakan semakin lama suatu skema insentif ekonomi berjalan di masyarakat, maka alasan manfaat dan keuangan lebih menonjol untuk menjelaskan kesediaan
mereka mengikuti program tersebut dibanding alasan lain yang mencerminkan motivasi kuat untuk melestarikan alam, sedangkan Rode et al.
mengatakan, penghargaan uang akan mendorong masyarakat untuk berpartisipasi dalam aksi
kolektif yang sulit diperoleh dalam kegiatan yang tidak ada hadiah uang yang ditawarkan sedangkan pembayaran insentif yang lebih tinggi akan mengarah
kepada peningkatan partisipasi yang lebih besar.
Petani yang lebih lama mengolah lahan sawahnya memiliki kecendrungan untuk menolak tawaran insentif LP2B. Dengan semakin banyaknya sawit di
lingkungan sawah, ada kekhawatiran petani mereka tidak bisa bertahan dengan lahan sawahnya dalam jangka waktu panjang. Hal ini karena alih fungsi lahan
sawah bersifat menular secara progresif Sriartha dan Windia 2015. Petani perempuan dan petani yang berusia tua berdasarkan analisis memiliki
kecendrungan lebih tinggi menerima tawaran insentif LP2B, hal ini terkait dengan kharakteristik kelompok ini untuk lebih mengedepankan kepastian dan
kenyamanan dibanding harus memulai usaha baru dalam hal ini berkebun sawit yang peluangnya belum pasti.
Berdasarkan analisis WTA diperoleh nilai minimal insentif yang diinginkan petani untuk bergabung dengan program LP2B yaitu Rp
983hatahun. Nilai ini lebih tinggi dibandingkan rataan besaran insentif yang diterima saat ini sekitar
Rp 800petani. Hal ini cukup beralasan karena selain tingginya biaya
membeli input saprodi serta resiko yang tinggi, waktu yang dibutuhkan untuk bersawah cukup banyak sehingga mereka nyaris tidak bisa mengerjakan kegiatan
usaha lain. Menurut Frimawaty et al. , sebanyak 63.9 petani padi di
Jambi menghabiskan waktu lebih dari jamhari di sawah sedangkan sisanya
sekitar 6-8 jamhari. Dalam hal pendanaan usaha tani, petani masih mengandalkan bantuan pemerintah karena: 1 bank komersial lebih tertarik membiayai usaha
perkotaan yang berskala besar dan menengah sehingga kebutuhan kredit pedesaan tidak terpenuhi; 2 prosedur peminjaman lewat bank cukup sederhana namun
sangat dipengaruhi oleh jaringan sosial dan adanya jaminan; dan 3 Tingkat bunga pinjaman di pedesaan melebihi kemampuan petani untuk membayarnya
Mei-ni dan Xue-ping 2014.
Total dana yang dibutuhkan untuk program PLP2B ini sekitar Rp33 948 711
000 setiap tahunnya. Nilai ini cukup realistis jika mengacu kepada kontribusi sektor pangan ini terhadap ketahanan pangan, lapangan pekerjaan dan layanan
lingkungan yang disumbangkannya. Pemerintah daerah tidak harus mengeluarkan dana itu sendirian karena dalam kerangka PLP2B terdapat pembagian
kewenangan, yang meskipun saat ini masih kabur tapi diharapkan akan semakin jelas bersamaan dengan koordinasi yang dilakukan dengan pemerintah provinsi
dan pemerintah pusat.
Simpulan
Insentif penting diberikan kepada petani karena petani adalah termasuk kelompok masyarakat yang lemah serta guna mengurangi kesenjangan antara nilai
pasar beras dan nilai beras sebenarnya yang mencakup nilai ekonomi, ekologi dan sosial beraspadisawah. Insentif berupa saprodi padi masih merupakan yang
paling disukai petani meskipun sering bermasalah dalam distribusinya. Insentif berikutnya yang paling disukai adalah HPP gabah dan kompensasi tunai. Secara
keseluruhan petani menempatkan insentif dalam bentuk langsung lebih tinggi dari insentif tidak langsung karena petani terbiasa melihat sesuatu dari untung ruginya
sedangkan insentif tidak langsung yang seringkali dalam bentuk regulasi atau kebijakan dianggap kurang memberikan dampak langsung bagi ekonomi mereka.
Petani di Kecamatan Nipah Panjang memiliki pilihan insentif yang lebih maju dibanding kecamatan lainnya sertipikat lahan dan asuransi pertanian,
kemungkinan disebabkan masyarakat daerah ini lebih majemuk, tidak semuanya transmigran sehingga lebih terbuka pada alternatif insentif lainnya dan wilayah
tersebut sering ditimpa bencana alam.
Estimasi rataan insentif yang diinginkan petani mendekati Rp jutaha.
Jumlah tersebut 2.5 kali lipat lebih tinggi dari nilai insentif yang didistribusikan pemerintah daerah saat ini namun mendekati estimasi kebutuhan insentif saprodi
yang dibuat oleh Dinas Pertanian Kab. Tanjung Jabung Timur. Total dana insentif yang perlu dipersiapkan oleh pemerintah untuk melindungi 17 000 ha sawah
sekitar Rp33
000 setiap tahunnya. Jumlah tersebut sangat besar namun
tidak harus ditanggung seluruhnya oleh pemerintah daerah karena menurut PP Nomor 122012 dapat dibagi dengan pemerintah provinsi dan pusat sesuai
kewenangan masing-masing.