pembangunan tersebut jelas terlihat nyata dengan minimnya sarana pendidikan yang tersedia di Kepulauan Seribu. Letak geografis yang berjauhan satu pulau
dengan pulau lainnya dan budaya masyarakat yang cenderung tidak mau bersekolah dan memilih bekerja di laut dituding sebagai alasan dasar kenapa
sarana pendidikan jarang terlihat di Kepulauan Seribu. Pemerintah seyogyanya mencari strategi kebijakan yang tepat dan khusus bagi daerah Kabupaten yang
berbentuk kepulauan secara geografis seperti Kepulauan Seribu. Tata kelola pemerintahan dan kebijakan yang bias seperti inilah yang banyak mengakibatkan
terjadinya kemiskinan yang lebih bersifat struktural. Kemiskinan struktural adalah contoh dominan kemiskinan yang banyak terjadi di Indonesia.
Selain fasilitas gedung pendidikan, rasio murid-guru juga menentukan keberhasilan pendidikan. Semakin rendah rasio guru murid, maka diharapkan
semakin baik tingkat keberhasilan proses belajar pada anak didik di sekolah. Hal ini karena beban guru dalam mendidik siswa relatif lebih ringan dibandingkan
dengan rasio murid-guru yang relatif tinggi.
Tabel 31 Persentase Rasio Murid-Guru Menurut KabKota dan Tingkat Pendidikan di DKI Jakarta 2006-2007
KabupatenKota TK
SD SLTP
SMU SMK
Jakarta Selatan
10.24 24.29
20.93 11.53
11.64
Jakarta Timur
11.08 25.87
17.61 12.01
12.74
Jakarta Pusat
12.02 21.34
18.36 10.45
11.09
Jakarta Barat
10.26 24.40
17.10 10.28
12.39
Jakarta Utara
10.63 24.46
15.14 10.25
10.41
Kepulauan Seribu
12.26 16.65
22.54 20.48
10.69
DKI Jakarta
10.74 24.4
17.89 11.13
11.9
Sumber : BPS Propinsi DKI Jakarta, 2006, 2007
Tabel 31 menunjukkan bahwa rasio murid-guru di Kepulauan Seribu pada tingkat SLTP paling tinggi dibandingkan tingkat pendidikan lainnya. Hal ini
menunjukkan bahwa beban guru SLTP lebih berat dibandingkan beban guru pada tingkat SMU maupun SD. Pada tingkat SLTP beban seorang guru SLTP rata-rata
mengajar untuk 23 murid, beban guru SMU rata-rata mengajar 21 murid dan beban guru SMK rata-rata mengajar 11 murid. Dari sisi rasio murid dan guru di
Kepulauan Seribu masih terlihat cukup seimbang jika dibandingkan dengan rata- rata rasio murid-guru Jakarta.
Kondisi Tempat Tinggal Luas Lantai, Fasilitas air bersih, WC
Kualitas rumah tinggal ditentukan oleh kualitas bahan bangunan serta fasilitas yang digunakan untuk aktivitas kehidupan sehari-hari. Kualitas dan
fasilitas lingkungan perumahan memberikan sumbangan pada kenyamanan hidup sehari-hari. Fasilitas rumah berupa luas lantai rumah, sumber dan penggunaan air
dan tempat buang air besar. Luas lantai adalah jumlah luas lantai yang ditempati dan digunakan untuk
keperluan sehari-hari oleh anggota responden, termasuk di dalamnya teras, garasi, WC dan gudang dalam satu bangunan.
Tabel 32 Persentase Rumah Tangga Menurut Luas Lantai Rumah di Kepulauan Seribu Tahun 2004-2006
Luas Lantai m2 2004
2005 2006
20 0.33
2.19 0.63
20-49 19.31
49.69 20.63
50-99 68.15
41.25 71.25
100-149 9.24
6.56 6.88
150 + 2.97
0.31 0.63
Sumber : BPS Propinsi DKI Jakarta, 2007
Tabel 32 memperlihatkan bahwa pada tahun 2006, sebagian besar responden di Kepulauan Seribu menempati luas lantai antara 50-99 m
2
sekitar 71.25. Dibandingkan tahun 2005, terjadi peningkatan kesejahteraan pada
responden yang menempati luas lantai antara 50-99 m
2
sebesar 41.25. Peningkatan tersebut wajar, mengingat pertambahan penduduk Kepulauan Seribu
setiap tahun semakin besar, sementara biaya pemilikan dan pembangunan rumah tinggal semakin mahal. Konsekuensinya adalah kepadatan hunian per rumah
tinggal semakin tinggi jauh lebih kecil. Kelengkapan fasilitas pokok suatu rumah menentukan tingkat kenyamanan
rumah tinggal dan kualitas hidup penghuninya. Fasilitas pokok yang penting agar rumah menjadi sehat dan nyaman adalah ketersediaan air bersih, listrik dan
jamban WC.
Tabel 33 Persentase Rumah Tangga Menurut Fasilitas Air Minum di Kepulauan Seribu Tahun 2004-2006
Sumber air Minum 2004
2005 2006
Ledeng 1.65
34.06 13.75
Pompa air Sumur
14.85 Air kemasan
1.32 5
4.06 Lainnya
82.18 60.94
82.19 Jumlah rumah tangga
6,060 6,720
4,480
Sumber : BPS Propinsi DKI Jakarta, 2007
Tabel 33 menggambarkan bahwa terjadi penurunan pada persentase penggunaan air minum dari sumber ledeng pada tahun 2005 sebesar 34.06
menjadi 13.75 pada tahun 2006. Penggunaan air sumur bahkan sejak tahun 2005 sudah tidak ada lagi. Tingginya penggunaan air ledeng sangat beralasan
karena lokasi geografis Kepulauan Seribu yang berupa pulau-pulau kecil dan daerah tangkapan air tawarnya rendah. Proses interusi air laut yang dengan cepat
masuk dan menyerap ke dalam pori-pori tanah menjadikan air di kawasan tersebut payau. Disamping itu pesatnya kawasan industri di Pesisir Jakarta menjadikan
perairan Teluk Jakarta dipenuhi oleh limbah dan tentunya dapat mempengaruhi kualitas air tanah. Konsekuensinya responden di Kepulauan Seribu seperti juga
responden di Jakarta Utara memenuhi kebutuhan air minumnya dari air ledeng atau air kemasan unutk kebutuhan air minumnya.
Tabel 34 Persentase Rumah Tangga Menurut Tempat Buang Air Besar di Kepulauan Seribu, Tahun 2004-2007
Tempat Buang Air Besar 2004
2005 2006
2007
Kakus sendiri 26.24
56.25 27.19
35.63 Kakus bersama
0.33 2.5
3.44 Kakus umum
1.98 0.63
2.81 Lainnya
71.45 40.63
71.81 58.13
Jumlah rumah tangga 6,060
6,720 4,480
4480
Sumber : BPS Propinsi DKI Jakarta, 2007
Tabel 34 menjelaskan penggunaan fasilitas tempat buang air besar di dalam responden. Responden yang mempunyai kakus sendiri dapat dikatakan
lebih sejahtera dibandingkan jika respondennya tersebut membuang air besarnya ke kakus umum atau lainnya.
Tahun 2004, sebanyak 26.24 rumah tangga di Kepulauan Seribu menggunakan kakus sendiri, naik tahun 2005 sebesar 56.25 dan kembali turun
pada tahun 2006 sebesar 27.19. Data ini menunjukkan bahwa kesadaran dan kemampuan masyarakat untuk memiliki kakus sendiri makin meningkat. Bahkan
pada tahun 2006 responden yang menggunakan kakus bersama atau kakus umum sudah tidak ada lagi. Namun ada peralihan ke fasilitas lainnya yang makin
membesar pada tahun 2006 yaitu mencapai 71.81. Ketiadaan penggunaan kakus bersamaumum di tahun 2006 ini disebabkan karena rata-rata masyarakat
sudah mempunyai kakus sendiri. Tahun 2007 responden yang mempunyai kakus sendiri makin meningkat
yaitu sebesar 35.63 dan 3.44 masih ada rumah tangga yang menggunakan kakus bersama. Penggunaan kakus umum sebesar 2.81 serta rumah tangga yang
tidak mempunyai kakus sebesar 58.13. Fakta ini menjelaskan adanya peningkataan kesadaran penduduk dan pola hidup bersih.
Pengeluaran Per Kapita
Pengeluaran per kapita responden Kepulauan Seribu pada tahun 2007 sebesar Rp 411.303. Angka ini masih lebih rendah dari rata-rata pengeluaran
rumah tangga DKI Jakarta sebesar Rp 669.643. Pengeluaran per kapita sebulan untuk konsumsi makanan tahun 2007 sebesar Rp 243.462. Angka ini sedikit lebih
rendah dengan rata-rata pengeluaran per kapita sebulan untuk konsumsi makanan responden DKI Jakarta tahun 2006 tercatat Rp 248.270.
Pengeluaran untuk konsumsi non makanan dirinci menurut pengeluaran perumahan, aneka barang dan jasa, pakaian, barang tahan lama, pajak dan
keperluan pesta. Pengeluaran jenis non makanan rumah tangga Kepulauan Seribu tahun 2007 sebesar Rp 167.841 sedangkan di tahun yang sama rata-rata responden
di DKI Jakarta pengeluaran rumah tangganya mencapai Rp 403.454,-. Artinya pengeluaran per kapita rumah tangga Kepulauan Seribu lebih banyak digunakan
untuk belanja makanan dibandingkan non makanan. Sebaliknya rumah tangga DKI Jakarta secara umum alokasi pengeluarannya lebih banyak digunakan untuk
belanja non makanan dibandingkan makanan. Hal itu sesuai dengan kondisi warga Kepulauan Seribu yang masih disibukkan oleh pemenuhan kebutuhan basic
need , maka alokasi pengeluaran lebih banyak digunakan untuk makanan.
Sedangkan masyarakat Jakarta kebanyakan, rata-rata kemampuan ekonominya sudah maju, didukung oleh fasilitas perbelanjaan dan ketersediaan barang dan jasa
serta kompleksitas kebutuhan masyarakat, membuat pengeluaran perkapita lebih banyak dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan non makanan. Tabel 35
menjelaskan tentang rata-rata pengeluaran rumah tangga per kapita sebulan dan jenis pengeluaran di Kepulauan Seribu dan DKI Jakarta.
Tabel 35 Rata-rata Pengeluaran Rumah Tangga Per Kapita Sebulan dan Jenis Pengeluaran di Kepulauan Seribu Tahun 2007
Jenis Pengeluaran Kep. Seribu
DKI Jakarta
Makanan 243.462
266.189 Non Makanan
167.841 403.454
Jumlah 411.303 669.643
Sumber : BPS Propinsi DKI Jakarta, 2007
Distribusi Pendapatan dan Gini Ratio
Indikator yang digunakan untuk menilai sejauhmana tingkat ketidakmerataan ketimpangan pendapatan penduduk, antara lain dengan Gini
ratio dan kriteria Bank Dunia. Gini ratio merupakan ukuran distribusi pendapatan yang mempunyai nilai 0 sampai dengan 1. Apabila gini ratio mendekati 0,
kesenjangan distribusi pendapatan dianggap rendah. Sebaliknya, apabila gini ratio mendekati angka 1, maka kesenjangan distribusi pendapatan dianggap makin
tinggi. Jika gini ratio 0,50 menggambarkan distribusi pendapatan dengan tingkat ketidakmerataan tinggi. Gini ratio 0,4-0,5 menggambarkan distribusi
pendapatan dengan tingkat ketidakmerataan sedang dan gini ratio 0,4 menggambarkan distribusi pendapatan dengan tingkat ketidakmerataan rendah.
Kriteria Bank Dunia menggolongkan penduduk menjadi tiga kelas yaitu, 40 penduduk berpendapatan rendah, 40 berpendapatan sedang dan 20
penduduk berpendapatan tinggi. Tingkat ketimpangan penduduk menurut kriteria
Bank Dunia terpusat pada 40 penduduk berpendapatan rendah, kemudian diidentifikasi intensitas kemiskinannya dengan kriteria :
• Bila menerima kurang dari 12 dari jumlah pendapatan, menggambarkan distribusi pendapatan mempunyai ketimpangan tinggi
• Bila menerima antara 12-17, menggambarkan distribusi pendapatan mempunyai ketimpangan sedang
• Bila menerima lebih besar dari 17, menggambarkan distribusi pendapatan mempunyai ketimpangan rendah
Pengukuran distribusi pendapatan dan ketimpangan ini masih menggunakan data skala Propinsi karena keterbatasan data yang ada. Namun
setidaknya, memberikan gambaran tentang Kepulauan Seribu yang berada dalam wilayah propinsi DKI Jakarta.
Tabel 36 Persentase Distribusi Pendapatan dan Gini Ratio DKI Jakarta Tahun 1990, 2000-2006
Tahun 40 yang
berpendapatan rendah
40 yang berpendapatan
sedang 20 yang
berpendapatan tinggi
Gini Ratio
1990 22.56
36.82 40.62
0.305 2000
20.17 35.6
44.23 0.351
2001 21.89
37.03 41.08
0.311 2002
19.37 32.63
48.00 0.389
2003 21.98
34.94 43.08
0.310 2004
20.18 34.81
45.81 0.363
2005 18.42
32.25 49.33
0.406 2006
20.11 30.89
49.00 0.360
Kelompok Penduduk
Sumber : BPS Propinsi DKI Jakarta, 2007
Tabel 36 menggambarkan bahwa selama selang waktu 1990-2006 telah terjadi penurunan kualitas terhadap distribusi pendapatan masyarakat DKI Jakarta.
Pada tahun 1990, sekitar 23 bagian pendapatan masyarakat DKI Jakarta masih dinikmati oleh 40 penduduk berpendapatan rendah. Namun sejalan dengan
berbagai kendala ekonomi, seperti krisis yang terjadi tahun 1997 telah berdampak pada tingkat kesenjangan yang semakin lebar dengan semakin kecilnya bagian
pendapatan yang dinikmati oleh 40 penduduk berpendapatan rendah. Tahun 2006, walaupun telah terjadi sedikit perbaikan kondisi ekonomi namun bagian
pendapatan masyarakat yang dimiliki oleh 40 penduduk berpendapatan rendah
mencapai 20,11. Kendati telah terjadi penurunan kualitas terhadap distribusi pendapatan masyarakat, secara umum masih termasuk dalam kategori
ketimpangan rendah. Sejalan dengan kriteria Bank Dunia, selama periode 1990-2006
ketimpangan penduduk yang diukur melalui indikator gini ratio memperlihatkan gejala kesenjangan pembagian pendapatan yanga membesar, meskipun dengan
besaran kuantitatif yang masih lebih kecil dari 0,41. Pada tahun 1990, angka gini ratio DKI Jakarta sebesar 0,305 selanjutnya pada tahun 2000, 2002, 2003 dan
2006 berturut-turut 0,351; 0,389; 0,310 dan 0,360. Penurunan nilai gini ratio ini memperlihatkan bahwa ketimpangan pendapatan mulai menurun lagi dibanding
tahun sebelumnya.
6.1.3 Indeks Pembangunan Manusia IPM
Indeks Pembangunan Manusia secara khusus mengukur capaian pembangunan manusia berbasis sejumlah komponen kualitas hidup. IPM
dibangun melalui pendekatan tiga dimensi dasar meliputi umur panjang dan sehat, pengetahuan dan kehidupan yang layak. Untuk mengukur dimensi kesehatan,
digunakan angka umur harapan hidup AHH. Dimensi pengetahuan digunakan gabungan indikator melek huruf dan rata-rata lama sekolah. Adapun untuk
mengukur standar hidup layak digunakan indikator kemampuan daya beli yang dilihat dari rata-rata pengeluaran per kapita sebagai pendekatan pendapatan. IPM
menjadi sangat penting dan bernilai strategis dan dibutuhkan oleh berbagai pihak dan pemerintah khususnya untuk menentukan berbagai kebijakan. IPM juga
digunakan untuk menilai keberhasilan kinerja pembangunan manusia. Tabel 37 menunjukkan bahwa selama periode 2004-2006 pembangunan
manusia di Kepulauan Seribu mengalami peningkatan. Tahun 2004 IPM Kepulauan Seribu adalah 67.2 meningkat menjadi 67.6 pada tahun 2005 dan terus
meningkat menjadi 69.3 pada tahun 2006. Peningkatan IPM menunjukkan bahwa kinerja pemerintah terus menunjukkan peningkatan dari waktu ke waktu yang
tercermin dari adanya peningkatan komponen IPM. Peningkatan tersebut terlihat pada indikator harapan hidup, melek huruf, rata-rata lama sekolah dan
pengeluaran ril per kapita sebagai komponen dasar IPM, semuanya mengalami peningkatan.
Tabel 37 IPM Kabupaten Kepulauan Seribu, DKI Jakarta, Indonesia dan Komponennya Tahun 2004-2006
Komponen 2004
2005 2006
Angka Harapan Hidup AHH Tahun 69.3
69.7 70.1
Angka Melek Huruf AMH 96.4
96.6 97.2
Rata-rata lama sekolah Tahun 6.8
6.9 7.8
Pengeluaran rilKapita disesuaikan Rp.000 569.2
570.4 578.8
IPM Kepulauan Seribu 67.2
67.6 69.3
Ranking IPM 261
267 233
IPM DKI Jakarta 75.8
76.1 76.3
IPM Indonesia 68.7
69.6 70.1
Tahun
Sumber : BPS, 2006
Nilai IPM Kepulauan Seribu masih jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan IPM DKI Jakarta dan sedikit di bawah IPM nasional Indonesia. Dari sisi
peringkat tahun 2005 sempat mengalami penurunan dari 261 ke 267 dan kemudian naik kembali menjadi peringkat 233 dari 456 KabupatenKota yang ada.
Penurunan peringkat pada tahun 2005 disebabkan karena krisis ekonomi yang ditandai oleh kenaikan BBM yang berlangsung hampir 2 kali selama tahun 2005.
Perbedaan nilai IPM Kepulauan Seribu, DKI Jakarta dan Nasional dapat dilihat pada Gambar 10.
Keberhasilan pembangunan manusia, tidak mutlak diukur dari urutan posisi ranking, akan tetapi dapat dilihat juga reduksi shortfall nya. Berdasarkan
ukuran itu terlihat seberapa besar akselerasi capaian pembangunan manusia. Reduksi shortfall Kepulauan Seribu selama periode 2004-2005 adalah 1,21,
kemudian dengan cepat naik nilainya pada periode 2005-2006 menjadi 5,17. Hal itu memberi indikasi bahwa peningkatan kualitas hidup penduduk menunjukkan
percepatan dari tahun ke tahun. Percepatan tersebut terasa setelah Kepulauan Seribu resmi menjadi Kabupaten baru di wilayah Propinsi DKI Jakarta sejak tahun
2002 yang diikuti dengan berbagai program pembangunan. Jika dibandingkan dengan KabKota lainnya di DKI Jakarta, masih sangat jelas terjadi
ketimpanganketidakmerataan dalam pembangunan manusia.
67.2 67.6
69.3 75.8
76.1 76.3
68.7 69.6
70.1
62 64
66 68
70 72
74 76
78
2004 2005
2006
N ilai IP
M
Kep. Seribu DKI Jakarta
Indonesia
Gambar 10 Nilai IPM Kabupaten Kepulauan Seribu, DKI Jakarta dan Indonesia Tahun 2004-2006
Disparitas pembangunan manusia di Kepulauan Seribu terlihat jika dibandingkan dengan DKI Jakarta. DKI Jakarta selama tahun 2004-2006 selalu
tercatat sebagai sebagai propinsi dengan IPM tertinggi yang mencapai 76,3 pada tahun 2006. Pada tahun yang sama 2006 tiga kota di DKI Jakarta yaitu Jakarta
Selatan, Jakarta Timur dan Jakarta Barat termasuk kategori urutan lima besar IPM tertinggi KabupatenKota. Meskipun masih dalam satu wilayah Propinsi DKI
Jakarta, namun IPM Kepulauan Seribu masih jauh tertinggal jika dibandingkan dengan Kota lainnya di DKI Jakarta. Kemajuan IPM tergantung dari komitmen
penyelenggara pemerintah daerah dalam meningkatkan kapasitas dasar penduduk yang berdampak pada peningkatan kualitas hidup. Disparitas pembangunan
manusia yang terjadi antara Kepulauan Seribu dengan Kota lainnya di DKI Jakarta menunjukkan bahwa pola pembangunan yang dijalankan selama ini
mengalami bias perkotaan dan daratan. Lokasi yang berkarakter pedesaan dan kepulauan seperti Kabupaten Kepulauan Seribu belum mendapatkan perhatian
yang serius, khususnya dalam pemenuhan kebutuhan dasarnya. Pola desentralistik yang menggeser pola sentralistik pada masa lalu, belum berjalan
dengan baik. Sentralisasi masih terlihat dalam pelaksanaan berbagai program pembangunan. Hal itu terlihat dari penempatan kantor-kantor administratif yang
masih berada di wilayah Jakarta, kepala-kepala pemerintahan di Kepulauan Seribu juga lebih banyak menghabiskan waktunya di Jakarta dibandingkan berada di
Kepulauan Seribu. Aturan dan skenario pembangunan, faktanya dijalankan dari Jakarta.
Di tingkat KabupatenKota di wilayah DKI Jakarta, capaian IPM tertinggi pada tahun 2006 adalah Jakarta Selatan yaitu sebesar 78,3. Sedangkan pada tahun
yang sama Kepulauan Seribu yang tercatat sebagai Kabupaten dengan nilai IPM terendah di DKI Jakarta nilainya mencapai 69,3. Sehingga disparitas
pembangunan manusia antara Kota Jakarta Selatan dan Kepulauan Seribu sekitar 9 point. Meskipun perbedaanya tidak terlalu besar, namun hal itu menunjukkan
bahwa pembangunan manusia di DKI Jakarta masih timpang. Gambar 11 menunjukkan disparitas IPM antara Kepulauan Seribu dengan KabKota lainnya
di DKI Jakarta.
67.2 67.6
69.3 77.4
77.9 78.3
76.2 77.3
77.4 74.9
76.4 76.7
75.7 77.1
77.4 75.1
75.8 76.1
75.8 76.1
76.3
68.7 69.6
70.1
60 62
64 66
68 70
72 74
76 78
80
2004 2005
2006
N ilai IP
M
Kepulauan Seribu Jakarta Selatan
Jakarta Timur Jakarta Pusat
Jakarta Barat Jakarta Utara
DKI Jakarta Indonesia
Gambar 11 Nilai IPM KabKota di DKI Jakarta dan Nasional
Tabel 37 menunjukkan adanya peningkatan pada setiap komponen penyusun IPM. Nilai AHH dan AMH sudah mendekati kondisi ideal yaitu 85,
sedangkan nilai AHH dan AMH Kepulauan Seribu pada tahun 2006 mencapai 70,1 dan 97,2. Kondisi yang jauh dari nilai ideal terlihat pada rata-rata lama
sekolah yang baru mencapai nilai 7,8 pada tahun 2006. Nilai ideal rata-rata lama sekolah adalah 15. Daya beli masyarakat dari tahun 2004-2006 juga menunjukkan
peningkatan meskipun masih jauh di bawah standar ideal yaitu Rp 732.720,-. Sedangkan Kepulauan Seribu daya beli masyarakatnya pada tahun 2006 baru
mencapai Rp 578.800,-. Adanya peningkatan pada semua komponen IPM di Kepulauan Seribu ini menunjukkan kualitas hidup masyarakat semakin membaik.
Nilai IPM DKI Jakarta yang tertinggi tidak serta merta merubah status pembangunannya. Secara total, seluruh KabupatenKota di Indonesia status
pembangunannya belum ada yang masuk dalam kategori tinggi. Status pembangunan Kepulauan Seribu dan DKI Jakarta beserta semua Kota-kota
lainnya di DKI Jakarta status pembangunannya masuk dalam kategori menengah atas.
6.1.4 Tingkat Kesejahteraan Berdasarkan Model BKKBN
BKKBN lebih melihat pada sisi kesejahteraan dibandingkan dengan sisi kemiskinan. Pendataan keluarga sejahtera dilakukan dalam lima tahap, mulai dari
pra sejahtera, keluarga sejahtera KS I – KS III plus. Dalam analisis ini digunakan data Podes tahun 2006 dan data hasil survey lapangan.
Tabel 38 Kependudukan Kelurahan P. Panggang
N a
m a
K e
lura han
J u
mla h
P e
n duduk
La k
i-lak i o
rang
J u
mlah P
e n
duduk Pere
mp u
a n
o ra
ng J
u mla
h Kelua
rga
Pers e
n tas
e K
e lu
arga P e
rta n
ian
J u
mlah P
ra Ke
lu arga S
e jahtera
da n K
el u
ar g
a S
ej a
ht e
ra K
S 1
Ju mla
h Ke
lu arg
a ya
ng
meng gun
a k
a n
Lis trik No
n -P
L N
k eluar
ga
PULAU PANGGANG
2273 2152
1240 85
573 1240
Sumber : Podes, 2006 BPS Jakarta
Berdasarkan Tabel 38 menunjukkan bahwa jumlah penduduk Kelurahan P. Panggang pada tahun 2006 mencapai 4.425 jiwa dengan keluarga mencapai 1.240
keluarga. Dari total penduduk, 2.273 diantaranya adalah laki-laki dan 2.152 adalah perempuan. Persentase jumlah keluarga pertanian perikanan mencapai
85. Artinya mayoritas penduduk Kelurahan P. Panggang berprofesi di bidang perikanan atau yang terkait dengan usaha perikanan lainnya. Data ini menjadi
gambaran betapa tingginya ketergantungan penduduk terhadap sumber daya pesisir dan laut.
Jumlah keluarga pra sejahtera dan keluarga sejahtera 1 KS 1 sekitar 573 keluarga atau sekitar 46.21 dari total jumlah keluarga yang ada. Jumlah keluarga
miskin di Kelurahan P. Panggang hanya terdapat di P. Panggang dan P. Pramuka. Karena di antara 12 pulau yang termasuk dalam wilayah administrasi Kelurahan
P. Panggang, hanya P. Panggang dan P. Pramuka yang peruntukannya untuk pemukiman penduduk. Angka tersebut dapat juga menunjukkan bahwa hampir
separuh dari jumlah keluarga yang rata-rata berprofesi sebagai nelayan tersebut merupakan keluarga miskin.
Data ini juga semakin memperkuat analisis bahwa kemiskinan selalu diidentikkan dengan nelayan dan masyarakat pesisir. Masyarakat Kepulauan
Seribu dan P. Panggang serta P. Pramuka khususnya mayoritas penduduknya bermata pencaharian sebagai nelayan atau usaha perikanan lainnya seperti
budidaya laut, pengolahan hasil perikanan dan perdagangan. Setidaknya tercatat beberapa potensi yang seharusnya dapat dimanfaatkan
oleh masyarakat pesisir Kelurahan P. Panggang agar kesejahteraannya meningkat. Beberapa potensi tersebut antara lain ekosistem terumbu karang, lamun, ekosistem
pantai, pulau-pulau yang difungsikan sebagai pariwisata dan cagar alam serta status P. Pramuka sebagai pusat ibu kota Kabupaten Kepualaun Seribu. Potensi
SDPL tersebut belum dan atau tidak dapat dimanfaatkan dengan baik oleh masyarakat guna meningkatkan kesejahteraannya. Inilah yang menjadi pertanyaan
besar kenapa masyarakat yang dikelilingi oleh sumber daya melimpah namun angka kemiskinannnya masih tinggi.
Keluarga pra sejahtera sangat miskin ditandai oleh adanya beberapa indikator ekonomi dan non ekonomi yang belum dapat dipenuhi oleh keluarga
tersebut. Indikator ekonomi yang dimaksud adalah : makan dua kali atau lebih sehari, memiliki pakaian yang berbeda untuk aktivitas misalnya di rumah,
bekerja sekolah dan bepergian, dan bagian terluas lantai rumah bukan dari tanah. Sedangkan indikator non-ekonomi ditandai oleh indikator antara lain pelaksanaan
ibadah, bila anak sakit dibawa ke sarana kesehatan. Tabel 39 merupakan hasil survey yang dapat digunakan untuk mempertegas kategorisasi keluarga miskin
yang terdata dalam Podes 2006. Hasil wawancara dengan 30 KK di P. Panggang dan 27 KK di P. Pramuka
menunjukkan masih adanya keluarga sangat miskin meskipun jumlahnya sudah berkurang. Sebagai contoh, masih ada 5 responden 8,77 di P. Panggang dan
P. Pramuka yang bahan lantainya masih berupa tanah. Untuk pola berpakaian, sekitar 36 keluarga 65,45 mengatakan bahwa setahun sekali ganti pakaian dan
sebanyak 12 keluarga 21,82 mengaku tidak mempunyai pakaian khusus untuk acarakegiatan tertentu. Demikian jika anggota keluarga ada yang sakit, sekitar 19
keluarga 26 mengobatinya dengan membawa ke dukun atau mengkonsumsi obat-obatan yang dijual bebas di warung. Hasil survey mempertegas adanya
masyarakat yang berada dalam status sangat miskin, namun jumlahnya sedikit.
Tabel 39 Kategori Keluarga Pra Sejahtera dan Sejahtera I Menurut Hasil Survey Lapang
Kategori Jumlah KK
Luas lantai : 8 m2 7
12.28 Bahan lantai : tanah
5 8.77
Pola pakaian : setahun membeli satu kali 36
65.45 Tidak punya pakaian khusus
12 21.82
Bila sakit berobat ke dukun 1
1.75 Bila sakit menggunakan obat warung
18 31.58
Pendapatan tidak tetap, musiman 28
50.00 Pendapatan harian
26 46.43
KK yang tidak sekolah 6
10.71 Dari yg tidak sekolah, yg tdk bs baca tulis
1 16.67
KK yang mengikuti program KB 42
73.68
Sumber : Data primer
Keluarga sejahtera I miskin ditandai oleh tidak adanya kemampuan dalam memenuhi salah satu atau lebih beberapa indikator ekonomi dan non
ekonomi. Indikator ekonomi yang dimaksud meliputi : paling kurang sekali seminggu keluarga makan daging atau ikan atau telor, setahun terakhir seluruh
anggota keluarga memperoleh paling kurang satu stel pakaian baru dan luas lantai rumah paling kurang 8 m
2
untuk tiap penghuni. Sedangkan indikator non ekonomi meliputi : Ibadah teratur, sehat tiga bulan terakhir, punya penghasilan
tetap, usia 10-60 tahun dapat baca tulis huruf latin, usia 6-15 tahun bersekolah dan anak lebih dari 2 orang, ber-KB.
Data ini dapat diperkuat dengan melihat hasil wawancara langsung kepada 30 keluarga di P. Panggang dan 27 keluarga di P. Pramuka. Sebagai contoh,
terdapat 7 responden 12,28 yang luas lantainya 8 m
2
. Dari sisi pendapatan sebanyak 54 kepala keluarga 96 menyatakan bahwa pendapatan yang mereka
terima bersifat tidak tetap, musiman dan harian. Jika dilihat dari jumlah anggota keluarga yang tidak sekolah, hanya tercatat sekitar 6 kepala keluarga 11 yang
tidak bersekolah. Dari 6 orang tersebut 5 orang diantaranya dapat membaca tulis huruf latin dengan cara otodidak dan hanya 1 orang yang betul-betul tidak bisa
baca tulis. Dalam hal menyekolahkan anak, hampir semua keluarga mampu menyekolahkan anaknya. Hanya sekitar 9 kepala keluarga 10 yang
menyatakan tidak mampu menyekolahkan anaknya. Sedangkan dari keikutsertaan program KB, 15 kepala keluarga menyatakan tidak ikut program KB.
Tabel 39 juga menggambarkan bahwa 53,79 merupakan keluarga sejahtera I-III plus. Survey lapang memperkuat data ini dengan melihat beberapa
indikator keluarga sejahtera sebagian besar keluarga mampu memenuhinya. Sebanyak 57 responden mengatakan bahwa 30 kepala keluarga 52,63
menyatakan telah mempunyai tabungan meskipun masih banyak disimpan di celengan atau dititipkan ke perorangan. Sekitar 55 orang 96 menyatakan
jarang dan atau aktif dalam kegiatan sosial keagamaan dan sebanyak 39 orang 68 aktif dalam organisasi kemasyarakatan. Kategori keluarga sejahtera I-III
tersebut lebih banyak masuk pada kategori KS I-II. Karena jika dilihat jumlah kepala keluarga yang aktif memberikan sumbangan hanya sekitar 35 orang dan
yang betul-betul aktif dalam kepengurusan organisasi hanya sekitar 15 orang kepala keluarga. Tabel 40 hasil survey mempertegas kategorisasi Keluarga
Sejahtera II-III plus.
Tabel 40 Kategori Keluarga Sejahtera I-III Plus Menurut Hasil Survey Lapang
Kategori Jumlah KK
Memilik tabungan 30
52.63 Aktif dalam kegiatan sosial keagamaan
30 52.63
Jarang aktif dalam kegiatan sosial keagamaan 25
43.86 Rekreasi setahun 1 kali sampai 2 kali
7 12.28
Sesekali melakukan rekreasi keluarga 33
57.89 Bisa mendapatkan akses informasi
45 80.36
Bisa mengakses informasi lebih dari satu sumber 9
16.07 Sering memberikan sumbangan
21 37.50
Jarang memberikan sumbangan 35
62.50 Aktif dalam organisasi kemasyarakatan
15 26.32
Jarang aktif dalam organisasi kemasyarakatan 24
42.11
Sumber : Data primer
6.2 Potret Kesejahteraan Responden
Hasil analisis kesejahteraan responden ini dilakukan berdasarkan contoh dan tidak mewakili seluruh wilayah Kelurahan P. Panggang.
6.2.1 Tingkat Kesejahteraan Responden P. Panggang dan P. Pramuka Perumahan
Hal yang paling fundamental bagi sebuah rumah tangga adalah keberadaan rumah sebagai tempat tinggal. Sehingga status rumah dapat dijadikan sebagai
indikator kesejahteraan sebuah responden. Keberadaan rumah menjamin kualitas kehidupan responden. Rumah merupakan kebutuhan primer lain selain pangan
dan pakaian. Keberadaan rumah sebagai tempat tinggal dengan mempertimbangkan status rumah sebagai rumah sendiri, kontrakan atau masih
numpang saudaraorang tua. Status rumah juga dilihat dari jenis rumah dalam kategori permanen, semi permanen atau rumah papan.
Tabel 41 memperlihatkan bahwa Kelurahan P. Panggang, hanya P. Panggang dan P. Pramuka yang berfungsi sebagai pemukiman penduduk.
Mayoritas penduduk kedua pulau itu memiliki rumah sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa 87.72 ukuran kesejahteran penduduk kedua pulau
berdasarkan status perumahan. Namun, 10.53 penduduk menumpang pada orang tuasaudara dan 1.75 yang mengontrak.
Tabel 41 Persentase Responden Menurut Status Rumah
Status Rumah P. Panggang
P. Pramuka Total
rumah sendiri 93.33
81.48 87.72
rumah kontrakan 0.00
3.70 1.75
rumah saudaraorang tua 6.67
14.81 10.53
permanen 36.67
31.82 36.00
permanen tidak mewah 30.00
9.09 18.00
semi permanen 23.33
45.45 34.00
rumah papanbilik 10.00
13.64 12.00
Jumlah Persentase 100.00
100.00 100.00
Jumlah Rumah tangga
30.00
27.00 57.00
Sumber : Data Primer
Dari total jumlah tersebut, masyarakat P. Panggang 93.33 rumah yang ditempati merupakan rumah sendiri dan hanya 6.67 yang tinggal bersama orang
tua atau saudara. Sedangkan di P. Pramuka lebih terdistribusi normal, 81.48 masyarakat tinggal di rumahnya sendiri, 14.81 bersama orang tuasaudara dan
hanya 3.70 menempati rumah kontrakan. Status rumah penduduk Kelurahan P. Panggang rata-rata menempati rumah sendiri meskipun luas rumahnya sangat
sempit. Namun hal itu belum bisa dikatakan sejahtera karena masih ada prasyarat lainnya yang dihurus dicukupi untuk dikatakan sejahtera.
Kondisi rumah memperlihatkan tingkat kesejahteraan responden. Kategori perumahan di Kelurahan P. Panggang P. Panggang dan P. Pramuka adalah 36
permanen, 18 permanen tapi tidak mewah, 34 semi permanen dan hanya 12 papanbilik. Data ini menunjukkan bahwa tingkat kesejahteraan rata-rata
masyarakat Kelurahan P. Panggang tergolong cukup karena 46 responden menempati rumah semi permanen dan papanbilik.
Jika dibandingkan dengan kondisi rumah yang ada di P. Panggang maka 36.67 responden menghuni rumah permanen, 30 permanen tapi tidak mewah,
23.3 semi permanen dan sekitar 10 masih menempati rumah papanbilik. Sedangkan di P. Pramuka responden didominasi oleh rumah semi permanen 45,
rumah permanen sebesar 32, rumah papan sekitar 14 dan 9 menempati rumah semi permanen.
Kualitas rumah tinggal selain ditentukan oleh kualitas bahan, juga ditentukan oleh fasilitas yang digunakan untuk aktivitas sehari-hari. Semakin
tinggi kualitas bahan bangunan dan semakin baik fasilitas yang dimiki, mencerminkan semakin tinggi tingkat kesejahteraan penghuninya. Karena kualitas
dan fasilitas memberikan sumbangan bagi kenyamanan hidup sehari-hari. Tabel 42 menunjukkan bahwa rata-rata rumah penduduk di P. Panggang
dan P. Pramuka menggunakan atap dari bahan sengasbes 92.86, bahan bangunan rumah berupa tembok 78.95, bahan lantai dasar berupa keramik
57.89. Tabel 42 juga menunjukkan bahwa responden di P. Panggang rata-rata menempati luas lantai 80 m
2
sebanyak 46.67 dan 33.33 berada di P. Pramuka. Responden P. Pramuka yang menempati luas lantai di atas 100 m
2
lebih besar dibandingkan P. Panggang masing-masing 14.81 dan 13.33. Angka ini lebih
tinggi dari rata-rata luas lantai rumah tangga di Kepulauan Seribu. Sebanyak 6,88 2006 dan 6.25 2007 rumah tangga menempati luas lantai di atas 100
m
2
dan paling banyak menempati luas lantai antara 50-99 m
2
sebesar 71,25 2006 dan 52.2 2007. Dilihat dari luas lantai, tingkat kesejahteraan
responden P. Panggang dan Pramuka masih di atas rata-rata rumah tangga di Kepulauan Seribu.
Selain luas lantai, fasilitas rumah lainnya yang menjamin kesejahteraan anggota keluarga yang berada di dalamnya adalah ketersediaan ruang seperti
tempat buang air besar, kamar mandi, kamar tidur sendiri, ruang tamu dan dapur. Hasil survey menunjukkan bahwa 51,72 responden P. Panggang menggunakan
WC sendiriumum dan responden P. Pramuka hanya sekitar 38,46. Data ini menunjukkan bahwa kesadaran dan kemampuan masyarakat untuk memiliki
kakus sendiri terus meningkat karena data tahun 2006 menunjukkan bahwa pemakaian WC sendiri di Kepulauan Seribu hanya 27,19 dan 35,63 tahun
2007. Hasil ini menggambarkan tingkat kesadaran masyarakat P. Panggang untuk menggunakan WC sendiri lebih baik dibandingkan masyarakat P. Pramuka.
Namun bisa juga disebabkan karena jumlah responden di P. Panggang lebih banyak dibandingkan dengan responden di P. Pramuka, sehingga angka
pemakaian WC sendiri di P. Panggang lebih tinggi.
Tabel 42 Persentase Responden Menurut Kondisi Rumah
Kondisi rumah P. Panggang
P. Pramuka Total
Atap sengasbes
86.67 96.30
92.86 daunbambu
3.33 3.70
1.79 tanpa atap
10.00 0.00
5.36
Total 100.00
100.00 100.00
Bahan Bangunan Rumah rumah kayu
10.00 33.33
21.05 rumah tembok
90.00 66.67
78.95
Total 100
100.00 100.00
Bahan Lantai keramik
63.33 51.85
57.89 semen
30.00 37.04
33.33 tanah
6.67 11.11
8.77
Total 100.00
100.00 100.00
Luas Lantai 100 m2
13.33 14.81
14.04 8 x 10 m2
46.67 33.33
40.35
8 m2
10.00 14.81
12.28
lainnya 30.00
37.04 33.33
Total 100.00
100.00 100.00
Sumber : Data Primer
Hasil survey menunjukkan bahwa kecenderungan responden di P. Panggang dan Pramuka dalam menjaga kesehatan anggota respondennya cukup
tinggi. Hal itu tercermin dari ketersediaan kamar mandi di masing-masing responden. Penggunaan kamar mandi sendiri masing-masing di P. Panggang dan
P. Pramuka adalah 75,86 dan 84,62. Begitu juga dengan fasilitas pokok responden lainnya seperti kamar tidur, ruang tamu dan dapur menunjukkan angka
yang cukup tinggi. Pemakaian kamar tidur sendiri dalam responden P. Panggang mencapai
96,55 dan bahkan 100 responden P. Pramuka mempunyai kamar tidur sendiri. Artinya masyarakat di kedua pulau itu sudah memperhatikan tingkat
privasimenjaga kepentingan pribadi khususnya yang terkait dengan tempat tidur. Sedangkan ketersediaan ruang tamu dalam responden P. Panggang dan P.
Pramuka masing-masing 89,66 dan 80,77. Masyarakat P. Panggang dan Pramuka rata-rata juga telah menggunakan dapur sendiri dalam melakukan
aktivitas masak-memasak. Survey menunjukkan bahwa 93,10 responden P. Panggang mempunyai dapur sendiri dan bahkan 100 responden di P. Pramuka
telah memanfaatkan dapur sendiri untuk kegiatan masak-memasak. Fakta di atas
menunjukkan bahwa responden di kedua pulau sangat memperhatikan ketersediaan ruang dalam rumah untuk menjamin kenyamanan dan kesehatan
anggota respondennya. Tabel 43 menggambarkan kondisi perumahan di P. Panggang dan P. Pramuka.
Tabel 43 Persentase Umum Menurut Status Rumah dan Kondisi Rumah Perumahan
Status rumah Kondisi rumah
Cukup-Kaya 62
55 Miskin-Cukup
10 25
Sangat miskin-Miskin 28
20 Tabel 43 menggambarkan bahwa mayoritas penduduk di Kelurahan P.
Panggang 62 rumahnya merupakan milik sendiri dan permanen. Demikian halnya dari kelengkapan sarana rumah, sebanyak 55 masyarakat di Kelurahan P.
Panggang kondisi rumahnya tergolong cukup-kaya dengan bahan atap berupa seng, bangunan tembok, bahan lantai dari keramik, luas lantai rata-rata 8 x 10 m2
dan dilengkapi dengan WC Sendiri, kamar mandi dan dapur.
Pendidikan
Pendidikan yang ditamatkan merupakan indikator pokok kualitas pendidikan formal. Tingginya tingkat pendidikan yang dicapai oleh rata-rata
penduduk suatu negara mencerminkan taraf intelektualitas suatu bangsa. Pendidikan merupakan salah satu indikator pokok kesejahteraan masyarakat
karena adanya jaminan ketersediaan sumberdaya manusia yang unggul. Jika melihat komposisi penduduk berdasarkan pendidikan tertingginya,
terlihat bahwa 65 responden Kelurahan P. Panggang berpendidikan rendah yaitu tamat SD ke bawah. Proporsi penduduk yang lulus SLTP sebesar 23 dan SMA
hanya 13. Tabel 44 menunjukkan bahwa penduduk 10 tahun ke atas yang tidak
sekolahtidak punya ijazah di P. Panggang lebih banyak dibandingkan di P. Pramuka. Angka yang tidak lulus sekolah sebesar 17,24, sebesar 55,17 tamat
SDIbtidaiyah, tamat SMPMTs sebesar 20,69 dan tamat SMAMAN sebesar 6,90. Sedangkan penduduk di P. Pramuka relatif lebih baik dari tingkat
pendidikannya. Pendidikan tertinggi kepala responden 3,7 tidak sekolah, 51,85 tamat SD, tamat SMP 25,93 dan 18,52 tamat SMA.
Tabel 44 Persentase Responden Menurut Pendidikan Kepala Rumah Tangga dan Kemampuan Menyekolahkan Anak
Pendidikan P. Panggang
P. Pramuka Total
Pendidikan Tertinggi SMAMAN
6.90 18.52
12.50 SMPMTs
20.69 25.93
23.21 SDIbtidaiyah
55.17 51.85
53.57 tidak sekolah
17.24 3.70
10.71
Total 100.00
100.00 100.00
Sumber : Data Primer
Data BPS tahun 2007 juga menunjukkan bahwa tingkat pendidikan paling tinggi masyarakat Kepulauan Seribu adalah sampai SD dengan jumlah sekitar
36,78, tidak sekolahtidak punya ijazah sekitar 24,96, tamat SMP sekitar 19,15, tamat SMA sekitar 13,55, tamat SMK sekitar 1,99, dan yang sampai
pada jenjang universitas mulai strata D3 sampai S2S3 hanya mencapai sekitar 3,51.
Jika dibandingkan dengan tingkat pendidikan rata-rata masyarakat Kepulauan Seribu, ada peningkatan kesadaran penduduk P. Panggang dan P.
Pramuka untuk meningkatkan kualitas SDM nya. Hasil survey menunjukkan kemampuan menyekolahkan anak di P.
Panggang sampai pada level perguruan tinggi sekitar 13,33 dan 3,70 di P. Pramuka. Umumnya kemampuan orang tua di P. Panggang menyekolahkan anak-
anaknya sampai pada jenjang SMAMAN 60 dan proporsi ini lebih baik jika dibandingkan dengan P. Pramuka pada level yang sama yaitu sebesar 44,44.
Pada tingkat SMP, kemampuan menyekolahkan anak bagi orang tua di P. Panggang sekitar 36,67 dan 36,67 pada level SD. Sedangkan untuk orang tua
di P. Pramuka kemampuan menyekolahkan anak pada level SMP sekitar 25,93 dan pada level SD sekitar 62,96. Data ini menunjukkan bahwa tingkat
kesadaran orang tua di P. Panggang lebih tinggi untuk meningkatkan kualitas SDM anak-anaknya dibandingkan di P. Pramuka. Hal itu terlihat jelas dari
persentase kemampuan menyekolahkan anak pada level perguruan tinggi. Secara
umum Tabel 45 menggambarkan persentase umum tingkat pendidikan di P. Panggang dan P. Pramuka.
Tabel 45 Persentase Umum Menurut Tingkat Pendidikan Pendidikan Pendidikan
tertinggi Penguasaan
keterampilan lain
Cukup-Kaya 12.5
2.0 Miskin-Cukup
23.2 15.7
Sangat miskin-Miskin 64.3
82.4 Ketimpangan dari segi SDM jelas sekali terlihat di Kelurahan P.
Panggang. Mayoritas responden hanya mengenyam pendidikan sampai SMP dan didominasi oleh lulusan SD. Sebanyak 64,3 masyarakat pendidikan tertinggi
masuk dalam kategori sangat miskin-miskin. Artinya rata-rata tingkat pendidikannya rendah. Demikian halnya penguasaan terhadap keterampilan lain,
tidak banyak masyarakat yang mempunyai keterampilan di luar pendidikan formalnya. Sebanyak 82,4 responden di Kelurahan P. Panggang menyatakan
tidak mempunyai keterampilan lain.
Kesehatan
Salah satu indikator pokok kesejahteraan adalah kesehatan. Tingkat kesehatan seseorang dapat diukur dari seberapa besar jumlah penderita sakit dan
kemana biasanya pengobatan dilakukan pada saat sakit. Kepulauan Seribu sebagai Kabupaten yang baru berdiri pada tahun 2002 sampai saat ini masih jauh
tertinggal dari segi ketersediaan sarana kesehatan jika dibandingkan KabKota lainnya di DKI Jakarta. Miskinnya fasilitas kesehatan menjadikan masyarakat
mengalami kesulitan pada saat sakit. Meskipun tersedia rumah sakit di P. Pramuka yang dibangun pada tahun 20062007, namun tidak dilengkapi dengan
fasilitas pengobatan yang memadai. Sehingga masyarakat Pulau Seribu dan Kelurahan P. Panggang khususnya tetap memilih ke Jakarta untuk berobat.
Tabel 46 menunjukkan bahwa jika responden di Kelurahan P. Panggang mengalami sakit maka mereka lebih banyak berobat ke puskesmasbidan.
Sebanyak 80 responden di P. Panggang memilih berobat ke Puskesmasbidanpuskesmas pembantu jika sakit, 10 berobat ke RSDokter
praktek, 3,33 berobat ke dukun dan 30 menggunakan obat-obatan warung jika
sakit. Data yang tidak jauh berbeda ditunjukkan responden di P. Pramuka ketika sakit. Sebanyak 66,67 responden di P. Pramuka lebih memilih berobat ke
puskesmaspustu ketika sakit, 22,22 memilih berobat ke RS dan 33,33 membeli obat warung jika sakit.
Tabel 46 Kecenderungan Anggota Responden Jika Keluarga Sakit
Pengobatan P. Panggang
P. Pramuka
Total
berobat ke RSDokter praktek 10.00
22.22 15.79
berobat ke puskesmasbidanpustu 80.00
66.67 73.68
berobat ke dukun 3.33
1.75 menggunakan obat warung
30.00 33.33
31.58
Sumber : Data Primer
Data ini menunjukkan bahwa pemanfaatan RS masih kecil sebagai tempat pengobatan bagi penderita sakit. Pemanfaatan RS lebih tinggi di P. Pramuka
dibandingkan di P. Panggang karena keberadaan fisik RS berada di P. Pramuka. Namun masyarakat di kedua pulau ini lebih suka berobat ke
puskesmasbidanpuskesmas pembantu pustu pada saat sakit. Padahal ketersediaan puskesmaspustu sedikit jumlahnya di Kelurahan P. Panggang.
Gambar 12 menunjukkan ketersediaan sarana kesehatan dan tenaga kesehatan di Kelurahan P. Panggang.
1 1
1 5
1 2
3 4
5 6
Jumlah Rumah Sakit Unit
Jumlah Rumah Sakit Bersalin Unit
Jumlah Puskesmas Unit Jumlah Puskesmas
Pembantu Unit Jumlah PosyanduUnit
Gambar 12 Jumlah Sarana Kesehatan di Kelurahan P. Panggang
Seperti ditunjukkan Gambar 12 di atas, jumlah sarana kesehatan sangat minim terdapat di Kelurahan P. Panggang. Sarana yang tersedia antara lain
posyandu 1 unit, puskesmas 1 unit, puskesmas pembantu 1 unit dan rumah sakit 1 unit. Tingginya animo masyarakat untuk berobat ke puskesmas, tetapi dibatasi
oleh fasilitas kesehatan yang kurang memadai di puskesmas, menunjukkan minimnya kepedulian pemerintah daerah terhadap kesehatan masyarakat
Kelurahan P. Panggang. Keberadaan RS mungkin bisa menjawab kekurang pedulian tersebut, namun keterbatasan fasilitas dan peralatan RS menjadikan RS
tersebut tidak dapat difungsikan dengan baik. Masyarakat Kelurahan P. Panggang menganggap RS yang terdapat di P. Pramuka hanya menjadi tempat pertolongan
pertama terhadap penderita sakit dan masih tetap perlu dibawa ke Jakarta. Hal ini menunjukkan adanya kesalahan atau bias dalam pelaksanaan pembangunan.
Biasnya kebijakan ini juga ditandai oleh minimnya tenaga medis yang berdomisili di Kelurahan P. Panggang. Data Podes 2006 seperti yang terdapat
dalam Tabel 47 menunjukkan bahwa tenaga medis yang tersedia di Kelurahan P. Panggang antara lain 1 orang dokter wanita, 2 orang mantri kesehatan, 1 orang
bidan dan 1 dukun bayi terlatih. Data ini menggambarkan adanya ketidakseimbangan antara sarana kesehatan yang tersedia dengan jumlah tenaga
medisnya. Keberadaan RS harusnya diimbangi dengan ketersediaan fasilitas dan peralatan kesehatan serta tenaga medis yang memadai sehingga RS betul-betul
menjadi pusat pengobatan masyarakat Kepulauan Seribu umumnya dan Kelurahan P. Panggang khususnya.
Karekteristik kesehatan lain yang menjadi patokan kesejahteraan keluarga adalah tingkat akses air bersih, keikutsertaan program KB, kepemilikan askeskin
dan jumlah bayiibu meninggal saat melahirkan. Tabel 48 menunjukkan bahwa 68,97 responden di P. Panggang selalu
mendapatkan akses air bersih, 13,79 tidak selalu mendapatkan akses dan 17,24 tidak mendapatkan akses air bersih. Sedangkan responden di P. Pramuka
menunjukkan bahwa 44,44 selalu mendapat akses air bersih, 3,70 tidak selalu mendapat akses dan 51,85 tidak mendapatkan akses air bersih.
Tabel 47 Ketersediaan Tenaga Kesehatan dan Penerima Gakin
PULAU PANGGANG 1
2 1
1 573
171 B
idan yang ti nggal
d i De
sa K
el ura
h an
in i
O ra
n g
D u
kun B ayi
Terl at
ih ya
ng t
in gga
l di
DesaKel u
rahan ini Orang
P en
eri m
kart u
s eha
t kart
u pe se
rta
prog ra
m j amina
n k es
ehat an
m asy
ar ak
at m
isk in
d ala
m setah
u n
te rakhir kel
uarga
Ju mla
h “S
ura t Mi
sk in
” yang
dike luarka
n da
la m s
et ahun te
rakhir
s ura
t
Nam a Desa
Kelu rah
an
Dokt er P
ri a ya
n g
t inggal
di
DesaKel u
rahan ini Orang
Dokte r W
anit a ya
ng t
inggal di
DesaKel u
rahan ini Orang
M antri
Ke se
ha ta
n y ang ti
ng ga
l di
DesaKel u
rahan ini Orang
Sumber : Podes, 2006 BPS Jakarta
Dari ketersediaan akses terhadap air bersih terlihat bahwa responden P. Panggang lebih banyak mendapatkan akses air bersih dibandingkan responden di
P. Pramuka. Kesulitan dalam mendapatkan akses air bersih dapat dimaklumi mengingat kondisi geografis P. Panggang dan P. Pramuka yang berupa pulau kecil
dengan tangkapan air bersih yang sangat terbatas. Sumber air bersih dan juga air minum bagi masyarakat Kepulauan Seribu rata-rata berasal dari air hujan. Data
BPS tahun 2007 menunjukkan bahwa 68,44 air hujan dijadikan sebagai sumber air minumbersih, 15,63 air kemasan, 14,69 ledeng eceran, 0,63 dari pompa
dan 0,63 dari sumber lainnya. Keterbatasan akses air bersih ini menjadi permasalalahan pokok bagi masyarakat yang mendiami pulau kecil seperti P.
Panggang dan P. Pramuka mengingat tingkat serapan air tawar yang sangat terbatas.
Faktor lain yang erat kaitannya dengan tingkat kesejahteraan responden adalah jumlah anak. Semakin banyak jumlah anak berarti semakin besar
tanggungan kepala responden. Dengan demikian pembatasan jumlah anak perlu diperhatikan agar tercapai keluarga sejahtera salah satu caranya dengan mengikuti
program KB. Tabel 48 menunjukkan bahwa rata-rata responden di P. Panggang dan P. Pramuka meningkat kesadarannya dalam membatasi jumlah anak dengan
ikut program KB. Peserta program KB tercatat sekitar 73,33 responden di P. Panggang 74,07 di P. Pramuka.
Tabel 48 Persentase Responden Menurut Kepemilikan Askeskin, Keikutsertaan Program KB, Akses Air Bersih dan Kegagalan
Melahirkan
Akses Kesehatan P. Panggang
P. Pramuka Total
Kepemilikan Askeskin mimiliki asekeskin
46.67 48.15
47.37 tidak memiliki
53.33 51.85
52.63
Total 100.00
100.00 100.00
Keikutsertaan program KB Ikut serta
73.33 74.07
73.68 tidak ikut
26.67 25.93
26.32
Total 100.00
100.00 100.00
Akses air bersih tidak mendapatkan akses
17.24 51.85
33.93 tidak selalu mendapatkan
13.79 3.70
8.93 selalu mendapatkan
68.97 44.44
57.14
Total 100.00
100.00 100.00
Gagal Melahirkan ya, ada, bayiibunya meninggal
3.57 12.50
7.69 tidak ada, selamat semua
92.86 87.50
90.38 isteri tdk melahirkan dlm 1 tahun ini
3.57 1.92
Total 100.00
100.00 100.00
Sumber : Data Primer
Berbagai alasan dikemukakan bagi keluarga yang mengikuti program KB. Alasan terbanyak mengikuti program KB adalah untuk mengurangi angka
kelahiran dan pada gilirannya untun menjamin keteraturan keluarga. Alasan lainnya antara lain tidak ingin punya banyak anak dan hanya cukup 2-3 anak,
karena beban biaya, mengikuti himbauan pemerintah, karena sudah banyak anak, rata-rata masyarakat ikut KB dan keinginan untuk mengurangi kepadatan
penduduk. Sedangkan alasan ketidakikutsertaan program KB antara lain disebabkan karena menginginkan banyak anak, umur sudah tua, belum punya
anak dan tidak tahu bagaimana cara mengikuti program KB. Jenis alatcara KB yang banyak di pakai di Kelurahan Panggang adalah
melalui suntik KB dan PIL KB. Hal ini sama halnya dengan kecenderungan rata- rata pengguna alat KB di Kepulauan Seribu. Data BPS Tahun 2007 menunjukkan
bahwa jumlah penduduk di Kepulauan Seribu yang berstatus kawin dan sedang menggunakan alat KB sebanyak 2.730 orang, 72 diantaranya memilih suntik
KB sebagai alat ber KB, 19,2 dengan PIL KB, 7,1 dengan susuk KB, 1,1 dengan spiral dan sekitar 0,5 secara tradisional.
Tabel 48 juga menunjukkan indikator kesehatan lainnya yaitu tingkat kegagalan kelahiran yang menyebabkan bayi atau ibunya meninggal. Angka
kematian bayiibu saat melahirkan ini menjadi salah satu parameter pengukuran IPM. Data survey menunjukkan bahwa selama 1 tahun terakhir di P. Panggang
sebanyak 92.86 responden menjawab tidak mengalami kegagalan dalam melahirkan dan ibu serta bayi yang dilahirkan juga selamat. Hanya terdapat
sekitar 3,57 bayiibunya meninggal saat melahirkan dan 3,57 responden menjawab bahwa selama 1 tahun terahir isteri mereka tiak melahirkan.
Data serupa juga terlihat di P. Pramuka, sebanyak 87,50 responden selama 1 tahun terakhir tidak mengalami kasus gagal dalam melahirkan dan hanya
12,50 pernah terjadi kegagalan. Data di kedua pulau ini menunjukkan bahwa persalinan yang selama ini berlangsung di kedua pulau tersebut berjalan dengan
baik. Bisa jadi hal itu disebabkan karena ketersediaan tenaga medis dan didukung oleh fasilitas yang ada. Namun menurut data Podes 2006 ketersediaan tenaga
medis untuk melahirkan sangat terbatas di Kelurahan Panggang. Di Kelurahan P. Panggang hanya terdapat 1 bidan dan 2 dukun melahirkan yang berpengalaman.
Keterjaminan kesehatan seseorang juga ditentukan seberapa besar jaminan kesehatan tersedia khususnya bagi masyarakat miskin. Survey menunjukkan
bahwa sebanyak 46,67 keluarga di P. Panggang tidak memiliki askeskin dan 53,33 mengaku memiliki askeskin. Sedangkan di P. Pramuka menurut hasil
survey menunjukkan sebanyak 48,15 keluarga memiliki askeskin dan 51,85 mengaku tidak memiliki askeskin. Data ini menunjukkan masih sedikitnya
masyarakat yang memiliki askeskin. Sedikitnya penduduk yang memiliki asekeskin disebabkan karena
pemerintah daerah dan pemerintah desa khususnya kurang intensif mensosialisasikan butuhnya askeskin dan membuka akses bagi masyarakat miskin
untuk menerima askeskin. Disamping itu, bisa jadi masyarakat belum merasa membutuhkan askeskin tersebut. Birokrasi yang rumit dalam pengurusan askes,
sosialisasi yang kurang serta kesadaran masyarakat untuk menjaga kesehatan menjadi penyebab lain dari rendahnya penerimapengguna askeskin.
Podes 2006 menunjukkan bahwa jumlah keluarga di Kelurahan P. Panggang yang menerima kartu sehatkartu peserta program jaminan kesehatan
masyarakat miskin dalam setahun terakhir keluarga sebanyak 573 keluarga. Sedangkan jumlah penerima “Surat Miskin” yang dikeluarkan dalam setahun
terakhir surat sebanyak 171 keluarga. BPS tahun 2007 dalam laporannya menunjukkan untuk keseluruhan Kepulauan Seribu bahwa jumlah penerima
jaminan kesehatan untuk rawat jalaninap mencapai 1.965 orang. Sebanyak 1.095 orang memanfaatkan JPK Gakinkartu sehatkartu miskin, 720 orang mendapatkan
JPK PNSveteranpensiun, 45 orang JPK jamsostek, 45 orang asuransi kesehatan swasta dan 60 orang JPK lainnya. Tabel 49 menggambarkan secara umum
persentase tingkat kesehatan responden P. Panggang dan P. Pramuka menurut tingkat kesehatannya.
Tabel 49 Persentase Umum Menurut Tingkat Kesehatan Kesehatan Keikutsertaan
Program KB Akses air
bersih Askeskin
Cukup-Kaya 57.1
Miskin-Cukup 73.7 8.9
47.4 Sangat miskin-Miskin
26.3 33.9
52.6 Rata-rata responden mengikuti program KB. Terlihat sebanyak 73,7
responden menyatakan hal tersebut. Akses mendapatkan air bersih juga tergolong lancar. Terbukti sebanyak 57,1 responden menyatakan bahwa mereka selalu
mendapatkan air bersih. Meskipun ketersediaannya harus didatangkan dari DKI Jakarta. Sedangkan dalam hal kepemilikan asekeskin, sebanyak 52,6 responden
menyatakan tidak mendapatkan akses memiliki askeskin.
Pendapatan
Tingkat kesejahteraan responden salah satunya ditentukan oleh tingkat pendapatan yang dihasilkannya. Perbedaan pendapatan ditentukan oleh
kepemilikan sumberdaya dan faktor produksi yang berbeda satu orang dengan lainnya, terutama kepemilikan modal. Biasanya pihak yang mempunyai barang
modal yang lebih banyak didukung oleh faktor produksi yang lebih besar, akan memperoleh pendapatan yang lebih besar dibandingkan pihak yang memiliki
barang modal yang lebih kecil. Perbedaan pendapatan menyebabkan terjadinya kesenjangan antar anggota responden.
Tabel 50 Persentase Responden Menurut Pendapatan
Pendapatan Rpbln P. Panggang
P. Pramuka Total
Jumlah Pendapatan
2.000.000 0.00
3.70 1.79
1.000.000-2.000.000 48.28
29.63 39.29
500.000 - 1.000.000 34.48
55.56 44.64
500.000 17.24
11.11 14.29
Total 100.00
100.00 100.00
Sifat Pendapatan tetap, setiap bulan
6.90 0.00
3.57 tidak tetap, setiap musim
62.07 37.04
50.00 harian
31.03 62.96
46.43
Total 100.00
100.00 100.00
Sumber : Data Primer
Tabel 50 menunjukkan bahwa mayoritas penduduk di Kelurahan P. Panggang mempunyai pendapatan antara Rp 500.000-Rp 1 juta 44,64. Masih
ada 14,29 yang berpenghasilan Rp 500.000 dan hanya 1,79 yang mempunyai penghasilan Rp 2 juta.
Sebanyak 48,38 responden di P. Panggang mempunyai pendapatan pada kisaran Rp 1-2 juta, 34,48 pada kisaran Rp 500.000 – 1.000.000 dan 17.24
mempunyai pendapatan di bawah Rp 500.000,-. Sedangkan responden di P. Pramuka menunjukkan bahwa sebanyak 3.70 mempunyai pendapatan Rp
2.000.000,-. Mayoritas responden pendapatannya berada pada kisaran Rp 500.000 – 1.000.000,- yaitu sebanyak 55,56 dan masih ada sebanyak 11.11
yang pendapatannya Rp 500.000. Data ini menggambarkan bahwa proporsi masyarakat miskin lebih banyak
di P. Panggang dibandingkan P. Pramuka. Begitu juga, proporsi orang kaya atau cukup kaya lebih banyak di P. Pramuka. Fakta ini dapat diterima mengingat
kondisi perumahan maupun luas rumah rata-rata lebih besar di P. Pramuka dibanding P. Panggang.
Pendapatan yang diterima oleh responden di P. Panggang 62,07 bersifat tidak tetap dan sangat bergantung dari musim. Sedangkan sifat pendapatan
terbesar yang dihasilkan responden di P. Pramuka 62,96 bersifat harian. Data pendapatan yang diterima masyarakat P. Panggang maupun P. Pramuka
sebetulnya lebih banyak bersifat tidak tetap karena mayoritas penduduk menggantungkan hidupnya dari hasil laut dengan berprofesi sebagai nelayan,
pembudidaya, pedagang dan pengolah. Hanya sedikit dari anggota masyarakat yang berprofesi di luar perikanan. Kegiatan perikanan sangat tergantung dari
kondisi musim, faktor alam, ketersediaan sumberdaya ikan yang setiap saat berubah-ubah. Pendapatan nelayan terkadang mencapai lebih dari Rp 2.000.000,-
hr, namun tidak jarang jika musim paceklik datang, bukan hasil untung yang didapat tetapi seringkali mengalami kerugian.
Tingkat pendapatan yang tidak menentu ini menyebabkan masyarakat susah mengatur pola hidup dan pengelolaan keuangannya. Sifat sumberdaya ikan
yang tidak terukur, kondisi musim yang semakin tidak menentu, menjadikan nelayan sulit dalam mengatur keuangan dan pada gilirannya sering terjebak pada
praktek patron-klien. Praktek patron-klien terjadi pada aspek permodalan dan biasanya terjadi antara nelayan dengan tengkulak. Tengkulak menjadi patron
yang meminjamkan modal dan sarana penangkapan, sedangkan nelayan biasanya menjadi klien yang biasanya sebagai buruh. Pola hubungan ini saling
ketergantungan khususnya dari nelayan ke tengkulak sebagai patron. Namun dalam prakteknya pola hubungan ini cenderung lebih banyak merugikan bagi
nelayan buruhnelayan kecil klien. Konsekwensi dari hubungan ini biasanya nelayan harus menjual hasil tangkapan ke tengkulak yang biasanya diperankan
oleh nelayan atau pedagang besar. Selain itu kenaikan BBM, modernisasi perikanan, ketidaktegasan pemerintah dalam melarang dan menangkap pengguna
alat-alat tangkap terlarang yang menyebabkan rendahnya penghasilan nelayan tradisional khususnya menjadi penyebab-penyebab lain dari kemiskinan struktural
nelayan. Tabel 51 secara umum menunjukkan persentase tingkat kesejahteraan masyarakat pesisir P. Panggang dan P. Pramuka menurut tingkat pendapatannya.
Tabel 51 Persentase Umum Menurut Tingkat Pendapatan Pendapatan Pendapatan
Sifat pendapatan
Cukup-Kaya 1.8
3.6 Miskin-Cukup
39.3 50.0
Sangat miskin-Miskin 58.9
46.4
Golongan masyarakat yang mempunyai pendapatan Rp 500.000 – Rp 1.000.000 masuk dalam kategori sangat miskin-miskin. Kriteria miskin-cukup
adalah golongan masyarakat yang mempunyai pendapatan Rp 1.000.000 – Rp 2.000.000. Sedangkan pendapatan di atas Rp 2.000.000 dimasukkan dalam
kategori cukup-kaya. Demikian halnya pada sifat pendapatan yang harian masuk dalam kategori harian, sifat pendapatan yang tidak tetapmusiman masuk dalam
kategori miskin-cukup. Sedangkan yang sifat pendapatannya tetap dan bulanan masuk dalam kategori cukup-kaya.
Kepemilikan Aset
Kesejahteraan seseorang juga ditentukan oleh tingkat kepemilikan aset yang dimiliki. Semakin banyak aset yang dimiliki menunjukkan kemampuan
membeli barang juga tinggi, berarti juga pendapatannya juga tinggi. Semakin banyak aset yang dimiliki seseorang semakin menunjukkan tingkat kesejahteraan
dari sisi materiil seseorang. Kepemilikan aset dalam survey dibedakan menjadi aset responden dan aset perikanan. Aset perikanan berupa alat produksi untuk
melakukan usaha perikanan.
Tabel 52 Persentase Responden Menurut Kepemilikan Aset
Aset P. Panggang
P. Pramuka Total
TVDVD 96.55
85.19 91.07
TapeRadio 58.62
70.37 64.29
Kursi Tamu 48.28
33.33 41.07
Kulkas 44.83
37.04 41.07
HP 37.93
70.37 53.57
Sepeda Pancal 34.48
48.15 41.07
Alat elektronik lain 20.69
62.96 41.07
Tanah 10.34
11.11 10.71
Mesin Jahit 6.90
7.41 7.14
Sepeda Motor 3.45
11.11 7.14
Mesin Cuci 3.45
7.41 5.36
Lainnya 20.69
14.81 17.86
Sumber : Data Primer
Tabel 52 menunjukkan bahwa aset yang paling banyak dimiliki dan hampir dimiliki oleh seluruh responden di P. Panggang adalah televisi yaitu
sebanyak 96,55. Aset terbanyak kedua adalah taperadio 58,62, kursi tamu 48,28, kulkas 44,83, dan selanjutnya berturut-turut HP 37,93, sepeda
pancal, alat elektronik lain, tanah, mesin jahir, sepeda motor dan mesin cuci. Bagi masyarakat P. Panggang TV dan DVD bukan merupakan barang mewah lagi dan
bahkan bisa jadi sudah menjadi barang pokok. Demikian halnya dengan responden di P. Pramuka, aset terbanyak yang
dimiliki masyarakat adalah TVDVD sebanyak 85,19. Aset kedua terbanyak yaitu taperadio dan HP masing-masing 70,37, alat elektronik lain 62,96,
sepeda pancal 48,15, kulkas 37,04 dan kursi tamu 33,33. Aset lainnya seperti tanah, mesin cuci dan sepeda motor juga banyak dimiliki oleh responden di
P. Pramuka. Dari sisi kepemilikan aset, khususnya jika dilihat aset-aset yang bernilai
tinggi seperti tanah, sepeda motor, mesin cuci dan mesin jahit, menunjukkan bahwa responden di P. Pramuka lebih sejahtera dibandingkan di P. Panggang.
Setidaknya untuk memiliki aset yang bernilai mahaltinggi tentunya dibutuhkan uang yang cukup besar. Ketersediaan modaluang yang besar bisa disebabkan
karena adanya pendapatan yang besar.
Tabel 53 Persentase Responden Menurut Kepemilikan Aset Perikanan
Sarana Perikanan P. Panggang
P. Pramuka Total
Perahu 67.86
81.82 74.00
Mesin 39.29
36.36 38.00
Keranjang 32.14
18.18 26.00
Jaring 28.57
27.27 28.00
Keramba 21.43
22.73 22.00
Pengolah 7.14
9.09 8.00
Lainnya 17.86
22.73 20.00
Sumber : Data Primer
Tabel 53 menunjukkan bahwa aset perikanan yang paling dimiliki oleh responden di P. Panggang adalah perahu dengan persentase sebesar 68. Aset
perikanan berikutnya adalah mesin 39, keranjang 32, jaring 29, keramba 21 dan alat pengolahan ikan 7. Sedangkan aset perikanan yang
paling banyak dimiliki responden di P. Pramuka juga perahu dengan jumlah 81,82 responden. Aset berikutnya adalah mesin tangkap 36,36, jaring
27,27, keramba 22,73, keranjang 18,18 dan alat pengolah ikan 9,09.
Data ini menggambarkan kondisi ril masyarakat dengan mata pencaharian utama responden di P. Panggang dan P. Pramuka sebagai nelayan tangkap. Jenis
usaha perikanan tangkap yang banyak dilakukan masyarakat adalah masih bersifat tradisional dan didominasi oleh perahu-perahu kecil dengan jelajah yang tidak
jauh. Profesi perikanan lainnya adalah pembudidaya ikan, pedagang dan pengolah hasil perikanan. Profesi pedagang atau pengolahan biasanya dilakukan oleh para
isteri dan anak-anak. Optimalisasi peran anggota keluarga merupakan bentuk strategi bertahan keluarga nelayan.
Selain pekerjaan utama baik itu sebagai nelayan, pembudidaya,
pedagang dan pengolah hasil perikanan, masyarakat mempunyai pekerjaan sampingan untuk menghidupi kebutuhan keluarganya. Tabel 54 menunjukkan
sebanyak 67,86 responden di P. Panggang mempunyai pekerjaan sampingan dan 32,14 yang tidak punya pekerjaan sampingan. Sedangkan di P. Pramuka
lebih banyak yang tidak mempunyai pekerjaan sampingan 51,5 dan sebanyak 48,15 mengaku mempunyai pekerjaan sampingan.
Tabel 54 Persentase Responden Menurut Ada Tidaknya Pekerjaan Sampingan
Pekerjaan sampingan P. Panggang
P. Pramuka Total
Pekerjaan sampingan ada pekerjaan sampingan
67.86 48.15
58.18 tidak ada
32.14 51.85
41.82
Total 100.00
100.00 100.00
Jenis pekerjaan musiman
50.00 48.15
48.48 bulanan
5.00 51.85
3.03 harian
45.00 48.48
Total 100.00
100.00 100.00
Sumber : Data Primer
Jenis pekerjaan sampingan yang banyak dilakukan responden di P. Panggang mayoritas bersifat musiman 50, harian 45 dan bulanan sebanyak
5. Sedangkan responden di P. Pramuka menyatakan bahwa 48,15 pekerjaan sampingan bersifat musiman dan 51,85 bersifat bulanan. Pekerjaan sampingan
lebih banyak bersifat musiman khususnya di saat musim paceklikmusim sedikit ikan dialami nelayan yaitu saat musim angin barat sekitar bulan Oktober-Januari.
Saat musim barat, laut berangin kencang sehingga nelayan biasanya jarang melaut. Untuk menutupi kebutuhan hidup masyarakat biasa bekerja sampingan.
Beberapa jenis pekerjaan sampingan yang banyak dilakukan masyarakat di P. Panggang maupun P. Pramuka 56 masih berkaitan dengan usaha perikanan
dan sisanya sebanyak 44 di luar usaha perikanan. Jenis pekerjaan sampingan dari usaha perikanan yang biasa dilakukan antara lain : bubu ikan, budidaya
kerapu, pancing ikan hias, mancing, pengolah krupuk dan pedagang ikan hias. Usaha sampingan dari jenis perikanan ini biasa dilakukan oleh masyarakat yang
profesi aslinya masih di bidang perikanan seperti nelayan tangkap, usaha sampingannya ada yang budidaya kerapu, pengolah kerupuk dan pedagang ikan.
Sedangkan usaha non perikanan yang biasa dijadikan sebagai pekerjaan sampingan antara lain seperti perbengkelan, warung sembakokelontongan, buruh
bangunan, kuli panggul, tukang, rongsokan, MC dan honor kelurahan. Pekerjaan sampingan ini merupakan bentuk adaptasi dari masyarakat pesisir dalam
mempertahankan hidup. Biasanya untuk melakukan itu, para suami memberdayakan seluruh anggota keluarga. Para isteri biasanya melakukan
pekerjaan seperti berdagang, warung sembako, nyuci, dan pengolahan hasil perikanan. Persentase umum tingkat kesejahteraan berdasarkan pekerjaan dapat
dilihat pada Tabel 55 berikut.
Tabel 55 Persentase Umum Berdasarkan Pekerjaan Pekerjaan
Pekerjaan Sampingan Jenis Pekerjaan
Cukup-Kaya 3.0
Miskin-Cukup 58.2
48.5 Sangat miskin-Miskin
41.8 48.5
Tingkat kesejahteraan masyarakat pesisir P. Panggang dan P. Pramuka diklasifikasikan secara umum berdasarkan kondisi perumahan, pendidikan,
kesehatan, pendapatan, pekerjaan dan kepemilikan aset dalam 3 klasifikasi utama. Klasifikasi yang dimaksud adalah : 1 kategori sangat miskin-miskin ; 2 miskin-
cukup ; 3 cukup-kaya. Secara umum hasil perhitungan total tingkat
kesejahteraan masyarakat pesisir P. Panggang dan P. Pramuka dapat dilihat pada Tabel 56 berikut.
Tabel 56 Persentase Total Responden Menurut Perumahan, Pendidikan, Kesehatan,
Pendapatan, Pekerjaan
Uraian perumahan Pendidikan Kesehatan
Pendapata n
Pekerjaan TOTAL
Cukup-Kaya
58.5 7.2
19.1 2.7
1.5
17.8
Miskin-Cukup
17.5 19.5
43.3 44.6
53.3 35.6
Sangat Miskin-Miskin
24.0 73.3
37.6 52.7
45.2 46.6
Dari tabel 56 terlihat bahwa ditinjau dari aspek perumahan, pendidikan, kesehatan, pendapatan dan pekerjaan sebanyak 46,6 rumah tangga di Kelurahan
P. Panggang masih berada dalam kondisi sangat miskin-miskin, 35,6 berada alam kondisi miskin-cukup dan 17,8 berada dalam kondisi cukup-kaya. Data
ini juga bisa menggambarkan bahwa 82,2 dapat dikatakan bahwa rumah tangga Kelurahan P. Panggang berada dalam kondisi sangat miskin-cukup. Data ini
cukup relevan jika dibandingkan dengan data kemiskinan regional. Sedangkan untuk masyarakat yang masuk dalam kategori kaya sebanyak 17,8. Hal ini
sejalan dengan persepsi masyarakat yang mengatakan bahwa jumlah masyarakat yang betul-betul dikatakan kaya tidak lebih dari 15. Ukuran kekayaan di
Kelurahan P. Panggang diindikasikan oleh beberapa contoh kepemilikan seperti pemilik kapal tangkap payang, mouroami, kapal transportasi, pedagang besar,
pemilik warung dan PNS.
Lingkungan Kontekstual Alam, Ekonomi, Sosial, Politik
Kemiskinan merupakan kondisi dimana banyak mengalami kekurangan. Kemiskinan dapat disebabkan karena kurangnya penghasilan, tidak terpenuhinya
pangan dan sandang serta ketiadaan tempat tinggal. Namun, kemiskinan dapat juga bersifat subjektif yang mungkin disebabkan karena perasaan kekurangan,
kerentanan, keterkucilan, alienasi, menderita atau perasaan tidak enak lainnya. Kemiskinan dapat juga disebabkan karena kurangnya sarana, kemampuan,
kebebasan dan pilihan untuk masa depan yang lebih baik. Dibutuhkan lingkungan pendukung untuk keluar dari kemiskinan agar masyarakat tidak terjebak dalam
kemiskinan kronis. Program pengentasan kemiskinan seringkali hanya menyelesaikan permasalahan kebutuhan dasar dalam waktu sementara dengan
memberikan bantuan yang kebanyakan bersifat charity. Meskipun program tersebut dapat dijalankan, seringkali masyarakat miskin bukan hanya tetap miskin
karena ketiadaan modal dan alat produksi tetapi juga sering terjebak kepada kegagapan dalam mengoperasikan alat produksi dan tidak mengetahui cara
mengelola modal. Kondisi ini sering menyebabkan masyarakat miskin terjebak kepada kemiskinan kronis.
Lingkungan pendukung secara kontekstual dibutuhkan sebagai sarana untuk keluar dari kemiskinan kronis. Mengacu pada penelitian Cifor 2007
bahwa lingkungan kontekstual ini terdiri dari empat lingkungan antara lain lingkungan alam, sosial, ekonomi, dan politik. Lingkungan alam mencakup
ketersediaan dan kualitas sumber daya alam. Lingkungan ekonomi mencakup kesempatan ekonomi dan jaringan pengaman. Aspek-aspek seperti kapital dan
kohesi sosial, saling percaya dan konflik sosial, merupakan bagian dari lingkup lingkungan sosial. Lingkungan politik terdiri dari hak dan partisipasi atau
representasi dalam pengambilan keputusan, pemberdayaan dan kebebasan. Konteks yang lain yang mempengaruhi ke empat konteks tersebut adalah
prasarana dan pelayanan. Keduanya biasanya disediakan oleh pemerintah, LSM, proyek pembangunan dan sektor swasta. Konteks-konteks ini merupakan
lingkungan pendukung yang mendukung upaya-upaya inisiatif sendiri untuk keluar dari kemiskinan.
Lingkungan Alam
Kajian terhadap lingkungan alam meliputi tingkat kerusakan ekosistem pesisir dan lingkungannya serta penyebab kerusakan. Kategori lingkungan alam
meliputi porsi kerusakan ekosistem, intensitas kerusakan dan ekosistem yang dirusak. Sedangkan kerusakan lingkungan pesisir dan laut meliputi penggunaan
potasium yang menyebabkan terjadinya kerusakan, kualitas perairan dan aktivitas perikanan yang menyebabkan habisnya sumberdaya ikan.
Tabel 57 menyatakan bahwa 50.91 kerusakan ekosistem mencapai setengah dari total luas ekosistem yang ada dan 21.82 lebih dari setengah
kerusakan yang diderita oleh ekosistem pesisir. Kenyataan ini sejalan dengan pernyataan responden P. Panggang dan P. Pramuka.
Tabel 57 Persentase Kerusakan Ekosistem di Kelurahan Pulau Panggang
Kerusakan Ekosistem P. Panggang P. Pramuka
Total Porsi kerusakan ekosistem
lebih dari setengah
32.14 11.11
21.82
setengah
42.86 59.26
50.91
kurang dari setengah
17.86 14.81
16.36
saya tidak tahu
7.14 14.81
10.91
Total
100.00 100.00
100.00
Intensitas kerusakan sering terjadi
20.69 4.60
11.03
Tidak pernahjarang terjadi
79.31 95.40
88.97
Total
100.00 100.00
100.00
Sumber : Data Primer
Masing-masing responden di P. Panggang dan P. Pramuka menyatakan bahwa sebanyak 42,86 dan 59,29 kerusakan ekosistem khususnya terumbu
karang mencapai setengah dari luas yang ada, 32,14 dan 11,11 bahkan mengatakan lebih dari setengah. Menurut pengakuan responden di kedua pulau
tersebut, saat ini intensitas kerusakan dalam 1 tahun terakhir berkurang dan jarang terjadi. Setidaknya sebanyak 88,97 responden di kedua pulau tersebut
menyatakan hal itu. Hanya 11,03 yang menyatakan masih sering terjadi kerusakan ekosistem.
Ekosistem yang banyak mengalami kerusakan adalah terumbu karang. Sebanyak 56,25 responden di kedua pulau tersebut menyatakan bahwa
ekosistem yang mengalami kerusakan terparah adalah terumbu karang. Kenyataan ini diperkuat oleh 58,33 dan 50 responden di P. Panggang dan P.
Pramuka yang menyatakan bahwa ekosistem yang menjadi tumpuan nelayan tradisional ini mengalami kerusakan yang parah.
Kerusakan lainnya terjadi pada ekosistem lamun yang berasosiasi dengan terumbu karang. Mangrove tidak banyak mengalami kerusakan, karena kondisi
mangrove masih berupa anakan dan bibit. Sedangkan kerusakan pantai yang
terjadi seperti pengerukan pasir pantai dan pembuangan limbahsampah responden yang menimbulkan penimbunan di pinggir pantai.
Alasan rendahnya kualitas sumber daya dan lingkungan pesisir dan laut Banyak faktor yang menyebabkan kerusakan lingkungan pesisir dan laut
antara lain seperti penggunaan potasium, penangkapan ikan berlebih dan memburuknya kualitas perairan. Tabel 58 menunjukkan bahwa 48,15
responden di P. Panggang dan P. Pramuka tidak pernah melihat ataupun menggunakan potasium dalam kegiatan penangkapan. Minimnya penggunaan
potasium tersebut diakui oleh 42,86 responden di P. Panggang dan 53,85 P. Pramuka. Namun sebanyak 17,86 responden P. Panggang menyatakan bahwa
nelayan menggunakan potasium dalam melakukan usaha penangkapan. Penurunan penggunaan potasium dalam penangkapan ikan khususnya ikan
hias menunjukkan semakin meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap kelestarian ekosistem dan lingkungan laut. Penurunan penggunaan potasium bisa
juga disebabkan karena ekosistem terumbu karang yang mengalami kerusakan sangat tinggi sehingga ketersediaan sumberdaya ikan juga makin turun dan
menipis. Akibatnya nelayan tidak lagi menggunakan potasium dalam menangkap.
Tabel 58 Persentase Kerusakan Lingkungan Pesisir Lainnya
Kerusakan Lingkungan Pesisir P. Panggang P. Pramuka
Total Penggunaan potasium
pernah terjadi
17.86 9.26
tidak pernah
42.86 53.85
48.15
pernah, tapi sudah lama sekali
39.29 46.15
42.59
Total
100.00 100.00
100.00
Sumberdaya ikan sampai habis pernah terjadi
3.45 1.79
tidak pernah
68.97 81.48
75.00
tidak tahu
27.59 18.52
23.21
Total
100.00 100.00
100.00
Kualitas Perairan buruk
24.14 22.22
23.21
sedang
41.38 51.85
46.43
baik
34.48 25.93
30.36
Total
100.00 100.00
100.00
Sumber : Data Primer
Penyebab kerusakan lainnya disebabkan karena penangkapan ikan berlebih sampai mencapai kondisi kritis bagi ketersediaan sumber daya ikan. Sebanyak
75 responden di P. Panggang dan P. Pramuka menyatakan bahwa kegiatan penangkapan yang menyebabkan sumber daya ikan menurun tidak pernah terjadi.
Hal tersebut diakui oleh masing-masing 68,97 dan 81,48 responden di P. Panggang dan P. Pramuka. Namun, masyarakat juga menyatakan bahwa hasil
tangkapan mereka semakin hari semakin berkurang. Maraknya operasi kapal- kapal purse seine, arad, dogol dan kapal-kapal dengan teknologi canggih dituding
sebagai penyebab penurunan tersebut. Mayoritas responden di kedua pulau menyatakan kualitas perairan berada
dalam kondisi ”sedangcukup tercemar”. Sebanyak 41,38 responden di P. Panggang menyatakan bahwa kualitas perairan masih aman dan belum tercemar.
Hanya 24,14 menyatakan kualitas perairan di P. Panggang khususnya dan Kepulauan Seribu umumnya dalam kondisi buruk dan 34,48 menyatakan
kualitas perairannya dalam kondisi baik. Hasil yang tidak jauh berbeda dinyatakan oleh responden di P. Pramuka. Sebanyak 46,43 responden
menyatakan kualitas perairan dalam kondisi sedang, 25,93 menyatakan baik dan 22,22 menyatakan buruk. Responden di kedua pulau di Kelurahan P. Panggang
secara umum menyatakan bahwa kualitas perairan dalam kondisi ”sedang-baik”. Perubahan kualitas perairan di perairan Kelurahan P. Panggang disebabkan
karena masih adanya pembuangan limbah ke laut seperti limbah industri dan rumah tangga. Sedangkan kawasan perairan Teluk Jakarta dan Kepulauan Seribu
yang dekat dengan Jakarta, kualitas perairannya dalam kondisi buruk. Tingginya volume limbah industri dan rumah tangga di perairan Teluk Jakarta menyebabkan
buruknya kualitas perairan. Limbah industri berbahaya seperti logam berat, bahan-bahan kimia beracun dan air buangan dari kawasan pertambangan di
Kepulauan Seribu menjadi faktor yang mengancam kualitas perairan di Kepulauan Seribu.
Beberapa kecenderungan umum Beberapa kecenderungan umum yang menyebabkan lingkungan pesisir
dan laut menurun antara lain :
• Kualitas ekosistem pesisir dan laut menurun ; kerusakan terumbu karang, akibat penangkapan ikan dengan alat tangkap terlarang potasium,
pengambilan ikan hias yang tidak diikuti dengan rehabilitasi terumbu karang, kerusakan lamun akibat kerusakan terumbu karang dan ekosistem
pantai lainnya menyebabkan berkurangnya kualitas ekosistem pesisir dan laut. Aktivitas budidaya terumbu karang yang sejatinya diprioritaskan
untuk rehabilitasi terumbu karang, justru lebih berorientasi pada perdagangan karang. Akibatnya, penutupan terumbu karang sebagai
parameter kualitas ekosistem pesisir berada dalam kategori buruk-sedang. • Eksploitasi sumber daya pesisir dan laut secara berlebihan; Aktivitas
penangkapan diluar batas potensi lestari, penggunaan alat tangkap tidak ramah lingkungan, tidak adanya kuota hasil tangkapan dan selektifitas
dalam menangkap ikan, intensitas yang tinggi dalam menangkap, menjadikan kualitas sumberdaya pesisir menurun.
• Akses terhadap sumberdaya pesisir dan laut semakin terjangkau; Aksesibilitas meningkat baik secara fisik teknologi, jalur transportasi,
pasar dan permodalan maupun kelembagaan birokrasi perijinan, pengakuan atas hak milik oleh UU. Akses terhadap sumber daya semakin
terbuka, ekploitasi semakin intensif, dapat juga mengakibatkan perubahan kualitas lingkungan pesisir dan laut.
Tabel 59 menyajikan persentase umum lingkungan alam yang mempengaruhi kualitas sumber daya pesisir dan laut.
Tabel 59 Persentase Umum Kondisi Lingkungan Alam
Lingkungan alam Kerusakan
penggunaan sumber daya
kualitas ekosistem
potasium habis
perairan Baik
- 48.15
75.00 30.36
Sedang
52.70 9.26
25.00 46.43
BurukKritis 47.30
42.6 -
23.21
Tabel 59 menjelaskan bahwa tingkat kerusakan ekosistem 52,7 berada dalam kondisi sedang dan 47,3 buruk. Penggunaan potasium juga mulai
berkurang namun masih ada pemakaian, terbukti sebanyak 42,6 masih menggunakan potasium. Akibat pemanfaatan yang cenderung destruktif,
sebanyak 25 SDA berada dalam kondisi cukup dan 75 menurut persepsi masyarakat masih baik. Sedangkan persepsi terhadap kualitas perairan menurut
masyarakat lebih dominan berada dalam kualitas sedang 46,43.
Lingkungan ekonomi
Masyarakat pesisir P. Panggang dan P. Pramuka menjalankan beragam usaha di bidang perikanan sebagai sumber pengahasilan. Kondisi geografis pulau
kecil membuat ketergantungan yang tinggi dari masyarakat pesisir di P. Panggang dan P. Pramuka terhadap sumberdaya laut. Tidak mengherankan jika mayoritas
penduduknya mempunyai mata pencaharian sebagai nelayan dan profesi bidang perikanan lainnya seperti pembudidaya ikan, pedagang dan pengolah hasil
perikanan serta pembuat perahu. Tabel 60 menggambarkan bahwa sumber penghasilan utama masyarakat di
P. Panggang dan Pramuka berkaitan dari usaha perikanan. Sebanyak 60 responden P. Panggang menyatakan bahwa sumber penghasilan utama mereka
adalah menangkap ikan karang, 30 sebagai pengolah hasil perikanan, 23,33 sebagai pembudidaya ikan kerapu dan ikan karang, 23,33 sebagai pedagang
ikan.
Tabel 60 Persentase Responden Menurut Sumber Pendapatan yang Paling Penting
Sumber pendapatan P. Panggang P. Pramuka
Total
Nelayan ikan karang 60.00
44.44 52.63
Penangkapan ikan hias 13.33
0.00 7.02
Berdagang ikan 23.33
48.15 35.09
Berdagang klontongan 6.67
29.63 17.54
Buruh bangunan 3.33
3.70 3.51
Bengkel 3.33
0.00 1.75
Penjual karang 6.67
0.00 3.51
Budidaya ikankarang 23.33
7.41 15.79
Pengolahan ikan 30.00
40.74 35.09
Buruh kapal 6.67
37.04 21.05
Lainnya 16.67
11.11 14.04
Sumber : Data Primer
Data yang tidak jauh berbeda ditunjukkan oleh responden di P. Pramuka. Sebanyak 44,44 merupakn nelayan ikan karang, 48,15 pedagang ikan, 40,74
berprofesi sebagai pengolah hasil perikanan dan 7,41 sebagai pembudidaya ikan. Dapat dikatakan bahwa 72 mata pencaharian penduduk P. Panggang dan
Pramuka berkaitan dengan perikanan dan menunjukkan tingginya ketergantungan terhadap sumber daya pesisir dan laut.
Tabel 61 Persentase Responden Menurut Kebiasaan Menabung
Tabungan P. Panggang P. Pramuka
Total Kepemilikan Tabungan
memiliki tabungan 56.67
48.15 52.63
tidak memiliki 43.33
51.85 47.37
Tempat menabung Bank
10.00 23.08
10.53 Perorangan
16.67 38.46
19.30 Celengandi bawah bantal
30.00 38.46
24.56
Sumber : Data Primer
Minimnya budaya menabung merupakan salah satu faktor penyebab kemiskinan nelayan. Namun, Tabel 61 menunjukkan adanya perbaikan dalam
budaya menabung di kalangan masyarakat pesisir Kelurahan P. Panggang. Sebanyak 52,63 responden di kedua pulau sudah memiliki tabungan dan
47,37 tidak memiliki. Kecenderungan budaya menabung lebih tinggi ditunjukkan oleh responden
P. Panggang dibandingkan P. Pramuka. Sebanyak 56,67 responden di P. Panggang memiliki tabungan. Sedangkan responden di P. Pramuka hanya 48,15
yang memiliki tabungan. Celengan masih menjadi pilihan utama sebagai tempat menyimpan uang. Hubungan dengan perbankan dalam simpan pinjam masih
minim di kalangan masyarakat pesisir kedua pulau tersebut. Responden P. Pramuka mempunyai kecenderungan lebih tinggi dalam memilih bank sebagai
tempat menabung 23,08 dibandingkan P. Panggang 10. Keberadaan Bank DKI di P. Pramuka menjadi alasan utama lebih tingginya kecenderungan
menabung di Bank bagi responden P. Pramuka dibanding P. Panggang. Data ini cukup menggembirakan karena menggambarkan adanya
kesadaran yang cukup tinggi untuk menabung. Faktor kedekatan dengan Jakarta sebagai ibu kota yang memiliki banyak sarana perbankan, menjadi pendorong
bagi masyarakat di Kelurahan P. Panggang untuk menabung. Menguatnya
kesadaran untuk menabung ini, sayangnya tidak didukung oleh keberadaan lembaga keuangan mikro yang memadai. Birokrasi dan prasyarat perbankan yang
cukup rumit dan kaku menjadi faktor pembatas bagi masyarakat pesisir untuk berhubungan dengan perbankan.
Tabel 62 Persentase Responden Menurut Tingkat Kesulitan Mendapatkan Makanan Pokok
Tingkat kesulitan P. Panggang
P. Pramuka Total
kadang-kadang tidak bisa beli beras 7.41
12.50 9.80
sulit 40.74
33.33 37.25
kesulitan 33.33
54.17 43.14
kami memiliki persediaan cukup 18.52
0.00 9.80
Total 100.00
100.00 100.00
Sumber : Data Primer
Mengukur tingkat kecukupan ekonomi dilihat juga dari tingkat kesulitan dalam mendapatkan makanan pokok. Kondisi lahan pertanian yang terbatas di P.
Panggang dan P. Pramuka membuat masyarakat di kedua pulau ini tergantung dari pasokan luar untuk memenuhi kebutuhan makanan pokok, khususnya beras.
Masyarakat pesisir lebih sering mengkonsumsi ikan sebagai sumber karbohidrat utama. Tabel 62 menggambarkan bahwa 43,14 menyatakan tidak ada kesulitan
mendapatkan beras dan hanya 9,80 responden yang merasa tidak bisa membeli beras.
Alasan rendahnya lingkungan ekonomi Masyarakat di P. Panggang dan P. Pramuka sangat menggantungkan
hidupnya pada laut dan sumber daya perikanan yang berada di dalamnya. Kerusakan sumber daya pesisir dan laut dapat mengakibatkan kerentanan
lingkungan ekonomi. Minimnya diversifikasi usaha menjadikan ketergantungan tinggi terhadap SDPL sekaligus menjadikan masyarakat pesisir terbelit dalam
kemiskinan. Degradasi sumber daya ikan seperti yang belakangan banyak dikeluhkan oleh nelayan akibat beroperasinya kapal-kapal trawl, menjadi contoh
nyata kerentanan ekonomi masyarakat pesisir.
Beberapa kecenderungan umum • Jumlah sumber penghasilan meningkat ; Mayoritas responden yang
diwawancarai dalam survey mengatakan bahwa mereka memiliki lebih banyak peluang penghasilan baru dibandingkan 5 tahun yang lalu.
Beberapa pekerjaan baru tercipta seiring dengan pembentukan Kepulauan Seribu sebagai Kabupaten baru di wilayah DKI Jakarta. Meskipun
sebagian masyarakat juga mengeluhkan bahwa kondisi ekonomi mereka lebih buruk ketika Kepulauan Seribu menjadi Kabupaten dan tidak jarang
penduduk yang menginginkan kembali kepada kondisi semula yaitu hanya setingkat kelurahan.
• Lingkungan bisnis meningkat ; seiring dengan terbentuknya Kepulauan Seribu sebagai Kabupaten baru, pemerintah daerah bergiat untuk
mempromosikan Pulau Seribu termasuk menjadikannya sebagai kawasan pariwisata bahari. Hal ini mendorong kemunculan investor di bidang
pariwisata. Masuknya jumlah wisatawan yang memanfaatkan keindahan laut, meningkatnya sarana prasarana umum, perkantoran dan semakin
tingginya kebutuhan akan sektor jasa menjadi peluang usaha baru bagi masyarakat Kepulauan Seribu dan Kelurahan P. Panggang khususnya.
• Pengenalan terhadap pasar meningkat ; Meningkatnya alternatif usaha dan bisnis, masuknya investasi dan tingginya lalu lintas perdagangan,
menyebabkan masyarakat lebih intensif mengenal pasar. Keterlibatan yang besar di pasar telah meningkatkan ketergantungan mereka terhadap
pasar dan mengurangi tingkat swasembada terhadap hasil perikanan • Jumlah kredit mikro tersedia ; Kedekatan wilayah dengan DKI Jakarta
yang dipenuhi oleh berbagai sarana perbankan dan lembaga keuangan memberikan berbagai skim permodalan bagi ekonomi mikro. Sektor
perikanan yang selama ini jarang mendapatkan akses perbankan, mulai dilirik oleh perbankan. Ditambah dengan adanya kebijakan pemerintah
melalui program PEMP, dapat memenuhi kebutuhan permodalan usaha masyarakat. Namun, program PEMP belum terasa sampai di Kelurahan P.
Panggang.
• Hilangnya sebagian pendapatan karena korupsi ; Padatnya aktivitas di Kepulauan Seribu terkait dengan perubahan status menjadi Kabupaten
menorong munculnya layanan-layanan baru yang awalnya cuma-cuma, tetapi saat ini harus mengeluarkan uang. Sebagian dari responden juga
mengatakan bahwa anggaran proyek pemerintah yang selama ini berjalan di Kepulauan SeribuKelurahan P. Panggang banyak dikorupsi oleh oknum
tertentu sehingga sarana yang dibangun tidak bisa bertahan lama karena kualitas bangunan yang jelek. Namun sebagian lagi mengatakan bahwa
mereka menerima santunan keluarga yang bisa jadi berasal dari dana korupsi, sehingga terjadilah suatu bentuk distribusi ulang keuangan.
Kecenderungan ini menguat di kalangan masyarakat seiring dengan banyaknya sarana dan prasarana yang dibangun namun tidak bisa
digunakan optimal seperti halnya pembanguna kolam renang di P. Pramuka, rumah sakit, dan sarana lainnya.
Tabel 63 menggambarkan persentase umum lingkungan ekonomi di Kelurahan P. Panggang.
Tabel 63 Persentase Umum Kondisi Lingkungan Ekonomi
Lingkungan ekonomi Tabungan
persediaan beras
Baik 9.8
Sedang 52.6
43.1
BurukKritis 47.4
47.1
Tabel 63 menjelaskan bahwa kebiasaan menabung sudah mulai tumbuh di kalangan masyarakat pesisir Kelurahan P. Panggang 52,6. Namun masih ada
sebanyak 47,4 responden yang enggan untuk menabung. Sedangkan persediaan beras menurut masyarakat sangat kritis. Sebanyak 47,1 responden menyatakan
susah mendapatkan beras, 43,1 cukup mudah mendapatkan beras dan hanya 9,8 responden yang betul-betul merasakan mudah mendapatkan beras dan
menyimpannya sebagai persediaan.
Lingkungan Sosial
Pengamatan terhadap lingkungan sosial meliputi hubungan antar penduduk, keaktifannya dalam organisasi dan aktivitas sosial, serta hubungannya
dengan tengkulak.
Tabel 64 Persentase Responden Menurut Lingkungan Sosial
Lingkungan Sosial P. Panggang P. Pramuka
Total tingkat tolong menolong
sedang 23.33
14.81 19.30
tinggi 76.67
85.19 80.70
Total 100.00
100.00 100.00
rasa saling percaya sedang
27.59 14.81
21.43 tinggi
72.41 85.19
78.57
Total 100.00
100.00 100.00
perselisihan antar warga sering terjadi perselisihan
3.33 1.75
jarang terjadi 43.33
77.78 59.65
tidak pernah terjadi 53.33
22.22 38.60
Total 100.00
100.00 100.00
hubungan dengan tengkulak
berhubungan 36.67
37.04 36.84
kadang-kadang 16.67
25.93 21.05
tidak pernah 46.67
37.04 42.11
Total 100.00
100.00 100.00
Sumber : Data Primer
Tabel 64 menunjukkan bahwa faktor kekerabatan dan persaudaraan masih tinggi di kalangan penduduk P. Panggang maupun P. Pramuka. Sebesar 80,70
responden menyatakan bahwa sikap tolong menolong masih tinggi, begitu juga dengan sikap saling percaya 78,57. Minimnya perselisihan antar warga
semakin memperkuat kohesi sosial di lingkungan masyarakat pesisir kedua pulau tersebut. Sebanyak 59,65 responden menyatakan jarang terjadi perselisihan
antar warga. Pola hubungan dengan tengkulak juga mulai memudar, dibuktikan dengan 42,11 responden yang menyatakan tidak pernah lagi berhubungan
dengan tengkulak. Tingginya sikap tolong menolong ditunjukkan oleh responden di P.
Pramuka 85,19 dan P. Panggang 76,67. Demikian halnya dengan rasa
saling percaya. Masing-masing sebanyak 72,41 dan 85,19 responden di P. Panggang dan P. Pramuka menyatakan bahwa rasa saling percaya masih tinggi.
Tingginya sikap tolong menolong dan saling percaya di antara warga menjadikan perselisihan di antara mereka berkurangrendah. Hal itu terlihat
dalam hasil survey yang menyatakan bahwa 53,33 responden di P. Panggang mengaku tidak pernah terjadi perselisihan warga dan 43,33 mengatakan jarang
terjadi. Kondisi tidak jauh berbeda ditunjukkan oleh responden P. Pramuka 77,87.
Faktor sosial lain yang biasa identik dengan nelayan adalah hubungannya dengan tengkulak, khususnya dalam hal permodalan usaha dan perdagangan.
Hubungan ini yang disebut dengan patron-klien. Dalam hubungan ini tengkulak berprofesi sebagai patron dan nelayan sebagai klien. Patron biasa meminjamkan
modal, memiliki perahu dan peralatan penangkapan. Sedangkan klien biasanya hanya menjadi buruh atau memilihi sebagian dari peralatan. Hubungan tersebut
menjadikan nelayan tergantung dari tengkulak karena hasil tangkapannya harus dijual kepada tengkulak sebagai akibat keberhutangannya dalam permodalan dan
kebutuhan hidup lainnya. Hasil survey menunjukkan bahwa responden di P. Pramuka lebih sering berhubungan dengan tengkulan dibanding responden P.
Panggang. Sebanyak 36,67 dan 37,04 responden P. Panggang dan P. Pramuka menyatakan masih berhubungan dengan tengkulak.
Data ini menunjukkan bahwa masih terdapat ketergantungan terhadap tengkulak di Kelurahan P. Panggang namun intensitasnya makin berkurang dan
mengecil. Mayoritas responden baik di P. Panggang maupun di P. Pramuka mengatakan bahwa mereka berhubungan dengan tengkulak dalam hal permodalan
dan penjualan hasil tangkapan. Hal ini hampir berlaku umum di banyak lingkungan nelayan di berbagai daerah. Pola yang diterapkan biasanya adalah
tengkulak memberikan modal usaha, nelayan yang diberikan pinjaman modal harus menjual hasil tangkapan ke tengkulak. Pola jual beli hasil perikanan terjadi
baik pada penjualan ikan karang, rumput laut dan hasil perikanan lain. Karekteristik sosial lain yang dapat menjadi indikator perubahan
lingkungan sosial di masyarakat adalah keaktifannya dalam organisasi sosial dan kegiatan sosial. Tingkat keaktifan di organisasi sosial keagamaan ditunjukkan
oleh masyarakat P. Panggang, terbukti dengan adanya sekitar 63,33 responden menyatakan aktif dalam kegiatan sosial keagamaan dan 30 diantaranya
menyatakan jarang. Sedangkan responden di P. Pramuka sekitar 40,74 menyatakan aktif dan lebih banyak yang jarang aktif yaitu sebanyak 59,26.
Selain organisasi keagamaan, mereka juga terlibat dalam oragnisasi-organisasi lain seperti karang taruna, paguyuban nelayan ikan hias, organisasi nelayan dan
organisasi masyarakat lainnya. Sebanyak 55,17 responden di P. Panggang menyatakan jarang-aktif dalam organisasi dan hanya 44,83 yang tidak pernah
aktif. Sedangkan di P. Pramuka tingkat keaktifan dalam organisasi non keagamaan ini cukup tinggi yaitu sekitar 85.18. Tingkat keaktifan memberikan
sumbangan juga cukup tinggi. Tabel 65 di bawah menggambarkan kondisi keaktifan responden di P. Panggang dan P. Pramuka dalam kegiatan sosial.
Tabel 65 Responden Menurut Keaktifannya dalam Kegiatan Sosial
Kegiatan Sosial P. Panggang P. Pramuka
Total Kegiatan Sosial keagamaan
aktif dalam kegiatan sosial 63.33
40.74 52.63
jarang 30.00
59.26 43.86
tidak pernah 6.67
3.51
Total 100.00
100.00 100.00
memberi sumbangan pernah memberi sumbangan
48.28 25.93
37.50 jarang
51.72 74.07
62.50
Total 100.00
100.00 100.00
aktif berorganisasi pernahsedang aktif berorganisasi
31.03 22.22
26.79 jarang
24.14 62.96
42.86 tidak pernah
44.83 14.81
30.36
Total 100.00
100.00 100.00
Sumber : Data Primer
Beberapa kecenderungan umum • Konflik pemanfaatan sumber daya alam ; konflik biasanya terjadi terkait
dengan sumber daya yang sebelumnya bebas diakses sebagai milik bersama tetapi sekarang menjadi komoditas seperti ekosistem terumbu
karang. Lingkungan sosial dan lingkungan alam berkorelasi positif. Semakin terdegradasi lingkungan alam, tingkat kohesi sosial semakin
rendah dan potensi konflik cukup besar. Hal ini cukup wajar, mengingat banyak konflik yang dipicu sumber daya alam terjadi di kawasan dengan
lingkungan alam yang kritis. • Gotong royong untuk kepentingan umum mulai menurun; Meskipun dalam
hasil survey menunjukkan bahwa tingkat tolong menolong dan saling percaya masih tinggi di P. Panggang dan Pramuka, tetapi masyarakat
merasa sulit menggalang tindakan bersama tanpa imbal-imbal materiupah. Kondisi ini bisa jadi dipicu oleh semakin tinggi tingkat kebutuhan
masyarakat dan pola hidup konsumtif yang dipengaruhi oleh kondisi di ibu kota Jakarta.
Tabel 66 menggambarkan persentase umum tingkat kesejahteraan berdasarkan lingkungan sosial. Secara umum, lingkungan sosial berada dalam
kategori baik. Kohesi sosial relatif tinggi terutama dalam keluarga besar. Homogenitas kondisi masyarakat membuat tingkat kohesi sosial cukup tinggi.
Hal itu juga ditandai dengan minimnya konflik sosial antar warga dan sikap tolong meolong dan saling percaya antar warga yang masih tinggi.
Tabel 66 Persentase Umum Kondisi Lingkungan Sosial
Lingkungan sosial tolong
perselisihan hubungan dgn aktif dalam organisasi
menolong antar warga
tengkulak dan kegiatan sosial
Baik
79.6 38.6
42.1 26.5
Sedang
20.4 59.6
21.1 41.4
BurukKritis
1.8 36.8
32.1
Tabel 66 menunjukkan bahwa tingkat tolong menolong di kalangan masyarakat masih tinggi 79,6. Perselisihan masih ada, namun tidak terlampau
sering bahkan masyarakat yang menyatakan sering terjadi konflik hanya 1,8. Hubungan dengan tengkulak yang biasa terjadi di kalangan masyarakat pesisir
terlihat masih tinggi 42,1. Rata-rata masyarakat cukup aktif di dalam organisasi dan kegiatan sosial khususnya dalam kelompok-kelompok pengajian.
Lingkungan Politik dan Akses Informasi
Penelitian terhadap lingkungan politik lebih meliputi intensitas konflik, pemicunya serta ketersediaan akses informasi bagi masyarakat.
Pemanfaatan sumberdaya pasisir dan laut berpotensi besar menyebabkan konflik antar warga. Sebanyak 90 responden di kedua pulau menyatakan bahwa
pemicu konflik adalah nelayan lain dari Kepulauan Seribu. Sedangkan 45 disebabkan oleh masyarakat pulau lain yang berada di P. Panggang atau P.
Pramuka. Keberadaan nelayan lain yang beroperasi di wilayah penangkapan
masyarakat pesisir P. Panggang dan P. Pramuka berpotensi menyebabkan terjadinya konflik sosial. Beroperasinya kapal-kapal dengan alat tangkap arat,
purse seine dan dogol menyebabkan penurunan jumlah produksi ikan. Nelayan- nelayan tersebut kebanyakan berasal dari Jakarta, Indramayu dan Banten yang
mendaratkan ikannya di Jakarta.
Tabel 67 Persentase Responden Menurut Lingkungan Politik dan Akses Informasi
Lingkungan politik dan akses informasi P. Panggang
P. Pramuka Total
Pemicu konflik pemanfaatan SDPL Masyarakat pulau lain di Kep.seribu
63.16 28.57
45.00 Nelayan lain dari Kep. Seribu
84.21 95.24
90.00 LSM
31.58 19.05
25.00 Pihak Taman Nasional Laut
31.58 14.29
22.50
Akses Informasi tidak bisa
0.00 7.41
3.57 bisa mengakses
79.31 81.48
80.36 akses lebih dari satu sumber beritainfo
20.69 11.11
16.07 Sumber : Data Primer
Operasi kapal-kapal tersebut telah memasuki wilayah penangkapan tradisional yang selama ini menjadi areal penangkapan nelayan tradisional dari
kedua pulau tersebut. Masing-masing sebanyak 84,21 dan 95,24 responden di kedua pulau menyatakan bahwa nelayan-nelayan dari luar Kepulauan Seribu
tersebut menyebabkan hasil tangkapan mereka menurun sehingga berpotensi menimbulkan konflik sosial. Konflik tersebut muncul karena nelayan luar
tersebut menggunakan alat tangkap arad modifikasi trawl yang jelas-jelas telah
dilarang pemerintah karena merusak lingkungan laut dan menyebabkan terhambatnya regenerasi ikan.
Masuknya warga baru dari luar ke P. Panggang dan P. Pramuka yang membawa kebiasaan baru, mempengaruhi tatanan sosial yang sudah terbangun
sebelumya. Fenomena seperti ini menjadi pemicu terjadinya konflik sosial di lingkungan warga. Sebanyak 63,16 responden di P. Panggang dan 28,57 di P.
Pramuka menyatakan bahwa masyarakat baru yang masuk ke kedua tersebut tidak bisa beradaptasi dengan kebiasaan warga sebelumnya. Perbedaan persepsi antar
warga baru dan warga lama ini berpotensi menimbulkan gesekan antar warga yang bisa berubah menjadi konflik sosial.
Konflik dengan pihak LSM dan taman nasional juga cukup besar terjadi di P. Panggang dan Pramuka. Perbedaan dalam persepsi dalam pelaksanaan progran
atau tidak sesuai dengan harapan, menjadi pemicu terjadinya konflik sosial. Sedangkan potensi konflik dengan pihak taman nasional biasanya terkait dengan
pengrusakan ekosistem laut dan penggunaan alat tangkap terlarang di wilayah taman nasional laut yang dapat mengganggu kelestarian ekosistem.
Seiring dengan perkembangan informasi yang berjalan cepat saat ini maka kebutuhan terhadap akses informasi menjadi salah satu indikator kesejahteraan
masyarakat. Tabel 67 menunjukkan bahwa 79,31 responden di P. Panggang dapat mengakses informasi, bahkan 20,69 dapat mengakses lebih dari satu
sumber informasi. Sedangkan responden di P. Pramuka menyatakan bahwa sekitar 81,48 dapat mengakses informasi, 11,11 dapat mengakses lebih dari
satu sumber informasi, namun terdapat sekitar 7,41 responden yang tidak dapat mengaksesnya.
Sumber akses informasi meliputi televisi, koran, internet dan sumber informasi lainnya. Data di atas diperkuat dengan tingginya kepemilikan aset
berupa televisi oleh masyarakat di kedua pulau. Sedangkan sumber lainnya seperti koran maupun internet masih terbatas keberadaannya. Akses informasi lainnya
berupa telepon dan HP. Keberadaan tower beberapa operator menunjukkan akses telekomunikasi berjalan lancar di kedua pulau ini. Banyaknya penduduk yang
mempunyai HP membuktikan bahwa akses informasi berjalan cukup baik di
kedua pulau ini. Masyarakat pulau lebih memilih menggunakan HP dibandingkan harus memasang jaringan telpon rumah.
Alasan rendahnya lingkungan politik Rendahnya lingkungan politik disebabkan adanya konflik sosial dengan
nelayan luar Kepulauan Seribu atau pendatang yang tidak bisa beradaptasi dengan warga asal. Konflik terjadi dalam pemanfaatan sumber daya ikan. Disamping itu
keterlibatan para pemimpinaparat desa dalam tender-tender pemerintah yang menyebabkan pelaksanaan pembangunan tidak sesuai harapan menjadi penyebab
lain munculnya konflik sosial. Kurangnya transparansi di kalangan masyarakat dan semakin terbukanya akses informasi menjadikan masyarakat lebih peka dan
kritis dalam menghadapai para pemimpinaparat desa yang melanggar. Beberapa kecenderungan umum
• Konflik pemanfaatan sumber daya ikan ; konflik yang terjadi terkait dengan pemanfaatan akses sumber daya di wilayah perairan Kepulauan
Seribu yang dipicu oleh beroperasinya nelayan dari luar Kep. Seribu yang menggunakan alat tangkap arad dalam beroperasinya. Disamping itu,
ketidaktegasan aparat hukum dan pemerintah dalam menindak para nelayan yang melanggar menjadikan konflik ini bisa bersifat laten dan
manifest. Modernisasi perikanan yang ditunjukkan dengan beroperasinya kapal-kapal purse seini, muoroami, dogol dan payang, menyebabkan
nelayan tradisional terdesak dan berkurang pendapatannya karena penurunan produksi.
• Hubungan dengan pemerintah daerah meningkat ; perubahan status Kepulauan Seribu sebagai Kabupaten, mendekatkan masyarakat kepada
pelayanan pemerintah. Secara umum menurut masyarakat, komitmen, kebijakan dan pelayanan informasi dari pemerintah daerah cukup baik,
meskipun masih banyak kekurangan. Akses terhadap pelayanan pemerintah kondisinya lebih baik mengingat P. Pramuka merupakan pusat
ibu kota Kabupaten Kepulauan Seribu. Sehingga semua aktivitas pemerintahan Kepulauan Seribu lebih banyak berada di P. Pramuka.
• Tingkat pengetahuan dan kekritisan masyarakat meningkat ; Perubahan status menjadi Kabupaten dengan pusat ibu kota di P. Pramuka,
menjadikan wilayah ini sebagai pusat informasi Kepulauan Seribu. Hal ini mendorong masyarakat di P. Pramuka khususnya dan Kelurahan P.
Panggang umumnya lebih terbuka terhadap masuknya perubahan dan lebih mudah dalam mengakses berbagai informasi lebih dari satu sumber.
Meskipun masih dirasa masih minim sumber informasi seperti ketersediaan koran lokal, akses internet dan telpon rumah, namun
masyarakat Kelurahan P. Panggang terlihat lebih kritis dan lebih tinggi kualitas SDM nya di bandingkan dengan masyartakat pulau-pulau lain di
Kepulauan Seribu. Tabel 68 menunjukkan persentase umum kondisi lingkungan politik dan
akses informasi.
Tabel 68 Persentase Umum Lingkungan Politik dan Informasi
Lingkungan politik Akses
Tingkat informasi
Partisipasi Baik
16.1 7.0
Sedang 80.4
45.6
BurukKritis 3.6
47.4
Tabel 68 memberikan gambaran umum bahwa masyarakat cukup mampu mengakses informasi. Sebanyak 80,4 masyarakat menyatakan mudah
mengakses informasi dan hanya 3,6 masyarakat yang menyatakan kesulitan mengakses informasi. Tingkat partisipasi masyarakat dalam pengambilan
keputusan masih tergolong rendah. Terdapat sekitar 47,4 masyarakat yang menyatakan tidak pernahjarang dilibatkan dalam pengambilan keputusan terkait
dengan pembangunan desa atau program lainnya. Hanya sekitar 7 masyarakat yang menyatakan aktif dalam pengambilan keputusan dan hal itu diperkirakan
berasal dari kelompok elit desa.
Lingkungan Psikologis
Lingkungan psikologis menunjukkan tingkat kebahagiaan keluarga dari sisi psikologis. Kesejahteraan selain ditentukan oleh kondisi materi dan
lingkungan fisik lain ditentukan juga kondisi batiniah dari keluarga tersebut. Lingkungan psikologis mengamati intensitas rekreasi dan perasaan bahagia
anggota responden. Tabel 69 menunjukkan bahwa tingkat rekreasi responden di P. Panggang
maupun P. Pramuka masih sangat rendah. Sekitar 43,33 responden di P. Panggang menyatakan tidak pernah rekreasi, 40 menyatakan sesekali rekreasi
dan hanya 16,67 yang meyatakan pernah rekreasi setahun 1-2 kali. Kondisi yang tidak jauh berbeda dengan responden di P. Pramuka. Sebanyak 77,78
responden menyatakan sesekali rekreasi ke luar pulau, 14,81 tidak pernah rekreasi dan hanya 7,41 menyatakan biasa mengagendakan rekreasi setahun 1-2
kali.
Tabel 69 Persentase Responden Menurut Lingkungan Psikologis
Lingkungan Psikologis P. Panggang
P. Pramuka Total
Intensitas rekreasi rekreasi setahun 1-2 kali
16.67 7.41
12.28 sesekali
40.00 77.78
57.89 tidak pernah
43.33 14.81
29.82
Rumah tangga bahagia kami bahagia
80.00 85.19
82.46 cukuplumayan bahagia
20.00 14.81
17.54
Sumber : Data Primer
Rendahnya tingkat rekreasi di kalangan nelayan dan masyarakat pesisir bukanlah hal yang aneh. Masyarakat P. Panggang dan P. Pramuka hidup di
tengah-tengah laut dan biasa melihat panorama laut dengan ekosistemnya yang indah. Bagi mereka lingkungan laut merupakan hiburan dan tempat rekreasi yang
paling indah dan gratis mendapatkannya. Sedangkan tempat rekreasi yang sifatnya buatan atau di luar panorama laut bisanya masyarakat berkunjung ke
Ancol, mal-mal di Jakarta, kebun raya Bogor, puncak dan lokasi-lokasi hiburan lain di Jakarta.
Namun, meskipun jarang rekreasi ke luar pulau, responden di P. Panggang maupun P. Pramuka menyatakan tetap bahagia dengan kehidupan mereka. Sekitar
80 responden di P. Panggang merasa berbahagia dengan kehidupannya sekarang
dan sekitar 85,19 responden di P. Pramuka yang mempunyai perasaan yang sama bahagia.
Melihat kondisi materi dan luas rumah serta kenyamanan rumah, kondisi responden di P. Panggang khususnya dapat dikatakan tidak sejahtera. Setidaknya
itulah pengakuan dari sebagian anggota masyarakat. Namun ketika ditanya tentang kebahagiaan responden, hampir semua responden menyatakan sangat
bahagia dengan apa yang mereka hadapi sekarang. Kondisi yang lebih lapang sebetulnya terjadi di P. Pramuka. Luas rumah dan kondisi rumah rata-rata di P.
Pramuka lebih lebar dan lebih renggang dibandingkan di P. Panggang. Hal ini pula mungkin yang mendorong rasa bahagia responden di P. Pramuka lebih tinggi
di bandingkan di P. Panggang. Secara umum persentase total lingkungan kontekstual di P. Panggang dan
P. Pramuka diklasifikasi berdasarkan pada tiga kategori yaitu kategori buruk, sedang dan baik. Persentase total tersebut dijelaskan dalam Tabel 70 berikut.
Tabel 70 Persentase Total Menurut Lingkungan Kontekstual Lingkungan Alam, Ekonomi, Sosial dan Politik
Lingkungan Lingkungan Lingkungan Lingkungan Lingkungan TOTAL alam
Ekonomi Sosial
Politik Baik
38.4 4.9
46.7 11.5
25.4 Sedang
33.3 47.9
35.6 63
45.0 BurukKritis
28.3 47.2
17.7 25.5
29.7
Secara umum dari ke empat lingkungan kontekstual yang diteliti, 25,4 masuk dalam kategori baik,45 sedang dan 29,7 masuk dalam kategori buruk.
Kualitas lingkungan kontekstual yang patut menjadi perhatian adalah lingkungan ekonomi dan politik karena nilai persentase kategori buruk cukup tinggi. Hasil ini
menuntut keseriusan pemerintah untuk mendorong kedua lingkungan ini menjadi lebih baik.
6.2.2 Pengukuran Kesejahteraan dengan Metode Partisipatif
Dari identifikasi tingkat kesejahteraan dalam FGD di P. Panggang dan P. Pramuka disepakati terdiri dari tiga tingkat kesejahteraan yaitu kelompok miskin,
cukup dan kaya. Tiga tingkat kesejahteraan ini merupakan penyimpulan dari 4
tingkat kesejahteraan sebelumnya yaitu sangat miskin, miskin, cukup dan kaya. Kriteria sangat miskin dan miskin disepakati untuk digabung mengingat sulitnya
menentukan jumlah responden yang termasuk di dalamnya. Sehingga tingkat kesejahteraan menjadi tiga yaitu miskin, cukup dan kaya. Sedangkan indikator
pengukuran tingkat kesejahteraan keluarga di P. Panggang menggunakan 7 indikator antara lain kondisi rumah, kepemilikan aset, penghasilan, pendidikan,
kesehatan, pola makan dan pekerjaan. Penyusunan indikator dilakukan bersama- sama dengan masyarakat, tokoh kunci dan aparat desa dalam forum FGD.
Pelaksanaan FGD dilakukan di Balai Kelurahan P. Panggang. Klasifikasi tingkat kesejahteraan keluarga di P. Panggang dapat dilihat pada Tabel 70.
Ketika masyarakat diminta untuk membandingkan kondisi kesejahteraan penduduk desa pada saat dilakukan diskusi 2008 dengan kondisi sekitar lima
tahun sebelumnya, peserta FGD di P. Panggang mengemukakan bahwa tingkat kesejahteraan di P. Panggang cenderung naik. Proporsi rumah tangga kaya dan
sedang mengalami kenaikan, sedangkan proporsi rumah tangga miskin dan sangat miskin menurun. Kenaikan kesejahteraan mulai terasa sejak perubahan status
Kepulauan Seribu menjadi Kabupaten. Berdasarkan analisis kecenderungan yang dikemukakan masyarakat, terlihat adanya perubahan pada pola kehidupan yang
mempengaruhi tingkat kesejahteraan masyarakat dalam lima tahun terakhir. Perubahan yang terjadi yaitu adanya peningkatan sarana transportasi dan
komunikasi, penyediaan sarana dan pelayanan kesehatan. Peningkatan sarana informasi terlihat pada jumlah responden yang mempunyai televisi. Sebanyak
96 responden di P. Panggang dapat menikmati siaran televisi dari berbagai saluran. Disamping itu meningkatnya jumlah pemakaian HP dan tersedianya
pemancar beberapa operator mengakibatkan arus informasi dari P. Panggang ke luar menjadi lancar.
Sarana kesehatan terlihat lebih lengkap seperti tersedianya rumah sakit di P. Pramuka. Namun masyarakat mengeluhkan ketidaklengkapan fasilitas
kesehatan di RS tersebut sehingga terkesan percuma karena tidak banyak bisa difungsikan. Peningkatan kesejahteraan di bidang kesehatan juga terlihat pada
kesadaran yang makin tinggi dari masyarakat untuk membawa anggota keluarga yang sakit ke puskesmas dan makin sedikit yang membawa ke dukun atau
meminum obat-obatan yang dijual bebas di warung. Disamping itu jumlah bayi yang meninggal makin sedikit saat ibu melahirkan, ditambah semakin
meningkatnya pengguna askeskin dan program KB.
Tabel 71 Klasifikasi dan Indikator Tingkat Kesejahteraan Keluarga Di P. Panggang, Kelurahan P. Panggang Menurut Peserta FGD di
Tingkat PulauDesa
No Indikator
Klasifikasi Tingkat Kesejahteraan Kaya Cukup
Miskin
1 Rumah - Permanen
- Tembok keramik - Dinding tembok
- Lantai keramik - WC duduk
- Kamar mandi di
dalam rumah - Rumah milik
sendiri - Atap eternit
- Pakai pagar bahan besi
- Luas ± 100 m
2
- Bangunan bertingkat
- Listrik 900 W - Permanen
- Semi permanen - Dinding tembok
- Lantai
keramiksemen - WC dalam rumah
- Kamar mandi sendiri - Rumah milik orang
tua - Tanpa eternit
- Pagar dari bahan kayutembok
- Luas ± 50 m
2
- Bangunan tak bertingkat
- Listrik 450 W - Rumah bilik
- Tidak punya rumah
sendirisewa - Dinding bambu
- Dinding plester - Lantai tanah
- WC umum - Kamar mandi
umum - 1 rumah 1
keluarga - Tanpa eternit
- Tanpa pagar - Luas ± 25 m
2
- Bangunan tak bertingkat
- Listrik 450 W 2 Kepemilikan
aset - Mobil pribadi
- Sepeda motor - Punya rumah 1
buah - Punya kapal
transportasi antar pulau
- Punya kapal dan alat tangkap 1
unit - Punya KJA 100-
300 m
2
- Perhiasan ± 100 gr - Mesin cuci
- Kulkas - Telp rumah
- Kompor gas - Magic jar
- Sepeda motor kredit - Punya sepeda pancal
- Punya kapal dan alat tangkap
- Punya KJA ± 50 m
2
- Punya budidaya rumput laut
- Punya sarana pengolah
- Perhiasan ± 10 gr - Kulkas
- Kompor gas - Magic jar
- Tidak punya sepeda
motorsepeda pancal
- Tidak punya emas
- Kompor berbahan
minyak tanah - Tidak punya TV
- Tidak punya kulkas
- Tidak punya magic jar
3 Penghasilan - Di atas 2 juta
- Sudah melaksanakan haji
- Menjadi lurahsekretaris
lurah - 500.000-2 juta
- Sudah berhaji - Berprofesi
RTRWewan kelurahan
- 500.000 - Bukan aparat
desa
No Indikator
Klasifikasi Tingkat Kesejahteraan Kaya
Cukup Miskin
4 Pendidikan - Mampu
menyekolahkan anak SMA-
Sarjana - Mampu
menyekolahkan anak SMA-Sarjana
- Mampu menyekolahkan
anak sampai SMP
6 Pola makan
- Makan 3 x sehari dari hasil sendiri
- Menu selalu berbeda setiap hari
- 4 sehat 5 sempurna tercukupi
- Daging sapikambing 1 x
sebulan - Daging ayam 3 x
perminggu - Makan 3 x sehari
dari hasil sendiri - Menu cenderung
tidak beragam - 4 sehat 5 sempurna
tidak selalu tercukupi - Daging ayam 1 x
perminggu - Makan 2 x
sehari - Menu tidak
beragam - Daging setahun
1 x dari kurban
7 Pekerjaan - Nelayan pemilik
1-3 buah - Nelayan pemilik
kapal 20 GT - Pemberi modal
usahajuragan - Pemilik kapal
transportasi antar pulau
- Usaha warung besar
- PNS dengan penghasilan 2 jt
- Profesi sebagai LurahSekretaris
kelurahan - PNS kelurahan
- Nelayan yang punya peralatan
- Nelayan punya kapal 5 GT
- Berprofesi sebagai RTRWDewan
kelurahan - Pemilik KJA
- Pemilik budidaya rumput laut
- Pemilik sarana pengolahan
- Pedagang ikan besarkecil
- Pedagang kredit - Usaha warung kecil
- Sopir taksi laut - Janda punya
penghasilan - Nelayan buruh
- Buruh KJA - Pedagang
keliling - Pengangkut
barang di darmaga
- Kerja serabutan - Janda tidak
punya penghasilan
Sumber : Data Primer
Peningkatan juga terjadi pada akses pendidikan. Hal itu terlihat dari semakin tingginya kesadaran orang tua dalam menyekolahkan anak-anaknya.
Terlihat hanya sekitar 6 responden yang tidak mampu menyekolahkan anak- anaknya. Selain itu ketersediaan sarana pendidikan sudah tersedia mulai dari
tingkat TK sampai SMA. Bahkan kesadaran untuk menyekolahkan anak-anaknya sampai ke jenjang pergurun tinggi juga makin tinggi.
Namun sebagian masyarakat khususnya masyarakat nelayan justru menyatakan terjadi penurunan kesejahteraan. Kerusakan ekosistem terumbu
karang di Kepulauan Seribu menjadi penyebab berkurangnya ketersediaan sumber daya ikan. Ketersediaan ikan menurun mengakibatkan produktifitas perikanan di
wilayah tersebut juga menurun. Sedangkan nelayan P. Panggang khususnya nelayan ikan hias sangat menggantungkan hidupnya dari laut dan hasil ikan di
dalamnya. Dengan makin tingginya kerusakan ekosistem terumbu karang, secara otomatis hasil tangkapan dan pendapatan masyarakat juga berkurang.
Selain karena kerusakan ekosistem, penyebab menurunnya produktifitas perikanan nelayan P. Panggang yang rata-rata nelayan tradisional adalah akibat
adanya modernisasi perikanan. Modernisasi perikanan yang dimaksud dalam bentuk merebaknya perahu dan armada tangkap yang menggunakan alat tangkap
arad dan modifikasinya, purse seine dan dogol.
Disamping faktor teknis dan ekologis tersebut, masyarakat P. Panggang yang mayoritas nelayan dan menggantungkan hidupnya dari laut, sangat tertekan
saat kenaikan BBM yang terjadi dua kali di tahu 2005 dan tahun ini 2008. Kontribusi BBM pada usaha nelayan memakan sekitar 40 dari keseluruhan
biaya operasional. Nelayan seringkali mengalami kerugiaan saat melaut karena kenaikan harga BBM tidak diimbangi oleh kenaikan harga ikan. Akibatnya biaya
operasional meningkat tapi hasil tangkapan tetap dihargai normal. Disamping itu kondisi sumber daya ikan yang dirasakan mulai habis akibat kerusakan sumber
daya pesisir dan laut ditambah adanya perahu yang menggunakan alat tangkap modern dan terlarang, menjadikan kehidupan nelayan dan masyarakat pesisir P.
Panggang makin terhimpit dan mengalami kemiskinan kronis. Ironisnya pemerintah tidak mempunyai kebijakan yang tepat untuk mengantisipasi kenaikan
BBM sehingga dapat mengurangi penderitaan nelayan. Kalaupun ada program subsidi BBM maupun program sejenis PEMP, faktanya di lapangan tidak berjalan
dengan baik dan banyak penyelewengan. Peningkatan kesejahteraan dirasakan oleh masyarakat dalam
pengembangan sarana dan prasarana fisik. Namun hal itu tidak berlaku bagi nelayan tradisional dan masyarakat pesisir lain yang hanya mengandalkan usaha
perikanan dalam menyambung kehidupannya. Peningkatan kesejahteraan terjadi pada nelayan dan masyarakat pesisir yang mampu melakukan diversifikasi usaha.
Seperti kegiatan ekonomi produktif yang dijalankan sebagian masyarakat P. Panggang dengan berdagang, ojek laut, buruh bangunan, budidaya laut dan
pengolahan hasil perikanan. Peningkatan kesejahteraan diakui oleh PNS, pelaku
jasa dan pedagang sembako. Sedangkan peningkatan kemiskinan, yang berarti juga penurunan kesejahteraan terjadi pada nelayan-nelayan tradisional yang
produktifitasnya menurun karena degradasi ekosistem pesisir dan masuknya nelayan-nelayan trawl dan tidak memiliki usaha lain selain menangkap ikan. Jika
proporsi responden yang termasuk dalam golongan kedua, yaitu yang kesejahteraannya cenderung menurun lebih sedikit daripada golongan yang kedua,
maka kecenderungan kemiskinan akan sejalan dengan kecenderungan yang ditunjukkan oleh data BPS. Namun hal ini masih mengandung pertanyaan,
mengingat perkembangan seperti di P. Panggang ini terjadi di wilayah yang terbatas. Di samping itu jumlah sampel dan kevalidan informasi yang masuk bisa
jadi menjadi penghambat bagi pengamatan perkembangan kemiskinan yang sebetulnya.
6.3 Tingkat Kesenjangan Responden
Indikator yang dapat digunakan untuk menilai sejauhmana ketidak merataan ketimpangan pendapatan penduduk antara lain dengan gini ratio dan
kriteria Bank Dunia. Gini ratio merupakan ukuran distribusi pendapatan yang mempunyai nilai 0 – 1. Apabila nilai gini ratio mendekatai 0, kesenjangan
distribusi pendapatan dianggap rendah. Sebaliknya, apabila gini ratio mendekati angka 1, maka kesenjangan distribusi pendapatan dianggap makin tinggi. Gini
ratio dibagi dalam tiga kategori : • Gini ratio 0,50, keadaan ini menggambarkan distribusi pendapatan
dengan tingkat ketidakmerataan tinggi • Gini ratio 0,4-0,5, keadaan ini menggambarkan distribusi pendapatan
dengan tingkat ketidakmerataan sedang • Gini ratio 0,40, keadaan ini menggambarkan distribusi pendapatan
dengan tingkat ketidakmerataan rendah. Sedangkan Bank Dunia mengukur ketidakmerataan distribusi pendapatan
berdasarkan besarnya persentase 40 penduduk yang berpenghasilan rendah dengan kriteria yaitu :
• Jika persentase pendapatan yang diterima oleh kelompok tersebut lebih kecil dari 12 dari seluruh pendapatan menunjukkan ketimpangan yang
tinggi • Jika kelompok tersebut lebih menerima 12 sampai 17 persen dari seluruh
pendapatan menunjukkan ketimpangan yang sedang • Jika kelompok tersebut lebih menerima lebih dari 17 persen dari seluruh
pendapatan menunjukkan ketimpangan yang rendah
Tingkat Kesenjangan di P. Panggang
Pendapatan rata-rata responden nelayan P. Panggang Kelurahan P. Panggang sebesar Rp 213.750,- per bulan. Pendapatan tertinggi Rp 1.800.000,-
dan terendah Rp 300.000,- Lampiran 4. Distribusi pendapatan di DKI Jakarta jika ditinjau dari golongan penduduk, ternyata masih didominasi oleh penduduk
dari golongan 20 yang berpendapatan tinggi, yakni hampir mendekati 50. Sedangkan golongan 40 penduduk berpendapatan rendah masih menguasai
sekitar 20 pada tahun 2006. Angka ini mengalami kenaikan dari tahun 2005 sebanyak 18,42, meskipun sebelumnya 2004 mengalami kenaikan sebesar
20,18. Pada tahun 2005 kenaikan BBM terjadi sebanyak dua kali sehingga menyebabkan pendapatan 40 penduduk berpendapatan rendah mengalami
penurunan. Mengukur ketimpangan penduduk dapat menggunakan koefisien gini gini
rasio. Tabel 72 menunjukkan bahwa indekss gini agregat masyarakat pesisir P.
Panggang sebesar 0.28. Angka ini menunjukkan bahwa di P. Panggang
penyebaran pendapatan rata-rata masyarakat relatif merata atau tingkat ketidakmerataan rendah. Jika dibandingkan dengan gini ratio DKI Jakarta pada
tahun 2004-2006 berturut-turut 0,363, 0,406 dan 0,360. Nilai gini ratio DKI Jakarta juga menunjukkan tingkat ketimpangan rendah pada Tahun 2006. Hanya
pada tahun 2005 tingkat ketimpangan naik menjadi sedang karena disebabkan adanya krisis ekonomi yang ditandai oleh kenaikan BBM selama dua kali pada
tahun 2005. Kenaikan BBM mendorong tingginya harga barang-barang pokok dan berakibat kepada menurunnya daya beli masyarakat.
Kondisi ketidak merataan rendah di P. Panggang bukan berarti tidak ada kesenjangan. Hasil survey menyatakan bahwa 47 penduduk P. Panggang dan P.
Pramuka berada dalam kondisi miskin, 36 antara miskin-cukup dan hanya 18 yang kondisi respondennya merasa cukup-kaya. Artinya, ketidakmerataan terjadi
dalam kondisi kemiskinan yang tinggi. Peluang kesenjangan terjadi pada 18 responden cukup-kaya. Persentase responden yang betul-betul kaya menurut
tokoh masyarakat sekitar 10 dari total responden yang ada. Hasil perhitungan indeks gini memperkuat hasil survey yang telah
dilakukan sebalumnya di P. Panggang dan P. Pramuka. Beberapa indikator ketimpangan yang ditandai dengan tingginya karekteristik responden miskin
ternyata pada sebagian indikator terlihat cukup rendah.
Tabel 72 Tingkat Kesenjangan Responden di P. Panggang
p e
ndap at
a n
rata-rat a per
bu lan
frekuen si
frek komul ati
f
Komul ati
f pe
n d
a pa
tan K
o m
u la
ti f
pe n
d a
pa tan
P e
lu ang
a x
1+xi -1
b
ab 10
300,000 1
1 300,000
0.93 0.033
0.78 0.0003
350,000 1
2 650,000
2.02 0.033
2.95 0.0010
400,000 2
4 1,450,000
4.50 0.067
6.51 0.0043
450,000 1
5 1,900,000
5.89 0.033
10.39 0.0035
600,000 4
9 4,300,000
13.33 0.133
19.22 0.0256
650,000 1
10 4,950,000
15.35 0.033
28.68 0.0096
750,000 2
12 6,450,000
20.00 0.067
35.35 0.0236
950,000 1
13 7,400,000
22.95 0.033
42.95 0.0143
1,000,000 1
14 8,400,000
26.05 0.033
48.99 0.0163
1,350,000 1
15 7,800,000
24.19 0.033
50.23 0.0167
1,500,000 7
22 18,300,000 56.74
0.233 80.93
0.1888 1,700,000
2 24 21,700,000
67.29 0.067
124.03 0.0827
1,750,000 5
29 30,450,000 94.42
0.167 161.71
0.2695 1,800,000
1 30 32,250,000
100.00 0.033
194.42 0.0648
0.7210 Gini Ratio =
1-0,7210 =
0,28 Merata
Beberapa indikator seperti kepemilikan rumah, rata-rata responden memiliki rumah sendiri. Sekitar 10 responden yang menyatakan rumahnya dari
papan dan sewa dan sekitar 7 yang numpang pada saudara. Fasilitas rumah seperti rumah yang tak beratap 10, berlantai tanah 6,67, luas lantai 8 m
2
10 dan yang memiliki tempat buang air besar sendiri juga makin tinggi 51,72. Ketimpangan yang cukup tinggi terlihat pada jumlah kepala responden
yang tidak sekolah 17,24. Namun tingkat kesadaran orang tua untuk menyekolahkan anak-anaknya makin tinggi, terbukti hanya 10 responden yang
tidak mampu menyekolahkan anaknya. Kesadaran akan kesehatan juga makin tinggi, terlihat tidak ikut serta program KB sekitar 26,67 dan sebagian besar
dapat mengakses air bersih. Meskipun kebutuhan akan air minum masih sangat terbatas. Kebanyakan penduduk memanfaatkan air hujan untuk dimasak menjadi
air minum, sebagian lainnya membeli ke Jakarta dan menyimpannya. Demikian halnya dari sisi pendapatan, masih terdapat sekitar 17,24 responden yang
mempunyai pendapatan Rp 500.000,- dan mayoritas pendapatannya masih bersifat tidak tetap musiman. Tingkat kepemilikan sarana produksi perahu
juga cukup tinggi 68, demikian halnya aset lainnya seperti TV 97. Pendapatan per kapita rata-rata responden masyarakat pesisir P. Panggang sebesar
Rp 213.750,-. Apabila dibandingkan dengan pengeluaran per kapita sebulan untuk konsumsi makanan tahun 2006 di DKI Jakarta dari hasil Susenas
menunjukkan bahwa nilai tersebut lebih rendah dibandingkan pengeluaran per kapita di DKI Jakarta yang tercatat sebesar Rp 248.270. Pendapatan per kapita
masyarakat pesisir P. Panggang dapat dilihat pada Lampiran 4. Melihat nilai indeks gini yang rendah, menunjukkan bahwa distribusi
pendapatan antara satu responden dengan responden lainnya tiak terjadi kesenjangan yang berarti. Hal itu dapat dimengerti mengingat mayoritas
penduduk P. Panggang 75 berprofesi sebagai nelayan dan menggantungkan hidupnya dari kegiatan perikanan. Kelompok nelayanmasyarakat pesisir yang
mempunyai pendapatan tinggi jumlahnya sedikit, terlihat dari tidak adanya rumah mewah di lingkungan P. Panggang. Kelompok yang mempunyai pendapatan
tinggi rata-rata adalah para pemilik perahu, pemilik budidaya kerapu, pedagang besar dan pemodal.
Tingkat Kesenjangan di P. Pramuka
Pendapatan rata-rata responden nelayan P. Pramuka Kelurahan P. Panggang sebesar Rp 214.403,- per bulan dan tertinggi Rp 2.500.000,-. Apabila
dibandingkan dengan pengeluaran per kapita sebulan untuk konsumsi makanan tahun 2006 di DKI Jakarta dari hasil Susenas menunjukkan bahwa nilai tersebut
lebih rendah dibandingkan pengeluaran per kapita di DKI Jakarta yang tercatat sebesar Rp 248.270. Pendapatan per kapita masyarakat pesisir P. Pramuka dapat
dilihat pada Lampiran 5. Jika mengacu kepada distribusi pendapatan di DKI Jakarta dari golongan
penduduk, ternyata golongan 40 penduduk berpendapatan rendah masih menguasai sekitar 20 pada tahun 2006. Angka ini mengalami kenaikan dari
tahun 2005 sebanyak 18,42, meskipun sebelumnya 2004 mengalami kenaikan sebesar 20,18. Sedangkan sisanya masih dikuasai oleh 20 kelompok
penduduk yang berpenghasilan tinggi yang menguasai lebih dari 50.
Tabel 73 Tingkat Kesenjangan Responden di P. Pramuka
pendapata n
ra ta-rata p
er
bu la
n frekuensi
fre k
komulatif Komulatif
pendapata n
Komu latif
pendapata n
Pel u
ang a x1+xi
-1 b ab
100
210,000 1
1 210,000
0.75 0.037
0.78 0.0003
300,000 1
2 510,000
1.90 0.037
2.65 0.0010
420,000 1
3 930,000
3.46 0.037
5.35 0.0020
600,000 1
4 1,530,000
5.69 0.037
9.14 0.0034
650,000 1
5 2,180,000
8.10 0.037
13.79 0.0051
700,000 4
9 4,980,000
18.51 0.148
26.62 0.0394
750,000 4
13 7,980,000
29.67 0.148
48.18 0.0714
800,000 4
17 11,180,000 41.56
0.148 71.23
0.1055 1,500,000
5 22 18,680,000
69.44 0.185
111.00 0.2056
1,650,000 1
23 20,330,000 75.58
0.037 145.02
0.0537 1,700,000
2 25 23,730,000
88.22 0.074
163.79 0.1213
1,750,000 1
26 25,480,000 94.72
0.037 182.94
0.0678 2,500,000
1 27 27,980,000
104.01 0.037
198.74 0.0736
0.7500 Gini Indeks = 1 - 0,7500
= 0,25 Merata
Nilai koefisien gini gini ratio digunakan sebagai ukuran untuk melihat ketimpangan di suatu wilayah. Tabel 73 di atas menunjukkan bahwa indekss gini
agregat masyarakat pesisir P. Pramuka sebesar 0.25. Nilai indeks Gini ratio ini
menunjukkan bahwa di P. Pramuka penyebaran pendapatan rata-rata masyarakat relatif merata atau tingkat ketidakmerataan rendah. Angka ini lebih rendah
dibandingkan gini ratio di P. Panggang. Hal itu menunjukkan bahwa distribusi pendapatan lebih merata di P. Pramuka dan ketidakmerataan lebih tinggi di P.
Panggang. Jika dibandingkan dengan gini ratio DKI Jakarta pada dua tahun terakhir 2006 yaitu 0,360, maka nilai indeks gini ratio di P. Pramuka lebih
rendah dibanding DKI Jakarta. Hal itu juga menunjukkan bahwa tingkat distribusi pendapatan di P. Pramuka lebih merata dibandingkan di DKI Jakarta.
Nilai gini ratio DKI Jakarta menunjukkan tingkat ketimpangan rendah pada Tahun 2006. Hanya pada tahun 2005 tingkat ketimpangan naik menjadi
sedang karena disebabkan adanya krisis ekonomi yang ditandai oleh kenaikan BBM selama dua kali pada tahun 2005. Kenaikan BBM mendorong tingginya
harga barang-barang pokok dan berakibat kepada menurunnya daya beli masyarakat. Kenaikan BBM menyebabkan kenaikan bahan-bahan pokok dan
yang paling menderita akibat kenaikan BBM adalah para nelayan yang banyak berdomisili di Kepulauan Seribu umumnya dan Kelurahan P. Panggang pada
khususnya. Tingkat ketimpangan tinggi pada tahun 2005 disebabkan karena semakin banyaknya warga miskin khususnya nelayan dan masyarakat pesisir lain
yang kehilangan pendapatan akibat tidak bisa melaut karena mahalnya BBM. Akibatnya pendapatan berkurang dan angka kemiskinan semakin tinggi.
Hasil perhitungan indeks gini memperkuat hasil survey yang telah dilakukan sebelumnya di P. Panggang dan P. Pramuka. Beberapa indikator
ketimpangan yang ditandai dengan tingginya karekteristik responden miskin ternyata pada sebagian indikator terlihat cukup rendah.
Beberapa indikator kesejahteraan di P. Pramuka memperkuat hasil indeks gini seperti kepemilikan rumah, rata-rata responden sudah memiliki rumah sendiri
81,48. Sekitar 14,81 responden yang menyatakan rumahnya dari papan dan sewa dan sekitar 14 yang numpang pada saudara. Fasilitas rumah seperti rumah
yang tak beratap 0, berlantai tanah 11,11, luas lantai 8 m
2
14,81 dan yang memiliki tempat buang air besar sendiri juga makin tinggi 38,46. Jumlah
kepala responden yang tidak sekolah cukup rendah 3,70. Namun tingkat kesadaran orang tua untuk menyekolahkan anak-anaknya masih rendah, terbukti
terdapat sekitar 22,22 responden yang tidak mampu menyekolahkan anaknya. Kesadaran akan kesehatan juga makin tinggi, terlihat responden yang tidak ikut
serta program KB sekitar 25,93 dan namun lebih dari separuh responden 51,58 menyatakan tidak dapat mengakses air bersih. Dari sisi pendapatan, rata-rata
memiliki penapatan di atas Rp 500.000,- dan hanya sekitar 11,11 responden yang mempunyai pendapatan Rp 500.000,- dan mayoritas pendapatannya masih
bersifat tidak tetap musiman dan harian. Tingkat kepemilikan sarana produksi perahu juga cukup tinggi 81,82, demikian halnya aset lainnya seperti TV
85,19. Rendahnya nilai indeks gini menunjukkan bahwa distribusi pendapatan
antara satu responden dengan responden lainnya tidak terjadi kesenjangan yang berarti. Hal itu dapat dimengerti mengingat mayoritas penduduk P. Pramuka
berprofesi sebagai nelayan dan menggantungkan hidupnya dari kegiatan perikanan. Kelompok nelayanmasyarakat pesisir yang mempunyai pendapatan
tinggi jumlahnya sedikit, terlihat dari tidak adanya rumah mewah di lingkungan P. Pramuka. Kelompok yang mempunyai pendapatan tinggi rata-rata adalah para
pemilik perahu, pemilik budidaya kerapu, pedagang besar dan pemodal. Sebagai perbandingan, perlu dilihat juga tingkat kemajuan pembangunan
dan tingkat pemerataan pembangunan di kedua pulau yang termasuk dalam Kelurahan P. Panggang, disajikan beberapa indikator lain. Indikator-indikator
tersebut yaitu kependudukan, fasilitas pendidikan, fasilitas kesehatan, fasilitas ibadah, kondisi perumahan dan sarana perikanan tangkap. Profil kependudukan
dilihat dari persentase keluarga pertanian, jumlah keluarga miskin, kondisi pemukiman dan jumlah nelayan.
Tabel 74 menunjukkan bahwa 85 merupakan keluarga pertanian perikanan dan kelautan yang menggantungkan hidupnya kepada pesisir dan laut.
Karekteristik masyarakat pesisir ini sesuai dengan karekteristik wilayah dan menentukan pola hidup individunya.
Tabel 74 Kependudukan di Kelurahan P. Panggang
Uraian Kel. P.
Panggang
Persentase Keluarga Pertanian 85
Jumlah Pra Keluarga Sejahtera dan Keluarga Sejahtera KS 1 573
Jumlah Keluarga yang menggunakan Listrik Non-PLN keluarga 1240
Pemukiman mewah Pemukiman kumuh
Sumber : Podes 2006
Jumlah keluarga pra sejahtera dan KS 1 miskin sebanyak 573 keluarga 46 dari 1240 keluarga yang ada di Kelurahan P. Panggang. Data ini cukup
beralasan mengingat sebagian besar keluarga di Kelurahan P. Panggang berprofesi sebagai nelayan atau usaha perikanan lainnya yang memang senantiasa
diidentikkan dengan kemiskinan. Usaha nelayan merupakan kegiatan yang sangat rentan karena ketergantungannya yang tinggi terhadap musim dan sifatnya tidak
tetap. Degradasi sumber daya pesisir dan laut yang belakang makin tinggi, ditambah beroperasinya kapal-kapal dengan alat tangkap arad modifikasi trawl
dan diperparah oleh kenaikan BBM pada tahun 2005 dan tahun 2008, semakin menambah jumlah keluarga miskin di Kelurahan P. Panggang. Data podes 2006
ini juga menggambarkan bahwa sumber penerangan seluruh keluarga di Kelurahan P. Panggang bersumber dari listrik non-PLN. Akibatnya penerangan
dilakukan secara bergilir dan hanya pada waktu-waktu tertentu sore-malam. Ketersediaan fasilitas pendidikan dan tenaga pengajar dapat menjadi tolak
ukur tingkat kesejahteraan masyarakat di Kelurahan P. Panggang. Pemerataan pendidikan penting untuk menjamin kualitas sumber daya manusia suatu wilayah
yang pada gilirannya akan berpengaruh besar terhadap pola pengelolaan wilayah pesisir dan laut serta sumber daya alam yang berada di dalamnya.
Tabel 75 menunjukkan bahwa sarana pendidikan masih terbatas di Kelurahan P. Panggang. Jumlah sarana TK hanya 4 unit dengan jumlah total guru
sebanyak 16 orang. TK rata-rata adalah milik swasta. Jumlah SD sebanyak 4 unit dan MI sebanyak 2 unit dengan jumlah guru masing-masing 56 orang dan MI
sebanyak 10 orang Lap. Kelurahan per Mei 2008. Sarana SLTP sebanyak 1 unit dan jumlah guru sebanyak 27 orang. Sedangkan untuk sarana SMU hanya ada 1
unit dan jumlah guru sebanyak 22 unit. Selanjutnya sarana pendidikan informal berupa pondok pesantren hanya ada sebanyak 1 unit.
Tabel 75 Fasilitas Pendidikan di Kelurahan P. Panggang
Uraian Kel. P.
Panggang
Jumlah TK Swasta Unit 4
Jumlah guru TK orang 16
Jumlah SD dan yang sederajat NegeriSwasta Unit 4
Jumlah madrasah unit 2
Jumlah guru SDMIN orang 56
Jumlah guru madrasah Orang 10
Jumlah SLTP dan yang sederajat Negeri unit 1
Jumlah guru SLTP orang 27
Jumlah SMU dan yang sederajat Negeri unit 1
Jumlah guru SMA Orang 22
Jumlah Pondok PesantrenMadrasah Diniyah Swasta unit 1
Sumber : Podes 2006; Kec. dlm angka 2007
Rasio murid terhadap guru untuk SD sebesar 26 , artinya 1 orang guru melayani sebanyak 26 siswa. Sedangkan menurut catatan BPS 2007, rasio murid-
guru di Kep. Seribu sebesar 16,65 dan rata-rata DKI Jakarta sekitar 24,40. Rasio guru-murid untuk SLTP sebesar 14, sedangkan Kepulauan Seribu dan
DKI Jakarta rata-rata 22,54 dan 17,89. Sedangkan rasio guru-murid untuk SMU di Kelurahan P. Panggang sebesar 13. Rasio guru-murid untuk SMU di
Kepulauan Seribu dan DKI Jakarta masing-masing adalah 20,48 dan 11,13. Dari data rasio guru murid di atas dapat diperhatikan bahwa pada tingkat
SD beban guru lebih berat dibandingkan pada tingkat SLTP dan SMU dimana 1 guru harus mengajar 26 murid. Rasio guru-murid pada tingkat SD di Kelurahan
P. Panggang lebih tinggi dibandingkan dengan di rata-rata Kepulauan Seribu dan DKI Jakarta. Jika dibandingkan dengan rata-rata Kepulauan Seribu, di Kelurahan
P. Panggang rasio guru-murid lebih rendah pada tingkat SLTP dan SMU. Sedangkan jika dibandingkan dengan rata-rata DKI Jakarta, maka rasio guru-
murid di Kelurahan P. Panggang lebih tinggi pada tingkat SD dan SMU dan lebih rendah pada tingkat SLTP.
Tingkat ketimpangan pada sarana pendidikan terlihat pada tingkat SD yang sarananya hanya tersedianya sebanyak 3 unit sedangkan jumlah siswanya
mencapai 741 orang. Sedangkan untuk Madrasah tersedia 3 unit dengan jumlah siswa sebanyak 108 orang. Sarana SLTP hanya 1 unit dan jumlah siswanya
sebanyak 336 orang, sedangkan sarana SMU hanya ada 1 unit padahal jumlah siswanya sebanyak 437 orang. Dari data ini terlihat bahwa rasio guru dan murid
di Kelurahan P. Panggang khususnya dan Kepulauan Seribu umumnya jauh tidak seimbang jika dibandingkan dengan DKI Jakarta. Kekurangan sarana pendidikan
di Kelurahan P. Panggang terasa pada hampir semua tingkatan mulai SD, SLTP dan SMU.
Fasilitas kesehatan merupakan salah satu ukuran bagi terciptnaya kualitas hidup sebuah masyarakat. Tingkat ketimpangan dari sisi fasilitas kesehatan dapat
diukur dari ketersediaan sarana kesehatan, tenaga medis dan keberadaan apotiktoko obat. Tabel 76 menunjukkan bahwa sarana kesehatan tersedia cukup
lengkap di Kelurahan P. Panggang meskipun jumlahnya masih sedikit. Sarana Rumah sakit berjumlah 1 unit yang melayani masyarakat Kepulauan Seribu.
Keberadaan RS ini belum dirasakan manfaatnya secara optimal oleh masyarakat Kelurahan P. Panggang khususnya dan Kepulauan Seribu umumnya karena
keterbatasan peralatan dan tenaga medis. Sehingga masyarakat hanya memanfaatkan untuk pertolongan pertama saja. Untuk berobat masyarakat
Kelurahan P. Panggang lebih memilih ke puskesmas, namun jumlah sarana tersedia hanya 1 unit. Jumlah puskesmas pembantu 1 unit dan posyandu sebanyak
5 unit.
Tabel 76 Fasilitas Kesehatan di Kelurahan P. Panggang
Uraian Kel. P.
Panggang
Jumlah Rumah Sakit Unit 1
Jumlah Puskesmas Unit 1
Jumlah Puskesmas Pembantu Unit 1
Jumlah PosyanduBKIA Unit 5
Dokter wanita Orang 1
Mantri Kesehatan Orang 2
Bidan Orang 1
Dukun Bayi Terlatih Orang 2
Para medis 4
Ahli gizi 1
Jumlah penerima kartu sehatjaskesmas 573
Jumlah “Surat Miskin” dalam setahun terakhir surat 171
Sumber : Podes 2006; Kec. Dlm angka 2007; Lap. Bulanan Kel. P. Panggang 2008
Jumlah tenaga medis yang tinggal di Kelurahan antara lain 1 orang dokter, 2 orang mantri kesehatan dan 1 orang bidan. Untuk membantu kelahiran selain
bidan terdapat juga 2 orang dukun bayi terlatih. Selain itu terdapat juga 4 orang para medis dan 1 orang ahli gizi. Ketersediaan sarana ini sayangnya tidak
didukung dengan keberadaan apotik atau toko obat. Jumlah penerima kartu sehat dan surat miskin juga lumayan tinggi, masing-masing berjumlah 573 dan 171
orang. Sejatinya dari sisi sarana kesehatan tersedia cukup lengkap, namun
masyarakat melihat karena tidak diukung oleh prasarana dan peralatan yang cukup, masyarakat tetap memilih berobat ke Jakarta untuk penyakit-penyakit yang
kronis. Disamping itu tenaga medis yang tersedia terbatas menjadikan masyarakat cukup sulit mendapatkan akses kesehatan dengan baik.
Keberadaan fasilitas ibadah dan sosial merupakan ukuran kesehatan rohani masyarakat serta media bagi antar masyarakat dalam menjalin keakraban dan
persaudaraan. Kohesi sosial menjadi salah satu ukuran kesejahteraan masyarakat dan indikator ketimpangan dari sisi sosial. Karena seringkali konflik antar warga
dipicu oleh isu-isu agama yang berujung pada keretakan sosial dan kerentanan ekonomi.
Tabel 77 Fasilitas Ibadah dan Sosial di Kelurahan P. Panggang
Uraian Kel. P.
Panggang
Jumlah Masjid unit 2
Jumlah Suraulanggar unit 10
Jumlah gereja unit Jumlah majlis taklim
19 Jumlah karang taruna
1 Jumlah PKK
1 Jumlah sarana sosialpertemuan
3
Sumber : Podes 2006; Kec. dalam angka 2007; Lap. Bulanan Kel. P. Panggang 2008
Tabel 77 menggambarkan bahwa mayoritas penduduk Kelurahan P. Panggang menganut agama Islam, sehingga yang tersedia hanya sarana ibadah
umat Islam yaitu masjid sebanyak 2 unit masing-masing di P. Panggang dan P. Pramuka. Mushollahsurau tersedia cukup banyak yaitu 10 unit, aktivitas
keagamaan seperti majlis taklim juga sangat intensif yaitu sebanyak 19 kelompok.
Masyarakat seringkali membicarakan persoalan-persoalan sosial kemasyarakat di Masjid karena di tempat inilah bertemu semua elemen masyarakat dari berbagai
strata. Keberadaan masjid dengan berbagai kegiatan di dalamnya cukup efektif di dalam menjamin terciptanya kerukunan antar warga dan lancarnya aktivitas sosial
kemasyarakatan. Majlis taklim juga merupakan salah satu modal sosial bagi masyarakat kelurahan P. Panggang untuk mengawal serangan degradasi moral
yang banyak diderita warga ibu kota. Sadar akan tantangan tersebut, masyarakat mengintensifkan majlis taklim sebagai media membangun integritas moral dan
integrasi sosial. Majlis taklim juga melaksanakan kegiatan ekonomi produktif dalam lingkungannya. Keberadaan majlis taklim bukan hanya membantu
masyarakat dalam bidang sosial keagamaan tetapi juga di bidang peningkatan kesejahteraan.
Disamping kegiatan keagamaan, masyarakat pesisir Kelurahan P. Panggang khususnya para pemudanya mendirikan karang taruna untuk
menyalurkan bakat dan berbagai akitivitas. Karang taruna lebih banyak berfungsi dan aktif pada saat-saat peringatan hari-hari besar nasional, hari-hari besar agama,
kesenian dan olahraga. Karang taruna belum banyak difungsikan untuk mengurangi pengangguran yang cukup tinggi di Kelurahan P. Panggang. Hal ini
harusnya menjadi modal sosial bagi para pemuda khususnya untuk mengembangkan karang taruna menjadi kekuatan ekonomi dan pemerintah
idelanya memberikan fasilitasi bagi karang taruna agar lebih produktif.
Tabel 78 Kondisi Pemukiman di Kelurahan P. Panggang
Uraian Kel. P.
Panggang
Pemukiman permanen 817
Semi permanen 122
non permanen 6
Sumber : Lap. Bulanan Kelurahan P. Panggang 2008
Menurut laporan bulanan Kelurahan P. Panggang per Mei 2008, jumlah pemukiman yang terdapat di kelurahan P. Panggang hampir semunya sudah
permanen 817 unit rumah. Sebanyak 122 unit berupa semi permanen dan hanya 6 unit rumah yang non permanen Tabel 78. Data ini sejalan dengan hasil survey
primer yang dilakukan pada bulan Juni 2008, bahwa jumlah rumah permanen di P. Panggang dan P. Pramuka mencapai 54, semi permanen sekitar 34 dan rumah
papanbilik sekitar 12. Jika melihat kriteria rumah tangga miskin BPS, maka dapat dikatakan bahwa mayoritas rumah tangga di Kelurahan P. Panggang tidak
termasuk dalam kategori miskin. Hanya 14 rumah tangga yang bisa dimasukkan dalam kategori miskin. Namun, kriteria kondisi rumah ini tidak bisa
dijadikan sebagai satu-satunya ukuran tersebut. Karena faktanya meskipun kondisi rumah permanen, namun luas lantai rata-rata masih banyak yang 8 m
2
, bahan lantai dari tanah, rumah tanpa atap, banyak yang tidak mempunyai WC
sendiri. Namun secara umum masyarakat kelurahan P. Panggang mungkin lebih tepat dimasukkan dalam kategori tingkat kesejahteraan cukup.
Sarana perikanan juga dapat dijadikan sebagai alat ukur ketimpangan dari sisi tingkat penggunaan teknologi armadanya. Tabel 79 memperlihatkan bahwa
mayoritas nelayan menggunakan armada perahu motormotor tempel dalam melaksanakan operasi penangkapan. Bahkan masih ada sekitar 12 orang nelayan
yang menggunakan perahu layar. Hanya sekitar 84 orang yang menggunakan kapal motor dengan kekuatan mulai dari 5-20 GT. Nelayan-nelayan yang
menggunakan kapal motor ini biasanya menggunakan alat tangkap yang lebih modern seperti kapal muroami, jaring payang, jaring dasar dan jaring gebur.
Sedangkan nelayan yang menggunakan perahu motor tempel merupakan nelayan tradisional dengan alat tangkap yang biasa digunakan seperti pancing dan
sebagian menggunakan bubu. Selain nelayan, profesi perikanan lain yang cukup banyak dikerjakan oleh
masyarakat kelurahan P. Panggang adalah budidaya laut, pengolahan hasil ikan dan pedagang ikan. Budidaya laut yang banyak dikembangkan antara lain rumput
laut dan budidaya kerapu dengan kerapu jaring apung dan sea farming. Masyarakat yang berprofesi sebagai pengolah rata-rata merupakan pengusaha
kecil dengan modal yang kecil. Usaha olahan ikan yang biasa dilakukan antara lain pengasinan, pembuat kerupuk ikan, pembuatan manisandodol rumput laut.
Skala usaha masih bersifat mikro-kecil dengan daya jangkau pemasaran hanya melingkupi Kepulauan Seribu dan Jakarta. Teknologi pengolahan yang lebih
modern seperti pengemasan dan pengawetan masih menjadi kendala bagi para pengolah, termasuk juga pemasaran dan permodalannya.
Bagi mayarakat Kelurahan P. Panggang, usaha pengolahan hasil ikan biasa dilakukan oleh para isteri dan anak-anak. Begitu halnya dengan pedagang ikan
biasanya didominasi oleh para ibu dan isteri-isteri nelayan. Strategi memberdayakan kaum ibu dan isteri ini merupakan salah satu strategi nelayan
untuk bertahan hidup dengan memaksimalkan seluruh anggota keluarga dalam meningkatkan ekonomi keluarga. Meskipun dengan memobilisasi seluruh
anggota keluarga, nelayan masih sering terjebak pada kekurangan dan kesulitan dalam mencukupi kebutuhannya khususnya saat musim paceklik datang.
Tingkat kesejahteraan juga ditentukan oleh adanya keterbukaan terhadap dunia luar yang ditandai oleh mudahnya akses informasi bagi masyarakat. Hasil
survey menunjukkan bahwa 95 responden dapat mengakses informasi. Sumber informasi yang dimaksud adalah saluran televisi dan komunikasi via HP. Dari sisi
kemudahan akses informasi, kelihatannya responden di Kelurahan P. Panggang tidak mengalami permasalahan berarti mengingat hampir semua penduduk
memiliki HP dan bisa berkomunikasi dengan mudah dengan warga lain di luar pulau.
Tabel 79 Sarana Perikanan di Kelurahan P. Panggang
Uraian Kel. P. Panggang
Armada kapal motor 84
Armada perahu motor motor tempel 475
Perahu layar 12
Spee boat 17
Jumlah alat tangkap yang beroperasi 908
Jumlah sarana pengasinan 11
Jumlah sarana pembuat kerupuk ikan 27
Jumlah sarana pembuatan manisandodol rumput laut 2
Sumber : Lap. Bulanan Kelurahan P. Panggang 2008
Selain sarana komunikasi, yang tidak kalah pentingnya adalah sarana keamanan. Untuk mengawal teritorial Kelurahan P. Panggang terdapat 2 unit pos
keamanan polisi. Sedangkan untuk keamanan di lingkungan masyarakat terdapat 5 unit pos hansip. Untuk ukuran Kelurahan P. Panggang yang wilayahnya berupa
pulau-pulau dan berjarak cukup jauh, ketersediaan 2 pos polisi sebetulnya cukup
asal didukung dengan sarana dan peralatan serta tenaga polisi yang berdomisili di wilayah ini. Faktanya pos pilisi ini tidak dilengkapi dengan sarana yang memadai
dan petgasnya sangat terbatas. Sehingga seringkali ketika terjadi pelanggaran di laut atau perselisihan, masyarakat memainkan hukumnya sendiri karena ketiadaan
aparat hukum pilisi. Sarana olah raga juga tersedia cukup banyak yaitu 3 buah antara lain 2
buah lapangan sepak bola, 5 buah lapangan bola voli dan 3 buah lapangan bulu tangkis, 2 buah lapangan bola basket. Keberadaan lapangan ini juga didukung
oleh club yang cukup banyak dan cukup aktif dalam kegiatanperlombaan.
Tabel 80 Sarana Umum yang Terdapat di Kelurahan P. Panggang
Uraian Kel. P.
Panggang
Wartel unit 3
Warung internet Warnet unit Telepon umum koinkartu
Kantor PosPos PembantuRumah Pos 1
Pos Keliling Penerangan jalan utama desakelurahan
1 Sarana keamanan pos polisi unit
2 pos hansip
5 Sarana olahraga unit
3 Sarana rekreasi alam bahari
ada Gedung bioskop
Pubdiskotik
Sumber : Lap. Bulanan Kel. P. Panggang 2008
Tabel 80 menunjukkan bahwa sarana publik dan umum cukup tersedia meskipun jumlahnya masih terbatas. Setidaknya terdapat 6 WC umum yang aktif
digunakan masyarakat, 2 buah gedung PLTD, 11 dermaga, 1 TPI tapi tidak berfungsi dengan baik, 1 gedung serbaguna dan 1 gedung balai warga untuk
penyelenggaran pertemuan warga. Gedung pertemuan warga jumlahnya terbatas sedangkan Kelurahan P. Panggang dipisahkan oleh bentuk fisiknya yang berupa
pulau.
7 DAYA DUKUNG PULAU DAN KESEJAHTERAAN 7.1
Faktor yang Mempengaruhi Daya Dukung dan Kesejahteraan 7.1.1 Faktor Penyebab Rendahnya Daya Dukung Lingkungan
Fakta rendahnya daya dukung ini pertama dilihat dari kondisi terumbu karang meliputi persentase penutupan karang keras, persentase tutupan karang
mati, indeks mortalitas, kelimpahan karang keras, kelimpahan ikan karang dan indeks keanekaragaman ikan karang.
Tabel 81 Evaluasi Daya Dukung Ekologi Terumbu Karang
Kriteria 2004
2005 2004
2005
Persentase tutupan karang keras 33.19
33.91 34.22
24.92 Persentase tutupan karang mati
22.02 16.6
23.7 19.86
Indek mortalitas 0.4
0.33 0.37
0.42 Kelimpahan karang keras indha
45,730 45,631
Indek keanekargaman karang H 1.80 - 3.27
1.98 - 3.01 Rerata Indeks keanekaragaman ikan karang H
2.07 1.87
2 1.5
Jumlah Kelimpahan Jenis ikan karang jenis 9-52
14-65 25-52
24-50
Kep. Seribu Kel. P. Panggang
Sumber : Terangi 2007 diolah
Tabel 81 memperlihatkan bahwa hampir semua indikator daya dukung terumbu karang memperlihatkan penurunan dari tahun 2004 ke 2005. Persentase
penutupan karang di Kelurahan P. Panggang pada tahun 2005 mengalami penurunan dibandingkan tahun 2004 dari 34,22 menjadi 24,92. Persentase
penutupan karang mati juga menunjukkan angka penurunan dari 23.7 tahun 2004 menjadi 19,86 tahun 2005.
Indikator rendahnya daya dukung lingkungan Kelurahan Pulau Panggang dapat juga dilakukan dengan memperhatikan hasil perhitungan dengan metode
ecological footprint . Hasil perhitungan menunjukkan bahwa telah terjadi defisit
sumberdaya di Kelurahan P. Panggang baik di P. Panggang sendiri maupun di P. Pramuka. Daya dukung lingkungan mencapai 893 orang dan 734 orang di P.
Pramuka. Hasil perhitungan footprint juga menunjukkan adanya defisit sumberdaya di Kelurahan P. Panggang diindikasikan denngan adanya nilai BC
yang lebih kecil dari EF. Nilai EF P. Panggang dan P. Pramuka masing-masing sebesar 4,46 dan 3,97. Sedangkan daya dukung biologis biocapacity di P.
Panggang dan P. Pramuka masing-masing sebesar 1,03 dan 1,82. Artinya ketersediaan lahan produktif secara ekologis tidak mampu mencukupi kebutuhan
penduduk atau lebih kecil dari kebutuhan penduduk per kapita yang berada di wilayah tersebut. Ketika daya dukung biologis ini rendah maka sumber daya alam
untuk menjamin keberlanjutan sistem manusia makin menipis defisit sumber daya dan dapat dipastikan tingkat kompetisi untuk mendapatkan akses terhadap
sumber daya pesisir dan ruang ekologis ecological space makin tinggi. Biasanya daerah dengan kondisi seperti ini akan rawan terhadap konflik.
Berangkat dari dua fakta di atas persoalan mendasar yang melatar belakangi terjadinya penurunan daya dukung ekologis terumbu karang dan daya
dukung lingkungan pulau disebabkan oleh beberapa faktor baik yang bersifat internal maupun eksternal. Menurut hasil wawancara dengan penduduk, tokoh
masyarakat dan aparat desa melalui hasil kuisioner maupun FGD, didukung juga dengan penelitian lain, terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi penurunan
daya dukung lingkungan P. Panggang dan P. Pramuka antara lain :
1 Keterbatasan lahan dan Kepadatan Penduduk yang tidak dapat diatasi
Fakta keterbatasan lahan menjadi permasalahan tersendiri bagi penduduk P. Panggang dan P. Pramuka. Data BPS tahun 2006 menunjukkan bahwa luas
Kelurahan P. Panggang sebesar 0,62 Km
2
dengan jumlah penduduk sebanyak 4.490 jiwa dengan tingkat kepadatan penduduk mencapai 7.230. Sampai tahun
2008, jumlah penduduk Kelurahan P. Panggang telah mencapai 5481 jiwa Laporan bulanan Kelurahan, 2008. Jumlah penduduk yang demikian besar
dibandingkan lahan yang sangat sempit, tentunya menurunkan porsi rumah yang layak untuk dibangun. Bukti keterbatasan lahan tersebut akhirnya berakibat
kepada menyempitnya luas rumah, terbukti sekitar 41 luas lantai rumah mayoritas mencapai 8 x 10 m
2
, dan 13 diantaranya di bawah 8 m
2
. Jika keterbatasan lahan tidak diiringi dengan pertambahan penduduk
mungkin kondisinya akan lebih baik. Namun, faktanya setiap tahun di Kelurahan P. Panggang hampir bisa dipastikan terjadi lonjakan penduduk. Jika diasumsikan
P. Panggang dan P. Pramuka mewakili Kelurahan P. Panggang -karena pulau yang diperuntukkan untuk pemukiman di Kelurahan P. Panggang hanya P.
Panggang dan P. Pramuka- pada tahun 2006 jumlah penduduk sebanyak 4490 dan tahun 2008 sebanyak 5481 maka pertambahan penduduk selama 2 tahun
mencapai 1351 jiwa. Tingginya pertumbuhan penduduk yang selama ini terjadi disebabkan
karena tidak efektif program KB, kurangnya sosialisasi dan penyadaran, serta pandangan tradisional masyarakat tentang banyak anak. Pada aras yang lebih
tinggi, kebijakan pemerintah yang tidak tepat dalam pengendalian pertumbuhan penduduk menyebabkan padatnya jumlah penduduk dunia.
Sedangkan keterbatasan lahan PPK disebabkan oleh beberapa faktor seperti faktor alamiah pulau, massifnya pembukaan lahan untuk sarana umum,
alokasi pemanfaatan ruang yang tidak jelas dan keterdesakan masyarakat oleh intensifnya kegiatan industri. Pada aras yang lebih tinggi, keterbatasan lahan
semakin mempersempit ruang gerak dan akses masyarakat terhadap sumber daya pesisir dan laut. Pemberian hak akses secara ekslusif kepada kelompok tertentu
memicu terjadinya privatisasi lahan, akibatnya tidak lagi tersedia sumber daya alam yang bisa dikonsumsi oleh masyarakat dengan mudah. Keterbatasan akses
dan keterdesakan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidup memunculkan pola pemanfaatan SDPL yang destruktif dan memicu kerusakan ekologi.
Industrialisasi dan perdagangan bebas juga memunculkan pola pemanfaatan lahan untuk memenuhi kebutuhannya. Lahan semakin terbatas akibat maraknya
pengkaplingan-pengkaplingan tanah, air dan sumber daya alam yang berada di dalamnya atas nama kemajuan industri dan pertumbuhan ekonomi.
Kedekatan wilayah antara Jakarta dan Kepulauan Seribu ternyata tidak berdampak kemajuan bagi Kepulauan Seribu. Konsentrasi modal keuangan di
Jakarta, kahadiran pasar yang luas dan permintaan terhadap barang dan jasa yang diikuti oleh gaya hidup ekslusif, pola konsumsi khusus bagi golongan kaya,
menjadikan pola hubungan yang tidak seimbang antara Jakarta dan Kepulauan Seribu. Investasi yang masuk ke Kepulauan Seribu dalam bentuk pariwisata
bahari, industri perkapalan dan perniagaan di wilayah Teluk Jakarta dan Kepulauan Seribu, serta industri jasa dan konsumsi yang padat di pesisir Jakarta,
ternyata tidak melahirkan kemajuan bagi Kepulauan Seribu.
Berkebalikan dengan itu, yang terjadi justru kemunduran dan ketimpangan yang semakin menganga antara kota-kota di Jakarta dan Kepulauan Seribu. Hal
itu terbukti dengan tingginya penduduk miskin, tingginya indek keparahan dan kedalaman kemiskinan di Kepulauan Seribu. Kemakmuran kumulatif muncul di
Jakarta dan kemiskinan kumulatif diderita masyarakat Kepulauan Seribu dan Kelurahan P. Panggang khususnya. Hubungan ekonomi antara DKI Jakarta
dengan daerah yang berada di sekelilingnya seperti Kepulauan Seribu telah menimbulkan ”backwash effect” terhadap Kelurahan P. Panggang.
Kepadatan penduduk yang tinggi, pendapatan perkapita yang rendah, tingkat tabungan yang rendah, tingkat pendidikan yang rendah merupakan efek
dari faktor-faktor seperti kehadiran pasar yang luas, kemajuan ilmu dan teknologi, pesatnya industrialisasi dan terkonsentrasinya modal keuangan di Jakarta. Pola
hubungan seperti ini disebut Gunnar Myrdal sebagai cumulative causation. Untuk memberantas kemiskinan maka diperlukan campur tangan pemerintah terutama
dalam mempengaruhi kekuatan pasar bebas. Kepadatan penduduk menurut Gunnar Myrdal merupakan ciri-ciri
keterbelakangan negaradaerah belum maju karena adanya hubungan yang tidak seimbang antara negara maju dan negara berkembang, daerah kota dan pedesaan,
daerah maju dan daerah kurang berkembang, antara Jakarta dan Kepulauan Seribu. Populasi penduduk yang berlebihan banyak dituding sebagai penyebab
tunggal terjadinya degradasi lingkungan yang berkibat pada munculnya kemiskinan. Bagi John Rockefeller pendukung pengendalian kelahiran selama
40 tahun menjelaskan bahwa ekspansi penduduk tidak menciptakan masalah- masalah yang saat ini menimpa banyak negara. Penambahan populasi hanya
memperburuk dan memperbanyak persoalan-persoalan itu. Hal itu juga tidak disetujui oleh Cina sebagai negara dengan populasi tertinggi dunia. Cina tidak
mengingkari pentingnya kebijakan pembatasan populasi tetapi bagi Cina hal ini merupakan bentuk ketidaktepatan perencanaan pembangunan nasional dari sebuah
negara. Menekan jumlah penduduk dunia hanya akan membawa kepada skenario klasik ”the tragedy of the commons” seperti yang terjadi pada perburuan ikan tuna
dan ikan paus sehingga melahirkan kelangkaan bagi kedua komoditas tersebut.
Industrialisasi, kemajuan teknologi dan gaya hidup bangsa-bangsa maju mempercepat akselerasi kemerosotan lingkungan di seluruh dunia. Pertambahan
penduduk diperkirakan meningkat rata-rata tiga orang per detik atau setara seperempat juta penduduk per hari. Jika tingkat pertumbuhan penuduk rata-rata
seperti sekarang, populasi bumi pada tahun 2035 akan mencapai lebih dari 12 milyar jiwa dan pada 2070 akan menjadi 27 milyar. Pada kondisi seperti ini dan
kerusakan lingkungan terjadi dimana-mana, bumi sepertinya tidak akan lagi mampu untuk memberikan makan secara seimbang kepada populasi sebanyak itu
dari waktu ke waktu. Kalaupun sistem dunia yang kolonialistik dan eksploitatif tidak dianggap sebagai penyebabnya, maka paradigma pembangunan yang ada
saat ini dan pola pemborosan produksi dan konsumsi masyarakat negara-negara maju yang sesungguhnya bertanggungjawab terhadap sebagian besar kerusakan
yang terjadi. Peringatan bagi pengendalian jumlah penduduk oleh negara dunia pertama
telah menimbulkan reaksi keras dari negara dunia ketiga. Hal itu menurut Gorz 2003 tidak mengherankan mengingat penduduk dunia pertama yang jumlahnya
hanya 13 dari total populasi dunia tapi mereka mengkonsumsi 87 dari total energi yang dikonsumsi dunia, mengambil 50 dari pasokan ikan dunia dan
hanya meninggalkan seperlima bagian untuk Dunia Ketiga. Ancaman sesungguhnya adalah anggapan bahwa dengan meningkatnya
populasi dunia maka pertumbuhan tersebut juga akan mempengaruhi tingkat gaya hidup rata-rata penduduk kaya –khususnya di negara majuutara- gaya hidup
dalam hal kepemilikan mobil, televisi, kulkas dan sebagainya. Untuk mendukung gaya hidup kelompok gaya ini maka tidak ada jalan lain kecuali mempertahankan
pertumbuhan industri yang merusak lingkungan. Maka untuk mencegah kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh populasi industri seperti otomotif,
populasi penduduk yang tidak bisa mengkonsumsi produk industri di negara- negara berkembang harus diturunkan. Dilema bagi industri ketika pertumbuhan
tidak mungkin ditekan, oleh karenanya mereka melimpahkan kesalahan kerusakan lingkungan pada korbannya yaitu kaum miskin di negara-negara berkembang,
khususnya kaum perempuan yang melahirkan banyak anak.
Populasi penduduk dengan demikian bukan merupakan penyebab langsung kerusakan lingkungan tapi lebih sebagai strategi dan kedok bagi negara-
negara maju untuk melanggengkan industrialisasi dan gaya hidup kapitalistik serta bentuk pelarian terhadap tanggungjawab terhadap degradasi lingkungan yang
ditimbulkannya.
2 Perilaku individu masyarakat yang negatif
Kemiskinan nelayan dan masyarakat pesisir umumnya termasuk di Kepulauan Seribu dan Kelurahan P. Panggang diduga karena budaya malas,
apatis, egois dan beberapa perilaku individu negataif lainnya. Kemiskinan kultural ini disebabkan karena rendahnya sumber daya manusia seperti tingkat
pendidikan yang rendah. Memang jika dilihat dari hasil survey, sebanyak 11 pendidikan tertinggi responden di P. Panggang dan P. Pramuka tidak lulus sekolah
dan 54 hanya sampai SD. Rendahnya perilaku individu dan psikologis ini menurut penganjur teori liberal seperti Mc Clelland dan Colleman menyebabkan
kurangnya dorongan berprestasi pada kaum miskin. Tesis Mc Clelland dan Colleman mungkin benar jika melihat fakta di lapangan dan hasil penelitian
Baihaqie 2004 menyatakan bahwa perilaku individu menempati permasalahan tertinggi 31,37 yang terjadi di P. Panggang. Sikap apatisme dan perilaku
negatif ini mendorong aksi-aksi pengrusakan sumber daya pesisir laut seperti penangkapan dengan alat tangkap terlarang, penggunaan potasium dalam
menangkap ikan karang dan tidak ada upaya aktif untuk merahabilitasinya. Akibat kerusakan sumber daya pesisir dan laut ini, produktifitas perikanan
menjadi turun dan kesejahteraan masyarakatpun semakin menurun. Perilaku negatif masyarakat menurut Baihaqie 2004 bermula dari
ketiadaan pemerintah dalam memberikan pelayanan dan banyaknya program pembangunan yang dijalankan tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Lemahnya pelayanan pemerintah menurut masyarakat P. Panggang mengakibatkan rendahnya sumber daya manusia karena pemerintah tidak pernah
menggunakan banyaknya jumlah penduduk sebagai salah satu kekuatan. UMR rendah menyebabkan banyak anak-anak buruh tidak sekolah, ditambah
pemerintah tidak menyediakan sarana pengembangan SDM seperti pelatihan dan
pembangunan sarana pendidikan. Akhirnya masyarakat memanfaatkan sumber daya pesisir secara optimal bahkan dengan merusaknya.
Pola pemerintahan yang otoriter, selalu mengambil inisiatif dan memposisikan diri sebagai penyelesai masalah menghilangkan inisiatif, kreatifitas
dan kekompakan warga. Bahkan masyarakat menurut Baihaqie melihat pemerintah kurang koordinasi, tidak mampu berkomunikasi dan hidup dalam
lingkungan ekslusif sehingga mendorong masyarakat menjadi apatis. Pelaksanaan pembangunan yang tidak sesuai kebutuhan warga merupakan
bentuk pemborosan biaya pembangunan. Ketidak terlibatan masyarakat menyebabkan banyaknya sarana tidak terawat sehingga banyak yang rusak dan
tidak berfungsi optimal. Pola pembangunan sarana yang cenderung bersifat jangka pendek dan berpotensi korupsi, menyebabkan kondisi sosial masyarakat
menjadi tidak sehat. Apatisme dan ketidakpercayaan masyarakat kepada pemerintah mengakibatkan masyarakat seringkali tidak mengindahkan larangan
hukum dalam pengrusakan sumber daya pesisir dan laut. Kurangnya pelayanan pemerintah juga mengakibatkan lemahnya penegakan hukum. Bahkan masyarakat
melihat aparat hukum sering melakukan pembiaran terhadap praktek pelanggaran hukum. Lemahnya aparat hukum membuat masyarakat tidak percaya aparat
hukum dan kerusakan sumber daya dianggap sebagai pemandangan biasa karena sering terlihat sehari-hari. Pemerintah tidak memberikan keteladanan dalam
mengelola SDPL bahkan sebaliknya, justru pemerintah terlihat ikut merusak ekosistem pesisir dan laut untuk membangunan sarana umum seperti menjadikan
karang sebagai bahan bangunan. Krisis keteladanan pemerintah baik di tingkat Kabupaten dan Desa melahirkan perilaku negatif yang berujung pada pengrusakan
ekosistem SDPL. Melihat keterkaitan permasalahan di atas, maka tesis Mc Clelland 1961
dalam Hettne 2001 tentang aspek kultural seperti tingkat pendidikan dan indikator rendahnya SDM lainnya sebagai penyebab kemiskinan perlu diperiksa
kembali. Karena rendahnya SDM bukan semata-mata karena kemalasan masyarakat tetapi karena pola pendekatan pemerintah yang tidak tepat dalam
pembangunan. Pola pembangunan masih terlihat sentralistik dan top-down menjadikan setiap program yang dijalankan pemerintah tidak berdasar kepada
kebutuhan masyarakat dan mengakibatkan banyak sarana pembangunan yang tidak berdaya guna. Disamping itu, faktor kedekatan dengan Jakarta telah
membawa pengaruh cukup besar kepada gaya hidup masyarakat Kelurahan P. Panggang. Pola hidup konsumtif selain menjadi ciri khas masyarakat pesisir,
semakin kental dengan adanya pengaruh Jakarta dan orang-orang baru yang masuk ke Pulau Seribu melalui wisata bahari. Pola hidup seperti ini mendorong
masyarakat untuk memenuhinya meskipun terkadang melakukannya dengan cara instant dan merusak SDPL. Dorongan untuk bergaya hidup sebagaimana orang-
orang kota di Jakarta semakin menguat manakala musim panen ikan datang dengan membelanjakan uang hasil tangkapan menjadi barang-barang mewah dan
kebutuhan lainnya.
3 Degradasi sumber daya pesisir khususnya terumbu karang
Kerusakan sumber daya pesisir yang paling utama adalah rusaknya ekosistem terumbu karang di wilayah perairan Kelurahan P. Panggang.
Kerusakan terumbu karang ditandai dengan penurunan tutupan karang dan berkurangnya produksi ikan sebagai akibat hancurnya habitat. Penangkapan ikan
karang dengan menggunakan potasium dan alat tangkap terlarang lain diduga sebagai penyebab utama kerusakan. Disamping itu pemanfaatan batu karang
sebagai bahan bangunan juga berkontribusi terhadap kerusakan karang. Pengrusakan ekosistem terumbu karang memang diakui oleh masyarakat
dan hal itu diakui karena diawali ketiadaan penegakan hukum oleh aparat. Banyak pihak menggunakan ketidakjelasan hukum termasuk masyarakat dengan
ikut serta secara terang-terangan merusak sumber daya. Bahkan tidak jarang masyarakat menilai penggunaan batu karang juga dilakukan oleh pemerintah
untuk membangun fasilitas umum. Perilaku pemerintah yang condong ikut merusak sumber daya alam ini mengakibatkan ketidak percayaan masyarakat
terhadap pemerintah dan aparat hukum. Pengrusakan terhadap sumber daya pesisir bagi masyarakat menjadi hal biasa dan tidak menjadi kekhawatiran karena
aparat tidak tegas dan pemerintah justru melakukannya untuk membangun sarana umum.
Degradasi terhadap sumber daya juga didorong oleh tingginya tingkat permintaan pasar terhadap kebutuhan akan ikan karang. Keterdesakan kebutuhan
hidup dan kecondongan pemenuhan sikap konsumerisme sebagai pengaruh aktivitas ekonomi yang berjalan di Jakarta, melahirkan orientasi jangka pendek
untuk semata memenuhi kebutuhan. Masyarakat juga tidak banyak memahami fungsi penting dari ekosistem terumbu karang dan akibatnya jika hancur.
Kerusakan sumber daya pesisir disebabkan juga oleh beroperasinya kapal- kapal berjenis trawl yang sudah dimodifikasi seperti arad dan dogol. Mata jaring
yang digunakan berukuran kecil sehingga cenderung menangkap semua jenis ikan termasuk ikan-ikan yang baru tumbuh atau juvenil. Disamping itu, cara kerja
kapal-kapal ini cenderung ekploitatif dengan menggerus dasar perairan. Larangan trawl jelas terdapat dalam pasal 84 ayat 2 jo 85 UU 312004 tentang perikanan
dan Keppres No.39 tahun 1980 tentang pelarangan trawl. Melalui Kepmen nomor 62008 Trawl kembali diberlakukan meskipun dengan alasan “terbatas”.
Keputusan ini bukan lagi bersifat inkonsisten, tetapi keputusan ini menjadi cacat secara hukum karena sampai sekarang, kedua peraturan yang lebih tinggi tersebut
belum pernah direvisi apalagi dibatalkan. Penggunaan teknologi penangkapan merupakan bentuk dari kebijakan
modernisasi perikanan yang dikeluarkan pemerintah tahun 1969. Dampak modernisasi mampu meningkatkan produksi perikanan setidaknya sejak 1969-
1990 karena adanya dukungan unit-unit usaha berskala besar dan padar modal. Modernisasi merupakan bentuk penetrasi kapitalisme di bidang perikanan dan
hanya dapat diakses oleh nelayan berskala besar atau pengusaha kapal. Modernisasi terbukti telah melahirkan konflik sosial dalam pemanfaatan SDPL
dan menimbulkan jurang yang lebar antara yang mampu dan yang tidak mampu memanfaatkan teknologi baru tersebut Mubyarto, dkk, 1984.
Degradasi ekosistem pesisir dan laut juga disebabkan oleh maraknya aktivitas pariwisata bahari yang salah satunya menawarkan keindahan terumbu
karang. Aktivitas penyelaman yang tidak profesional menyebabkan rusaknya terumbu karang. Daerah pariwisata merupakan wilayah ekslusif dengan
kepemilikan khusus bagi pengelolapengusaha. Sumber daya pesisir di wilayah pariwisata bahari yang dulunya menjadi milik publik, dengan statusnya sebagai
daerah wisata menjadi privat. Nelayan tidak lagi dengan mudah mendapatkan akses terhadap sumber daya pesisir dan laut di wilayah tersebut. Keterbatasan
akses inilah yang seringkali memicu terjadinya aksi pengrusakan ekosistem oleh masyarakat karena sumber daya tidak lagi tersedia secara cukup dan tidak
terdistribusi secara adil. Pada aras yang lebih tinggi, industrialisasi dan kemajuan teknologi serta
gaya hidup negara-negara maju dan masyarakat perkotaan telah mendorong akselerasi degradasi sumber daya alam. Perkembangan kapitalisme bertumpu
kepada proses pergantian para pekerja oleh mesin-mesin, buruh-buruh digantikan dengan mesinburuh yang tidak bernyawa. Mesin-mesin tersebut tentunya
membutuhkan biaya yang tinggi untuk memproduksi. Investasi modal yang digulirkan haruslah menghasilkan keuntungan. Artinya para investor
mengharapkan pemasukan yang lebh besar daripada biaya yang mereka keluarkan untuk memasang mesin-mesin tersebut. Dalam perhitungan biaya produksi,
ongkos untuk membayar upah pekerja akan semakin kecil, sementara biaya kapitalisasi meningkat jumlah keuntungan yang harus diperoleh untuk dapat
melunasi dan memperharui mesin-mesin menjai semakin meningkat. Dalam termonilogi Marxis, ”komposisi organik modal” akan semakin meningkat Gorz,
2003. Industri semakin bersifat modal intensif dengan memakai jumlah kapital yang lebih besar untuk memproduksi volume komoditi yang sama.
Selain itu, dampak negatif industrialisasi lainnya adalah limbah yang dihasilkannya. Perairan Teluk Jakarta terindikasi mengalami pencemaran yang
tinggiburuk. Industri penghasil limbah terdapat di daratan Jakarta maupun berasal dari aktivitas pengeboran minyak lepas pantai yang ada di Kepulauan
Seribu. Sampah-sampah responden dan sampah industri juga berperan dalam merusak kualitas perairan.
Gaya hidup mewah, modern dan padatnya aktivitas masyarakat di Jakarta telah membawa dampak negatif bagi kerusakan ekosistem pesisir di perairan
Kepulauan Seribu dan Kelurahan P. Panggang khususnya. Tingkat konsumsi dan pola pemborosan produksi masyarakat Jakarta dan pinggiran Jakarta, setidaknya
berkontribusi dalam merusak lingkungan pesisir dan laut. Gaya hidup mewah negara berkembang seperti Indonesia ini adalah pengaruh dari gaya hidup negara-
negara maju yang bersumsi kemajuan dan modernisasi yang telah mereka alami dapat ditiru oleh negara-negara berkembang untuk bisa merasakan kemajuan yang
sama. Untuk itu negara-negara majulah tersebut atau masyarakat kota yang bergaya hidup mewahlah yang bertanggungjawab terhadap sebagian besar
kerusakan yang terjadi. Sebuah badan organisasi PBB United Nation Fund for Population Action
UNFPA dalam laporannya menyatakan bahwa ”dengan semakin tingginya pemanfaatan sumber daya alam dan sampah yang
dihasilkannya, maka sebenarnya yang bertanggungjawab adalah mereka yang menjadi penduduk ”negara-negara terkaya”, yaitu mereka yang tinggal di
negara-negara maju”. Pengakuan UNFPA ini semakin mempertegas keyakinan kelompok ecofeminism yang merupakan varian dari marxis untuk mengatakan
bahwa populasi penduduk bukan merupakan penyebab utama kerusakan SDA sebagaimana yang banyak dituduhkan, tapi proses industrialisasi, kemajuan
teknologi dan gaya hidup masyarakat negara majukota besar yang menjadi penyebabnya.
Di bawah sistem kapitalisme, kelangkaan absolut biasanya terefleksikan dalam situasi harga yang membubung tinggi sebelum tampak terjadinya
kelangkaan secara fisik Gorz, 2003. Menurut dogma liberal, naiknya harga- harga barang yang langka di pasaran akan otomatis meningkatkan produksi
barang-barang yang harganya naik tersebut, karena dipandang sebagai sesuatu yang menguntungkan. Kenaikan harga produksi memicu kenaikan investasi,
belum lagi dampak produksi yang dihasilkan oleh industri dan teknologi modern seperti polusi dan limbah, menuntut biaya pemulihan yang tinggi pula. Modal,
dalam situasi seperti ini menghadapi kesulitan-kesulitan yang tak mungkin dihindari dalam membiaya investasi-investasi lebih lanjut. Penggantian modal
industrial tak lagi dapat dilakukan dengan melakukan transfer dari surplus yang dipungut dari konsumsi-reproduksi sistem yang membutuhkan biaya yang lebih
besar daripada yang dihasilkan. Industri mengkonsumsi lebih banyak untuk kebutuhannya sendiri dan mengirimkan lebih sedikit produk-produk kepada
konsumen daripada biasanya. Efisiensi menjadi musnah dan biaya-biaya fisik meningkat.
Menurut Gorz 2003 peristiwa seperti ini yang sedang terjadi sekarang dan terjadi dalam dua fase :
• Selama fase pertama, produksi menjadi semakin tidak berguna dan destruktif dalam upaya untuk menghindari krisis over-akumulasi. Terjadi
percepatan terhadap kerusakan SDA yang tak dapat diperbaharui dan konsumsi berlebihan terhadap SDA terbarahui air, tanah, ekosistem
pesisir dan laut, dsb dalam kecepatan yang membuat mereka juga akhirnya menjadi langka
• Selama fase kedua, dihadapkan dengan situasi menipisnya sumberdaya alam yang telah dirampas selama ini dan industri berada dalam
kebingungan untuk mengatasi kelangkaan yang lahir akibat meingkatnya produksi dengan cara semakin mempertinggi produksi.
Ringkasnya, krisis ekologi yang terjadi saat ini terjadi karena krisis over- akumulasi klasik yang diperparah oleh suatu krisis reproduksi sehingga
sebagaimana mestinya mengarah kepada semakin meningkatnya kelangkaan sumber daya alam. Oleh karena itu solusi dari krisis ini tidak dapat ditemukan
dalam pemulihan ekonomi, melainkan di dalam pembalikan logika kapitalisme. Logika kapitalisme cenderung kepada maksimalisasi yaitu bagaimana
menciptakan kemungkinan terbesar dan mengupayakan pemenuhannya dengan jumlah terbesar yang mungkin atas barang-barang dan jasa yang dapat dipasarkan
demi memperoleh kemungkinan profit yang paling besar dari aliran energi dan sumber daya. Hal yang perlu dilakukan adalah menyerang sumber utama
kemiskinan yang tidak terletak pada kurangnya produksi, tetapi dalam karekteristik batang-barang yang diproduksi, pola konsumsi yang dipromosikan
oleh kapitalisme dan dalam situasi ketidaksamaan yang mendorongnya. Penghapusan kemiskinan tidak pernah terselesaikan dengan meningkatkan
produksi, tetapi dibutuhkan reorientasi produksi. Langkah tersebut disusun berdasarkan kriteria : 1 barang-barang yang diproduksi secara sosial harus
tersedia bagi setiap orang; 2 produksi barang-barang tersebut tidak harus merusak sumberdaya alam yang melimpah jumlahnya; 3 proses produksi harus didesain
sedemikian rupa sehingga tersedia bagi setiap orang, tidak menyebabkan pencemaran dan kerusakan yang menghancurkan nilai guna.
Pemanfaatan sumber daya alam dengan logika kapitalisme telah menimbulkan munculnya perilaku rent seeking. Kegiatan mencari rente rent
seeking didefinisikan sebagai upaya individual atau kelompok untuk
meningkatkan pendapatan melalui pemanfaatan regulasi pemerintah. Kelompok- kelompok bisnis dan perseorangan mencari rente ekonomi ketika mereka
menggunakan kekuasaan pemerintah untuk menghambat penawaran atau peningkatan permintaan sumber daya yang dimiliki Clark, 1998 dalam Yustika
2006. Rent-seeking activity dapat ditelusuri dari persekutuan bisnis besar dengan birokrasi pemerintah. Perusahaan-perusahaan swasta sebagian besar
dikuasai oleh mereka yang memiliki hubungan pribadi khusus dengan elit pemerintah. Fenomena adanya rent seeking ini terlihat dalam kepemilikan pulau-
pulau kecil di Kepulauan Seribu oleh individu dan kelompok, kegiatan pariwisata bahari dan penguasaan pulau untuk kegiatan industri tertentu, beroperasinya
kapal-kapal penangkap ikan dengan teknologi tangkap yang modern dan kolaborasi antara pengusaha pemerintah dalam pembangunan sarana umum. Pada
masa orde baru, gejala rent seeking ini sangat kental sekali dan kepemilikan PPK di Pulau Seribu adalah contoh nyata hak istimewa yang dimiliki oleh individu,
pengusaha dan perusahaan tertentu yang memiliki kedekatan dengan elite pemerintah dan dalam banyak kasus dengan Suharto.
Perilaku rent seeker
tidak saja membuat alokasi sumber daya ekonomi melenceng, lebih dari itu, dorongan mendapatkan keuntungan besar dari sebuah
aktivitas produksi akan melahirkan destruktifikasi SDA meskipun mengakibatkan langkanya SDA dan pada gilirannya mereproduksi kemiskinan. Individu atau
kelompok yang mendapatkan keuntungan dengan cara mengekploitasi SDA di tengah penderitaan orang lain oleh Chang 2008 disebut sebagai Bad Samaritan.
Bad Samaritan telah menyebabkan kerusakan SDA sekaligus melahirkan kemiskinan kronis. Untuk mencegah gejala rent seeking Buchanan mengusulkan
agar pemerintah membuat regulasi yang memungkinkan pasar berjalan secara sempurna melalui peniadaan halangan masuk no barrier to entry bagi pelaku
ekonomi dan peningkatan persaingan. Sedangkan menurut Grindle 1991 dan Krueger 1998 dalam Dasgupta 1998 untuk mengurangi rent seeker melalui
kebijakan yang tepat seperti mengubah kebijakan lisensi impor menjadi kebijakan tarif, membuka aliran informasi, mengaplikasikan sangsi moral dan menerapkan
kebijakan liberalisasi dan privatisasi yang terukur. Usulan yang berhaluan liberal
ini bisa saja mengurangi perilaku rent seeking, namun liberalisasi ekonomi justru melahirkan efek lain seperti kemiskinan dan kerusakan sumber daya alam. Rent
seeking akan selalu ada selama tingkat kebutuhan akan barang dan jasa selalu
naik, penegakan hukum tidak berjalan efektif dan persoalan pemenuhan basic need
belum tuntas. Setidaknya solusi tersebut akan mengalami hambatan yang berarti untuk diterapkan di Indonesia dan negara-negara berkembang lainnya.
Perilaku rent-seeker sangat sulit diberantas di Indonesia karena gejalanya sudah masuk di hampir semua lini ekonomi. Untuk memberantas gejala rent seeking
activity dibutuhkan perubahan yang progresif dalam kebijakan pemerintah
khususnya kebijakan ekonomi, penegakan hukum, pemberian reward and punisment
dijalankan dengan baik dan penguatan kelembagaan di tingkat elit birokrasi sampai masyarakat berjalan maksimal. Bahkan bagi sebagian ekonom
rent seeking activity hampir tidak bisa diputus karena birokrasi Inonesia masih
identik dengan perilaku korup. Pemberantasan rent seeking activity harus diawali dengan penegakan good governance. Bagi Gorz 2003 selama ketidakadilan
akibat kekuasaan dan hak-hak istimewa tidak dihapuskan maka kemiskinan tidak akan pernah hilang. Dibutuhkan sebuah revolusi kultural untuk secara progresif,
masyarakat negara-negara maju dan perkotaan merubah cara menkonsumsi terhadap barang dan jasa.
4 Kebijakan pemerintah yang bias policy bias
Ketidaktepatan kebijakan dan program pemerintah serta buruknya sistem pengelolaan terhadap sumber daya pesisir dan laut, menyebabkan kemiskinan
masyarakat Kelurahan P. Panggang. Bentuk policy bias dapat diperhatikan dengan beroperasinya armada tangkap dengan teknologi canggih dan destruktuf.
Beroperasinya kapal-kapal arat modifikasi trawl dan alat tangkap canggih lainnya seperti mouroami, purse seine, payang dan dogol telah melahirkan
kemerosotan penghasilan nelayan tradisional yang merupakan kelompok terbesar responden miskin. Akses terhadap teknologi canggih dan armada yang besar
hanya bisa dimanfaatkan oleh para juragan dan nelayan-nelayan besar dan para bakul yang mempunyai modal besar untuk operasi. Sedangkan buruh nelayan dan
nelayan-nelayan kecil –mayoritas nelayan Kelurahan P. Panggang- tidak bisa mengakses fasilitas tersebut. Nelayan tradisional terjebak dalam ikatan
ketergantungan yang ekploitatif dan tidak adil bagi nelayan kecil. Sedangkan pemerintah tidak mampu melakukan intervensi terhadap harga, menfasilitasi
modal dan pasar serta membuat program pemberdayaan masyarakat miskin. Kebijakan modernisasi perikanan merupakan bentuk ketidaktepatan kebijakan
yang dijalankan pemerintah. Kebijakan modernisasi sejak tahun 1969-1990 memang telah berhasil meningkatkan produksi perikanan tapi menurut Mubyarto
1984 seperti hasil kajiannya di Jepara menemukan bahwa modernisasi perikanan bukan hanya melahirkan konflik sosial antara nelayan modern pengguna teknologi
canggih dengan nelayan traisional tetapi juga melahirkan kemiskinan bagi nelayan tradisional yang sudah miskin. Fakta tersebut terlihat juga dari kondisi nelayan-
nelayan ikan karang yang kebanyakan menggunakan perahu motor tempel, tidak banyak mengalami perbaikan dalam ekonominya bahkan produktifitas perikanan
diakui semakin menurun. Hal itu terjadi mulai tahun 2000an yang ditandai oleh maraknya kapal-kapal bermotor dengan alat tangkap purse seine, arad, dogol,
payang dan muoroami. Parahnya kapal-kapal tersebut kebanyakan tidak dimiliki oleh nelayan Kepulauan Seribu dan hasil tangkapannya didaratkan di Jakarta.
Kebijakan yang tidak tepat juga terlihat dari kurangnya pelayanan pemerintah dalam menfasilitasi kebutuhan masyarakat serta banyak pemborosan
biaya proyek sebagai akibat tidak berfungsinya sarana yang telah dibangun. Menurut Baihaqie tingkat permasalahan tertinggi di P. Panggang berasarkan hasil
FGD dengan masyarakat menyatakan bahwa 15,69 pemerintah tidak melayani dan 15,69 pembangunan tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Kedua
permasalahan ini menempati urutan kedua dan ketiga dari delapan permasalahan utama yang ada di P. Panggang.
Kondisi keterbatasan aspek teknis-teknologis ini semakin diperparah dengan adanya kenaikan BBM pada tahun 2005 yang terjadi dua kali dan tahun
2008 ini. Proporsi BBM mengambil sekitar 40 dari total biaya operasional nelayan. Meskipun terjadi penurunan BBM saat ini, namun harga di eceran sudah
terpatok tinggi yang disertai dengan masih mahalnya harga-harga bahan pokok. Akibatnya, biaya operasional nelayan alam melaut semakin tinggi dan parahnya
tidak berimbang dengan hasil tangkapan yang semakin berkurang serta harga ikan yang stagnan. Jika musim barat datang seperti saat ini Desember-Januari yang
ditandai oleh cuaca buruk, banyak nelayan yang tidak melaut dan akibatnya produksi berhenti. Ketergantungan yang tinggi hanya pada usaha melaut, pada
sebagian masyarakat pesisir, merupakan saat paceklik dan menjebak nelayan dalam pola patron-klien.
Bias kebijakan terlihat juga dalam pola hubungan ekonomi dan pembangunan yang berorientasi kepada daerah perkotaan. Bias perkotaan ini
terlihat dari padatnya sarana pembangunan di wilayah kota dan minimnya aksesibilitas di wilayah pheri-pheri seperti Kepulauan Seribu. Pembagian
Gunder Frank dengan apa yang disebut ”negara metropolis maju” dan ”satelit terbelakang
” menjadi benar adanya ketika melihat terbatasnya sarana transportasi antar pulau, adanya sarana kesehatan seperti RS yang tidak dilengkapi dengan
fasilitas dan peralatan kesehatan serta tiadanya fasilitasi terhadap permodalan, pasar dan teknologi. Sedangkan di Jakarta, kemajuan sangat pesat, aktivitas
industri berkembang cepat dan sarana terpenuhi dengan lengkap. Kondisi ini melahirkan pola hubungan dominasi-exploitatif antara Jakarta dan Kepulauan
Seribu yang mengakibatkan ketergantungan yang tinggi terhadap pasar Jakarta dan tergerusnya sumber daya laut dan pesisir Kepulauan Seribu untuk pemenuhan
kebutuhan masyarakat Jakarta. Dalam aras makro, policy bias ini lahir dalam bentuk ketiadaan kebijakan
yang tepat dalam pengelolaan sumber daya pesisir dan laut sehingga seringkali melahirkan degradasi sumber daya dan tidak optimalnya pemanfaatan terhadap
sumber daya. Policy bias juga ditandai oleh strategi pertumbuhan ekonomi yang diprediksi dapat meneteskan efek pembangunan ke daerah pedesaan dengan
menjadikan kota sebagai pusat aktivitas ekonomi dan mendorong investasi dan arus modal ke daerah pedesaan. Asumsi neoklasik ini terbukti gagal dan justru
melahirkan jurang kemiskinan yang makin tinggi di daerah pinggiran pheri- pheri
seperti Kepulauan Seribu. Permintaan ekspor yang tinggi terhadap ikan tertentu mendorong maraknya aktivitas penangkapan dengan menggunakan
teknologi canggih modernisasi perikanan yang menggeser nelayan tradisional semakin ke pinggir dan terdesak. Permintaan ekspor tersebut juga terjadi pada
pola perdagangan karang hidup dan ikan hias yang marak di Kepulauan Seribu. Masyarakat didorong untuk berkompetisi memenuhi kebutuhan pasar dunia ikan
hias. Penangkapan ikan hias dapat diakses oleh nelayan dan pedagang besar pemilik modal dan teknologi. Nelayan tradisional dan penangkap ikan hias tetap
terbelit dalam kemiskinan karena terjadinya surplus produksi yang tinggi dari nelayan ke pedagang kecil-pedagang besar-eksportir. Pola pembagian kerja yang
tidak adil ini menghasilkan keuntungan yang hanya dinikmati oleh pemilik modalbakul yang punya akses pasar.
Demikian halnya dengan perdagangan karang hidup. Upaya rehabilitasi terumbu karang memang dilakukan di P. Panggang dan P. Pramuka. Namun
kegiatan tersebut ternyata hanya tameng bagi berlakunya perdagangan karang. Terumbu karang pada usia F2 yang seharusnya layak tumbuh, bukan
dikembalikan kepada alam untuk meregenerasi, namun diambil dan diperdagangkan. Perdagangan karang ini menjadi usaha tersendiri yang
menguntungkan dan hanya dilakukan oleh kelompok kecil dari nelayanmasyarakat pesisir P. Panggang. Pemerintah sejatinya mengetahui kedua
aktivitas ini, tapi karena ketiadaan kebijakan yang tegas dan menguatnya perilaku rent-seeking
oleh pedagang, mengakibatkan aktivitas ini terus berjalan tanpa reserve
. Gerak pemerintah juga terkesan lambat dan kurang serius dalam mencari
jalan keluar bagi meningkatnya jumlah penduduk di Kelurahan P. Panggang. Kalaupun terdapat upaya program KB tetapi masyarakat juga tidak diberikan
alternatif lain bagi terbukanya diversifikasi usaha sehingga dapat meningkatkan kualitas hidupnya. Keterbatasan lahan di P. Panggang dan Pramuka ditambah
tidak adanya alternatif usaha bagi masyarakat untuk meningkatkan produktifitasnya membuat masyarakat tidak ada alternatif untuk melangsungkan
hidupnya di tempat lain. Sedangkan kebutuhan akan barang dan jasa semakin meningkat seiring dengan naiknya jumlah penduduk. Di sisi lain kegiatan
pariwisata bahari dan banyaknya pulau-pulau wisata, tidak banyak melibatkan masyarakat dalam pengelolaannya. Tekanan hidup seperti itu mendorong
masyarakat untuk menempuh jalur cepat dan berpikir jangka pendek untuk memenuhi kebutuhannya. Karena ketergantungannya yang tinggi terhadap
ekosistem laut, maka sumber daya yang berada di dalamnya menjadi sasaran ekploitasi yang kadang dilakukan dengan cara destruktif.
5 Rendahnya sumber daya manusia
Tingkat pendidikan yang rendah, perilaku boros dan cenderung destruktif terhadap alam, budaya malas dan perilaku negatif lainnya dituding sebagai akibat
dari rendahnya kualitas SDM masyarakat pesisir. Jika melihat data IPM terlihat bahwa kondisi SDM di Kepulauan Seribu masih sangat jauh tertinggal dari
Jakarta. Ranking IPM Kepulauan Seribu pada urutan 233 dari 456 KabupatenKota di Indonesia sedangkan Kota-kota di Jakarta rata-rata masuk
dalam urutan 5 besar se Indonesia. Hasil survey juga menunjukkan realitas tersebut. Sebanyak 64,29 responden rata-rata tidak sekolah dan hanya lulus SD.
Rendahnya kualitas SDM ini juga terungkap dalam penelitian Baihaqie 2004 meskipun hanya menempati urutan ke empat dan tidak menjadi prioritas bagi
masyarakat P. Panggang. Realitas rendahnya SDM ini berpengaruh terhadap persepsi dan perilaku
masyarakat terhadap sumber daya pesisir dan laut. Masyarakat tidak banyak memahami fungsi penting ekosistem pesisir. Akibat pengrusakan sumber daya
pesisir melalui kegiatan penangkan yang destruktif, kerap kali dilakukan. Pola pembangunan yang top down dan menghilangkan kreatifitas masyarakat,
ditambah dengan tidak adanya pelatihan, penyuluhan dan kurang memberikan peran serta masyarakat dalam pembuatan keputusan, menambah daftar panjang
ketertinggalan SDM P. Panggang dan Pramuka. Minimnya sarana pendidikan baik formal maupun informal, aksesibilitas yang terbatas, menghambat laju
peningkatan kapasitas SDM. Rendahnya kualitas SDM P. Panggang dan Pramuka tidak semata karena
ketidakmaun masyarakat untuk meningkatkan SDM nya tapi lebih karena permasalahan struktural dan bias kebijakan pemerintah. Pelayanan pemerintah
yang kurang merupakan salah satu bentuk fakta tersebut ditambah banyaknya sarana fisik yang terbangun dan minimnya pembangunan sosial dan lingkungan,
semakin menyudutkan masyarakat ke dalam jurang kebodohan dan kemiskinan.
6 Lemahnya penegakan hukum
Lemahnya penegakan hukum tercermin dari makin maraknya operasi armada tangkap dengan menggunakan alat tangkap arad modifikasi trawl di
perairan Kepulauan Seribu. Beroperasinya alat tersebut telah mengancam
kehidupan nelayan-nelayan tradisional yang dominan di Kelurahan P. Panggang. Penggunaan potasium dan pengambilan batu karang terlihat oleh masyarakat
sebagai hal biasa dan bersifat keseharian. Masyarakat melihat ada semacam pembiaran terhadap praktek tersebut. Penggunaan batu karang untuk pondasi
bangunan bahkan sering digunakan dalam proyek-proyek pembangunan sarana oleh pemerintah.
Lemahnya penegakan hukum menurut Baihaqie 2004 karena kurangnya pelayanan pemerintah dalam memberikan fasilitas kepada aparat hukum. Tidak
adanya sarana transportasi untuk beroperasinya aparat, minimnya perlengkapan dan tidak tegasnya peradilan saat ada pelanggaran, melahirkan kekosongan
hukum. Peluang hukum yang lemah seperti ini yang menjadikan masyarakat apatis, tidak peduli terhadap kelangsungan sumber daya dan terbiasa dengan
pengrusakan sumber daya. Akibat tidak adanya ketegasan alam penegakan hukum, masyarakat
cenderung ikut serta melakukan upaya penangkapan dengan cara destruktif. Dukungan masyarakat akhirnya juga kurang dalam penegakan hukum karena
seringkali tidak banyak dilibatkan dalam proses tersebut. Kondisi ini diperparah dengan adanya budaya konkalingkong antara aparat keamanan dengan pelaku,
antara birokrasi desa dengan masyarakat pelaku, sehingga masyarakat dihadapkan pada dilema antara pemenuhan kebutuhan hidup yang makin mendesak dan upa
menjamin kelestarian lingkungan bagi masa depannya. Pada level permasalahan yang lebih tinggi, budaya korupsi ini menjadi
faktor utama yang menyebabkan tata kelola pemerintahan tidak berjalan dengan baik. Sistem hukum lebih banyak ”memberikan” jaminan keamanan dan keadilan
bagi kaum kelompok kaya meskipun bersalah dibandingkan kaum miskin yang menjadi korban. Maraknya rent seeker di lingkungan pemerintah maupun swasta
dan kolaborasi keduanya semakin memburamkan masa depan kesejahteraan nelayan tradisional.
Gambaran permasalahan yang menyebabkan rendahnya daya dukung lingkungan dan ekologis PPK dipaparkan dalam Gambar 13 di bawah ini.
Permasalahan ini berasal dari hasil wawancara dan analisis terhadap permasalahan
baik yang muncul saat survey dilakukan maupun sebelumnya. Penelitian atas permasalahan ini bersifat saling mempengaruhi dan terkait satu dengan lainnya.
Gambar 13 menjelaskan adanya beberapa permasalahan yang mengakibatkan rendahnya daya dukung lingkungan dan ekologis P. Panggang dan
P. Pramuka. Permasalahan tersebut ada yang berpengaruh secara langsung seperti Degradasi ekosistem pesisir dan laut, lemahnya penegakan hukum, keterbatasan
lahan pulau dan kebijakan pemerintah yang kurang tepat. Sedangkan perilaku negatif masyarakat yang selam ini dituding sebagai penyebab utamanya lebih
disebabkan karena tata kelola pemerintah tidak berjalan dengan baik. Demikian halnya dengan tingginya jumlah penduduk merupakan bentuk pengalihan masalah
oleh negara-negara dan daerah-daerah maju untuk mengalihkan tanggungjawabnya kepada korban yaitu negara-negara berkembang dan
msayarakat pedesaanPPK sebagai akibat dari industrialisasi, ekploitasi berlebih SDA serta gaya hidup konsumtif dan mewah yang telah menimbulkan bencana
sosial dan kerusakan lingkungan. Kepadatan penduduk merupakan penyebab tidak langsung dan memperburuk kondisi lingkungan yang telah rusak akibat pola
investasi kapitalistik, industrialisasi dan gaya hidup negara-negara maju dan kota- kota besar.
Pada aras menengah muncul permasalahan-permasalahan pendukung yang lebih bersifat internal dan memperkuat permasalahan pokok. Pada aras yang
paling tinggi dan bersifat eksternal terlihat beberapa permasalahan yang membutuhkan intervensi pemerintah dalam membuat kebijakan terkait dengan
pengelolaan SDPL dan pengentasan kemiskinan.
Gambar 13 Faktor yang Mempengaruhi Rendahnya Daya Dukung Ekologi TK dan Lingkungan Pulau
DAYA DUKUNG PULAU RENDAH
kepadatan penduduk
Prilaku individu negatif
masyarakat Degradasi SDPL
khususnya ekosistem TK
Kebijak an tdk
tepat
Pembangunan tdk berdasar
kebutuhan masy
Lemahnya penegakan
hukum Tidak
efektifnya program KB
Minimnya penyuluhan
dan sosialisasi Pandangan
tradisional tentang banyak anak
banyak rejeki
Pengeboman dgn potasium
Pariwisata bahari yg tdk
terkelola dgn baik
Beroperasinya kapal-kapal
arad Ekonomi
lemah Industrialisasi
dan kemajuan teknologi
Konsentrasi modal di
perkotaan
Keterbatas an lahan
Faktor alamiah pulau
Pembukaan lahan unt
sarana umum Alokasi ruang
pemanfaatan ruang tdk jelas
Pelayanan pemerintah
kurang Sarana
pembangunan yg tdk
terpakai Miskinnya
faktor keteladanan
Ketidaktegasan aparat hukum
Pelayanan pemerintah
kurang Terbtasnya
sarana dan pelayanan
Tata kelola pemerintahan
yg jelek
Perencanaan pengelolaan
SDPL tdk jelas Modernisasi
perikanan
Keterbatasa n sarana
keamanan Budaya
konkaliko ng
Dukungan pemerintah
daerah kurang
Dukungan masy
kurang Komprador
birokrat
Keterbatasan akses thd
SDPL Pembangunan
bias perkotaan Prilaku hidup
konsumtif Pola
pembangunan top-down
Gaya hidup mewah dan
modern
Prilaku korupsi
Rent seeking
Kenaikan BBM
Tdk tepatnya kebijakan
pengaturan kepadatan
penduduk Privatisasi
lahan Mode produksi
kapitalistik
Masyrakat terdesak oleh
kegiatan industri
KAPITALISME NEGARA
BERKEMBANG
Krisis reproduksi
7.1.2 Faktor Penyebab Rendahnya Tingkat Kesejahteraan
Untuk melihat faktor penyebab rendahnya kesejahteraan masyarakat setidaknya perlu meninjau kembali indikator-indikator responden miskin, baik
yang bersumber dari institusi resmi BPS maupun yang langsung dari masyarakat. Peninjauan ini akan bergerak pada aras makro Kabupaten
Kepulauan Seribu dan mikro P. Panggang dan P. Pramuka. Pada aras makro, beberapa indikator dapat dijadikan sebagai parameter seperti perkembangan IPM,
jumlah masyarakat pra sejahtera dan sejahtera I, tingkat kesenjangan wilayah dan parameter kemiskinan regional lainnya. Sedangkan pada aras mikro dapat ditinjau
kembali hasil survey dan analisis data primer yang didasarkan pada kriteria BPS dan kriteria versi masyarakat sendiri.
Tabel 82 Evaluasi Tingkat Kemiskinan Regional Tahun 2006
Uraian DKI Jakarta
Kepulauan Seribu
Jumlah penduduk miskin 675,718
3,882 Jumlah rumah tangga miskin
160,480 1,043
Poverty Gap Index P1 0.78
2.69 Poverty Severity IndexP2
0.2 0,80
IPM 76.3
69.3 Pengeluaran perkapita Rp
669.643 411.303
Garis kemiskinan Rpkapitabln 237,735
270,071
Catatan : pengambilan data dilakukan dengan metode berbeda dg PSE 2006 data tahun 2007
Sumber : 1 Potret sosial ekonomi Propinsi DKI Jakarta, BPS Jakarta 2006 diolah 2 Data dan informasi kemiskinan 2005-2006, BPS jakarta 2006 diolah
Evaluasi tingkat kemiskinan regional sebagaimana yang terdapat dalam Tabel 82, memperlihatkan bahwa Kepulauan Seribu merupakan kantong
kemiskinan yang terdapat di wilayah Propinsi DKI Jakarta. Hal itu tergambar dari jumlah persentase penduduk miskin yang jauh di atas rata-rata kemiskinan di DKI
Jakarta, demikian juga dengan jumlah penduduk miskin. Jika jumlah penduduk Kepulauan Seribu tahun 2006 sebanyak 11.920 jiwa Kecamatan dlm angka,
2007 maka jumlah penduduk miskin di Kepulauan Seribu mencapai sekitar 33 dari total jumlah penduduk di Kep. Seribu atau sebesar 0.6 dari seluruh total
penduduk miskin di DKI Jakarta. Tingkat kedalaman P1 dan keparahan P2
kemiskinan juga termasuk dalam kategori paling parah dengan tingkat kedalaman paling tinggi di antara KabupatenKota lain di DKI Jakarta.
Data di atas secara singkat memberi gambaran bahwa terjadi kesenjangan yang cukup tinggi antara Kepulauan Seribu dengan KabupatenKota lain di DKI
Jakarta. Lokasi Kepulauan Seribu yang cukup jauh untuk dijangkau, akses terbatas dan terdiri dari pulau-pulau, dianggap sebagai salah satu kendala
terbatasnya program-program pembangunan masuk ke Kepulauan Seribu. Di samping itu status Kepulauan Seribu yang baru menjadi Kabupaten baru sejak
tahun 2002, merupakan kendala ketertinggalan pembangunan antara Kepulauan Seribu dengan KabupatenKota lain di DKI Jakarta. Namun sebagai wilayah yang
sangat dekat dengan kekuasaan dan pusat ibu kota, setidaknya pembangunannya tidak jauh tertinggal jika pemerintah Propinsi dan Pusat betul-betul
memperhatikan Kepulauan Seribu. Karena faktanya, pulau seribu dijadikan sebagai salah satu andalan wisata bahari oleh Propinsi DKI Jakarta dan
mempunyai sumber minyak yang memberikan kontribusi cukup besar bagi DKI Jakarta. Namun, potensi dan investasi tersebut faktanya tidak berkontribusi apa-
apa terhadap kemajuan pembangunan di Kepulauan Seribu. Penyedotan dan kapitalisasi sumber daya alam dengan nilai investasi yang tinggi diperkirakan
hanya masuk kepada DKI Jakarta tanpa menetes ke masyarakat Kepulauan Seribu. Banyak pulau-pulau kecil yang dimiliki perorangan, swasta dan kelompok
tertentu, pariwisata bahari yang menawarkan investasi mahal untuk sebuah panorama pantai, padatnya aktivitas ekonomi, jasa di pesisir Jakarta serta kegiatan
perkapalan, pelayaran di perairan Teluk Jakarta dan Kepulauan Seribu ternyata tidak berdampak penting bagi Kepulauan Seribu. Terjadi surplus produksi yang
tidak ketahuan alirannya dan seharusnya dinikmati oleh masyarakat Kepulauan Seribu. Pesatnya pembangunan di DKI Jakarta ternyata tidak diikuti oleh
pembangunan di Kepulauan Seribu. Kemiskinan di tingkat regional tersebut semakin mendapatkan justifikasi
dengan memperhatikan data kemiskinan responden yang terdapat di salah satu Kelurahan Kepualaun Seribu yaitu di Kelurahan P. Panggang yang diwakili oleh
P. Panggang dan P. Pramuka. Tabel 82 menunjukkan betapa kemiskinan pada tingkat regional memberikan imbas kepada responden-responden yang ada di P.
Panggang dan P. Pramuka. Data di bawah memperlihatkan bahwa beberapa indikator pokok kualitas hidup manusia seperti kepemilikan rumah, pendidikan,
kesehatan dan pendapatan responden masih terlihat tinggi. Artinya untuk beberapa indikator kualitas hidup yang pokok, responden di P. Panggang dan P.
Pramuka belum bisa memenuhi. Meskipun beberapa indikator sudah menunjukkan angka yang lebih baik seperti keikutsertaan program KB,
kepemilikan luas lantai 8 m
2
, kepemilikan aset seperti televisi, tabungan dan sarana perikanan juga cukup tinggi. Pada beberapa indikator menunjukkan
perbaikan, tetapi masih lebih banyak indikator yang menunjukkan ketidakmampuan responden miskin dalam memenuhinya. Indikator-indikator
yang menjadi evaluasi bagi perkembangan responden miskin di P. Panggang dan P. Pramuka dapat dilihat pada Tabel 83.
Tabel 83 Evaluasi Perkembangan Responden Miskin di P. Panggang dan P. Pramuka, Kelurahan P. Panggang
Uraian P. Panggang P. Pramuka
Total
Status rumah menumpang pada rumah saudaraorang tua
6.67 14.81
10.53 rumah kontrakan
3.70 1.75
semi permanen 23.33
45.45 34.00
bahan rumah berupa papanbilik 10.00
13.64 12.00
Kondisi rumah rumah tanpa atap
10.00 0.00
5.36 lantai berupa tanah
6.67 11.11
8.77 luas lantai 8 m2
10.00 14.81
12.28 kepemilikan WC sendiriumum
51.72 38.46
45.45 Sumber penerangan non-listrik
100.00 jenis bahan bakar untuk memasak
minyak tanah
Pendidikan kepala rumah tangga yang tidak sekolah
17.24 3.70
10.71 SD
55.17 51.85
53.57 tidak punya kemampuan menyekolahkan anak
10.00 22.22
15.79
Kesehatan tidak ikut serta dalam program KB
26.67 25.93
26.32 tidak mendapatkan akses air bersih
17.24 51.85
33.93 Keperluan Air untuk minum
air hujanledeng
Pendapatan pendapatan 500000
17.24 11.11
14.29 pendapatan tidak tetap, musiman
62.07 37.04
50.00 pendapatan harian
31.03 62.96
46.43
Kepemilikan aset kepemilikan perahu
67.86 81.82
74.00 kepemilikan TVDVD
96.55 85.19
91.07 Kepemilikan sepeda motor
3.45 11.11
7.14 Kepemilikan tabungan tidak memiliki
43.33 51.85
47.37
pola pakaian setahun membeli satu kali pakaian baru
82.14 48.15
65.45 tidak punya pakaian untuk acara-acara khusus
32.14 11.11
21.82
Kelurahan P. Panggang
Berangkat dari fakta di atas dapat dilihat persoalan mendasar apa saja yang melatar belakangi sehingga tingkat kesejahteraan masyarakat tergolong rendah
meskipun tingkat kesenjangannya juga rendah. Menurut hasil wawancara dengan penduduk, tokoh masyarakat dan aparat desa melalui hasil kuisioner maupun
FGD, didukung juga dengan penelitian lain, terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi dan isu yang berkembang terkait tingkat kesejahteraan di P.
Panggang dan P. Pramuka antara lain : 1 rendahnya lingkungan alam; 2 rendahnya lingkungan ekonomi; 3 rendahnya lingkungan sosial ; 4 Rendahnya
lingkungan politik; 5 rendahnya sarana dan pelayanan;
1 Rendahnya lingkungan
alam
Alasan rendahnya kualitas sumber daya dan lingkungan pesisir dan laut Kerusakan lingkungan pesisir dan laut disebabkan oleh beberapa hal yang
masih terjadi sampai saat ini seperti masih adanya penggunaan potasium dalam penangkapan ikan hias, penangkapan ikan berlebih dan memburuknya kualitas
perairan. Tabel 85 di bawah ini menunjukkan bahwa dalam penggunaan potasium sebanyak 17,86 responden di P. Panggang menyatakan pernah terjadi
kerusakan dengan potasium, 42,86 menyatakan tidak pernahjarang terjadi dan 39,29 menyatakan pernah terjadi tapi sudah lama sekali dan sekarang sudah
tidak terjadi lagi. Sedangkan menurut penuturan responden di P. Pramuka kerusakan lingkungan pesisir dan laut karena penggunaan potasium sudah tidak
pernahjarang terjadi dan sebanyak 46,15 responden menyatakan pernah terjadi tetapi sudah lama sekali. Penurunan penggunaan potasium dalam penangkapan
ikan khususnya ikan hias menunjukkan semakin meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap kelestarian ekosistem dan lingkungan laut. Namun
menurunnya penggunaan potasium tersebut bisa juga disebabkan karena ekosistem terumbu karang khususnya yang rusak sudah sangat tinggi sehingga
ketersediaan sumberdaya ikan juga makin turun dan menipis. Akibatnya nelayan tidak lagi menggunakan potasium dalam menangkap.
Penyebab kerusakan lain dapat disebabkan karena penangkapan ikan berlebih sampai mencapai kondisi kritis bagi ketersedia sumber daya ikan.
Namun hampir semua responden di P. Panggang maupun P. Pramuka menyatakan bahwa aktivitas berlebih sudah tidak pernah terjadi apalagi sampai sumberdaya
ikan habis. Hanya sekitar 3,45 responden di P. Panggang yang menyatakan bahwa hal itu pernah terjadi. Namun pada sisi lain, masyarakat menyatakan
bahwa hasil tangkapan mereka semakin hari semakin berkurang. Hal itu menurut mereka karena banyak beroperasinya kapal-kapal nelayan yang menggunakan alat
tangkap mini trawl yang berasal dari luar Kepulauan Seribu. Mungkin nelayan- nelayan di Kepulauan Seribu tidak menggunakan alat tangkap terlarang tetapi
penyebabnya berasal dari nelayan luar pulau seribu. Sedangkan ketika ditanyakan tentang kualitas perairan, mayoritas
responden di kedua pulau menyatakan bahwa pencemaran yang menyebabkan
kualitas perairan menurun berada dalam batas sedang. Sebanyak 41,38 responden di P. Panggang menyatakan bahwa kualitas perairan masih aman dan
belum tercemar. Hanya 24,14 responden di P. Panggang yang menyatakan kualitas perairan di P. Panggang khususnya dan Kepulauan Seribu umumnya
dalam kondisi buruk dan 34,48 bahkan masih meyatakan kualitas perairannya dalam kondisi baik. Hal yang tidak jauh berbeda dinyatakan oleh responden di P.
Pramuka bahwa sebanyak 46,43 responden menyatakan kualitas perairan dalam kondisi sedang, 25,93 menyatakan baik dan 22,22 menyatakan buruk. Secara
umum responden di kedua pulau di Kelurahan P. Panggang tersebut menyetakan bahwa kualitas perairan dalam kondisi sedang-baik.
Perubahan kualitas perairan di perairan Kelurahan P. Panggang disebabkan karena masih adanya pembuangan limbah ke laut seperti limbah industri dan
responden. Sedangkan untuk kawasan perairan Teluk Jakarta dan Kepulauan Seribu yang dekat dengan Jakarta, kualitas perairannya dalam kondisi buruk. Hal
ini jelas karenan tinggi masukan limbah industri dan responden ke perairan Teluk Jakarta. Limbah industri berbahaya antara lain seperti logam berat, bahan-bahan
kimia beracun dan air buangan dari kawasan pertambangan di Kepulauan Seribu dapat menjadi faktor yang mengancam kualitas perairan di Kepulauan Seribu.
Isu dan permasalahan yang muncul Beberapa isu dan permasalahan masih sering terjadi menyebabkan
lingkungan pesisir dan laut menurun antara lain : •
Degradasi sumber daya pesisir dan laut Degradasi ekosistem pesisir, khususnya terumbu karang
Mayoritas penduduk P. Panggang menggantungkan hidup ke laut. Sehingga jika ekosistem pesisir dan laut mengalami kerusakan, maka hal itu akan
berakibat kepada penurunan produktifitas perikanan. Penurunan produksi berakibat kepada menurunnya jumlah pendapatan masyarakat. Ekosistem laut
yang paling berperan bagi kehidupan masyarakat P. Panggang adalah ekosistem terumbu karang. Kerusakan terumbu karang di perairan P. Panggang sudah
mencapai hampir 50 dari total ekosistem yang ada. Padahal kebanyakan dari nelayan P. Panggang merupakan nelayan ikan hias yang habitat utamanya adalah
terumbu karang. Kerusakan terumbu karang tidak hanya terjadi di perairan P. Panggang, tetapi di hampir seluruh Kepulauan Seribu keberadaannya makin
sedikit dan rentan. Menurut Terangi 2007 tingkat penutupan terumbu karang di Kepulauan Seribu 5. Kerusakan ekosistem TK ditengarai karena masih
adanya nelayan yang menangkap ikan dengan menggunakan alat tangkap terlarang seperti potasium dan sejenisnya. Disamping itu aktivitas pariwisata
yang makin intensif dan tidak mengindahkan kondisi TK menyebabkan rusaknya TK. Selain itu aktivitas perdagangan ikan hias yang makin massif yang diikuti
oleh pengambilan ikan dengan cara dan alat yang merusak TK, pengambilan batu karang untuk bangunan, diduga masih sering terjadi di wilayah perairan P.
Panggang dan Kepulauan Seribu umumnya. Degradasi ekosistem pesisir lainnya
Ekosistem pesisir dan laut lain yang tidak kalah rusaknya adalah mangrove dan lamun. Kondisi mangrove di P. Panggang dan P. Pramuka sudah sangat kritis
bahkan keberadaannya sudah tidak ada lagi kecuali sedikit terdapat di P. Pramuka. Secara umum kondisi mangrove yang tersedia baru berupa bibit dan anakan.
Habitat mangrove telah rusak sehingga saat ini baru memulai kembali untuk menanam mangrove. Bibit mangrove dapat terlihat di P. Panggang dan P.
Pramuka. Demikian halnya dengan lamun yang berasosiasi dengan terumbu karang dan mangrove. Lamun biasa menjadi habitat udang dan kerang-kerangan.
Masyarakat P. Panggang biasa melakukan penangkapan udang di ekosistem lamun. Namun seiring dengan tingginya kerusakan terumbu karang dan
mangrove, maka kondisi lamun juga sangat terbatas. Lamun biasa banyak terlihat agak lebat pada lokasi yang berdekatan dengan terumbu karang. Habitat lamun di
P. Pramuka terlihat lebih lebat dibandingkan dengan P. Panggang. •
Kualitas ekosistem pesisir dan laut menurun Kerusakan terumbu karang, akibat penangkapan ikan dengan alat tangkap
terlarang potasium, pengambilan ikan hias yang tidak diikuti dengan rehabilitasi terumbu karang, kerusakan lamun akibat kerusakan terumbu karang dan
ekosistem pantai lainnya menyebabkan berkuragnya kualitas ekosistem pesisir dan laut. Selain itu perdagangan karang yang sejatinya lebih diprioritaskan untuk
rehabilitasi terumbu karang justru lebih dominan pada aktivitas perdagangan karang. Hal itu menjadikan kualitas ekosistem pesisir dan terumbu karang
khususnya di P. Panggang dan Pramuka penutupannya mayoritas buruk-sedang. •
Eksploitasi sumber daya pesisir dan laut secara berlebihan Aktivitas penangkapan diluar batas potensi lestari, penggunaan alat
tangkap yang menggerus seperti trawl, pembatasan hasil tangkapan dan tidak adanya selektifitas dalam menangkap ikan, intensitas yang tinggi alam
menangkap, penggunaan alat tangkap terlarang seperti trawl dan modifikasinya arad, jaring hela, dogol dan alat tangkap destruktif lain seperti muoroami
menjadikan kualitas sumberdaya pesisir menurun dan penurunan produksi hasil perikanan.
Penurunan produksi disebabkan karena semakin tinggi kerusakan ekosistem pesisir dan laut seperti terumbu karang, mangrove dan lamun.
Kerusakan ekosistem tersebut mempengaruhi ketersediaan sumber daya ikan sehingga juga mempengaruhi produktifitas perikanan.
• Kerentanan usaha nelayan
Faktor lain yang menyebabkan turunnya produksi perikanan adalah beroperasi armada tangkap yang menggunakan alat tangkap terlarang di perairan
Kepulauan Seribu yang berasal dari luar P. Seribu. Alat tangkap tersebut disebut arad
yang merupakan salah bentuk modifikasi dari trawl yang jelas-jelas dilarang pemerintah. Masyarakat melihat kurangnya ketegasan hukum untuk menindak
pelaku. Bahkan masyarakat melihat seperti terjadi upaya pembiaran terhadap beroperasinya alat tangkap tersebut dan penuh aroma perselingkuhan antara
pelaku dan aparat keamanan. Disamping faktor-faktor tersebut, usaha nelayan dan perikanan merupakan usaha yang penuh dengan resiko dan tergantung kepada
musim. Usaha nelayan yang beresiko ditambah naiknya BBM yang berkontribusi besar pada biaya operasional nelayan, itambah tidak adanya upaya penegakan
hukum terhadap pelaku armada arad, menyebabkan nelayan terjepit dan rentan terhadap kemiskinan kronis
• Akses terhadap sumberdaya pesisir dan laut semakin terjangkau
Aksesibilitas meningkat baik secara fisik teknologi, jalur transportasi, pasar dan permodalan maupun kelembagaan birokrasi perijinan, pengakuan atas
hak milik oleh UU. Hal ini dapat menyebabkan perubahan kualitas lingkungan pesisir dan laut.
Pada aras yang lebih tinggi rendahnya lingkungan alam disebabkan karena adanya faktor eskternal seperti strategi pengelolaan SDPL yang kurang tepat,
ketergantungan yang tinggi terhadap pasar, aktivitas kompradorisasi dan rent seeking
serta adanya perundang-undangan yang bias kepentingan pemodal dan tidak berpihak kepada kesejahteraan nelayan tradisional.
Strategi pengelolaan SDPL selama ini lebih banyak menekan pada pertumbuhan ekonomi melalui pengembangan pariwisata bahari. Mobilisasi
investasi melalui pariwisata bahari hanya akan melahirkan ekslusifitas bagi pengelola dan menutup akses masyarakat terhadap SDPL yang dulunya
merupakan barang publik menjadi terbatas dan privat. Pola investasi ini sejalan dengan anjuran nurske 1952 yang menganggap bahwa kemiskinan dan stagnasi
disebabkan karena rendahnya pendapatan per kapita dan tabungan. Untuk menghindari dua hal tersebut, dua langkah bisa dilakukan secara serentak yaitu
tindakan untuk merangsang investasi dan memobilisasi dana investasi. Namun, Robinson 1959 menganggap bahwa kaum Neoklasik dan Keynesian tidak
mempersoalkan kandungan suatu investasi ditinjau dari perspektif sosial. Akhirnya terjadilah sistem produksi yang banyak memproduksi barang-barang
mewah. Investasi untuk membiayai barang-barang mewah ini akan berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan tingkat persediaan barang modal untuk tujuan
reproduksi dan akumulasi modal. Sejalan dengan pola investasi yang bersifat kapitalistik, instrumen lain
yang menyebabkan degradasi sumber daya alam. Bagi Singer maupun Robinson, perdagangan bebas hanya akan mengakibatkan negara-negara
berkembangpinggiran memproduksi dan mengekspor bahan mentah dan konsumen, sedangkan negara-negara maju atau negara-negara pusat,
memproduksi produk-produk manufaktur. Dalam ekonomi pasar, pemanfaatan SDA adalah memaksimalkan keuntungan dan akumulasi kapital. Permintaan
terhadap SDA dipaksakan sesuai dengan kebutuhan pasar. Orientasi pertumbuhan ekonomi dan pendapatan daerah yang tinggi hanya menghitung aktivitas-aktivitas
yang terjadi melalui mekanisme pasar, tidak peduli apakah aktivitas tersebut produktif, non-produktif atau justri destruktif. Kerusakan SDA akibat penetrasi
pasar yang tinggi mengakibatkan kelangkaan bagi SDA yang sebetulnya bermanfaat bagi stabilitas ekologi dan menciptakan bentuk-bentuk kemiskinan
baru. Fenomena perdagangan ikan hias dan karang yang cukup tinggi di Kepulauan Seribu dapat menerangkan betapa kemiskinan senantiasa melekat pada
nelayan ikan hias namun justru akumulasi kesejahteraan didapatkan oleh pengusaha ikan hias atau pendagang pengumpul. Demikian halnya yang terjadi
dalam perdagangan terumbu karang. Pengambilan karang dan upaya budidaya karang yang sejatinya ditujukan untuk menjamin kelestarian lingkungan laut,
justru dialihkan pada pemenuhan kebutuhan pasar internasional. Upaya budidaya karang tidak berkorelasi positif dengan tingkat pemulihan ekosistem terumbu
karang. Rendahnya lingkungan alam juga disebabkan karena pola tingkah laku
elite penguasa yang berkolaborasi dengan pemilik modal dalam melakukan ekploitasi terhadap SDA. Santos 1976 menyebutkan bahwa elit penguasa yang
mengambil keuntungan dari pola kolaborasi dengan pemilik modal harus bertanggungjawab terhadap timbulnya proses ekploitasi yang luas dan dalam
terhadap masyarakat miskin. Bagi Santos 1976, kemiskinan dan keterbelakangan negara miskin tidaklah selalu ditentukan karena ”faktor luar”
tetapi juga harus melihat ”faktor dalam” di negara-negara miskin. Cardoso menyebut kalangan elite yang dominan ini sebagai kelompok komprador.
Komprador birokrat inilah yang menjembatani kepentingan kapitalis, kekuatan modal dalam mengekploitasi SDA.
Perilaku komprador
ataupun maraknya
rent seeking activity dalam
pemanfaatan SDA tidak hanya dilakukan dalam pengelolaan SDA secara teknis baik melalui investasi maupun akses teknologi, tetapi juga masuk melalui
kebijakan dan perundang-undangan. Kekuatan modal yang berkolaborasi dengan birokrasi komprador berperan dalam mengatur pasal-pasal dan point-point yang
terkait dengan penguasaan SDA. Beberapa perundangan di bidang perikanan
setidaknya menggambarkan fenomena hal itu seperti UU No.31 tahun 2004 tentang perikanan dan UU No.27 tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir
dan lautan. Sebagai contoh pasal tentang Hak pengelolaan perairan pesisir HP3 dalam UU No.272007 merupakan bentuk privatisasi sumber daya pesisir dan laut
yang hanya bisa dilakukan oleh pemilik modal. HP3 secara teknis memang menjelaskan status kepemilikan SDPL sekaligus melahirkan ekslusifitas terhadap
lahan yang tadinya bernilai publik menjadi komoditas. HP3 hanya akan dipenuhi oleh kekuatan modal dan sebagai konsekwensinya masyarakat tidak bisa secara
leluasa mengakses sumber daya di dalam dan sekitarnya karena statusnya sudah menjadi privat property. Keterbatasan akses terhadap SDPL dapat mengakibatkan
aksi pengrusakan terhadap SDA sekaligus mengurangi nilai produksi hasil perikanan. Akibat penurunan produksi, pendapatan dan kesejahteraan nelayan
tradisional khususnya juga menurun.
2 Rendahnya lingkungan
ekonomi
Alasan rendahnya lingkungan ekonomi Masyarakat di P. Panggang dan P. Pramuka sangat menggantungkan
hidupnya pada laut dan sumber daya perikanan yang berada di dalamnya. Kondisi geografis berupa pulau kecil dan dikelilingi laut menjadikan tidak adanya banyak
pilihan dalam berprofesi. Kalaupun ada diversifikasi usaha, semuanya masih berkaitan dengan perikanan. Ketergantungan terhadap satu sumber penghasilan
ini dapat menciptakan kerentanan. Hal itulah yang menjadikan masyarakat Kepulauan Seribu dan Kelurahan P. Panggang khususnya masih terbelit dengan
kemiskinan dan rendahnya kesejahteraan mereka. Selain itu, jika terjadi kerusakan terhadap ekosistem pesisir dan laut atau adanya degradasi sumber daya
ikan seperti yang belakangan banyak dikeluhkan oleh nelayan karena beroperasinya kapal-kapal trawl, menyebabkan kerentanan bagi kehidupan
mereka. Rendahnya lingkungan ekonomi juga dapat disebabkan oleh faktor
eksternal seperti terkonsentrasinya modal keungan, ilmu dan teknologi di Jakarta. Pola investasi dalam bentuk pariwisata bahari, perdagangan dan jasa yang
berkembang di Kepulauan Seribu hanya menghasilkan hubungan yang tidak
seimbang. Surplus produksi yang harusnya dirasakan oleh masyarakat Kepulauan Seribu, faktanya justru hampir semuanya masuk ke Jakarta. Permintaan barang
dan pasar yang luas di Jakarta juga mendorong masyarakat untuk memenuhi dan berperilaku konsumtif. Fakta rendahnya lingkungan ekonomi tersebut tergambar
dari tingginya angka kemiskinan di Kepulauan Seribu, parahnya tingkat kemiskinan, nilai IPM yang masih jauh tertinggal dari Jakarta dan pendapatan
rata-rata masyarakat yang masih rendah. Degradasi sumber daya pesisir dan laut pada satu sisi, keterbatasan lahan
pada sisi lain serta padatanya penduduk, mendorong tingkat kebutuhan akan pangan dan sandang yang tinggi. Kebutuhan akan pangan didapat dengan
mendatangkan dari Jakarta dan Kepulauan Seribu menjadi masyarakat yang net- importir terhadap barang pokok. Bahkan ironisnya untuk kebutuhan akan ikan-
ikan ekonomi penting, masyarakat Kepulauan Seribu juga harus datang ke Jakarta. Pasokan ikan dari perairan Kepulauan Seribu mayoritas dimanfaatkan setidaknya
oleh masyarakat Jakarta dan sekitarnya. Sedangkan masyarakat Kepulauan Seribu sendiri hanya untuk kebutuhan pangan yang tidak lebih dari separuhnya.
Isu dan permasalahan yang muncul •
Jumlah sumber penghasilan meningkat Mayoritas responden yang diwawancarai dalam survey mengatakan bahwa
mereka memiliki lebih banyak peluang penghasilan baru dibandingkan 5 tahun yang lalu. Beberapa pekerjaan baru tercipta seiring dengan pembentukan
Kepulauan Seribu sebagai Kabupaten baru di wilayah DKI Jakarta. Meskipun sebagian masyarakat juga mengeluhkan bahwa kondisi ekonomi mereka lebih
buruk ketika Kepulauan Seribu menjadi Kabupaten dan tidak jarang penduduk yang menginginkan kembali kepada kondisi semula yaitu hanya setingkat
kelurahan. •
Lingkungan bisnis meningkat Seiring dengan terbentuknya Kepulauan Seribu sebagai Kabupaten baru,
pemerintah daerah bergiat untuk mempromosikan Pulau Seribu termasuk menjadikan Pulau Seribu sebagai kawasan pariwisata bahari. Hal ini mendorong
kemunculan investor di bidang pariwisata. Masuknya jumlah wisatawan yang
memanfaatkan keindahan laut, meningkatnya sarana prasarana umum, perkantoran dan semakin tingginya kebutuhan akan sektor jasa menjadikan
peluang baru bagi masyarakat Kepulauan Seribu dan Kelurahan P. Panggang khususnya.
• Pengenalan terhadap pasar meningkat
Dengan semakin banyak alternatif usaha dan bisnis, masuknya investasi dan tingginya lalu lintas perdagangan, menyebabkan masyarakat lebih intensif
mengenal pasar. Keterlibatan yang besar di pasar telah meningkatkan ketergantungan mereka terhadap pasar dan mengurangi tingkat swasembada
terhadap hasil perikanan •
Terbatasnya akses pembiayaan Kedekatan wilayah dengan DKI Jakarta yang dipenuhi oleh berbagai
sarana perbankan dan lembaga keuangan memberikan berbagai skim permodalan bagi ekonomi mikro. Sektor perikanan yang selama ini jarang mendapatkan akses
perbankan, mulai dilirik oleh perbankan. Ditambah dengan adanya kebijakan pemerintah melalui program PEMP, dapat memenuhi kebutuhan permodalan
usaha masyarakat. Namun demikian, program PEMP ini belum terasa sampai di Kelurahan P. Panggang.
Bagi nelayan faktor modal dan pembiayaan usaha merupakan salah satu kendala pokok bagi keberlanjutan usaha. Keterbatasan terhadap akses
pembiayaan mendorong berlakunya pola hubungan yang tidak seimbang dan ekplitatif yang sudah tertanam lama di lingkungan masyarakat pesisir yaitu
dengan para tengkulak. Tengkulak memberikan permodalan usaha dan biaya operasional lain. Tengkulak ini dapat berupa para bakul ikan maupun nelayan
skala besar. Pola hubungan yang biasa terjadi adalah antara buruh nelayan dan juragan nelayan pemilikbesar atau antara nelayan kecil dan bakul ikan.
• Ketergantungan terhadap pasar dan perdagangan bebas
Ketergantungan yang tinggi terhadap pasar terlihat pada kegiatan perdagangan ikan karang, ikan hias dan perdagangan karang hidup. Ketiga
perdagangan ikan dan karang ini bukan hanya untuk mensuplai daerah Jakarta saja tetapi juga memenuhi kebutuhan pasar nasional dan bahkan ekspor
internasional. Perdagangan ikan karang ekonomi berkualitas ekspor seperti kerapu, kakap, baronang dan ikan karang lainnya. Tujuan ekspor antara lain
negara-negara Eropa, Amerika dan Jepang. Sedangkan untuk ikan hias banyak diekspor ke Amerika, Jerman dan negara-negara Eropa lainnya.
Perdagangan lain yang paling membahayakan bagi kelestarian ekosistem sumber daya pesisir adalah karang hidup. Degradasi ekosistem terumbu karang
mendorong munculnya aktivitas budidaya terumbu karang melalui transplantasi karang. Namun faktanya kegiatan ini justru sebagian kegiatan disponsori oleh
para pengusaha yang memanfaatkan nelayan sebagai klien nya. Karang yang mulai hidup sebagian di tebar kembali ke lingkungan laut, namun tidak sedikit
yang diambil untuk dijual kembali, khususnya yang sudah berukuran F2. Namun nelayan hanya sebagai pemelihara dan pembudidaya, sehingga keuntungan yang
diterimapun tidak terlalu besar. Keuntungan terbesar justru dinikmati oleh pengusaha yang memberikan modal usaha dan menguasai pasar perdagangan
karang hidup. Transaksi ini bukan hanya mendorong ketergantungan terhadap pasar, tetapi juga memperlambat kelestarian ekosistem terumbu karang.
Dalam aras makro, penyebab rendahnya lingkungan ekonomi adalah karena keterbatasan akses terhadap SDPL, kekurangan gizi sebagai akibat
rendahnya pendapatan, privatisasi lahan akibat previlage pemerintah pada kekuatan modal dan pola investasi kapitalistik.
Privatisasi lahan dan investasi kapitalistik muncul dalam kegiatan pariwisata bahari maupun pengelolaan kawasan PPK untuk kegiatan industri dan
lainnya. Privatisasi lahan membatasi ruang akses masyarakat pesisir dan nelayan tradisional khususnya dalam memanfaatkan SDPL. Keterbatasan akses bukan
hanya menimbulkan perlawanan dari masyarakat yang dapat dilakukan melalui aktivitas destruktif karena keterdesakannya, namun sekaligus mengurangi tingkat
produktifitas perikanan. Penurunan produktifitas akan berujung pada berkurangnya pendapatan nelayan tradisional dan pada gilirannya dapat
mengakibatkan menurunnya gizi karena upaya untuk membeli tidak bisa terjangkau dengan baik.
3 Rendahnya lingkungan
sosial
Alasan rendahnya lingkungan sosial Rendahnya lingkungan sosial ditandai oleh adanya potensi konflik sosial
yang dipicu oleh nelayan dari luar Kepulauan Seribu yang menangkap di wilayah perairan Kepulauan Seribu dengan menggunakan alat tangkap terlarang berupa
arat yang merupakan modifikasi dari trawl. Beroperasi alat tangkap tersebut mengakibatkan hasil tangkapan nelayan P. Panggang dan P. Pramuka serta
Kepulauan Seribu umumnya mengalami penurunan khususnya bagi nelayan tradisional. Akses terhadap teknologi merupakan salah satu alasan yang dapat
membenarkan fakta tersebut. Kerusakan sumber daya pesisir adalah indikasi yang lain dari penurunan
produktifitas nelayan yang salah satunya disebabkan karena ketidaktahuan masyarakat akan fungsi ekosistem. Rendahnya SDM diduga karena keterbatasan
akses pendidikan yang ditandai oleh minimnya sarana pendidikan di Kelurahan P. Panggang. Pendidikan tertinggi yang ditamatkan oleh penduduk Kelurahan P.
Panggang rata-rata hanya sampai SD dan bahkan masih banyak yang tidak sekolah. Meskipun belakangan kesadaran untuk menyekolahkan anak cukup
tinggi. Rendahnya SDM manusia mempengaruhi juga perilaku masyarakat yang cenderung apatis, malas, boros dan kurang kreatif. Inisiatif masyarakat juga
rendah dalam pelaksanaan pembangunan. Keterbatasan SDM tersebut mengakibatkan rendahnya akses terhadap pengambilan keputusan di Desa.
Isu dan permasalahan yang muncul •
Rendahnya sumber daya manusia Pembangunan yang tidak sesuai dianggap oleh masyarakat sebagai
penyebab terjadinya ketidaksesuaian kapasitas manusia terutama dalam pembangunan sarana pendidikan. Pemerintah juga kurang menyediakan fasilitas
pendidikan yang memadai dan sarana transportasi untuk memperlancar arus belajar mengajar di Kepulauan Seribu. Terjadinya kerusakan sumber daya pesisir
juga disebabkan karena kurang pahamnya masyarakat terhadap fungsi ekosistem serta menimbulkan perilaku negatif karena karakter berpikirnya belum terbangun
dengan baik.
Ketidaktahuan masyarakat akan fungsi ekosistem telah menimbulkan dampak negatif berupa aktivitas pengrusakan dalam operasi penangkapan
khususnya dalam penangkapan ikan karang. Parahnya pemerintah juga tidak memberikan penyadaran yang intensif, penyuluhan dan pelatihan bagi masyarakat
sehingga kesadarannya terbangun dalam pengelolaan sumber daya pesisir dan laut SDPL.
• Pola hubungan ekploitatif di lingkungan nelayan
Hubungan dengan tengkulak merupakan pola lama yang sudah membudaya di kalangan masyarakat pesisir. Hubungan yang saling
membutuhkan tersebut biasanya banyak terjadi dalam hal pembiayaan usaha, pemasaran hasil dan pengadaan sarana. Keterbatasan akses yang dimiliki oleh
buruh atau nelayan kecil menjadikan mereka harus berhubungan dengan para juragan dan baku dalam pola hubungan kerja yang tidak berimbang. Mekanisme
pembagian hasi dalam hubungan antara juragan dan buruh nelayan senantiasa menempatkan buruh pada bagian terendah dan hasil yang minim. Kelemahan
dalam permodalan, sarana operasional dan pasar menjadi alat bagi juragan untuk terus mengekploitasi buruh. Demikian juga antara nelayan kecil dengan bakul.
Bakul mempunyai akses pasar dan modal, sedangkan nelayan kecil biasanya direpotkan oleh kedua hal tersebut. Nelayan yang mendapatkan bantuan modal
dari bakul harus menjual hasil tangkapan ke bakul tersebut yang kadang tidak sesuai dengan harga pasaran. Lemahnya bargaining position buruh dan nelayan
kecil seperti itu yang terus menjadikan buruh nelayan dan nelayan kecil senantiasa terjebak dalam jerat kemiskinan.
Pola hubungan tersebut di Kelurahan P. Panggang dapat selain pada kedua kelompok di atas, juga dapat diperhatikan pada hubungan antara nelayan ikan hias
dengan pedagang ikan hias, antara pembudidaya kerapu dengan pengusaha pemodalbakul. Pada kegiatan pengolahan hasil perikanan, interaksi tersebut
cenderung sedikit karena memang pelaku usahanya juga tidak terlalu banyak. •
Perilaku individu masyarakat Di P. Panggang perilaku masyarakat masih belum menunjukkan sikap
yang konstruktif. Beberapa perilaku negatif yang kerap kali muncul adalah malas, egois, tidak saling percaya, kurang percaya diri, apatis, konsumtif, kurang
inisiatif, kurang kompak, kurang kesadaran, pragmatis, perbedaan pandangan, tidak mau tahu dan tidak mandiri. Hal ini menurut Baihaqie 2004 disebabkan
karena pendekatan pemerintan yang sentralistik dan top-down dalam pelaksanaan pembangunan selama ini. Pola pembangunan yang ada tidak banyak melibatkan
masyarakat dalam pengambilan keputusan dan tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Akibatnya masyarakat tidak memilik tanggung jawab yang besar
dalam memelihara sarana pembangunan yang telah dibangun. Hal ini berakibat kepada banyaknya sarana pembangunan yang tidak fungsional. Aktivitas
pengrusakan yang dilakukan oleh masyarakat sebagai dampak dari perilaku negatif ini juga diawali dari apatisme masyarakat terhadap pelaksana pemerintah
dan aparat hukum yang kurang tegas dan keteladanan dalam pengelolaan SDPL. •
Konflik sosial masyarakat Konflik sosial biasanya terjadi baik dengan sesama warga maupun dengan
warga lain. Namun menurut hasil survey, tingkat konflik dengan sesama warga sangat kecil terjadi di P. Panggang dan P. Pramuka. Potensi konflik sesama warga
ini kadang-kadang bisa terjadi dengan dipicu oleh pendekatan pemerintah dalam menjalankan program pembangunan yang kurang tepat. Pemerintah seringkali
hanya melibatkan tokoh masyarakat dan kelompok warga tertentu dalam pelaksanaan proyek pembangunan. Hal itu kadang mendorong munculnya sikap
iri hati pada kelompok lainnya. Potensi gesekan konfliknya untungnya tidak sampai menjadi manifest konflik, namun jika dibiarkan terus pola pembangunan
berjalan seperti itu, bukan tidak mungkin akan menjadi konflik sosial sesama warga.
Konflik yang potensial muncul justru terjadi dengan warga daerah lain yang melakukan aktivitas penangkapan di Kepulauan Seribu dengan
menggunakan alat tangkap terlarang. Meskipun juga belum pernah menjalar menjadi konflik fisik, jika aparat tidak mengambil tindakan tegas dan pemerintah
tidak melakukan pengawasan dengan baik, bukan tidak mungkin akan menjalar menjadi manifest konflik. Konflik yang disebabkan karena modernisasi perikanan
ini terkait dengan terbatasnya akses terhadap pemanfaatan sumber daya oleh nelayan tradisional dan nelayan kecil lain karena akses teknologi yang lebih
rendah dibandingkan dengan nelayan besarnelayan pengguna alat tangkap terlarang tersebut arad.
• Gotong royong untuk kepentingan umum mulai menurun
Meskipun dalam hasil survey menunjukkan bahwa tingkat tolong menolong dan saling percaya masih tinggi di P. Panggang dan Pramuka, tetapi
masyarakat merasa sulit menggalang tindakan bersama tanpa imbal-imbal materiupah. Kondisi ini bisa jadi dipicu oleh semakin tinggi tingkat kebutuhan
masyarakat dan pola hidup konsumtif yang dipengaruhi oleh kondisi di ibu kota Jakarta.
Dalam aras makro, rendahnya lingkungan sosial disebabkan oleh beberapa faktor antara lain menguatnya budaya negatif dan gaya hidup konsumtif-
individualis, policy bias dan perdagangan bebas. Perilaku negatif masyarakat dapat disebabkan karena rendahnya tingkat pendidikan masyarakat dan
longgarnya tatanan sosial dalam masyarakat. Rendahnya SDM dalam doktrin teori liberal merupakan penyebab kemiskinan. Namun dalam kasus P. Panggang
dan P. Pramuka, mereka menganggap bahwa perilaku negatif yang berujung pada pengrusakan SDPL disebabkan karena kurangnya pelayanan pemerintah,
keterdesakan akibat beroperasinya kapal-kapal modern, lemahnya penegakan hukum dan tiadanya keteladanan pemerintah dalam pemeliharaan SDPL.
4 Rendahnya Lingkungan Politik
Alasan rendahnya lingkungan politik Rendahnya lingkungan politik bisa jadi disebabkan oleh beberapa hal
konflik sosial dengan pendatang dalam pemanfaatan sumber daya ikan dan keterlibatan para pemimpin mereka dalam proyek-proyek pemerintah. Konflik
dengan pendatang berasal dari beroperasinya nelayan luar Kepulauan Seribu yang melakukan aktivitas penangkapan dengan alat tangkap terlarang trawl yang
jelas-jelas dilarang dan merusak lingkungan. Sifat alat tangkap yang menggerus seluruh ikan di dasar dan permukaan menyebabkan menurunnya hasil tangkapan
nelayan-nelayan keciltradisional. Disamping itu keterlibatan para pemimpinaparat desa dalam tender-tender pemerintah yang menyebabkan adanya
kecurigaan masyarakat karena ketidak beresan dalam pelaksanaan
pembangunanprogram. Kurangnya transparansi di kalangan masyarakat dan semakin terbukanya akses informasi menjadikan masyarakat lebih peka dan kritis
dalam menghadapai para pemimpinaparat desa yang melanggar. Isu dan permasalahan yang muncul
• Konflik pemanfaatan sumber daya alam
Konflik biasanya terjadi terkait dengan sumber daya yang sebelumnya bebas diakses sebagai milik bersama tetapi sekarang menjadi komoditas seperti
ekosistem terumbu karang. Lingkungan sosial dan lingkungan alam berkorelasi positif. Semakin terdegradasi lingkungan alam, tingkat kohesi sosial semakin
rendah dan potensi konflik cukup besar. Hal ini cukup wajar, mengingat banyak konflik yang dipicu sumber daya alam terjadi di kawasan dengan lingkungan alam
yang kritis. Konflik perebutan sumber daya PL di Kepulauan Seribu dipicu juga
karena keterbatasan akses pemanfaatan yang disebabkan karena penggunaan teknologi penangkapan yang tidak berimbang. Itulah yang terjadi umpamanya
antara nelayan tradisional dengan nelayan yang memiliki teknologi tangkap yang lebih modern seperti kapal arad, mouroami dan jaring payang. Meskipun faktanya
gesekan yang berpotensi konflik itu lebih banyak disebabkan oleh beroperasinya armada tangakap arad dengan nelayan tradisional. Masyarakat mengaku setalah
armada tangkap tersebut banyak beroperasi, jumlah hasil tangkapan ikan nelayan P. Panggang dan P. Pramuka makin berkurang. Anehnya meskipun dimasukkan
dalam kategori alat tangkap terlarang, aparat hukum yang mengetahui hal tersebut tetap tidak bisa berbuat apa-apa dan bahkan ada kesan pembiaran. Tidak jelasnya
definisi trawl dan tegasnya aparat hukum menjadi alasan bagi nelayan-nelayan arat untuk tetap beroperasi di wilayah Kepulauan Seribu.
• Hubungan dengan pemerintah daerah meningkat
Sejalan dengan perubahan status Kepulauan Seribu sebagai Kabupaten, mendekatkan masyarakat kepada pelayanan pemerintah. Secara umum menurut
masyarakat, komitmen, kebijakan dan pelayanan informasi dari pemerintah daerah cukup baik. Akses terhadap pemerintah juga lebih baik mengingat P. Pramuka
merupakan pusat ibu kota Kabupaten Kepulauan Seribu. Sehingga semua aktivitas
pemerintahan Kepulauan Seribu lebih banyak berada di P. Pramuka. Hal ini sangat mempengaruhi kesejahteraan masyarakat P. Pramuka dan P. Panggang
yang mempunyai jarak terdekat dari P. Pramuka, disamping makin meningkatnya akses terhadap layanan pemerintah.
• Tingkat pengetahuan dan kekritisan masyarakat meningkat
Perubahan status menjadi Kabupaten dengan pusat ibu kota di P. Pramuka, menjadikan wilayah ini sebagai pusat informasi Kepulauan Seribu. Hal ini
mendorong masyarakat di P. Pramuka khususnya dan Kelurahan P. Panggang umumnya lebih terbuka terhadap masuknya perubahan dan lebih mudah dalam
mengakses berbagai informasi lebih dari satu sumber. Meskipun masih dirasa masih minim sumber informasi seperti ketersediaan koran lokal, akses internet
dan telpon rumah, namun masyarakat kelurahan P. Panggang terlihat lebih kritis dan lebih tinggi kualitas SDM nya di bandingkan dengan masyartakat pulau-pulau
lain di Kepulauan Seribu. •
Akses terhadap sumber daya terbatas Terbatasnya akses terhadap pemanfaatan sumber daya PL bisa disebabkan
oleh banyak faktor seperti teknologi, modal, pasar dan informasi. Realitas ini terjadi di P. Panggang dan P. Pramuka dalam bentuk menurunnya produktifitas
nelayan keciltradisional karena beroperasinya kapal-kapal dengan teknologi penangkapan yang lebih maju. Nelayan pengguna jaring payang, muoroami dan
purse seine dengan kecanggihan teknologinya bisa mendapatkan hasil tangkapan yang lebih besar. Selain itu perahu yang digunakan antara kapal motor dengan
perahu motor tempel, juga berpengaruh terhadap akses pemanfaatan sumber daya PL.
Keterbatasan akses terhadap SDPL juga bisa dipicu karena ketiadaan modal dan pasar. Minimnya modal bagi nelayan kecil, tidak mempunyai akses
terhadap pembeli, dan informasi harga ikan yang dimainkan oleh kelompok bakul, menjadikan ketergantungan yang terus menerus dalam hubungan yang ekploitatif
antara nelayan kecil dengan baku atau antara buruh nelayan dengan juragan.
• Kebijakan pemerintah yang bias policy bias
Pemerintah tidakkurang melayani Masyarakat P. Panggang merasakan bahwa meskipun telah terjadi
perubahan status Kepulauan Seribu menjadi Kabupaten Administratif, perilaku pemerintah sebagai abdi masyarakat belum terlihat. Masyarakat melihat
pemerintah kurang memberikan penyuluhan, pemerintah sepertinya tidak mau tahu kebutuhan masyarakat, pemerintah kurang membantu pembiayaan usaha,
terlihat kurang koordinasi, kurang komunikasi, tidak transparan dalam pelaksanaan pembangunan dan kurang perhatian. Baihaqie 2004 menyatakan
bahwa hal itu terjadi karena ketertutupan pemerintah terhadap masyarakat dan tidak adanya keteladanan pemerintah di mata masyarakat. Disamping itu
ekslusifitas pemerintah dan profesinya sebagai PNS menjadikan mereka berjarak dengan masyarakat dan merasa profesi lebih baik dari masyarakat umumnya.
Pembangunan tidak sesuai Masyarakat P. Panggang melihat pembangunan sarana dan prasarana yang
selama ini ada tidak bisa dioperasionalkan dengan baik. Sarana yang dibangun menjadi terbengkalai dan tidak berfungsi untuk pelayanan sebagaimana mestinya.
Pendekatan pembangunan yang selama ini berjalan menurut masyarakat masih berisfat fisik dan inisiatif dari pemerintah, masyarakat jarangtidak pernah
dilibatkan. Sehingga seringkali terjadi pembangunan sarana yang sebetulnya tidak dibutuhkan oleh masyarakat, sedangkan sarana yang dibutuhkan justru tidak
terbangun. Masyarakat menilai banyak terjadi pemborosan biaya pembangunan karena pelaksanaannya yang tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan tidak
memperhatikan kondisi ekosistem. Baihaqie 2004 menemukan pembangunan sarana yang menggunakan terumbu karang sebagai pondasi dan konversi lahan
terbuka menjadi lahan bangunan, banyak sarana rusak dan tidak terawat karena tidak memperhatikan perilaku masyarakat setempat.
Kepadatan jumlah penduduk Kepadatan penduduk menyebabkan tingkat kenyamanan dan kualitas
hidup berkurang. Luas P. Panggang yang hanya ± 9 Ha dengan jumlah penduduk saat ini mencapai 5481 jiwa, menjadikan kondisi bangunan rumah berdesak-
desakan, sempit dan rapat. Keterbatasan lahan pada satu sisi dan jumlah
penduduk yang tinggi pada sisi lain, menjadikan daya tampung P. Panggang sudah tidak layak lagi untuk dijadikan sebagai tempat tinggal. Harusnya
pemerintah peka terhadap masalah ini dengan mengoptimalkan padatnya penduduk dengan program-program pemberdayaan masyarakat, pelibatan
masyarakat dalam pembangunan sarana padat karya, fasilitasi pengembangan usaha, pelatihan bagi generasi mudanya dan mengupayakan relokasi penduduk ke
pulau lain yang sejenis. Namun pemerintah terlihat kurang berupaya maksimal dalam menyikapi permasalahan kepadatan penduduk di P. Panggang.
Penegakan hukum yang lemah Lemahnya penegakan hukum menurut masyarakat karena ketidaktegasan
aparat dalam menindak setiap pelanggaran. Bahkan menurut Baihaqie 2004 ada upaya menutupi karena banyak terjadi pelanggaran hukum oleh berbagai pihak
terutama dalam pemanfaatan ekosistem pesisir seperti pemanfaatan terumbu karang sebagai bahan bangunan, penggunaan alat tangkap terlarang dalam
menangkap dan penuh dengan aroma korupsi pada setiap pelanggar yang ditindak. Akhirnya tidak muncul rasa takut apalagi bertanggungjawab terhadap kelestarian
ekosistem bagi masyarakat karena mereka menganggap setiap pelanggaran pasti akan selesai dengan cara ”damai” asal dengan persediaan materi uang yang
cukup. Bahkan masyarakat melihat bahwa setiap pelanggaran yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu dilindungi oleh aparat keamanan. Kondisi seperti inilah
menyebabkan terjadinya apatisme di lingkungan masyarakat dan akhirnya masyarakatpun ikut serta dalam melakukan kerusakan terhadap sumber daya
pesisir dan laut. Modernisasi perikanan
Modernisasi perikanan tercermin dalam bentuk kemajuan teknologi alat tangkap dan armada tangkap yang dimiliki oleh nelayan. Merebaknya operasi
armada arat adalah salah satu contoh nyata modernisasi perikanan yang berdampak kepada semakin turunnya hasil tangkapan ikan nelayan-nelayan kecil.
Begitupun antara nelayan-nelayan armada besar seperti muoroami, payang, purse seine
, lampara dasar dengan nelayan pancing, bubu dan pengguna armada motor tempel, telah mengakibatkan kesenjangan dalam produktifitas perikanan.
Modernisasi perikanan yang tidak diikuti oleh kebijakan pengelolaan perikanan
yang tegas seperti zonasi penangkapan, pemberlakuan kuota hasil tangkap dan perlindungan akses bagi nelayan kecil, berpotensi menimbulkan konflik sosial
dalam pemanfaatan sumber daya. Kebijakan bias perkotaan
Kebijakan yang bias perkotaan tercermin dari pengadaan sarana prasarana yang sangat terbatas di P. Panggang dan P. Pramuka. Keterbatasan tersebut masih
terlihat dari minimnya fasilitas pendidikan, kesehatan, pembiayaan usaha, sarana transportasi antar pulau dan mobilitas barang dan jasa. Fakta tersebut terlihat dari
ketimpangan dari sisi SDM antara Kota-kota di DKI Jakarta dengan Kepulauan Seribu, angka melek huruf, angka harapan hidup dan pendapatan rata-rata.
Terbukti dari parahnya tingkat kemiskinan di kepulauan Seribu dan tingginya proporsi responden miskin di Kepulauan Seribu. Kondisi geografis yang terpencil
dan berupa pulau-pulau diduga sebagai penyebab terhambatnya akses pembangunan ke Kepulauan Seribu.
Pola investasi wisata bahari yang ekslusif Pemerintah DKI Jakarta telah menjadikan Kabupaten Kepulauan Seribu
sebagai Kabupaten wisata yang mengandalkan keindahan laut sebagai modal investasi. Banyaknya pulau-pulau kecil sebagai tempat wisata dan pulau-pulau
yang dimiliki oleh perorangan maupun swasta, mendorong pola kepemilikan terhadap pulau berubah dari state property menjadi private property. Apalagi
setelah UU No. 27 tahun 2008 diundangkan maka kepemilikan terhadap pulau beserta sumber daya yang berada di dalamnya akan semakin dijamin. Masyarakat
Kelurahan P. Panggang tidak banyak bisa mendapatkan manfaat dari adanya pariwisata tersebut karena upaya melibatkan warga dalam pengelolaan tempat
wisata tersebut sangat minim. Hasil investasi kegiatan wisata maupun penyewaan bagi pulau-pulau tersebut tidak ada sama sekali yang mengalir untuk masyarakat
Kepulauan Seribu. Sebaliknya mobilitas jasa dan keuntungan investasi tersebut banyak lari ke Jakarta dan elit birokrasi yang berkolaborasi dengan para
pengusaha. Dalam aras makro, rendahnya lingkungan politik karena disebabkan pola
pembangunan masih bersifat top-down, bias perkotaan dan konsentrasi modal di perkotaan. Pola pembangunan top-down belum mengakomodasi sepenuhnya
kebutuhan masyarakat dan pemerintah senantiasa bertindak sebagai inisiatif. Banyak sarana umum yang dibangun namun pada akhirnya tidak terawat dan
mudah rusak karena sarana yang ada tidak sesuai kebutuhan masyarakat. Akibatnya tidak ada pertanggungjawaban dari masyarakat dan apatisme muncul
berbarengan dengan kerusakan sarana tersebut. Bias perkotaan terlihat jelas dalam tingkat pendidikan dan ketersediaan
fasilitas pendidikan maupun kesehatan antara Jakarta dan Kepulauan Seribu atau antara wilayah perkotaan dan pedesaan. Akumulasi kemakmuran terlihat di kota
dan akumulasi kemiskinan dengan jelas nampak di pedesaan. Demikian yang terlihat antara Jakarta dan Kepulauan Seribu. Kebijakan bias perkotaan tersebut
berdampak posisif bagi pertumbuhan ekonomi wilayah karena padatnya aktivitas produksi di perkotaan. Hal itu menyebabkan terjadinya konsentrasi modal di
Jakarta dan menarik daerah-daerah di sekelilingnya termasuk Kepulauan Seribu untuk memenuhi kebutuhan pasar dan masyarakat Jakarta. Indutrialisasi dan gaya
hidup masyarakat Jakarta mendorong munculnya pemanfaatan SDA yang ekploitatif dan destruktif. Sistem produksi ekploitatif melahirkan konflik sosial
antar masyarakat pesisir dalam memanfaatkan SDA.
5 Rendahnya prasarana dan sarana
Alasan rendahnya prasarana, sarana dan pelayanan Keterbatasan sarana terlihat dari minimnya gedung sekolah khususnya
pada tingkat SLTP dan SMU. Disamping itu adanya sarana kesehatan juga tidak dibarengi dengan kelengkapan fasilitas dan peralatan kesehatan. Kondisi
Kepulauan Seribu berupa pulau menuntut adanya sarana transportasi antar pulau. Minimnya sarana transportasi mengakibatkan jarak tempuh yang cukup jauh
sekitar 60 km antar pulau dan dari P. PanggangP. Pramuka ke pusat ibu Kota menjadi semakin sulit dijangkau.
Isu dan permasalahan yang berkembang •
Keterbatasan sarana transportasi laut antar pulau Kondisi geografis Pulau Seribu yang berupa pulau-pulau kecil
membutuhkan sarana transportasi bagi setiap warganya untuk saling berhubungan
dengan penduduk lain di pulau yang lain. Namun, keterbatasan sarana transportasi antar pulau menjadikan hal itu tidak dapat dinikmati masyarakat.
Akibatnya kepentingan masyarakat sering terhambat, usaha tidak lancar, pendidikan tidak berjalan efektif karena lokasi sarana pendidikan yang jauh dan
akses terbatas, dan seringkali menyebabkan kematian bagi penduduk yang sakit parah dan tidak bisa berobat karena keterbatasan sarana transportasi.
Keterbatasan sarana transportasi ini harusnya bisa diatasi oleh pemerintah dengan penyediaan sarana, namun yang ada lagi-lagi justru sarana yang terbangun tidak
banyak dibutuhkan masyarakat. Sarana- sarana transportasi yang ada banyak dimiliki oleh swasta dan perorangan dengan biaya sewaongkos yang bervariasi
tergantung tujuan. •
Pemeliharaan fasilitas umum menurun Banyak sarana-sarana umum setalah dibangun tidak terawat dengan baik.
Contohnya WC umum yang terdapat di P. Panggang, TPI yang hanya melayani transaksi ikan-ikan skala kecil dan sarana umum lainnya. Meskipun harus diakui
bahwa pemerintah telah membangun banyak sarana umum yang sangat bermanfaat bagi masyarakat. Perubahan status menjadi Kabupaten telah
mendorong munculnya berbagai pembangunan sarana umum di P. Panggang dan P. Pramuka.
• Jumlah guru dan murid meningkat, tapi tidak dibarengi dengan sarana
memadai Kenaikan jumlah guru dan murid makin meningkat, tercatat jumlah murid
SD mencapai sekitar 741 orang, SMP sebanyak 336 orang, SMU sebanyak 437 orang. Jumlah guru juga lumayan banyak, SDMI sebanyak 61 orang, SMP
sebanyak 27 orang, SMU sebanyak 22 orang. Namun, gedung SD hanya ada 3 unit dan 1 unit MI, SMP 1 unit dan SMU juga 1 unit. Kenaikan jumlah anak yang
sekolah makin tinggi setiap tahunnya. •
Pelayanan kesehatan meningkat Pelayanan terhadap kesehatan meningkat jika dilihat dari sarana yang
tersedia. RS 1 unit yang terdapat di P. Pramuka, puskesmas hanya 1 unit, posyandiBKIA sebanyak 5 unit di seluruh Kelurahan P. Panggang, merupakan
bentuk peningkatan program pelayanan kesehatan oleh pemerintah. Meskipun sayangnya fasilitas peralatan dan jaminan kesehatan masih sangat terbatas.
Pelayanan kesehatan ini juga tercermin pada angka pengikut program KB makin besar.
• Akses listrik terbatas
Menurut hasil Podes 2006 dan survei 2008, hampir semua keluarga di P. Panggang dan P. Pramuka menggunakan listrik tapi tidak bersumber dari PLN
Non-PLN. Pemakaian listrik dilakukan dengan sistem pergiliran dan tidak bisa menyala sepanjang waktu. Jarak yang jauh dan dipisahkan dengan laut menjadi
penyebab belum terpasangnya jaringan listrik dari PLN. Akses listrik yang terbatas mengakibatkan aktivitas masyarakat yang menggunakan listrik hanya
dapat dilaksanakan di malam hari. •
Pelaksanaan proyek sering terganggu karena korupsi Masyarakat
melihat adanya
indikasi korupsi dan pemborosan anggaran negara dalam proyek-proyek pemerintah. Seperti pembangunan rumah sakit yang
terdapat di P. Pramuka, meskipun bangunan fisik sudah terbangun tetap kurang berfungsi optimal bagi pelayanan kesehatan karena tidak tersedianya peralatan
yang memadai. Masyarakat melihat terdapat kesalahan dalam pembangunan sarana umum yang tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat atau dilaksanakan
tapi tidak optimal. Pemborosan biaya juga terlihat pada sarana-sarana umum lain seperti WC umum yang terbangun tapi kurang terawat dan tidak terpakai lagi.
Masyarakat menduga biaya yang seharusnya digunakan untuk pembangunan tidak terealisasi secara maksimal sehingga kualitas bangunan rendah dan mudah rusak.
• Akses terhadap informasi meningkat
Salah satu kemajuan yang dicapai pemerintah adalah fasilitasi akses informasi. Menurut hasil survei hampir 97 masyarakat di P. Panggang dan P.
Pramuka, mempunya televisi dan bisa mengakses informasi. Bahkan terdapat sekiatr 16 responden yang dapat mengakses lebih dari satu sumber informasi.
Disamping penggunaan HP yang masif di kalangan masyarakat menjadi jalan keluar bagi terbukanya akses informasi dari pulau seribu ke luar. Namun
demikian, hal itu mendorong pola konsumtif dan perubahan kebudayaan. Perilaku
individualis, konsumtif, materialis mulai menyerang masyarakat Kelurahan P. Panggang karena dorongan untuk tampil trendy sesuai mode menjadi ukuran
pergaulan. Kurangnya pelayanan dan keterbatasan sarana tersebut disebabkan karena
tata kelola pemerintahan yang jelak, perilaku korup birokrasi dalam pelaksanaan proyek-proyek pembangunan serta faktor geografis dan lingkungan PPK yang
terpencil dan berjauhan satu sama lain. Rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat pesisir Kelurahan P.
Panggang tidak semata disebabkan karena kerusakan sumber daya pesisir dan laut meskipun hal itu mendempati proporsi masalah terbesar. Namun, kebijakan
pemerintah yang kurang tepat dan faktor eksternal seperti perdagangan bebas, pola investasi kapitalistik, pemberian hak istiewa yang melahirkan privatisasi
lahan PPK, merupakan penyebab-penyebab lain rendahnya kesejahteraan masyarakat pesisir. Masalah utamanya menurut pengakuan masyarakat pesisir
adalah karena kurangnya pelayanan pemerintah atau bisa disebut karena banyaknya kebijakan dalam pengelolaan SDPL dan penanggulangan kemiskinan,
kurang tepat dijalankan. Hal itu mendorong masyarakat berperilaku negatif dengan merusak ekosistem pesisir dan laut yang berujung pada penurunan daya
dukung ekologis dan lingkungan PPK. Penurunan daya dukung lingkungan dan ekologis PPK menyebabkan turunnya produktifitas nelayan yang pada gilirannya
menurunkan kesejahteraan. Gambar 14 di bawah ini menjelaskan kausalitas penurunan kesejahteraan masyarakat pesisir di Kelurahan P. Panggang. Potret
permasalahan dilihat dari aras mikro permasalahan pokok, permasalahan pendukung dan aras makro yang merupakan permasalahan yang lebih berisifat
eksternal.
Gambar 14 Faktor yang Mempengaruhi Rendahnya Tingkat Kesejahteraan
TINGKAT KESEJAHTERAAN
RENDAH Rendahnya
lingkungan
alam
Rendahnya lingkungan
ekonomi Rendahnya
lingkungan sosial
Rendahnya lingkungan
politik Kurangnya
sarana dan pelayanan
Degradasi SDPL
TK, dll Kualitas pesisir
laut SDPL menurun
Akses terhadap sumber daya
terbatas Konflik
pemanfaatan SDPL akibat
modernisasi perikanan
Fragmentasi politik
Policy bias Ketergantunga
n thd pasar Konsentrasi
modal di perkotaan
Ketergantungan thd pasar tinggi
Kurangnya diversifikasi
usaha Hilangnya
sebagian pendapatan krn
korupsi
SDM rendah krn fasilitas
pendidikan tdk memadai
Pola hubungan patron-klien
yg eksploitatif Interaksi sosial
antar warga menurun
Konflik pemanfaatan
SDPL
Sarana transportasi
antar pulau terbatas
Fasilitas tng pengjar
pendidikan terbatas
Tata kelola pemerintahan
yg jelek
Minimnya perawatan
sarana umum Fasilitas
kesehatan tng medis terbatas
Kompradorisa si
Keterbatasan akses
Pembangunan bias perkotaan
Kekurangan gizi
Pola pembangunan
top-down Perdagangan
bebas
Prilaku negatif individu
Pola investasi kapitalistik
Strategi pengelolaan
SDPL tidak tepat Privatisasi
lahan Mode produksi
kapitalistik
Terbatasnya akses
pembiayaan
KAPITALISME NEGARA
BERKEMBANG
Eksploitasi SPL
berlebihan Kerentanan
usaha nelayan Akses thd
pemanfaatan SDPL terbatas
Rendahnya produktifitas
masyarakat Keterpencilan
faktor geografis lain
Menguatnya budaya negative
pola hidup individualis
Policy bias Perundang-
undangan yg bias
Gagalnya program
kemiskinan Prilaku korup
birokrasi pemborosan
biaya
Gambar 14 menjelaskan hirarki permasalahan dari tingkatan terendah sampai yang tertinggi. Permasalahan terendah merupakan permasalahan pokok
yang lebih bersifat teknis dan internal. Permasalahan pokok ini dijelaskan dengan melihat rendahnya lingkungan kontekstual yang dapat menjadi jalan keluar dari
kemiskinan. Perbaikan lingkungan kontekstual setidaknya menjadi pintu masuk bagi perbaikan kesejahteraan masyarakat pesisir dan nelayan tradisional
khususnya. Perbaikan lingkungan alam menjadi prioritas mengingat ketergantungan penduduk Kelurahan P. Panggang yang sangat tinggi terhadap
kelestarian SDPL. Perbaikan lingkungan alam dapat dilakukan dengan memperbaiki kebijakan pengelolaan SDPL dan pengentasan kemiskinan.
Kemiskinan juga dapat dipotong apabila ketidakadilan akibat kekuasaan dan hak- hak istimewa juga dihapuskan atau setidaknya akses terhadap SDPL dapat
terdistribusi secara adil. Upaya monopolisasi harus dikurangi, elit birokrasi bekerja sesuai tugas dan peranannya, perundang-undangan dievaluasi kembali dan
masyarakat diberi ruang dan hak dalam kepemilikan lahan PPK. Dengan perluasan akses bagi masyarakat dalam memanfaatkan SDPL, maka kemiskinan
yang menjerat nelayan tradisional mempunyai harapan untuk dientaskan.
7.2 Katerkaitan Daya Dukung dan Kesejahteraan
Daya dukung suatu wilayah sangat erat kaitannya dengan kesejahteraan masyarakat dimana terdapat ketergantungan tinggi masyarakat tersebut terhadap
sumber daya ekosistem yang berada di lingkungannya. Garret Hardin 1991 mengatakan bahwa daya dukung lingkungan penting diketahui karena berkaitan
dengan kualitas hidup manusia. Hardin menambahkan bahwa carrying capacity merupakan dasar bagi perhitungan populasi penduduk. Mc Call 1995
menambahkan bahwa daya dukung merupakan alat untuk analisis penggunaan tanah dan data populasi yang sistematis.
Bagi sebagian kelompok pendukung konservasi deep ecology daya dukung dijadikan sebagai mekanisme untuk melindungi sumber daya alam tanpa
boleh ada intervensi manusia dalam pemanfaatannya. Kelompok ini tidak jarang menggunakan kekerasan untuk menghalau upaya-upaya yang mengganggu
kelestarian sumber daya alam. Kelompok environmentalis ini sering disebut
sebagai kelompok totaliter. Pendekatan lingkungan hidup yang otoriter atau ekototaliter adalah konsep bahwa skala dan mendesaknya masalah lingkungan
saat ini sudah sedemikian mendesak sehingga kepemimpinan otoriter dan teknokratis dibutuhkan. Kelompok ini sering juga disebut sebagai ecofasisme.
Ecofasisme menganggap konservasi lingkungan sebagai jauh lebih penting
daripada kehidupan rakyat, khususnya kehidupan rakyat miskin. Sebaliknya, sebagian kelompok memandang tetap perlu memperhatikan
kelembagaan lokal dan manusia yang berada di lingkungan sumber daya tersebut. Lingkungan bukan harus diproteksi penuh tanpa ada aktivitas pemanfaatan.
Kelompok ini menekankan perlunya pengetahuan lama, kearifan lokal dan warisan budaya dalam pengelolaan sumber daya. Kelompok ini sering disebut
ecopopulisme . Kelompok ini terbagi menjadi dua kekuatan besar yaitu
ecopopulisme garis keras dan garis lunak. Bagi pengusung ecopopulisme garis
lunak, pengetahuan rakyat sama pentingnya dengan pengetahuan ilmiah. Berdasarkan hasil diskusi dengan masyarakat, tokoh masyarakat, aparat
desa melalui wawancara dan FGD, dapat digambarkan beberapa faktor yang dapat menyebabkan rendahnya daya dukung lingkungan. Kausalitas daya dukung dan
tingkat kesejahteraan dapat dilihat pada Gambar 16. Kepadatan penduduk, keterbatasan lahan, degradasi ekosistem sumber daya pesisir dan laut, perilaku
negatif individu, lemahnya penegakan hukum dan kebijakan yang tidak tepatbias. Pangkal dari semua permaasalahan di atas adalah karena kebijakan yang ada telah
mengalami disorientasi dan bias. Penurunan kesejahteraan ada yang secara langsung disebabkan karena rendahnya daya dukung lingkungan pulau, namun
dapat juga disebabkan karena faktor lain. Strategi keluar dari kemiskinan dapat memanfaatkan lingkungan pendukung yang melingkupinya seperti lingkungan
alam, sosial, ekonomi dan politik. Faktor lain yang mempengaruhui kesejahteraan secara langsung adalah kurangnya sarana dan pelayanan. Rendahnya nilai
lingkungan dapat menyebabkan penurunan kualitas hidup yang berakibat pada penurunan kesejahteraan.
Rendahnya daya dukung lingkungan menimbulkan banyak faktor kelemahan. Daya dukung lingkungan pulau menyebabkan ketersediaan lahan
terbatas, khususnya bagi pemukiman penduduk. Keterbatasan lahan tersebut
menyebabkan pemanfaatan ruang untuk sarana umum juga terbatas. Akibatnya kepentingan publik akan terabaikan karena tidak didukung oleh sarana yang
memadai. Ketika sarana umum terbatas, kebutuhan rakyat untuk memenuhi hajatnya juga akan terkurangi. Hal itu dapat mengakibatkan kualitas hidup
masyarakat berkurang yang pada gilirannya mendorong peningkatan kemiskinan bagi masyarakat.
Degradasi ekosistem sumber daya alam yang menyebabkan daya dukung ekologi turun menyebabkan fungsi ekosistem menurun. Penurunan fungsi
ekosistem mengakibatkan rendahnya produktifitas masyarakat pesisir yang ketergantungannya sangat tinggi terhadap sumber daya pesisir dan lautan.
Penurunan produktifitas menurunkan pendapatan dan penghasilan masyarakat disamping kebutuhan akan pangan dan sandang akan mengalami kesulitan.
Kepadatan penduduk yang tinggi dan tidak didukung oleh lahan yang memadai menyebabkan kenyamanan berkurang. Hal itulah yang tergambar di Pulau
Panggang khususnya dan P. Pramuka. Survey membuktikan bahwa 46 responden di P. Panggang luas lantainya berukuran sekitar 80 m
2
dan hanya 13 yang berukuran lebih dari 100 m
2
. Dengan lahan hanya sekitar 0,62 km
2
dan jumlah penduduk tahun 2008 mencapai sekitar 5481 jiwa, dapat diperkirakan
bahwa kenyamanan hidup masih jauh dari harapan. Berkurangnya kenyamanan hidup tentu berpengaruh kepada penurunan kualitas hidup yang berujung pada
turunnya kondisi kesejahteraan. Penetrasi modal melalui pola-pola investasi dan permintaan eksport yang
tinggi memicu terjadinya ketergantungan terhadap pasar. Strategi pertumbuhan yang diterapkan oleh birokrasi kapitalistik membuka pelebaran pasar dan akses
terhadap perdagangan bebas makin tinggi dan meluas. Masyarakat semakin terbuka berkomunikasi dengan pasar melalui pola-pola hubungan pengusaha lokal
dan masyarakat pesisir. Permintaan pasar mendorong ekstraksi besar-besaran terhadap sumber daya pesisir dan laut. Modernisasi perikanan dan akses
tehnologi menjadi ukuran keberhasilan dalam meraih keuntungan di laut dalam bentuk produksi ikan. Pola ekstraksi berlebihan tersebut mengakibatkan kerusakan
ekosistem sumber daya pesisir dan laut yang pada gilirannya menurunkan kualitas sumber daya. Globalisasi dan perdagangan bebas yang semakin intensif dapat
mengakibatkan kerentanan baik terhadap alam, ekonomi, sosial dan politik. Kerentanan sumber daya ini berakibat kepada kerentanan tingkat kesejahteraan
masyarakat. Kerusakan sumber daya pesisir dan laut, kemiskinan, kelaparan, pemanasan global dan keterbelakangan, merupakan dampak dari sistem ekonomi
yang dijalankan akibat mode produksi kapitalistik. Secara historis ekploitasi terhadap sumber daya alam ini sudah dimulai era
kolonialisme. Menurut Sukarno, era penjajahan gaya baru ini ditandai oleh moda produksi yang mengerikan. Hal itu ditandai dengan kasus maraknya praktek
illegal fishing , jutaan tanah yang dirubah menjadi perkebunan raksasa, masifnya
hutan yang dibabat dan semakin gencarnya pembangunan gedung-gedung pencakar langit. Di banyak negara sedang berkembang, ketidaksesuaian nilai dan
ketidak puasan atas mekanisme produksi ala kapitalisme tersebut telah memperkuat keyakinan tentang struktur ketergantungan sebagai hasil
pembangunan berciri kapitalistik. Pola ekonomi yang mendorong Gunder Frank, Cardoso dan Santos menolak model ekonomi seperti ini menekankan kepada
ekspansi kapital yang sangat sensitif melalui agensi korporasi transnasional TNC, terbukti telah merusak tatanan sosial budaya serta sistem ekologi yang
menyisakan kerusakan memprihatinkan. Ekspolitasi dan penghisapan sumber daya alam termasuk SDPL dalam
mode produksi kapitalistik semata-mata dijalankan guna mendorong pertumbuhan ekonomi negara kapitalis yang dipersentasikan oleh negara maju dan industri.
Mekanisme ekploitatif via proses pertukaran antar kawasan yang timpang, menurut Dharmawan 2005 diperlukan bagi tumbuhnya negara-negara pusat.
Namun, ketersedian bahan mentah yang terbatas, keterbatasan akses pemanfaatan sumber daya bagi masyarakat di daerah pedesaan dan negara berkembang hanya
menimbulkan kesengsaraan dan kemiskinan. Ketimpangan IPM antara Kota-Kota di DKI Jakarta dengan Kepulauan Seribu merupakan bukti ketertinggalan
tersebut. Akumulasi modal yang terkonsentrasi di Jakarta sebagai pusat industri, pusat jasa dan perdagangan mengakibatkan Kepulaun Seribu terus tertinggal
dibandingkan kota-kota lain di DKI Jakarta. Intensifnya perdagangan ikan hias, maraknya penangkapan ikan dengan alat tangkap terlarang, pariwisata bahari,
kepemilikan pulau oleh swasta dan pribadi untuk pemenuhan kepentingan
industri, rekreasi dan hiburan, tidak mengakibatkan bertambahnya kesejahteraan masyarakat pesisir Pulau Seribu. Tetapi sebaliknya, hal itu mendorong
masyarakat Kepulauan Seribu termasuk P. Panggang dan P. Pramuka, berada dalam kondisi kemiskinan. Letak geografis yang terpencil dan jauh, aksesbilitas
yang terbatas dan rendahnya tingkat penduduk, semakin memiskinkan responden- responden Kepulauan Seribu.
Fakta itu salah satunya dapat dibuktikan dengan melihat jumlah perdagangan ikan hias laut. Nilai perdagangan ikan hias dunia sekitar US 1
miliar, dengan 10-20 merupakan ikan hias air laut. Pemasok dunia saat ini dipegang oleh sejumlah negara Asia termasuk Indonesia dan Filipina. Indonesia
sendiri memasok sekitar 60 kebutuhan ikan hias dunia. Sedangkan importir terbesar adalah Amerika Serikat mencapai 25 dari total import dunia, diikuti
Jepang 12 dan Jerman 9 Poernomo, 2005 dalam Terangi 2007. Penangkapan ikan di Kepulauan Seribu sendiri dimulai sejak 1960-an. Total
tangkapan dari Maret-September 2005 untuk seluruh jenis ikan sebesar 47.653 ekor. Tercatat sebanyak 155 jenis ikan hias telah ditangkap dalam selang waktu
Maret-September 2005. Namun jika dilihat dari fakta ekologis, persentase penutupan pada tahun ini di Kepulauan Seribu mencapai rata-rata antara 3.36-
71.83, dengan nilai rata-rata persentase penutupan karang sebesar 31.36 kategori sedang. Disamping itu, jika melihat tingkat kesejahteraan responden di
Kepulauan Seribu pada tahun 2006 tercatat sebanyak 1043 responden dari 160.480 responden di DKI Jakarta. Dilihat dari kondisi fisik rumah dan parameter
kemiskinan lainnya, kebanyakan dari responden nelayan ikan hias masuk dalam kategori miskin-cukup. Perdagangan ikan hias merupakan contoh nyata aliran
modal dari sumber daya Kepulauan Seribu melalui agen-agen kapitalis nasional yang banyak berpusat di Jakarta untuk memenuhi permintaan pasar Amerika.
Nelayan ikan hias di Kepulauan Seribu harusnya bertambah sejahtera, tetapi faktanya para pengusaha yang mengeksport ikan hias justru yang mendapatkan
banyak keuntungan. Penetrasi kapital oleh negara maju menuju negara berkembang, dari kota
menuju desa, dari Jakarta menuju Kepulauan Seribu, bagi Larrain, 1989 merupakan bentuk kolonialisme baru terhadap sumber daya alam, dalam konteks
interaksi antar daerah maju dan daerah berkembang. Larrain, 1989 dalam Dharmawan 2004 menyebutkan dua faktor utama yang mendorong negara maju
perlu melakukan eksploitasi sumber daya alam via kolonialisme yaitu : • Underconsumptionism ; disebabkan prinsip akumulasi yang dianutnya
sehingga masyarakat akan terus terpenjara oleh perasaan kekurangan. • Search for super-profits; disebabkan oleh utopia tentang the glory of
economic and political power yang selalu diidamkan. Dua dampak
penting dalam penyedotan surplus-ekonomi dari Negaradaerah pinggiran oleh Negara penjajah adalah rusaknya sendi-sendi struktur sosial
masyarakat terjajah dan hancurnya lingkungan natural capital. Tesis Larrian ini mendapatkan pembenaran jika melihat tingkat kerusakan
sumber daya pesisir dan laut di kepulauan Seribu. Persentase penutupan di Kepulauan Seribu yang mencapai 5 adalah bukti kerusakan lingkungan
tersebut. Demikian juga jika diperhatikan dari persentase penutupan karang keras di wilayah pengamatan Kelurahan P. Panggang yang mencapai 14,81-71,83
2004 dan 10,84-67,56 2005. Nilai ini menunjukkan bahwa kondisi terumbu karang Kelurahan P. Panggang berada dalam kategori buruk-sedang. Persentase
penutupan karang keras di P. Pramuka sendiri pada tahun 2005 hanya mencapai 16 buruk. Data ini meneguhkan analisis Larrain 1989 tentang konsekwansi
bagi berlangsungnya pola hubungan produksi kapitalistik ini yaitu munculnya natural resources are let underdeveloped
, akibat pemanfaatan tanpa konservasi. Akibat lainnya menurut Larrain 1989 dapat mengakibatkan keterbelakangan
komunitas dan bahkan dalam kondisi tertentu bisa memicu munculnya revolusi. Pengalaman perebutan kemerdekaan Indonesia merupakan contoh yang paling
baik untuk menggambarkan semangat melawan kolonialisme tersebut. Moda produksi kapitalistik yang bergerak mengikuti arus jalan neo-
liberalisme ini juga ditandai oleh munculnya praktek privatisasi, deregulasi dan liberalisasi pasar. Fenomena berkembangnya wisata bahari dan kepemilikan
pulau-pulau kecil di Kepulauan Seribu oleh swasta maupun per orangan adalah contoh nyata adanya praktek privatisasi sumber daya alam tersebut. Dari sekian
banyak pulau kecil yang digunakan untuk pariwisata bahari, masyarakat di sekitar pulau tidak banyak dilibatkan dalam pengelolaan. Nelayan di sekitar tempat
wisata tersebut hanya dilibatkan paling-paling sebagai pengantar dengan perahu wisata atau hanya sekedar menjadi penjaga tempat wisata. Daya serap kegiatan
wisata bahari terhadap masyarakat lokal relative kecil. Masyarakat sekitar tempat wisata menjadi terbatas aksesnya untuk menangkap sedangkan masyarakat sendiri
tidak banyak dilibatkan dalam pengelolaan tempat wisata. Penetrasi modal melalui investasi di bidang wisata bahari biasanya menegasikan hukum-hukum
adat lokal, kebudayaan setempat dan peran serta masyarakat. Dengan alasan kenyamanan dan privasi wisatawan, maka tempat-tempat wisata tersebut harus
dijauhkan dari keterlibatan masyarakat. Demikian logika kapitalistik meminggirkan nelayan lokal dan mempersilahkan investor asing untuk masuk ke
Kepulauan Seribu. Pariwisata bahari yang berkembang tanpa pelibatan masyarakat di
dalamnya, merupakan sebuah akses yang ekslusif. Akses ekslusif merupakan salah satu penyebab kemiskinan. Kaum minoritas dominan merintangi orang lain
untuk mengakses sumber daya yang ada, entah karena keterbatasan atau karakter- karakter intrinsik sumber daya-sumber daya tersebut sehingga tidak dapat
didistribsikan secara adil. Akses dan kontrol terhadap sumber daya pesisir dan laut merupakan intensif terbesar bagi masyarakat pesisir. Selama pengelolaan
wisata bahari yang ada di Kepulauan Seribu tidak memberi ruang bagi ikut sertanya masyarakat dalam mengelola, maka selama itu pula ketimpangan akan
terjadi dan kemiskinan adalah keniscayaan. Masyarakat Kelurahan P. Panggang khususnya yang terdapat di P. Panggang dan P. Pramuka harus berdesak-desakan
dengan tingkat kepadatan penduduk yang setiap tahunnya makin tinggi, sedangkan di sisi lain, banyak pulau-pulau wisata dan pulau-pulau dengan
pemanfaatan lain yang tidak bisa ikut dinikmati oleh nelayan. Akses yang ekslusif ini terkait juga dengan kepemilikan terhadap sumber
daya alam. Pulau-pulau kecil dan sumber daya alam yang berada di dalamnya di kepulauan Seribu sudah banyak beralih kepemilikan dari state property menjadi
private property . Pulau-pulau yang harusnya dikelola oleh negara untuk
kemakmuran rakyat justru dimiliki oleh segelintir orang dan kelompok yang mendapatkan akses melalui kompradorisasi birokrasi. Kepemilikan tersebut telah
berlangsung sejak pemerintahan orde baru yang kental dengan perilaku
kompradorisasi birokrasi. Kebanyakan dari pulau-pulau tersebut sudah menjadi hak milik dan mempunyai sertifikat. Kepemilikan terhadap pulau disertai juga
dengan kepemilikan terhadap sumber daya yang berada di dalamnya. Laut yang tadinya merupakan common property menjadi semakin sulit diakses khususnya
yang berada di wilayah sekitar pulau milik pribadi atau kelompok tersebut. Akibatnya akses masyarakat terhadap pemanfaatan sumber daya pesisir dan laut
tentunya makin terbatas. Keterdesakan dan tiadanya pilihan tersebut menimbulkan sikap-sikap destruktif dari masyarakat yang dilampiaskan dengan merusak sumber
daya pesiri dan laut. Perilaku negatif masyarakat tersebut tidak timbul karena semata culture yang selama ini dituduhkan tapi lebih karena permasalahan
struktural akibat ketiadaan dalam mendapatkan akses terhadap SDPL. Pembatasan akses dalam pemanfaatan SDPL merupakan wujud dari ketidakadilan
ekonomi dan sosial yang melahirkan kemiskinan. Marshall Sahlins 1972 meyakinkan bahwa kemiskinan dan ketidakadilan
saling berhubungan. Keterbatasan fisik seperti yang terdapat dalam apa yang disebut masyarakat primitif, menurutnya mungkin menciptakan sebuah kerapuhan
atau bahkan melahirkan kemiskinan, tapi hal itu tidak meyebabkan kemiskinan sepanjang sumber daya-sumber daya yang ada dapat diakses dan didistribusikan
kepada orang-orang secara adil. Peruntukan pulau di Kelurahan P. Panggang saja dari 12 pulau yang masuk di dalamnya hanya 2 pulau yang dijadikan sebagai
lokasi pemukiman yaitu P. Panggang dan P. Pramuka. Pulau-pulau lain seperti P. Kotok besar, P. Kotok kecil, P. Semak daun, P. Opak kecil dan pulau lainnya
sebagian besar diperuntukkan bagi penghijauan dan pariwisata. Untuk pulau yang diperuntukkan bagi penghijauan dan cagar alam, pengelolaannya ditangan Taman
Nasional Laut Kepulauan Seribu, sedangkan untuk pariwisata biasanya dikelola oleh swasta. Dari beberapa pulau yang ada, sebagian merupakan pulau yang
termasuk dalam zona pemanfaatan tradisional seperti P. Karya, P. Kotok besar, P. Kotok kecil, P. Opak kecil, P. Karang Bongkok, P. Karang Congkak dan P.
Semak Daun. Zona pemanfaatan tradisional artinya pemanfaatan SDPL hanya bisa dilakukan oleh nelayan yang menggunakan alat tangkap tradisional dan tidak
merusak sumber daya, mengingat keberadaan SDPL dalam perlindungan. Namun faktanya, menurut penuturan masyarakat seringkali kesulitan dan mendapatkan
hambatan saat melakukan penangkapan ikan. Pembatasan akses bukan hanya datang dari pihak swasta dengan sumber daya PL yang sudah menjadi privat
property nya, tetapi juga seringkali bersinggungan dengan pihak taman nasional
laut yang mengelola ekosistem sumber daya PL. Fenomena kepemilikan lahan-lahan pulau oleh segelintir orang dan
kelompok ini merupakan bentuk monopoli orang kaya terhadap sumber daya- sumber daya yang sebenarnya tersedia dalam jumlah yang cukup bagi setiap
orang. Hal ini merupakan penyebab kemiskinan yang paling jelas. Monopoli sumber daya-sumber daya oleh beberapa orang tidak dapat dihitung akibat fakta
kelangkaan -justru sebaliknya, mereka menjadi langka karena dimonopoli- tapi hanya melalui dominasi dari suatu kelas atau kasta terhadap kelas atau kasta lain.
Keterbatasan akses terhadap sumber daya tersebut harusnya dapat diselesaikan oleh negara melalui kebijakan-kebijakan yang berpihak dan program
penanggulangan kemiskinan yang tepat. Namun, alih-alih mengeluarkan kebijakan yang berpihak kepada masyarakat pesisir yang mayoritas miskin, yang
terjadi justru upaya memiskinkan masyarakat pesisir secara bertahap melalui pemberlakuan undang-undang pengelolaan pesisir No.27 tahun 2007 yang
berpotensi semakin memperburuk akses nelayan terhadap SDPL khususnya pasal tentang hak pengelolaan perairan pesisir HP-3.
Kebijakan dan program pemerintah yang terkait dengan pengelolaan sumber daya PL serta
penanggulangan kemiskinan belum terlaksana dengan baik. Bahkan menurut pengakuan masyarakat, meskipun mereka cukup senang dengan program-program
pemerintah tersebut tetapi mereka kurang puas karena banyak proyek-proyek yang terbangun tetapi tidak terawat dan bahkan cenderung mudah rusak. Masyarakat
menilai pembangunan sarana yang mudah disebabkan karena adanya indikasi korupsi dalam pelaksanaan proyek. Setiap program juga seringkali dilaksanakan
tanpa melihat tingkat kebutuhan masyarakat. Masyarakat merasa tidak bertanggung jawab terhadap sarana yang ada, akibatnya kerusakan sarana banyak
terjadi pasca pembangunan dilakukan. Fakta dan uraian di atas sepertinya semakin meneguhkan bahwa kerusakan
ekosistem pesisir dan laut yang berakibat kepada menurunnya daya dukung lingkungan sesungguhnya terjadi karena ketidakseimbangan kekuasaan di
kalangan para pihak yang terlibat. Para pengusaha, pemilik modal pada satu sisi dan masyarakat pesisir, nelayan, pembudidaya, pedagang kecil dan pengolah kecil
pada sisi lainnya. Pengelolaan SDPL dengan demikian tidak lebih merupakan ajang pertarungan kepentingan berbagai pihak untuk mendapatkan akses dan
kontrol terhadap SDPL. Perdagangan bebas, mode produksi kapitalis yang diusung melalui strategi pertumbuhan ekonomi dengan neo-liberalisme sebagai
payung ideologi terbukti banyak menyisakan kehancuran bagi lingkungan dan SDPL khususnya. Lemahnya tata kelola pemeritah weak governance, tidak
jelasnya rezim penguasaan sumber daya alam publik unclear common property regimes
, ketidakpastian hak-hak property insecure property right, policy bias yang melahirkan lemahnya penegakan hukum, merupakan beberapa penyebab
yang melanggengkan ketidakadilan ekologi yang berujung pada kemiskinan masyarakat pesisir. Paradigma pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan
masih bias pada otoritas kelembagaan pemerintah ketimbang pada kemampuan rakyat, bias pada otoritas ilmu pengetahuan modern ketimbang pada ilmu
pengetahuan lokal, bias kepada kepentingan pemodal ketimbang kepentingan rakyat miskin, bias kepada perkotaan ketimbang pedesaan dan bias kepada daratan
ketimbang lautan. Daya dukung lingkungan menyebabkan tingkat kesejahteraan masyarakat
pesisir menurun. Penurunan daya dukung berakibat pada ketersediaan rumah yang layak terbatas serta sarana umum tidak berjalan sesuai dengan fungsinya.
Keterbatasan akses sarana umum mengakibatkan kepentingan publik tidak terpenuhi dengan baik dan itu artinya tingkat kesejahteraan masyarakat berkurang.
Daya dukung lingkungan PPK juga mengakibatkan produktifitas masyarakat menurun. Penurunan kualitas SDPL akan mengganggu produksi sumber daya
ikan di ekosistem laut tersebut. Penurunan produksi berpotensi menurunkan pendapatan nelayan tradisional dan masyarakat pesisir umumnya yang sangat
menggantungkan hidupnya dari keberadaan ekosistem SDPL. Pendapatan rendah merupakan ciri utama dari rendahnya kesejahteraan.
Rendahnya daya dukung lingkungan mengakibatkan kenyamanan hidup berkurang dan kualitas hidup berkurang. Selain itu rendahnya daya dukung
lingkungan PPK mengakibatkan keterbatasan PPK dalam memenuhi kebutuhan
pokok masyarakat pesisir kelurahan P. Panggang. Keterbatasan tersebut mendorong ketergantungan yang tinggi terhadap pasar. Pasar bebas senantiasa
menekankan pada akumulasi modal dan maksimalisasi keuntungan. Logika ekonomi tersebut tidak mengindahkan pola investasi yang masuk, apakah
produktif, non produktif atau destruktif. Kecenderungan untuk memaksimalkan keuntungan memicu terjadinya pemanfaatan SDPL secara destruktif dengan
bantuan modal yang intensif dan padat teknologi. Pemanfaatan lahan secara destruktif mengakibatkan kualitas SDPL menurun dan pada gilirannya
menjadikan kondisi ekologi, ekonomi dan sosial mengalami kerentanan yang tinggi. Rentannya kondisi ekologi, ekonomi dan sosial memicu terjadinya
penurunan tingkat kesejahteraan karena SDPL sudah tidak bisa lagi berfungsi dengan baik dan dimanfaatkan secara optimal.
Rendahnya daya dukung ekologi dan lingkungan PPK menyebabkan tingkat kesejahteraan masyarakat pesisir rendah. Kausalitas daya dukung
lingkungan dan tingkat kesejahteraan dijelaskan pada Gambar 15.
7.3 Analisis Kebijakan