Kesenjangan Pembangunan Pembangunan dan Kemiskinan

Proses ketimpangan dalam pembangunan antara negara maju dan negara dunia ketiga juga disebabkan karena tidak adanya kebebasan. Sen 1999 mengatakan bahwa pembangunan harus dilihat sebagai sebuah proses “perluasan” kebebasan manusia the process of expanding the real freedom, bukan sekedar mengatasi persoalan ekonomi semata. Masih menurut Sen 1999 bahwa kebebasan yang dimaksud meliputi kebebasan politik, fasilitas ekonomi, sosial opportunities , jaminan transparansi, dan perlindungan keamanan. Sen 1999 kemudian memperkenalkan suatu formula pengukuran kemiskinan yang dikenal sebagai Sen Indeks yakni suatu konsep yang saat ini diaposi PBB sebagai standar untuk mementukan tingkat Human Development Indeks HDI.

2.3.2 Kesenjangan Pembangunan

Pendekatan pembangunan ala neo-klasik dan keynesian yang selama ini diterapkan dengan ideologi modernisme dan berpijakan pada pola ekonomi kapitalis, terbukti telah melahirkan jurang yang menganga demikian lebar antara negara maju dan negara berkembang. Negara dunia ketiga yang dicap sebagai negara yang tertinggalsedang berkembang, digiring pada proses hubungan ekonomi yang terbukti bukan melahirkan kesejahteraan sebagaimana kaum liberal mengumandangkan. Namun, justru ketergantungan terhadap negara maju menjadikan negara maju semakin modern dan negara berkembang tetap tertinggal. Permasalahan struktural tersebut setidaknya melahirkan perdebatan panjang dan kritik tajam dari kaum dependensia. Mobilisasi investasi, penanaman modal asing, kemajuan ilmu dan teknologi serta perangkat-perangkat ekonomi liberal lainnya yang menjadi strategi bagi percepatan pertumbuhan ekonomi di negara berkembang, melahirkan krisis pembangunan yang demikian parah di negara berkembang dan kritik tajam kaum dependensia. Masuknya investasi ke negara berkembang bagi Baran 1957 hanyalah bertujuan menyedot keuntungan dari negara berkembang. Menurut Myrdal 1957 dalam Arif 1998 hubungan ekonomi yang terbangun antara negara maju dan negara berkembang hanya akan menimbulkan ketimpangan internasional dalam pendapatan perkapita dan kemiskinan yang terus mengakar di negara yang belum maju. Kondisi asimetris antara negara maju dan negara yang belum maju menjadikan terciptanya kesenjangan pembangunan terjadi. Potret kemajuan ilmu dan teknologi, akumulasi modal keuangan di negara maju, pada satu sisi. Serta kekurangan gizi, pertumbuhan penduduk tinggi, tingkat keterampilan yang rendah dan ciri ketertinggalan lain yang menempel pada negara berkembang, merupakan potret kesenjangan pembangunan yang demikian nyata antara negara maju dan negara sedang berkembang. Menanggapi fenomena tersebut, Frank 1984 menunjuk Rostow dengan teori tahapan pertumbuhannya sebagai ahistoris. Konsep dual society dan dual economies Arthur Lewis pun, dibantah oleh Gunder Frank. Bagi Frank 1984, proses hubungan ekonomi antara negara maju dan negara sedang berkembang hanya akan menjadikan sektor modern semakin modern dan sektor tradisional yang menjadi ciri khas masyarakat negara berkembang, senantiasa berkutat dalam subsisten, feodalistis dan stagnan dalam situasi pre-capitalist tidak mengenal money economy. Konsep metropolis- satellite sebagai gambaran hubungan negara pusat dan negara pinggiran yang diungkapkan Gunder Frank, senantiasa menjadikan negara pusat terus maju dan negara pinggiran berada dalam situasi ketergantungan dan keterbelakangan. Konsep ini serupa dengan kesenjangan pembangunan yang terlihat antara pusat- daerah, Jawa-non Jawa, kota-desa dan pulau-pulau besar dengan pulau-pulau kecil. Penelitian yang dilakukan oleh Williamson 1965 menekankan pada kesenjangan antar wilayah di dalam negara. Williamson menghubungkan kesenjangan pendapatan rata-rata antar wilayah dengan berbagai faktor termasuk tingkat urbanisasi suatu wilayah. Myrdal 1957 dalam Arif 1998 melakukan penelitian tentang sistem kapitalis yang menekankan kepada tingkat keuntungan bagi suatu wilayah yang memberikan harapan tingkat keuntungan tinggi akan berkembang menjadi pusat-pusat perkembangan kesejahteraan. Di sisi lain, wilayah-wilayah dengan harapan tingkat keuntungan yang rendah tidak akan berkembang sehingga terjadi kesenjangan. Untuk itu, menurut Ul Haq 1983 tidak ada gunanya, melihat tujuan pembangunan dari kacamata tingkat hidup di Barat atau mencurahkan perhatian pada perbedaan pendapatan yang makin besar antara negara kaya dan negara miskin. Ul Haq mengajak negara sedang berkembang untuk berpaling ke dalam diri sendiri, seperti yang dilakukan Cina yang menganut gaya sendiri dalam pembangunan sesuai dengan tingkat sosial ekonomi dan kemiskinan masyarakatnya dan tidak latah meniru gaya hidup negara-negara Barat. Pertumbuhan Gross National Product GNP yang selama ini menjadi indikator pertumbuhan ekonomi, menurut Ul Haq 1983 tidak sampai ke bawah. Sehingga yang penting adalah melakukan serangan langsung atas kemiskinan yang menurut Eugene Staley dalam Jihan 2004 sebagai penyebab utama ketertinggalan negara berkembang. Pembacaan berbeda dalam melihat kesenjangan pembangunan dilakukan oleh Dean K. Forbes dengan melihat pada setting geografi keterbelakangan. Forbes 1986, menyatakan bahwa kalangan ekonomi neo-klasik non-Marxis melihat masalah regional dalam tiga pendekatan, yaitu : 1 Pendekatan marjinalis yang menekankan pentingnya alokasi sumberdaya dan memandang ketimpangan regional sebagai gejala transisi. Dengan pendekatan ekonomi dan integrasi faktor pasar ketimpangan regional dapat dikurangi 2 Pendekatan institusionalis yang menekankan perlunya intervensi pemerintah guna menahan kecenderungan ketimpangan regional 3 Pendekatan difusionis yang digambarkan dengan riset geografi modernisasi. Penekanannya terletak pada difusi pertumbuhan spasial yang menghasilkan inovasi di seluruh ruang ekonomi. Dalam perspektif ekonomi politik regional, Massey 1978 dalam Forbes 1986, menyebutkan juga tiga pendekatan masalah regional, yaitu : 1 Pendekatan yang berusaha mengidentifikasi hukum-hukum abstrak yang bersifat umum mengenai format spasial dari pembangunan kapitalis, misalnya memisahkan ruang menjadi perkotaan – lingkungan konsumsi kapitalis dan daerah yaitu tempat produksi 2 Pendekatan dengan teori keterbelakangan untuk menjelaskan ketimpangan regional internasional, misalnya hukum pertukaran timpang Lipietz, 1977 dalam Forbes 1986 3 Pendekatan yang memusatkan pada dorongan terhadap akumulasi modal, pergeseran dalam pembagian spasial tenaga kerja dan pendapatan yang tidak merata secara spasial. Permasalahan kesenjangan pembangunan melahirkan banyak metode dalam pengukurannya. Indikator yang paling umum digunakan adalah dengan melihat tingkat pendapatan masyarakat dan GNP untuk ukuran negara. Selain itu, pengukuran kesenjangan juga menggunakan daerah sebagai basis pengelompokkan. Pengelompokkan berbasis daerah tersebut mempunyai implikasi pengamatan kesenjangan masyarakat antar daerah. Berbagai cara pengelompokkan lain yang telah biasa digunakan adalah kelompok masyarakat wilayah desa dan masyarakat wilayah kota. Selain itu, saat ini juga berkembang perhatian terhadap pengukuran kesenjangan berbasis gender. Kondisi kesenjangan kesejahteraan umumnya dinyatakan dalam bentuk indikator kesenjangan. Berbagai studi pada umumnya menggunakan kurva distribusi Lorenz dan indeks kemerataan distribusi Gini. Berbagai studi lain menggunakan indikator kesenjangan antar daerah yang pertama kali diperkenalkan oleh Williamson. Penghitungan indeks Gini dilakukan berbasis pada kurva distribusi Lorenz, sedangkan indeks Williamson berbasis kepada angka varian dalam distribusi statistik. Kesenjangan pembangunan dapat juga terjadi karena adanya kesalahan dalam orientasi dan pelaksanaan kebijakan. Menurut Ul Haq 1983 perencanaan pembangunan yang selama ini berjalan di negara berkembang, berjalan dalam proses yang salah arah. Pembangunan yang sejatinya menghapuskan bentuk- bentuk terburuk dari kemiskinan, tetapi justru pendapatan per kepala yang dikejar. Namun, menurut Ul Haq, para perencana pembangunan tidak berusaha memahami kaitan antara keduanya. Fakta adanya luasnya pengangguran, pembagian tidak merata pendapatan, kurangnya gizi dan bentuk-bentuk kemiskinan lainnya, ternyata luput dari penyelidikan sehingga membiaskan dari tujuan utama menghapuskan kemiskinan. Menghapuskan kemiskinan dapat juga dilakukan dengan melihat penyebab terjadinya kemiskinan. Dalam konteks pembangunan Indonesia, pengalaman orde Baru, kebijakan pemerintah cenderung mengutamakan kota, mengistimewakan komoditi ekspor, kebijakan harga pangan mengistimewakan bahan makan impor. Contoh policy bias ini dianggap sebagai penyebab kemiskinan di masa lalu Mas’oed, 1994. Masa orde baru ini ditandai dengan banyaknya desa miskin di Indonesia. Hal itu menurut Mas’oed 1994 dapat ditelusuri dari faktor penyebab kemiskinannya yang dibagi dalam kemiskinan alamiah dan kemiskinan buatan. Kemiskinan alamiah timbul akibat kelangkaan sumber daya alam. Sedangkan, kemiskinan buatan lebih banyak diakibatkan oleh munculnya kelembagaan – seperti modernisasi atau pembangunan ekonomi sendiri- yang membuat masyarakat tidak dapat menguasai sumberdaya, sarana dan fasilitas ekonomi yang ada. Walaupun, sumber dayanya tersedia, namun masyarakat tidak mampu memperolehnya karena struktur yang mengkungkung mereka tidak memungkinkan untuk itu. Kemiskinan seperti itu, menurut Mas’oed disebut juga kemiskinan struktural. Sen 1999 mengutarakan bahwa penyebab kemiskinan dan keterbelakangan adalah persoalan aksesbilitas. Akibat ketiadaan dan keterbatasan akses maka manusia mempunyai keterbatasan pilihan untuk mengembangkan hidupnya, kecuali menjalankan apa terpaksa saat ini yang dapat dilakukan bukan apa yang seharusnya dilakukan. Keterbatasan akses seperti ini juga pernah terjadi di dunia perikanan. Kebijakan modernisasi perikanan pernah diterapkan sebagai solusi untuk mengatasi kemiskinan masyarakat pesisir. Masalah kemiskinan di sektor perikanan diawali sejak orde baru dengan adanya kajian pembangunan ekonomi dengan konsep kebijakan repelita I tahun 1969. Kebijakan orde baru dalam bidang perikanan adalah mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya perikanan dengan cara modernisasi perikanan, pemberian fasilitas kredit dan pembangunan fasilitas infrastruktur. Dampak dari kebijakan tersebut adalah terjadinya peningkatan produksi perikanan laut. Periode tahun 1966-1990 produksi perikanan meningkat secara fantastis karena adanya modernisasi perikanan yang didukung oleh unit-unit usaha berskala besar dan padat modal. Kondisi ini semakin menjustifikasi bahwa modernisasi perikanan telah menimbulkan penetrasi kapitalisme. Sedangkan pada sisi lain, fakta di lapangan menunjukkan bahwa tidak semua nelayan tradisional dapat mengakses teknologi modern dalam perikanan laut. Akibatnya, nelayan tradisional semakin terbatas produksinya sebagai akibat rendahnya teknologi penangkapan yang dimiliki. Modernisasi menimbulkan jurang yang bertambah lebar antara mereka yang mampu dan yang tidak mampu memanfaatkan teknologi baru itu Mubyarto, dkk, 1984. Keterbatasan akses ini ditimbulkan karena struktur kebijakan perikanan belum berpihak kepada nelayan dan tidak memungkinkan untuk itu. Kemiskinan struktural seperti ini banyak mewarnai kehidupan nelayan. Damanhuri 1997, memberikan dua catatan penting tentang terjadinya kemiskinan struktural, yakni : 1 Kemiskinan terjadi karena ”korban pembangunan” contohnya penggusuran karena kegiatan pembangunan lapangan golf, pembangunan real estate seperti kawasan pantai indah kapuk. 2 Kemiskinan terjadi karena golongan tertentu tidak memiliki akses terhadap kegiatan ekonomi produksi akibat pola ”institusional” yang diberlakukan. Penelitian tentang fakta kemiskinan struktural telah banyak dilakukan oleh beberapa peneliti, salah satunya seperti yang dilakukan oleh Mubyarto, et. al 1984. Mubyarto, et.al 1984 yang meneliti nelayan di daerah Jepara, Jawa Tengah menemukan bahwa modernisasi perikanan dalam hal ini, aplikasi alat tangkap pukat harimau yang banyak digunakan di daerah Jepara, bukan hanya menimbulkan konflik sosial tetapi jelas-jelas semakin memiskinkan nelayan tradisional. Kapal-kapal pukat menurut Mubyarto et.al 1984, mengakibatkan pengurangan sumber daya perikanan jangka panjang. Selain itu, keberadaan kapal-kapal tersebut menyebabkan berkurangnya tangkapan nelayan tradisional karena terkuras habis oleh kapal-kapal pukat. Akibatnya banyak diantara mereka yang menjadi buruh kapal-kapal besar atau ke sektor-sektor ekonomi lain. Penelitian Mubyarto ini semakin memperkuat penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Emerson. Emerson 1979 meneliti di pantai utara Jawa Tengah yang mencakup daerah Pati, Jepara, Rembang dan Demak mengungkapkan bahwa tidak ada perubahan nasib nelayan tradisional semenjak berlakunya kebijakan modernisasi penangkapan ikan. Emerson menemukan bahwa golongan nelayan di daerah kerja tersebut telah benar-benar ketinggalan dibandingkan dengan golongan lain di luar usaha perikanan ataupun dengan golongan nelayan di Propinsi Jawa Tengah pada umumnya. Penelitian lainnya pada tahun 1977 di daerah Muncar Jawa Timur dinyatakan bahwa program modernisasi perikanan bukan saja tidak menghasilkan perbaikan dalam kehidupan nelayan-nelayan tradisional, tetapi juga menimbulkan suasana ketegangan di antara nelayan tradisional dengan nelayan modern. Kusnadi 2001 yang meneliti kemiskinan nelayan di Kecamatan Besuki, Kabupaten Situbondo menemukan adanya perbedaan tingkat kesejahteraan antara pandhiga nelayan buruh atau nelayan kecil dengan pedagang dan pemilik perahu demikian sangat tampak jelas sejak mulai dioperasikannya peralatan perahu sleret di Desa pesisir Besuki. Akibatnya nelayan kecil senantiasa terjebak dalam utang kepada rentenir yang mematok bunga yang sangat besar. Pola patron-klien seperti ini mewarnai banyak kehidupan nelayan. Nelayan kecil tidak mempunyai banyak akses untuk merubah pola tangkap dengan mengganti teknologi tangkap yang lebih baik karena struktur yang mengkungkung mereka tidak memungkinkan untuk itu. Kusnadi melihat bahwa kebijakan pembangunan perikanan yang efektif masih tetap diperlukan dengan tidak mengulang model-model program pembangunan masyarakat nelayan seperti yang selama ini ditempuh oleh pemerintah. Melihat besarnya sumber daya laut yang tersedia, sulit dimengerti bahwa kemiskinan yang menimpa sebagian besar nelayan merupakan kemiskinan alamiah, sebagaimana dugaan Sinaga dan White 1980 dalam Masyhuri 1999. Masyhuri 1999 menyimpulkan bahwa kemiskinan nelayan lebih disebabkan oleh struktur ekonomi nelayan dan bukannya sumber daya yang terbatas. Kemiskinan struktural dalam hal ini dipahami sebagai suatu kondisi yang dimiliki oleh suatu golongan masyarakat, karena struktur sosial masyarakat, mereka tidak dapat ikut menggunakan sumber-sumber pendapatan yang sebenarnya tersedia bagi mereka Soemardjan, 1980. Selanjutnya Soemardjan 1980 menyatakan bahwa kesalahan-kesalahan kebijakan pembangunan menyebabkan pembangunan yang timpang dan tidak seimbang dimana satu sektor berkembang jauh lebih pesat dibanding sektor-sektor lainnya. Penekanan berlebihan pada pembangunan ekonomi dan mengabaikan perkembangan-perkembangan sosial akan menciptakan bom waktu psikologis dan politis yang dapat menghancurkan hasil- hasil pembangunan.

2.3.3 Bagaimana Mengukur Kemiskinan