Mengukur Kesejahteraan Menuju Kesejahteraan

perspektif ini, Hettne membangun pertanyaan tentang masa depan pembangunan. Pertama , Akankah dunia terus berkembang menuju ketergantungan satu sama lain, kedua, akankah dunia tercerai-berai ke dalam anarki nasionalisme ekonomi atau ketiga, akankah dunia berubah menjadi sistem yang teregionalisasi ?. Bagi Hettne 2001 skenario pertama tampaknya tidak memungkinkan. Skenario kedua adalah jalan menuju bencana, sedangkan skenario ketiga dapat menjadi suatu solusi yang tahan lama bagi krisis global –maupun krisis negara- bangsa di tiga dunia. Dunia pertama ditujukan kepada negara-negara maju dengan kapitalisme industrinya. Dunia kedua ditujukan kepada negara-negara sosialis dengan proyek sosialismenya, sedangkan dunia ketiga, ditujukan kepada negara- negara sedang berkembang seperti negara-negara yang terdapat di Amerika latin, Afrika dan Asia, dimana, aparat negara ada di tangan para elite yang kebanyakan berorientasi ke barat. Mempertimbangkan aspek regional dalam pembangunan seperti ide Hettne, sebetulnya sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Soja 1980 dengan menggunakan pijakan Marxisme dalam analisa ruang. Menurut Soja 1980 dalam Forbes 1983 bahwa hubungan-hubungan sosial dan ruang saling bereaksi, saling bergantung secara dialektis. Hubungan-hubungan sosial dari produksi bersifat membentuk ruang dan juga tergantung ruang. Dialektika sosial ruang adalah konsep yang berusaha menarik perhatian kepada makna fundamental dari ruang dalam masyarakat manusia. Giddens 1981 dalam Forbes 1980 berpendapat bahwa bagi teori sosial hubungan waktu-ruang harus dijadikan pusat karena mereka merupakan aspek pembentuk sistem sosial. Perspektif baru pembangunan yang diutarakan ini tentunya mengarah kepada tujuan pembangunan yaitu bagaimana membangun kesejahteraan masyarakat. Di Indonesia, berbagai cara telah banyak digunakan dalam mengukur tingkat kesejahteraan dan hasilnya juga masing-masing telah dapat dilihat selama ini. Fakta tak terbantahkan, masih banyak terdapat masyarakat miskin di Indonesia dengan tingkat kesejahteraan yang sangat rendah.

B. Mengukur Kesejahteraan

Berdasarkan hasil pembacaan dari beberapa literatur, bahwa penelitian awal mengenai kesejahteraan secara sederhana menggunakan indikator output ekonomi per kapita sebagai proksi tingkat kesejahteraan. Pada perkembangan selanjutnya, output ekonomi perkapita digantikan dengan pendapatan perkapita. Namun output ekonomi perkapita dipandang kurang mencerminkan kesejahteraan masyarakat karena output ekonomi lebih mencerminkan nilai tambah produksi yang terjadi pada unit observasi, yaitu negara atau wilayah. Nilai tambah itu tidak dengan sendirinya dinikmati seluruhnya oleh masyarakat wilayah itu, bahkan mungkin sebagian besar ditransfer ke wilayah pemilik modal yang berbeda dengan wilayah tempat berlangsungnya proses produksi. Menanggapi kritik terhadap penggunaan output ekonomi perkapita, maka pendapatan rumah tangga digunakan sebagai proksi kesejahteraan karena dipandang lebih mencerminkan apa yang dinikmati oleh masyarakat wilayah. Lebih jauh, kritik terhadap penggunaan output ekonomi perkapita dan pendapatan rumah tangga dipandang kurang relevan dalam mengukur kesejahteraan masyarakat karena hanya memperhatikan faktor ekonomi saja. Hal ini mendorong penggunaan indikator lain yang lebih komprehensif. Banyaknya kritik terhadap pengukuran kemiskinan yang cenderung menekankan aspek ekonomi mendorong PBB melalui UNDP untuk memperkenalkan pendekatan baru. Di bawah kepemimpinan Mahbub Ul Haq, pada tahun 1990-an UNDP memperkenalkan pendekatan Human Development yang diformulasikan dalam bentuk Indeks Pembangunan Manusia Human Development Index dan Indeks Kemiskinan Manusia Human Poverty Index. Dibandingkan dengan pendekatan yang dipakai Bank Dunia, pendekatan UNDP relatif lebih komprehensif karena bukan hanya mencakup dimensi ekonomi pendapatan, melainkan juga pendidikan angka melek huruf, dan kesehatan angka harapan hidup. Pendekatan kemiskinan versi UNDP berporos pada paradigma pembangunan populis atau kerakyatan popular development paradigm yang memadukan konsep pemenuhan kebutuhan dasar dari Paul Streeten dan teori kapabilitas yang dikembangkan Amartya sen, peraih Nobel ekonomi 1998 Suryawati, 2005.

C. Model Kesejahteraan Keluarga BKKBN