25
aktivitas pembangunan, kapasitas asimilasi, status lingkungan, pertumbuhan ekonomi dan tingkat kualitas hidup yang diinginkan.
Chang et al. 2008 mengatakan bahwa sebagai analisis skenario untuk mengambil kebijakan dalam pemecahan permasalahan wilayah pesisir yang
kompleks dapat dibangun model sistem dinamik didasarkan DSS decision suport system
. Selanjutnya dikatakan bahwa strategi pengelolaan ekosistem terumbu karang secara berkelanjutan yang dibangun berdasarkan DSS ini diharapkan dapat
diimplementasikan dimasa depan di wilayah pesisir Kenting Taiwan.
2.4. Daya Dukung
Menurut Rogers et al. 2008 konsep pembangunan berkelanjutan didasari oleh konsep ekologi yaitu menyangkut tentang daya dukung. Hal tersebut sejalan
dengan pernyataan Kanna et al. 1999 bahwa daya dukung merupakan basis dalam pembangunan berkelanjutan. Sedangkan Inglis et al. 2000 menjelaskan
bahwa konsep secara mendasar tentang daya dukung ialah hubungan antara populasi dengan perubahan sumberdaya alam yang menopangnya. Asumsinya
ialah ukuran populasi optimal adalah yang dapat ditopang oleh sumberdaya alamnya. Artinya jika populasi tidak lagi dapat ditopang oleh sumberdaya
alamnya maka telah melampaui daya dukungnya. Scone 1993 membedakan daya dukung mencakup dua jenis yaitu; 1
daya dukung ekologis ialah jumlah maksimum hewan-hewan pada suatu lahan yang dapat didukung tanpa mengakibatkan kematian karena kepadatan dan
kerusakan lingkungan permanen; 2 daya dukung ekonomi ialah tingkat produksi skala usaha yang memberikan keuntungan maksimum yang ditentukan oleh tujuan
usaha secara ekonomi. Krom 1986 menyatakan daya dukung lingkungan pesisir diartikan sebagai kemampuan suatu ekosistem pesisir untuk menerima jumlah
limbah tertentu sebelum ada indikasi terjadinya kerusakan lingkungan. Selanjutnya menurut UNEP 1993 daya dukung lingkungan sangat erat
kaitannya dengan kapasitas asimilasi dari lingkungan yang menggambarkan jumlah limbah yang dapat dibuang ke dalam lingkungan tanpa menyebabkan
pencemaran. Sedangkan Pearce dan Kirk 1986 mendefinisikan daya dukung sebagai intensitas penggunaan maksimum terhadap sumberdaya alam yang
berlangsung secara terus menerus tanpa merusak alam. Undang-Undang No. 32
26
Tahun 2009 mendefinisikan daya dukung ialah kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung kelangsungan hidup manusia, mahluk hidup lainnya dan
keseimbangan diantara keduanya.
2.5. Dimensi Keberlanjutan Pengelolaan Terumbu Karang
Nikijuluw 2002 menyatakan bahwa terdapat enam variabel atau himpunan variabel kontekstual yang memberi pengaruh pada keberlanjutan
pengelolaan sumberdaya perikanan, termasuk sumberdaya ikan di terumbu karang yaitu :
1. Sifat biofisikekologi sumberdaya serta teknologi yang digunakan untuk memanfaatkan sumberdaya tersebut.
2. Atribut pasar terutama komoditas yang dihasilkan dari sumberdaya alam yang tersedia serta komoditas barang dan jasa yang digunakan dalam
proses pemanfaatan sumberdaya. 3. Atribu pemegang kepentingan, yaitu nelayan serta kelompok masyarakat
lainnya yang menempatkan sumberdaya sebagai panggung atau arena stake yang bersangkutan dengan mengekspresikan eksistensinya.
4. Atribut kelembagaan dan organisasi yang hidup dan berkembang di tengah-tengah masyarakat yang berhubungan langsung atau tidak langsung
dengan pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut, serta organisasi yang visi dan misinya tidak berkaitan sama sekali dengan pemanfatan
sumberdaya pesisir dan laut, namun hadir di tengah masyarakat. 5. Atribut kelembagaan dan organisasi ekternal yang terdapat di luar
masyarakat atau di luar area pengelolaan sumberdaya perikanan. 6. Atribut eksogen yaitu kekuatan eksternal yang terjadi di luar sistem
pengelolaan sumberdaya perikanan, tetapi pada kenyataannya sangat berpengaruh atau berdampak pada sumberdaya perikanan.
2.5.1. Dimensi Ekologi
Dimensi ekologi merupakan dimensi kunci karena arahan pembangunan berkelanjutan mensyaratkan kesinambungan pemanfaatan sumberaya alam dan
jasa lingkungan bagi generasi mendatang. Status atau kondisi pembangunan berkelanjutan dapat tercermin dari kondisi dimensi ekologis tersebut. Dimensi
27
ekologi dipilih untuk mencerminkan bagaimana pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut berdampak secara ekologis terhadap keberlanjutan sumberdaya dan
lingkungan serta ekosistem tersebut sehingga kegiatan pemanfaatannya dapat berlangsung secara berkelanjutan juga. Tingkat eksploitasi atau tekanan
eksploitasi akan membatasi peluang pengembangan pemanfaatan sumberdaya perikanan Aziz et al. 1998. Tingkat eksploitasi yang melebihi MSY maximum
sustainable yield atau terjadinya penangkapan berlebih overfishing akan
membahayakan keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya perikanan Gulland, 1983.
Keanekaragaman spesies telah lama digunakan sebagai indikator stabilitas lingkungan De Santo, 2000. Selain itu, spesies itu sendiri penting karena fungsi
bertindak di dalam menimbulkan atau memunculkan jasa ekologis yang memang bernilai ekonomis bagi manusia Perrings et al., 2003. Keanekaragaman spesies
secara fungsional menentukan ketahanan resilience ekosistem atau sensitivitas ekosistem Holling et al. 2002. Jumlah spesies dan kombinasi spesies ikan
merupakan dua dari beberapa indikator integritas biotik ekosistem perairan Karr, 2002. Integritas biotik adalah suatu ekosistem yang berubah baik secara struktur
maupun secara fungsional akibat aktivitas manusia Hocutt, 2001.
2.5.2. Dimensi Sosial Ekonomi
Dimensi sosial ekonomi yang elemen utamanya meliputi aspek permintaan demand dan penawaran supply komoditas yang dihasilkan dari sumberdaya
yang dikelola. Dimensi sosial ekonomi seperti harga dan struktur pasar merupakan insentif atau disinsentif bagi terbentuknya suatu tatanan kelembagaan pengelolaan
terumbu karang serta derajat kepatuhan masyarakat nelayan terhadap tatanan tersebut. Dimensi sosial ekonomi juga menggambarkan kejadian-kejadian yang
berpengaruh pada permintaan dan penawaran serta hubungan antara pelaku ekonomi Arifin, 2008.
Memahami dimensi sosial ekonomi adalah sesuatu yang sangat penting dalam kaitannya dengan pengelolaan terumbu karang. Hal ini karena disamping
sebagai kegiatan yang berbasis sumberdaya alam natural resource based activity
, terumbu karang merupakan kegiatan ekonomi yang berbasis pasar marked – based activity. Oleh karena itu, perumusan suatu tatanan pengelolaan
28
terumbu karang patut pula memperhatikan dimensi sosial ekonomi yang berkaitan atau yang merupakan ciri sumberdaya tersebut.
2.5.3. Dimensi Kelembagaan
Dimensi kelembagaan sangat bergantung pada cara tatanan kelembagaan, hak-hak masyarakat, serta aturan dibuat atau dirumuskan. Nikijuluw 2002,
menyatakan bahwa tiga aspek penting yang patut diperhatikan dalam pengambilan keputusan, yaitu:
1. Keterwakilan representation yang didefinisikan sebagai tingkat nelayan dan pemegang kepentingan lainnya berpartisipasi dalam pengambilan
keputusan. 2. Kecocokan relevanse adalah tingkat peraturan yang berlaku dinilai cocok
dengan masalah-masalah yang dihadapi. 3. Penegakan hukum enforceability adalah tingkat aturan-aturan dapat
ditegakkan. Christie et al. 2003 mengatakan bahwa dukungan seluruh pemangku
kepentingan wilayah pesisir merupakan faktor penting terhadap keberlanjutan program. Konflik kepentingan, atau bahkan hanya konflik persepsi di antara
konstituen seperti nelayan, penyelenggara wisata bahari, ilmuwan, pejabat pemerintah, LSM, dan konservasionis akan memelihara ketidakpuasan di antara
mereka apabila tidak diambil langkah-langkah proaktif. Ketidakpuasan di antara satu konstituen atau lebih, apabila tidak diselesaikan dengan cara yang bijak, bisa
mengakibatkan terancamnya keberlanjutan kegiatan pengelolaan sumberdaya pesisir karena mereka akan melanggar kesepakatan atau peraturan yang ada dan
disepakati. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa peranserta para pemangku
kepentingan dalam pengelolaan sumberdaya pesisir termasuk terumbu karang, baik secara individu atau secara bersama-sama cenderung berakibat pada
kesesuaian kegiatan proyek dengan keinginan mereka daripada proyek yang dipaksakan dari luar. Peranserta ini menumbuhkan rasa memiliki di kalangan
pihak-pihak yang berkepentingan dan meningkatkan keberdayaan masyarakat pesisir. Perasaan memiliki digabungkan dengan peningkatan keberdayaan
masyarakat pesisir dan kesesuaian pengelolaan sumberdaya pesisir dengan kondisi
29
lokal tampak lebih berdampak pada keberlanjutan pengelolaan sumberdaya pesisir oleh masyarakat sendiri setelah proyek selesai.
2.5.4. Dimensi Teknologi
Aspek teknologi yang digunakan dalam pemanfaatan sumberdaya sangat bergantung pada jenis dan potensi terumbu karang yang tersedia. Teknologi yang
diperbolehkan atau tidak diperbolehkan diatur serta ditentukan dalam hak-hak pemanfaatan sumberdaya. Kehadiran suatu teknologi membentuk pola interaksi
antara pengguna. Jika suatu teknologi mensyaratkan adanya kerjsama antar pengguna, kerjasama itu akan terwujud karena kebutuhan. Sebaliknya,
penggunaan teknologi tertentu dapat juga menjadi disinsentif bagi pengguna untuk bekerjasama yang seterusnya menentukan pola interaksi yang khas di antara
mereka bukan saja pada saat pemanfaatan sumberdaya, tetapi juga pada saat perencanaan, perumusan cara-cara pemanfaatan, dan pengelolaan.
Oakerson 1992, mengajukan dua alasan penting melakukan kajian hubungan antara atribut-atribut tersebut dengan keberlanjutan pengelolaan
sumberdaya pesisir dan laut. Alasan tersebut adalah sebagai berikut: 1 Sumberdaya perikanan termasuk terumbu karang memiliki kapasitas relatif
dalam mendukung usaha nelayan secara simultan tanpa adanya benturan- benturan di antara mereka atau adanya dampak yang merugikan bagi
nelayan tertentu yang timbul karena nelayan lain menangkap ikan dalam jumlah yang lebih banyak. Analisis sifat ekologi harus diarahkan untuk
menentukan secara akurat faktor-faktor pembatas sumberdaya. Faktor-faktor pembatas yang utama adalah potensi dan jenis serta mobilitasnya di dalam
kawasan yang dikelola. 2 Derajat aksesibilitas terhadap sumberdaya. Keterbatasan potensi sumberdaya
berarti bahwa akses terhadap sumberdaya sulit dan mahal. Oleh karena itu tindakan seseorang untuk berhenti memanfaatkan sumberdaya merupakan
sesuatu yang jarang terjadi. Begitu sesorang sudah memiliki akses dan berada dalam proses pemanfaatan sumberdaya, akan sulit baginya untuk
berhenti melakukannya. Oleh karena itu, sumberdaya terumbu karang dimanfaatkan secara bersama-sama dalam suatu bentuk kompetisi di antara
30
pengguna. Aksi seseorang akan memberi dampak kepada yang lain dan selanjutnya membuat orang lain melakukan aksi serupa. Jadi interaksi di
antara pengguna cenderung menjurus kepada pertentangan atau konflik di antara mereka.
2.6. Kawasan Konservasi Laut
Kawasan Konservasi Laut KKL adalah suatu daerah di laut yang ditetapkan untuk melestarikan sumberdaya laut. Di daerah tersebut diatur zona-
zona untuk mengatur kegiatan yang dapat dan tidak dapat dilakukan, misalnya pelarangan kegiatan seperti penambangan minyak dan gas bumi, perlindungan
ikan, biota laut lain dan ekologinya untuk menjamin perlindungan yang lebih baik National Research Council, 2001. Sedangkan menurut IUCN 1994 kawasan
konservasi perairan adalah suatu wilayah perairan pasang surut bersama badan air di bawahnya dan terkait dengan flora, fauna, dan penampakan sejarah serta
budaya, dilindungi secara hukum atau cara lain yang efektif untuk melindungi sebagian atau seluruh lingkungan di sekitarnya.
Beberapa ahli berpendapat bahwa KKL bukanlah jawaban universal untuk mengatasi masalah-masalah pelestarian perikanan, tetapi telah disepakati bahwa
pengelolaan perikanan karang sangat sesuai dilakukan melalui penetapan KKL. Ekosistem laut wilayahnya bisa didefinisikan secara spatial, seperti terumbu
karang dan baik untuk perlindungan sumber daya perikanan Williams, 1998. Pengembangan kawasan konservasi laut dalam luasan yang kecil pada
suatu wilayah menunjukkan peningkatan yang cukup berarti pada produktivitas perikanan di sekitarnya Williamson et al. 2004; Francini-Filho dan Moura,
2008. White 1988 melaporkan bahwa sebelum ada KKL di Pulau Sumilon Philipina hasil produksi perikanan sebesar 14 – 24 mtkm
2
tahun, setelah dibangun KKL hasil tangkapan meningkat menjadi 36 mtkm
2
tahun. Produksi KKL kembali menurun menjadi 20 mtkm
2
Kawasan konservasi laut bisa digunakan sebagai alat yang efektif sebagai bagian untuk pengelolaan wilayah pesisir dan lautan secara terpadu National
tahun ketika pengelolaan KKL mengalami masalah. Selanjutnya dikatakaan bahwa KKL merupakan area
recruitment bagi ikan karang yang bergerak pada kawasan terumbu karang di
dalam dan di luar KKL.
31
Research Council, 2001. Selanjutnya Roberts Hawkins 2000 menyatakan bahwa di seluruh dunia luasan daerah perairan laut dilindungi sangat kecil. Saat
ini seluruh wilayah KKL hanya meliputi kurang dari setengah persen lautan di dunia, sedikit yang sangat dilindungi dan 71 tidak ada pengelolaan yang aktif.
Li 2000 merinci manfaat kawasan konservasi laut sebagai berikut, yaitu manfaat biogeografi, keanekaragaman hayati, perlindungan terhadap spesies
endemik dan spesies langka, perlindungan terhadap spesies yang rentan dalam masa pertumbuhan, pengurangan mortalitas akibat penangkapan, peningkatan
produksi pada wilayah yang berdekatan, perlindungan pemijahan, manfaat penelitian, ekoturisme, pembatasan hasil samping ikan-ikan juvenile juvenile by
catch, dan peningkatan produktivitas perairan productivity enchancement.
Selanjutnya Roberts Hawkins 2000 mengatakan bahwa terdapat bukti yang kuat dan meyakinkan bahwa melindungi daerah dari penangkapan ikan membuat
bertambahnya jumlah, besarnya ukuran, dan biomasa dari jenis organisme yang dieksploitasi. Wilayah penyimpanan dan perlindungan laut sering dikatakan hanya
berlaku untuk lingkungan terumbu karang. Kenyataannya, metode ini sudah berhasil diterapkan pada berbagai habitat di daerah tropis dan sub-tropis.
Penyimpanan dan perlindungan laut adalah suatu alat yang bersifat global. Kebijakan pengelolaan Kawasan Konservasi Laut atau Marine Protected
Area MPA mulai dilaksanakan di Indonesia sejak tahun 90-an. Sampai saat ini
telah terbangun kawasan KKL lebih kurang seluas 6,87 juta ha. Diharapkan sampai dengan tahun 2010 dapat terbangun 10 juta ha dan tahun 2020 sekitar 20
juta ha di seluruh Indonesia. Sifat pengelolaannya yang lebih kepada perlindungan konservasi dirasa cukup tepat pada kondisi beberapa perairan pesisir di
Indonesia yang mengalami kerusakan cukup parah akibat adanya praktek penangkapan ikan yang merusak seperti pengunaan bahan peledak, racun, dan
lain-lain, yang akan mengancam keberlanjutan kehidupan ekosistem laut kedepan Hutabarat et al. 2009.
2.7. Sistem, Pendekatan Sistem 2.7. 1. Sistem