111
diterapkan di daerah yang tutupan karang sangat rendah terutama daerah yang dulunya tutupan karangnya bagus
. Alat penangkapan yang dioperasikan oleh nelayan terutama yang
dioperasikan di ekosistem terumbu karang juga dapat berdampak terhadap terumbu karang. Walaupun saat ini penggunaan alat tangkap yang bersifat
destruktif sangat jarang digunakan, namun alat tangkap seperti bubu yang dipasang di ekosistem terumbu karang dapat merusak terumbu karang bila tidak
dipasang secara hati-hati. Begitu juga jangkar kapal atau perahu nelayan juga dapat merusak terumbu karang. Kerusakan terumbu karang akibat alat tangkap
dan jangkar ini hanya dapat diminimalkan bila kesadaran masyarakat terutama nelayan sudah tinggi.
5.2.2.5. Nilai Indeks dan Status Keberlanjutan Dimensi Hukum dan Kelembagaan
Hasil analisis ordinasi Rap-Insus COREMAG terhadap delapan atribut yang berpengaruh terhadap dimensi hukum dan kelembagaan menunjukkan
bahwa nilai indeks keberlanjutan dimensi hukum dan kelembagaan adalah 49,91. Nilai tersebut berada pada selang 25,01- 50,00 skala keberlanjutan dengan status
kurang berkelanjutan, ditunjukkan oleh Gambar 23.
Rap Insus COREMAG Ordination
49,91
DOWN UP
BAD GOOD
-60 -40
-20 20
40 60
20 40
60 80
100 120
Low and Institutional Sustainability O
th e
r D is
ti n
g is
h in
g F
e a
tu re
s
Real Fisheries References
Anchors
Gambar 23. Nilai indeks dan status keberlanjutan dimensi hukum dan kelembagaan
112
Analisis leverage dilakukan bertujuan untuk melihat atribut yang sensitif memberikan kontribusi terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi hukum dan
kelembagaan. Analisis leverage terhadap delapan atribut hukum dan kelembagaan diperoleh empat atribut yang sensitif terhadap tingkat keberlanjutan dari dimensi
hukum dan kelembagaan, yaitu tingkat kepatuhan masyarakat, penyuluhan hukum lingkungan, koodinasi antar stakeholders, dan pelaksanaan pemantauan dan
pengawasan. Perubahan terhadap ke-4 leverage factor ini akan mudah berpengaruh terhadap kenaikan atau penurunan terhadap nilai indeks
keberlanjutan dimensi hukum dan kelembagaan. Hasil analisis leverage disajikan pada Gambar 24.
Leverage of Attributes
0,01 0,12
0,07 0,00
0,00 0,07
0,12 0,02
0,02 0,04
0,06 0,08
0,1 0,12
0,14
Ketersediaan peraturan formal pengelolaan
Tingkat kepatuhan masyarakat Koordinasi antar stakeholders
Partispasi masyakat dalam pengelolaan TK
Tokoh Panutan Pelaksanaan pemanatauan dan
pengawasan Penyuluhan hukum lingkungan
Lembaga Konservasi
A ttr
ib u
te
Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed on Sustainability scale 0 to 100
Gambar 24. Nilai sensitivitas atribut dimensi kebijakan dan kelembagaan yang dinyatakan dalam perubahan Root Mean Square RMS skala
keberlanjutan 0 – 100
Tingkat kepatuhan masyarakat dan penyuluhan hukum lingkungan merupakan dua atribut paling sensitif dalam dimensi hukum dan kelembagaan
dengan nilai RMS yang paling tinggi, yaitu 0,12. Hal ini dapat diinterpretasikan bahwa atribut tingkat kepatuhan masyarakat dan penyuluhan hukum lingkungan
113
merupakan atribut berpengaruh paling besar terhadap sustainability pengelolaan ekosistem terumbu karang dari sisi hukum dan kelembagaan.
Dalam konteks pengelolaan ekosistem terumbu karang secara berkelanjutan kepatuhan masyarakat pesisir merupakan faktor kunci keberhasilan
pengelolaan. Hal ini tentu ditunjang dengan meningkatnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat akan pentingnya kelestarian ekosistem terumbu karang.
Peran penyuluhan hukum lingkungan sangatlah penting untuk meningkatkan pengetahuan dan menyadarkan masyarakat
. Dengan meningkatnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat terhadap
kelestarian ekosistem terumbu karang akan melahirkan partisipasi aktif dalam wadah pengelolaan terumbu karang yang telah terbentuk. Dari hasil penelitian
terungkap bahwa peran serta masyarakat pesisir dalam pengelolaan terumbu karang di KKLD Bintan Timur masih rendah dan masih terbatas pada desa binaan
Coremap II. Kondisi ini menyebabkan keterlibatan masyarakat pesisir secara umum masih sangat sedikit dibandingkan luas terumbu karang di KKLD Bintan
Timur. Peran serta masyarakat dalam pengelolaan terumbu karang tergabung pada suatu wadah yang bernama Lembaga Pengelola Sumberdaya Terumbu Karang
LPSTK yang implementasi lapangan dilakukan oleh Kelompok Pengawas Masyarakat Pokwasmas. LPSTK dan Pokwasmas ini hanya bertanggung jawab
pada pengawasan terhadap Daerah Perlindungan laut DPL masing-masing desa .
Koordinasi antar stakeholders dalam pengelolaan ekosistem terumbu karang dalam suatu kawasan merupakan faktor yang sangat penting. Keterlibatan
banyak pihak dalam pembangunan atau pemanfaatan sumberdaya wilayah pesisir termasuk terumbu karang di Bintan Timur membutuhkan kesamaan pandang
visi untuk melestarikan ekosistem terumbu karang. Oleh karena itu koordinasi dan kemitraan yang baik perlu diwujudkan guna meningkatkan kinerja kebijakan
yang telah dibuat. Pemerintah Kabupaten Bintan telah membuat kebijakan dalam pengelolaan terumbu karang, seperti Surat Keputusan Bupati Bintan Nomor
261VIII2007 tentang Kawasan Konservasi Laut Daerah Kabupaten Bintan dan Peraturan Daerah Kabupaten Bintan Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pengelolaan
Terumbu Karang. Kebijakan yang telah dibuat ini akan berjalan dengan baik, bila koordinasi dan kemitraan antar sektor yang terlibat terjalin dengan baik.
Disamping itu masing-masing sektor mengerti dan faham mengenai tugas pokok dan fungsi tupoksi.
114
5.2.2.6. Nilai Indeks dan Status Keberlanjutan Multidimensi