Coral Reefs Management Evaluation at Marine Conservation Area of Biawak Islands of Indramayu, West Java Province

(1)

EVALUASI PENGELOLAAN TERUMBU KARANG

DI KAWASAN KONSERVASI LAUT DAERAH

PULAU BIAWAK DAN SEKITARNYA

KABUPATEN INDRAMAYU PROVINSI JAWA BARAT

LERI NURIADI

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis “Evaluasi Pengelolaan Terumbu Karang di Kawasan Konservasi Laut Daerah Pulau Biawak dan Sekitarnya Kabupaten Indramayu Provinsi Jawa Barat” adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Juni 2012

Leri Nuriadi NRP. C252080444


(3)

(4)

ABSTRACT

LERI NURIADI. Coral Reefs Management Evaluation at Marine Conservation Area of Biawak Islands of Indramayu, West Java Province. Under direction of SULISTIONO and GATOT YULIANTO.

The research was conducted in Marine Conservastion Area of Biawak Island of Indramayu, West Java Province. The Marine Conservastion Area is located in the Java Sea, northern part of the Indramayu District which familiar with high pressure from fishings, industries, and other human activities. The objective of the research were to assess condition of coral reefs, to assess role and importance of key stakeholders in the coral reef management and to evaluate current its management and recommend to better coral reef management in the area. I employed Line Intercept Transect, Visual Cencus Methods, Reef Check Benthos, Household interview and Expert interview to collect biophysical and socio-economic data. Coral reefs condition categorized as bad to medium condition with percent coral cover variated among 22,7±5,9% to 45,7±13,2%, 13 families and 39 genuses were found. The density of reef fishes were variated among 5.967±1.767 ind/ha to 20.433±10.355 ind/ha with 85 species and 18 families and the density of benthos were variated among 2.000±1.000 ind/ha to 14.667±14.964 with 29 species and 23 families. Result showed that anthropogenic activities gaves high pressure on coral reef condition. Destructive fishing still practiced around the protected area. Law enforcement, surveillance and monitoring actions were not implemented well. Government institution and private sectors need to be collaborated to create good coral reefs management. Collaboration among stakeholders became the key to successful MPA management. Implementation of management policy need to be focused on protect and conserve coral reefs to restore the condition.

Keywords: marine conservation area, coral reefs, stakeholders, coral reefs management


(5)

(6)

RINGKASAN

LERI NURIADI. Evaluasi Pengelolaan Terumbu Karang di Kawasan Konservasi Laut Daerah Pulau Biawak dan Sekitarnya Kabupaten Indramayu Provinsi Jawa Barat.Dibimbing oleh SULISTIONO and GATOT YULIANTO.

Pulau Biawak dan sekitarnya di perairan Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat ditetapkan sebagai Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) pada tahun 2004 melalui Surat Keputusan Bupati Indramayu nomor 556/Kep.528-Diskanla/2004 yang dikeluarkan pada tanggal 7 April 2004 tentang Penetapan Pulau Biawak dan sekitarnya sebagai Kawasan Konservasi dan Wisata Laut. Salah satu tujuan penetapannya adalah perlindungan habitat dan populasi sumberdaya hayati, diharapkan dapat mempertahankan kondisi ekosistem dan memberikan dampak positif terhadap sumberdaya kelautan di wilayah perairan Indramayu baik secara ekologi, ekonomi, maupun sosial. Sejak Tahun 2006, pengelolaan KKLD Pulau Biawak dan sekitarnya secara hukum dilaksanakan oleh Forum Pengelola KKLD Kab. Indramayu berdasarkan Surat Keputusan Bupati Indramayu Nomor: 523.1.05/Kep.80A-Diskanla/2006 tentang Pembentukan Forum Pengelola KKLD Kab. Indramayu.

Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Pulau Biawak dan sekitarnya memiliki ekosistem pesisir penting yang salah satunya adalah terumbu karang. Luas sebaran terumbu karang di Pulau Biawak adalah 21,43 ha, Pulau Gosong seluas 37,06 ha dan Pulau Candikian seluas 42,79 ha (LAPAN 2006, diacu dalam Nurhakim 2009). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kondisi ekosistem terumbu karang di KKLD Pulau Biawak dan sekitarnya, mengkaji peran dan kepentingan stakeholder dalam pengelolaan sumberdaya ekosistem terumbu karang, dan melakukan evaluasi terhadap pengelolaan terumbu karang serta memberikan saran/rekomendasi kebijakan pengelolaan ekosistem terumbu karang yang lestari dan berkelanjutan pasca penetapan Pulau Biawak dan sekitarnya sebagai kawasan konservasi laut daerah. Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei-Agustus 2010 di Kawasan Konservasi dan Wisata Laut Pulau Biawak dan sekitarnya, Kabupaten Indramayu Provinsi Jawa Barat. Data dan informasi yang dikumpulkan meliputi kondisi umum lokasi penelitian, persentase tutupan terumbu karang serta peran dan fungsi stakeholder terkait.

Kondisi terumbu karang di KKLD Pulau Biawak dan sekitarnya sejak ditetapkan sebagai kawasan konservasi perairan tidak memperlihatkan perubahan yang lebih baik. Berdasarkan hasil pengamatan tahun 2010, kondisi tutupan karang pada setiap stasiun pengamatan tergolong pada kategori buruk hingga sedang dengan kisaran tutupan karang hidup antara 22,7±5,9% – 45,7±13,2%. Berdasarkan hasil penelitian, faktor yang menyebabkan rusaknya terumbu karang di Pulau Biawak dan sekitarnya disebabkan oleh masih adanya kegiatan antropogenik yang tidak ramah lingkungan diantaranya penangkapan ikan dengan bahan beracun, penangkapan ikan dengan bahan peledak, pencemaran minyak dan turun naik jangkar kapal. Perilaku dari kegiatan antropogenik ini terjadi karena masih lemahnya pengawasan di KKLD Pulau Biawak dan sekitarnya. Beberapa faktor yang menyebabkan lemahnya


(7)

pengawasan diantaranya adalah: a) Jarak dari daratan menuju pulau Biawak cukup jauh kurang lebih 50 km; b) Sumberdaya manusia belum memenuhi; dan c) pendanaan masih mengandalkan pada dana APBD. Faktor antopogenik ini menjadi ancaman yang harus segera mendapat perhatian dari pengelola kawasan dengan melakukan respon terhadapnya.

Rencana operasional pengelolaan KKLD di titikberatkan kepada kegiatan pelestarian, perlindungan, dan peningkatan kondisi terumbu karang terutama mengurangi laju degradasi terumbu karang, dengan pelaksanaan program-program seperti: a) peningkatan pengawasan KKLD dan penegakan hukum terhadap pelanggaran yang terjadi; b) pengembangan program rehabilitasi karang; dan c) Pengembangan kegiatan penelitian (research) terumbu karang.

Partispasi dari berbagai stakeholder yang terkait sangat penting dalam pengelolaan terumbu karang. Peran insitusi pemerintah dan swasta perlu diperhatikan dan diakomodir oleh pengambil kebijakan terkait pengelolaan terumbu karang di KKLD Pulau Biawak dan sekitarnya. Dengan adanya kolaborasi dan kerjasama yang baik, diharapkan setiap hambatan dalam pengelolaan terumbu karang dapat teratasi dan kondisi terumbu karang semakin baik.


(8)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa seizin IPB


(9)

(10)

EVALUASI PENGELOLAAN TERUMBU KARANG

DI KAWASAN KONSERVASI LAUT DAERAH

PULAU BIAWAK DAN SEKITARNYA


(11)

L E R I N U R I A D I

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(12)

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Handoko Adi Susanto, M.Sc.

Judul Tesis : Evaluasi Pengelolaan Terumbu Karang di Kawasan Konservasi Laut Daerah Pulau Biawak dan Sekitarnya Kabupaten Indramayu Provinsi Jawa Barat.

Nama Mahasiswa : Leri Nuriadi

Nomor Pokok : C252080444


(13)

Disetujui,

Diketahui,

Tanggal Ujian: 17 April 2012 Tanggal Lulus: Dr. Ir. Sulistiono, M.Sc.

Ketua Komisi

Ir. Gatot Yulianto, M.Si. Anggota Komisi

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pasca Sarjana IPB


(14)

(15)

PRAKATA

Puji syukur atas segala rahmat dan hidayah yang diberikan oleh-Nya hingga tesis dengan judul “Evaluasi Pengelolaan Terumbu Karang di Kawasan Konservasi Laut Daerah Pulau Biawak dan Sekitarnya Kabupaten Indramayu Provinsi Jawa Barat.” dapat terselesaikan. Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk meraih gelar Master of Sains pada Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dr. Ir Sulistiono, M.Sc. dan Ir. Gatot Yulianto, M.Si. sebagai Dosen Pembimbing atas arahan dan bimbingannya, sehingga tesis ini dapat diselesaikan;

2. Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA., selaku Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan beserta seluruh staf;

3. Dr. Ir. Handoko Adi Susanto, M.Sc. sebagai penguji luar atas arahan dan masukan untuk perbaikan tesis ini;

4. Kementerian Kelautan dan Perikanan RI melalui Program COREMAP II yang telah mensponsori beasiswa pendidikan ini;

5. Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Indramayu beserta staf atas keramahtamahan dan bantuannya;

6. Istri tercinta, Anita Syamsudin, S.Pi., yang senantiasa setia mendampingi dan memotivasi dalam meraih cita-cita;

7. Kedua orang tua, Ibu serta Bapak mertua yang selalu memberi semangat terselesaikannya tesis ini;

8. Pak Tasid beserta keluarga atas peminjaman perahu, Jimmy, Luki, Andra, Ratih, yang telah membantu dalam pengambilan data lapangan serta Heri Rasdiana dan Sukendi Darmasyah yang telah bersama-sama melakukan penelitian di Pulau Biawak, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat;

9. Rekan-rekan Program Studi SPL angkatan 2008 yang telah menjadi teman diskusi, memberikan saran dan masukan dalam penyusunan tesis ini;

10. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam penyusunan tesis ini.

Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna. Namun demikian, semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi penulis dan masyarakat umum yang membaca dan membutuhkan.


(16)

Bogor, Juni 2012


(17)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandung pada tanggal 17 Oktober 1978 dari Bapak Drs. Dede Satriadi dan Ibu Leni Nurlena sebagai anak pertama dari dua bersaudara. Pendidikan sarjana ditempuh pada Program Studi Manajemen Sumber Daya Perairan, Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran yang diselesaikan pada tahun 2002. Penulis diterima menjadi CPNS Departemen Kelautan dan Perikanan pada tahun 2005 sebagai pelaksana pada Direktorat Konservasi dan Taman Nasional Laut. Pada tahun 2008 penulis diberi kesempatan mengikuti Program Magister Sains di Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan (SPL) dengan bantuan dana dari COREMAP –World Bank.


(18)

xix

xix

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xxi

DAFTAR GAMBAR ... xxiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xxvii

1 PENDAHULUAN ... 1

1.1Latar Belakang ... 1

1.2Perumusan Masalah ... 5

1.3Tujuan Penelitian ... 8

1.4Manfaat Penelitian ... 8

1.5Kerangka Pemikiran ... 8

2 TINJAUAN PUSTAKA ... 11

2.1Terumbu Karang ... 11

2.2Ikan Karang ... 13

2.3Degradasi Ekosistem Terumbu Karang ... 15

2.4Pengelolaan Terumbu Karang ... 18

2.5Kawasan Konservasi Laut ... 20

2.6Stakeholder Pengelolaan Terumbu Karang ... 22

2.7Kebijakan Operasional Pengelolaan Terumbu Karang ... 23

3 METODE ... 27

3.1Lokasi dan Waktu Penelitian ... 27

3.2Metode Pengumpulan Data ... 28

3.3Analisis Data ... 32

3.4Analisis Stakeholder... 34

3.5Analisis Kebijakan ... 35

4 HASIL PENELITIAN ... 37

4.1Kondisi Umum Lokasi Penelitian ... 37

4.2Kondisi Terumbu Karang ... 42

4.2.1 Persentase Tutupan Karang ... 42

4.2.2 Kondisi Ikan Karang ... 51

4.2.3 Kondisi Benthos ... 60

4.3Peran dan Kepentingan Stakeholder ... 66

4.4Kebijakan Operasional Pengelolaan Terumbu Karang ... 69

5 PEMBAHASAN ... 81

5.1 Kondisi Terumbu Karang ... 81

5.2 Peran dan Kepentingan Stakeholder ... 88


(19)

xx

xix

6 KESIMPULAN DAN SARAN ... 105

6.1 Kesimpulan ... 105

6.2 Saran ... 106

DAFTAR PUSTAKA ... 109


(20)

xxi

xxi

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Dampak kegiatan manusia pada ekosistem terumbu karang ... 16

2 Manfaat dan kerugian yang disebabkan oleh ancaman terhadap terumbu karang (dalam ribuan US$ km-2) ... 17

3 Lokasi dan koordinat stasiun pengamatan ... 27

4 Kategori kondisi persentase tutupan karang hidup ... 32

5 Kategori kelimpahan ikan karang ... 33

6 Parameter fisik perairan Pulau Biawak dan sekitarnya ... 41

7 Persentase tutupan karang KKLD Pulau Biawak dan sekitarnya Tahun 2010... 50

8 Kelimpahan ikan di Pulau Biawak dan sekitarnya per stasiun pengamatan ... 51

9 Kelompok ikan indikator yang ditemukan di Pulau Biawak dan sekitarnya ... 57

10 Kelompok ikan target yang ditemukan di Pulau Biawak dan sekitarnya ... 58

11 Kelompok ikan mayor yang ditemukan di Pulau Biawak dan sekitarnya ... 59

12 Kelimpahan benthos di KKLD Pulau Biawak dan sekitarnya ... 60

13 Daftar stakeholder pengelolaan terumbu karang di KKLD Pulau Biawak dan sekitarnya ... 67

14 Matriks analisis stakeholder ... 68

15 Faktor kekuatan (strengths), kelemahan (weaknesses), peluang (opportunities) dan ancaman (threats) pada KKLD Pulau Biawak dan sekitarnya ... 73

16 Hasil analisis komponen SWOT KKLD Pulau Biawak dan sekitarnya . 73 17 Hasil analisis faktor kekuatan pengelolaan terumbu karang ... 75

18 Hasil analisis faktor kelemahan pengelolaan terumbu karang ... 76

19 Hasil analisis faktor peluang pengelolaan terumbu karang ... 77

20 Hasil analisis faktor ancaman pengelolaan terumbu karang ... 78

21 Hasil analisis kebijakan pengelolaan terumbu karang ... 70

22 Persentase tutupan karang KKLD Pulau Biawak dan sekitarnya Tahun 2003 ... 87

23 Peran dan kepentingan stakeholder dalam pengelolaan terumbu karang di KKLD Pulau Biawak dan sekitarnya ... 92


(21)

xxii

xxi

24 Respon terhadap pengelolaan terumbu karang di KKLD Pulau Biawak


(22)

xxiii

xxiii

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Skema kerangka pemikiran penelitian ... 10 2 Peta stasiun pengamatan ... 28 3 Metode pengumpulan data karang, ikan karang dan benthos ... 30 4 Contoh tabel stakeholder dan analisis stakeholder ... 34 5 Contoh format analisis stakeholder ... 35 6 Format stakeholder grid dalam analisis stakeholder ... 35 7 Hirarki Analisis A’WOT ... 36 8 Satwa endemik di Pulau Biawak (Biawak dari jenis Varanus salvator) 37 9 Gerbang masuk Pulau Biawak ... 38 10 Kondisi Terumbu Karang Pulau Biawak dengan kehadiran genus

Porites sp terbesar ... 42 11 Kegiatan sampling terumbu karang dengan metode TGM ... 42 12 Grafik persentase tutupan karang di Stasiun 1 di kedalaman 3 m dan

10 m pada setiap titik sampling ... 43 13 Karang dengan persen tutupan tebesar di stasiun 1, Gambar

A: Porites sp, Gambar B: Turbinaria sp ... 44 14 Grafik persentase tutupan karang di Stasiun 2 di kedalaman 3 m dan

10 m pada setiap titik sampling ... 44 15 Karang dengan persen tutupan terbesar di stasiun 2, Gambar A:

Acropora, Gambar B: Diploastrea ... 45 16 Grafik persentase tutupan karang di Stasiun 3 di kedalaman 3 m dan

10 m pada setiap titik sampling ... 45 17 Grafik persentase tutupan karang di Stasiun 4 di kedalaman 3 m dan

10 m pada setiap titik sampling ... 46 18 Karang Pocillopora dengan persen tutupan terbesar di stasiun 4 ... 47 19 Grafik persentase tutupan karang di Stasiun 5 di kedalaman 3 m dan

10 m pada setiap titik sampling. ... 47 20 Persentase tutupan karang setiap stasiun ... 48 21 Grafik persepsi masyarakat terhadap kegiatan yang merusak

terumbu karang ... 50 22 Grafik kelimpahan ikan di Pulau Biawak dan sekitarnya per stasiun


(23)

xxiv

xxiii

23 Grafik kelimpahan kelompok ikan indikator, ikan target dan ikan mayor di Stasiun 1 di kedalaman 3 m dan 10 m pada setiap titik

sampling ... 52 24 Grafik kelimpahan kelompok ikan indikator, ikan target dan ikan

mayor di Stasiun 2 di kedalaman 3 m dan 10 m pada setiap titik

sampling... 53 25 Grafik kelimpahan kelompok ikan indikator, ikan target dan ikan

mayor di Stasiun 3 di kedalaman 3 m dan 10 m pada setiap titik

sampling ... 53 26 Grafik kelimpahan kelompok ikan indikator, ikan target dan ikan

mayor di Stasiun 4 di kedalaman 3 m dan 10 m pada setiap titik

sampling ... 54 27 Grafik kelimpahan kelompok ikan indikator, ikan target dan ikan

mayor di Stasiun 5 di kedalaman 3 m dan 10 m pada setiap titik

sampling... 55 28 Grafik kelimpahan kelompok ikan setiap stasiun ... 56 29 Grafik kelimpahan benthos di KKLD Pulau Biawak dan sekitarnya

(ind/ha)... 60 30 Grafik kelimpahan benthos di Stasiun 1 di kedalaman 3 m dan 10 m

pada setiap titik sampling ... 61 31 Acanthaster plancii di lokasi pengamatan ... 62 32 Grafik kelimpahan benthos di Stasiun 2 di kedalaman 3 m dan 10 m

pada setiap titik sampling ... 62 33 Grafik kelimpahan benthos di Stasiun 3 di kedalaman 3 m dan 10 m

pada setiap titik sampling ... 63 34 Grafik kelimpahan benthos di Stasiun 4 di kedalaman 3 m dan 10 m

pada setiap titik sampling ... 64 35 Grafik kelimpahan benthos di Stasiun 5 di kedalaman 3 m dan 10 m

pada setiap titik sampling ... 65 36 Grafik kelimpahan benthos setiap stasiun ... 66 37 Stakeholder Grid pengelolaan KKLD Pulau Biawak dan sekitarnya ... 69 38 Grafik persepsi masyarakat terkait pengelolaan terumbu karang ... 71 39 Grafik prioritas faktor SWOT terhadap kebijakan pengelolaan terumbu

karang KKLD Pulau Biawak dan sekitarnya ... 73 40 Grafik prioritas faktor kekuatan terhadap kebijakan pengelolaan

terumbu karang KKLD Pulau Biawak dan sekitarnya ... 75 41 Grafik prioritas faktor kelemahan terhadap kebijakan pengelolaan

terumbu karang KKLD Pulau Biawak dan sekitarnya ... 76 42 Grafik persepsi masyarakat terhadap pengawasan terumbu karang ... 77


(24)

xxv

xxiii

43 Grafik prioritas faktor peluang terhadap kebijakan pengelolaan terumbu karang KKLD Pulau Biawak dan sekitarnya ... 77 44 Grafik prioritas faktor ancaman terhadap kebijakan pengelolaan terumbu

karang KKLD Pulau Biawak dan sekitarnya ... 78 45 Grafik prioritas terhadap alternatif kebijakan pengelolaan terumbu

karang KKLD Pulau Biawak dan sekitarnya ... 79 46 Skema pengelolaan terumbu karang di KKLD Pulau Biawak dan

sekitarnya ... 82 47 CoralBleaching, indikasi dari penangkapan ikan dengan sianida ... 83 48 Patahan karang indikasi penangkapan ikan dengan bahan peledak ... 84 49 Pencemaran minyak di pesisir Pulau Biawak dan sekitarnya Tahun

2005 ... 86 50 Skema peran stakeholder dalam pengelolaan terumbu karang di KKLD

Pulau Biawak dan sekitarnya ... 88 51 Peran DPRD dalam Proses penyusunan APBD ... 90

52 Persepsi masyarakat terhadap pengawasan di KKLD Pulau Biawak

dan sekitarnya ... 97 53 Kegiatan transplantasi karang di KKLD Pulau Biawak dan sekitarnya . 100 54 Kegiatan demplot budidaya terumbu karang di Kab. Indramayu ... 100 55 Kegiatan pelatihan transplantasi karang di Kab. Indramayu ... 102 xxv


(25)

xxvii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Jenis dan persen kehadiran karang di KKLD Pulau Biawak dan

sekitarnya ... 119 2 Jenis dan distribusi kehadiran ikan di KKLD Pulau Biawak dan

sekitarnya ... 120 3 Jenis dan distribusi kehadiran benthos di KKLD Pulau Biawak dan

sekitarnya ... 122 4 Surat Keputusan Penetapan KKLD Pulau Biawak dan sekitarnya ... 123 5 Surat Keputusan Forum Pengelola KKLD Indramayu Tahun 2006 ... 125 6 Surat Keputusan Forum Pengelola KKLD Indramayu Tahun 2007 ... 129 7 Kuesioner analisis stakeholder ... 134 8 Kuesioner persepsi masyarakat terhadap 7 kebijakan operasional

pengelolaan terumbu karang di KKLD Pulau Biawak dan sekitarnya .. 146 9 Kuesioner Analisis A’WOT Pengelolaan KKLD Pulau Biawak dan


(26)

1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Terumbu karang merupakan salah satu ekosistem yang sangat penting bagi keberlanjutan sumberdaya yang ada di kawasan pesisir dan lautan. Ekosistem ini tumbuh umumnya di daerah tropis. Ekosistem terumbu karang memiliki produktivitas primer yang tinggi, yaitu bisa mencapai lebih dari 10 kgC/m2/tahun, dibandingkan dengan produktivitas perairan laut lepas pantai, yang hanya berkisar antara 50–100 mgC/m2/tahun (Supriharyono 2007). Tingginya produktivitas primer di daerah terumbu karang ini menyebabkan terjadinya pengumpulan hewan-hewan yang beranekaragam, seperti ikan, udang, moluska (kerang-kerangan) dan lainnya (Supriharyono 2007). Luas terumbu karang di perairan Indonesia diperkirakan sekitar 85.707 km2 yang terdiri dari 50.223 km2 terumbu penghalang, 19.540 km2 terumbu cincin (atol), 14.542 km2 terumbu tepi, dan 1.402 km2oceanic platform reef (Tomascik et al. 1997, in Dahuri 2003).

Terumbu karang mempunyai fungsi yang sangat penting sebagai tempat memijah, mencari makan, daerah asuhan bagi biota laut dan sebagai sumber plasma nutfah. Terumbu karang juga merupakan sumber makanan dan bahan baku substansi bioaktif yang berguna dalam farmasi dan kedokteran. Selain itu terumbu karang juga mempunyai fungsi yang tidak kalah pentingnya yaitu sebagai pelindung pantai dari degradasi dan abrasi.

Terumbu karang sangat penting peranannya bagi kehidupan manusia, sehingga layak mendapat perhatian yang khusus. Besar tutupan karang di dunia tidak lebih dari 1% dari luas wilayah lautan, namun dapat menyokong kehidupan hampir sepertiga dari jumlah spesies ikan laut di dunia, menyediakan sekitar 10% dari total jumlah ikan yang di konsumsi oleh manusia, dan dapat menjadi objek yang penting dalam industri wisata (Rinkevich 2008).

Tutupan karang mengalami penurunan hingga 1% sebelum tahun 1997, dan meningkat menjadi 2% antara tahun 1997 dan 2003 (Rinkevich 2008). Sebagai perbandingan, terumbu karang mengalami penurunan lebih cepat


(27)

2

dibandingkan dengan hutan daratan sekitar 2%/tahun (Bruno dan Selig 2007). Berdasarkan hasil penelitian P3O LIPI pada tahun 1996, kondisi terumbu karang di Indonesia 7% dalam kondisi sangat baik, 33% kondisi baik, 46% rusak dan 15% lainnya dalam kondisi sudah kritis (Supriharyono 2007). Penelitian pada tahun 2008 menunjukkan bahwa kondisi terumbu karang di Indonesia adalah 5,47% kondisi sangat baik, 25,48% kondisi baik, 37,06% kondisi cukup, dan 31,98% dalam kondisi rusak, penelitian ini dilakukan di 985 lokasi (Suharsono 2008). Data kondisi terumbu karang di Indonesia pada tahun 2009 tidak jauh berbeda dengan nilai 5,56% kondisi sangat baik, 25,89% kondisi baik, 37,10% kondisi cukup dan 31,45% kondisi kurang/rusak.

Ditinjau dari aspek ekonomi, terumbu karang memberikan sumbangan yang cukup besar untuk sektor perikanan. Menurut Cesar (2006) in Sjafrie (2010) menyatakan bahwa terumbu karang yang termasuk dalam kategori sangat baik dapat menyumbangkan 18 ton ikan per km2 per tahun, kategori baik sebesar 13 ton/km2/tahun, dan kategori cukup sebesar 8 ton/km2/tahun. Apabila dikalkulasikan secara ekonomi, nilai terumbu karang yang ada di perairan Indonesia adalah sebesar 4,2 milyar US$ dari aspek perikanan, wisata dan perlindungan laut.

Tingkat kerusakan terumbu karang di Indonesia sangat bervariasi. Kerusakan berat lebih ditemukan di bagian barat Indonesia dibandingkan dengan bagian timur. Tutupan karang hidup di bagian barat kurang dari 50% bahkan ada yang lebih rendah dari 25%, sedangkan bagian tengah Indonesia memiliki kondisi lebih baik dimana lebih dari 30% karang hidupnya dalam keadaan yang baik, dan di bagian timur kondisinya lebih baik lagi dibanding bagian barat dan tengah (Hidayati 2003).

Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya degradasi atau kerusakan ekosistem terumbu karang dilihat dari penyebabnya dibedakan menjadi dua, yaitu kerusakan karena alam dan kerusakan karena aktivitas manusia atau antropogenik. Kerusakan ekosistem terumbu karang yang disebabkan oleh alam antara lain melalui pemanasan global, bencana alam seperti angin taufan, gempa tektonik, banjir, tsunami, serta fenomena alam lainnya. Aktivitas manusia atau antropogenik yang dapat merusak ekosistem terumbu karang diantaranya adalah


(28)

3

penggunaan alat tangkap ikan yang membahayakan kehidupan karang seperti penggunaan bahan peledak dan bahan beracun, penambangan karang, dan pembuangan limbah baik dari aktivitas industri maupun rumah tangga yang ada di daerah daratan (Supriharyono 2007).

Dalam rangka penyelamatan terumbu karang, berbagai usaha telah dilakukan baik secara lokal, regional maupun nasional. Upaya penyelamatan terumbu karang merupakan tanggung jawab semua pihak, baik itu pemerintah maupun swasta. Salah satu upaya yang dikembangkan baik oleh pemerintah maupun swasta adalah program rehabilitasi dan pengelolaan terumbu karang.

Salah satu upaya pemerintah untuk melindungi suatu kawasan laut dengan ekosistem terumbu karang adalah dengan menetapkan kawasan perairan menjadi kawasan konservasi perairan. Konservasi sumberdaya terumbu karang merupakan salah satu implementasi pengelolaan ekosistem terumbu karang, dimana kawasan konservasi ini biasanya dilindungi oleh hukum, sehingga sering disebut pula sebagai kawasan lindung. Salah satu upaya perlindungan terhadap terumbu karang melalui pembentukan Kawasan Konservasi Perairan atau Kawasan Konservasi Laut Daerah.

Perencanaan pendirian Kawasan Konservasi Laut pertama kali masuk dalam program pemerintah Indonesia pada Repelita V (1988-1993) dengan tujuan mendirikan Kawasan Konservasi Laut seluas 10 juta ha. Luas areal konservasi tersebut ditargetkan 10% dari luas batas daerah laut teritorial yang dijadikan tujuan konservasi. Diperkirakan bahwa areal seluas itu dapat mewakili seluruh contoh ekosistem yang terdapat di daerah pesisir dan laut (Dahuri 2003).

Pembentukan Kawasan Konservasi Laut kemudian mendapat payung hukum melalui Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, dalam Undang-undang tersebut disebutkan bahwa untuk menjaga agar pemanfaatan sumber daya alam hayati dapat berlangsung dengan sebaik-baiknya, maka diperlukan langkah-langkah konservasi sehingga sumber daya alam hayati dan ekosistemnya selalu terpelihara dan mampu mewujudkan keseimbangan serta melekat dengan pembangunan itu sendiri. Upaya konservasi sumberdaya hayati di daerah dilandasi dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, dimana pada pasal


(29)

4

10 dijelaskan bahwa salah satu kewenangan daerah di wilayah laut adalah eksploitasi dan konservasi sumberdaya alam di wilayahnya. Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah selanjutnya di revisi dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan direvisi lagi dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Selanjutnya amanat konservasi ekosistem tercantum dalam Undang-Undang No 31 Tahun 2004 tentang Perikanan Bab IV pasal 13 yang menyebutkan bahwa dalam rangka pengelolaan sumberdaya ikan, dilakukan upaya konservasi ekosistem, konservasi jenis, dan konservasi genetika ikan.

Sampai dengan tahun 2010, Indonesia telah menetapkan kurang lebih sebanyak 36 Kawasan Konservasi Laut Daerah yang tersebar dari wilayah barat sampai wilayah timur Indonesia. Jumlah luasan kawasan konservasi yang dapat dicapai oleh pemerintah Indonesia mencapai ±13,5 juta ha. Pemerintah Indonesia menetapkan angka 20 juta ha sebagai target capaian penetapan kawasan konservasi laut di tahun 2020.

Kabupaten Indramayu adalah salah satu kabupaten di wilayah barat Indonesia yang memiliki perairan laut dengan keanekaragaman hayati yang tinggi. Keanekaragaman hayati yang tinggi ini ditandai dengan keberadaan tiga pulau di wilayah utara yaitu Pulau Biawak, Pulau Gosong dan Pulau Candikian. Pulau Biawak merupakan kawasan yang memiliki berbagai macam ekosistem yaitu ekosistem mangrove, ekosistem padang lamun dan ekosistem terumbu karang. Ekosistem terumbu karang hampir mengelilingi seluruh pulau. Menurut LAPAN (2006) in Nurhakim (2009), luas sebaran terumbu karang di Pulau Biawak adalah 21,43 ha, Pulau Gosong seluas 37,06 ha dan Pulau Candikian seluas 42,79 ha. Karang-karang yang tumbuh di perairan Pulau Biawak didominasi oleh karang batu (massive) dan karang meja (tabullate). Tipe terumbu karang adalah terumbu karang tepi (fringing reef) (DKP 2005). Kawasan Pulau Biawak dan sekitarnya ditetapkan menjadi sebuah kawasan konservasi laut daerah melalui Surat Keputusan Bupati Indramayu Nomor 556/Kep.528-Diskanla/2004 tentang Penetapan Pulau Biawak dan Sekitarnya sebagai Kawasan Konservasi dan Wisata Laut pada tanggal 7 April 2004.


(30)

5

Dengan diimplementasikannya kawasan konservasi laut daerah sebagai salah satu bentuk perlindungan terhadap ekosistem terumbu karang, diharapkan dapat memberikan dampak positif bagi kondisi terumbu karang dan juga dapat memberikan hasil dan manfaat yang berkelanjutan bagi masyarakat sekitar. Tantangan selanjutnya dari sebuah penetapan kawasan konservasi laut adalah upaya pengelolaan kawasan dengan melibatkan berbagai pihak yang terkait untuk tetap menjaga kelestarian terumbu karang sekaligus memberi manfaat bagi masyarakat sekitar kawasan yang memiliki ketergantungan dengan keberadaan ekosistem ini. Dengan pembentukan kawasan konservasi tersebut maka dilakukan upaya-upaya pengelolaan ekosistem terumbu karang salah satunya dengan berpedoman kepada Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: KEP.38/MEN/2004 tentang Pedoman Umum pengelolaan terumbu karang.

Berdasarkan uraian di atas, maka pembentukan kawasan konservasi laut daerah harapannya mampu menjadi salah satu alternatif pengelolaan ekosistem terumbu karang, sehingga mampu memberikan dampak positif terhadap kelangsungan hidup terumbu karang dan sumberdaya alam lain yang berada di sekitarnya, sehingga penulis akan melakukan evaluasi pengelolaan terumbu karang di Kawasan Konservasi Laut Daerah Pulau Biawak dan sekitarnya, Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat.

1.2 Perumusan Masalah

Sejak Tahun 2004 Pulau Biawak dan sekitarnya telah menjadi sebuah Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) berdasarkan Surat Keputusan Bupati Indramayu Nomor 556/Kep.528-Diskanla/2004 tentang Penetapan Pulau Biawak dan Sekitarnya sebagai Kawasan Konservasi dan Wisata Laut pada tanggal 7 April 2004. Berdasarkan ketetapan ini, KKLD Pulau Biawak dan sekitarnya dibagi dalam 2 (dua) zonasi, yaitu:

1. Internal Zone, yang merupakan kawasan perlindungan habitat dan populasi Sumber Daya Hayati,

2. Eksternal Zone, yang merupakan perlindungan dan Pemanfaatan Wisata. Saat penelitian ini dilaksanakan, keberadaan KKLD Pulau Biawak dan sekitarnya telah berjalan lebih dari 6 (enam) tahun sejak tahun 2004. Rentang


(31)

6

waktu tersebut diharapkan telah menunjukan adanya perubahan yang positif terhadap pola-pola upaya konservasi, pemanfaatan dan rehabilitasi sumberdaya alam yang ada di wilayah tersebut, dan mampu menjaga serta memperbaiki biodiversitas dan fungsi ekosistem yang terdapat di wilayahnya (Pomeroy et al. 2004). Hal ini sesuai dengan pernyataan Selig dan Bruno (2010) bahwa kondisi terumbu karang di dalam kawasan yang dilindungi mengalami peningkatan, sebagai contoh tutupan karang di wilayah Karibia meningkat 0,05% dan di wilayah Pasifik dan Hindia meningkat 0,08% dalam kurun waktu satu tahun. Sementara kondisi tutupan karang di wilayah perairan yang tidak dilindungi mengalami penurunan dengan rata-rata 0,27-0,41% di wilayah Karibia dan 0,43% di wilayah Pasifik dan Hindia.

Terumbu karang merupakan salah satu ekosistem penting yang berada di dalam KKLD. Secara umum, konservasi terumbu karang seringkali mengalami kesulitan dalam pelaksanaannya. Kendala yang dihadapi umum dalam pengelolaan terumbu karang adalah bahwa degradasi tidak hanya disebabkan oleh peristiwa alam, tetapi juga karena faktor manusia (antropogenik).

Beberapa kegiatan yang masih bisa ditemukan di lokasi KKLD Pulau Biawak dan sekitarnya terkait aktivitas antropogenik adalah: 1) penangkapan ikan di wilayah KKLD, bahkan tidak sedikit masih bersifat merusak seperti penggunaan bom, 2) tempat peristirahatan kapal-kapal nelayan, 3) pengambilan karang hias oleh nelayan luar Indramayu, 4) pencemaran minyak.

Sekalipun sebuah kawasan sudah ditetapkan sebagai kawasan konservasi laut, pelanggaran terhadap aturan yang ada masih saja terjadi, hal ini bisa disebabkan oleh berbagai faktor. Idealnya, sebuah kawasan yang sudah ditetapkan sebagai kawasan konservasi laut harus mampu mengatur prilaku masyarakatnya, karena pada intinya, pembentukan kawasan menjadi sebuah kawasan konservasi laut adalah dalam rangka mengatur prilaku manusianya. Keberhasilan sebuah kawasan konservasi laut dalam menjaga kelestarian ekosistemnya memerlukan respon mayarakat yang benar terhadap aturan yang berlaku (Bell et al. 2006). Respon masyarakat terhadap aturan yang ada sangat dipengaruhi oleh kinerja dari institusi yang mengeluarkan aturan tersebut. Hal ini berarti sebuah kawasan tidak cukup hanya sekedar ditetapkan sebagai kawasan konservasi laut, tetapi harus


(32)

7

didukung oleh suatu upaya pengelolaan yang efektif dari pihak yang bertanggung jawab sebagai pengelola kawasan konservasi laut tersebut (Martinez et al. 2009).

Secara global, sudah banyak kawasan yang ditetapkan sebagai sebuah kawasan konservasi laut, tapi sangat disayangkan kebanyakan masih sekedar “aturan dalam kertas” dengan pengelolaan yang kurang efektif (Hodgson 1999). Data terkini di wilayah Asia Tenggara, dari 332 kawasan konservasi laut menunjukkan 14% dikelola dengan efektif, 48% kurang efektif dan 38% tidak efektif (Pomeroy et al. 2004). Sebanyak 12% terumbu karangnya berada dalam tekanan (Mora et al. 2006, in Christie dan White 2007) dan proses pengelolaannya tidak berjalan baik (Christie dan White 2007). Sebuah kawasan konservasi laut yang dikelola dengan baik merupakan “perhiasan” yang tidak banyak ditemukan (Sale 2008).

Sebuah kawasan konservasi laut akan ditantang kemampuannya dalam mencapai tujuan sekalipun dengan permasalahan seperti kurangnya jumlah staf pengelola, rendahnya dana, logistik dan dukungan teknis, kurangnya informasi keilmuan, lemahnya kelembagaan, lemahnya pengambilan keputusan, dan lemahnya dukungan politik (Pomeroy et al. 2004). Masalah lain yang dihadapi dalam pengelolaan sebuah kawasan konservasi laut adalah kurangnya koordinasi pada setiap level yang berbeda (Martinez et al. 2009).

Pengelolaan kawasan konservasi laut adalah pengelolaan yang kolektif. Keberhasilannya tergantung kepada implementasi kerjasama antar setiap

stakeholder seperti organisasi massa, kelompok swasta, kelompok lingkungan hidup, institusi pemerintah, akademisi, dan masyarakat (Davos 1999). Banyak kajian yang memperlihatkan bahwa input peran stakeholder sangat mempengaruhi terhadap output keberhasilan pengelolaan kawasan konservasi laut (Himes 2007). Keterlibatan stakeholder adalah kunci sukses keberhasilan sebuah kawasan konservasi laut (Gleason et al. 2009).

Selanjutnya Gleason et al. (2009) menyatakan bahwa dalam mengelola kawasan konservasi laut perlu adanya keterpaduan antara sains, stakeholder dan kebijakan pengelolaan. Dalam rangka merancang sebuah rekomendasi kebijakan pengelolaan terumbu karang, sangat penting terlebih dahulu mendapatkan gambaran kondisi terumbu karang yang ada, bagaimana tekanannya dan


(33)

8

bagaimana pengelolaannya (Martinez et al. 2009). Penetapan kawasan menjadi kawasan konservasi laut adalah upaya yang tepat dalam konservasi terumbu karang, tetapi disitu ada resiko kegagalan bilamana kawasan tidak dikelola dengan benar.

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka penulis melakukan kajian tentang evaluasi pengelolaan terumbu karang di KKLD Pulau Biawak dan sekitarnya pasca ditetapkannya sebagai Kawasan Konservasi Laut Daerah.

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:

a Mengetahui kondisi ekosistem terumbu karang di Kawasan Konservasi Laut Daerah Pulau Biawak dan sekitarnya;

b Mengkaji peran dan kepentingan stakeholder dalam pengelolaan terumbu karang;

c Melakukan evaluasi terhadap pengelolaan terumbu karang dan

memberikan rekomendasi kebijakan operasional pengelolaan terumbu karang di Kawasan Konservasi Laut Daerah Pulau Biawak dan sekitarnya.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk:

a Memberikan kontribusi yang baik secara langsung maupun tidak langsung

terhadap pengelolaan terumbu karang secara terpadu dan berkelanjutan; b Menjadi bahan masukan bagi Pemerintah Kabupaten Indramayu dalam

pengelolaan terumbu karang;

c Menjadi bahan informasi dan acuan bagi pengelolaan Kawasan Konservasi

Laut Daerah;

d Menambah khasanah akademik bagi studi lebih lanjut tentang pengelolaan

terumbu karang.

1.5 Kerangka Pemikiran

Kawasan Pulau Biawak dan sekitarnya (Pulau Gosong dan Pulau Candikian) memiliki peran yang sangat penting dalam upaya perlindungan


(34)

9

ekosistem yang terdapat didalamnya. Salah satu ekosistem penting adalah ekosistem terumbu karang. Menurut Supriharyono (2007) penetapan kawasan kawasan konservasi merupakan salah satu bentuk pengelolaan ekosistem terumbu karang.

Sistem pengelolaan terumbu karang dan kawasan konservasi laut telah banyak dibentuk. Sayangnya, hanya sekitar 14% dari 332 kawasan konservasi laut dikelola dengan efektif (Pomeroy et al. 2004). Hal ini dikarenakan hanya sedikit pengelola kawasan yang terlatih dengan baik dan seringkali sedikitnya fasilitas dalam penegakan hukum terhadap aktivitas yang merusak. Diantara sekian banyak permasalahan, salah satunya adalah lemahnya koordinasi dan komunikasi antar

stakeholder yang bertanggungjawab terhadap pengelolaan kawasan (Kunzmann 2002, in Wolff 2009). Penangkapan ikan secara ilegal bahkan masih tercatat sekalipun di dalam wilayah kawasan konservasi laut yang memiliki pengelolaan yang baik seperti Great Barrier Reef Marine Park (GBRMP) (Gribble dan Robertson 1998, in Hodgson 1999).

Kelestarian terumbu karang sepenuhnya ditentukan oleh kepedulian pemerintah bersama-sama dengan masyarakat setempat untuk mengelolanya dengan tetap menjamin keberlanjutannya. Oleh karena itu, kesadaran dan partisipasi aktif dalam setiap program, pengelolaan yang seimbang antara pemanfaatan dan konservasi menjadi sangat penting.

Peranan stakeholder yang terkait menjadi sangat penting dalam menentukan keberhasilan pengelolaan terumbu karang di dalam sebuah KKLD.

Stakeholder yang terkait terdiri dari berbagai unsur yaitu pemerintah, swasta, masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, pelaku bisnis, akademisi, dan lainnya. Setiap stakeholder memiliki kepentingan masing-masing terhadap keberadaan terumbu karang dan keberadaan KKLD. Sehingga dalam pelaksanaannya, perlu adanya aturan dan kebijakan dalam pengelolaan terumbu karang supaya setiap kepentingan dapat terintegrasi dengan baik.

Pada kawasan yang sudah ditetapkan sebagai kawasan konservasi, salah satu pedoman yang dapat dijadikan acuan dalam menentukan kebijakan pengelolaan terumbu karang adalah mengacu pada Keputusan Menteri Kelautan


(35)

10

dan Perikanan Nomor: KEP.38/MEN/2004 tentang pedoman umum pengelolaan terumbu karang.

Berhasil tidaknya pengelolaan sebuah kawasan konservasi laut sangat ditentukan oleh faktor internal dan eksternal dalam pengelolaan ekosistem terumbu karang. Faktor internal meliputi faktor kekuatan dan kelemahan dalam pengelolaan ekosistem terumbu karang, sementara faktor eksternal adalah faktor peluang dan ancaman yang ada dalam pengelolaan ekosistem terumbu karang.

Untuk dapat merumuskan suatu kajian evaluasi pengelolaan ekosistem terumbu karang, sangat penting untuk mengetahui bagaimana mengintegrasikan aspek ekologis dan peranan stakeholder dalam suatu program pengelolaan yang ada, sehingga menjadi sebuah strategi dalam pengelolaan sumberdaya ekosistem terumbu karang. Berdasarkan konsep pemikiran yang telah diuraikan diatas, kerangka pemikiran penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1.


(36)

2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Terumbu Karang

Terumbu karang (coral reefs) adalah ekosistem yang unik sifatnya. Terumbu ini dibangun seluruhnya oleh kegiatan biologik. Terumbu karang merupakan timbunan masif dari CaCO3 yang terutama telah dihasilkan oleh

hewan karang (Filum Cnidaria, Kelas Anthozoa, Ordo Madreporaria=Scleractinia) dengan tambahan penting dari alga berkapur dan organisme-organisme lain penghasil kapur (Romimohtarto dan Sri 2007). Terumbu karang menyimpan sekitar 7x108 tons Carbon per tahun dalam bentuk kalsium karbonat, sehingga

mereka memiliki peranan penting dalam siklus karbon global yang bisa membantu menetralkan akumulasi karbon dioksida (CO2) sebagai efek rumah kaca di dalam

atmosfer (Wolff 2009).

Sebagai ekosistem dasar laut terumbu karang dengan penghuni utama karang batu mempunyai arsitektur yang mengagumkan dan dibentuk oleh ribuan hewan kecil yang disebut polip. Dalam bentuk sederhananya, karang terdiri atas satu polip saja yang mempunyai bentuk tubuh seperti tabung dengan mulut yang terletak di bagian atas dan dikelilingi oleh tentakel. Namun pada kebanyakan spesies, satu individu polip karang akan berkembang menjadi banyak individu yang disebut koloni. Karang (corals) dibedakan kedalam dua kelompok yaitu

hermatypic dan ahermatypic. Karang hermatypic membentuk terumbu sementara

ahermatypic tidak, pada kebanyakan karang hermatypic di dalam jaringannya

terdapat sel alga yang bersimbiosis dan hidup bersama yaitu zooxanthellae yang tidak dimiliki oleh kebanyakan karang ahermatypic (Nybakken 1997).

Terdapat tiga tipe struktur terumbu karang di Indonesia, yaitu terumbu tepi

(fringing reef), terumbu penghalang (barrier reef) dan terumbu berbentuk cincin

atau atol (atoll). Terumbu tepi adalah terumbu karang yang berada dekat dan sejajar dengan garis pantai. Terumbu penghalang serupa dengan terumbu tepi, dengan kekecualian jarak antara terumbu karang dengan garis pantai atau daratan cukup jauh, dan umumnya dipisahkan oleh peraian yang dalam. Atol adalah


(37)

12

terumbu tepi yang berbentuk seperti cincin dan ditengahnya terdapat goba (danau) dengan kedalaman mencapai 45 meter. Selain ketiga kelompok besar tersebut, di Indonesia terdapat jenis terumbu gosong (patch reef), seperti terumbu karang di Kepulauan Seribu di utara Pulau Jawa (Dahuri 2003).

Terumbu karang merupakan salah satu dari ekosistem pantai yang memiliki kenakeragaman hayati dan produktivitas yang tinggi. Tingginya tingkat keanekaragaman disebabkan antara lain oleh besarnya variasi habitat yang terdapat di dalam ekosistem terumbu karang. Terumbu karang menempati areal yang cukup luas dan terdiri atas berbagai bentuk asosiasi yang kompleks, dengan sejumlah tipe habitat yang berbeda-beda, dan semuanya berada di satu sistem yang terjalin dalam hubungan fungsional yang harmonis. Indonesia merupakan pusat segitiga terumbu karang dunia yang dikenal dengan istilah “The Coral

Triangle” yang merupakan kawasan dengan tingkat keanekaragaman hayati yang

sangat tinggi dengan lebih dari 70 genera dan 500 spesies (Dermawan dan Mulyana 2008). Nilai produksi primer bersih terumbu karang berkisar 300–5.000 g C (Carbon) m-2 tahun-1, lebih tinggi daripada ekosistem sekitarnya, yaitu hanya

sebesar 20–40 C m-2 tahun-1 (Dahuri 2003). Tingginya produktivitas primer di

perairan terumbu karang memungkinkan perairan ini sering merupakan tempat pemijahan (spawning ground), pengasuhan (nursery ground), dan mencari makan

(feeding ground) dari kebanyakan ikan. Sehingga secara langsung produktivitas

sekunder dari hewan-hewan laut lainnya seperti ikan, udang-udangan (lobster), dan kerang-kerangan yang berasosiasi dengannya menjadi tinggi pula. Menurut WWF (1994) in Supriharyono (2008) menyatakan bahwa hasil produksi perikanan karang bisa mencapai sekitar 10–30 ton/km2/tahun. Dengan luas area karang di

Indonesia sekitar 50.000 km2, maka produksi tahunan ikan karang di Indonesia

mencapai 500.000 – 1.500.000 ton.

Ekosistem terumbu karang mempunyai fungsi ekologis dan ekonomis yang sangat penting diantaranya adalah: (a) pelindung pantai dari hempasan gelombang, (b) habitat bagi berbagai jenis biota laut, (c) nursery, feeding dan

spawning ground bagi biota laut, (d) penyuplai bahan organik, (e) sumber

biodiversitas dan segala potensinya, (f) peredam proses pemadaman global melalui mekanisme penyerapan karbon dari udara menjadi deposit karbon di


(38)

13

sedimen, (g) penyedia sumberdaya perikanan ekonomis penting, (h) penyedia bahan makanan dan obat-obatan, dan (i) daerah pariwisata laut yang sangat indah (Kusumastanto et al. 2006).

Terumbu karang yang masih baik mempunyai nilai estetika yang tinggi dan dapat dimanfaatkan pula untuk mendorong industri pariwisata laut. Kegiatan pariwisata laut yang memberikan kesempatan orang untuk menyelam, mengamati dan memotret kekayaan serta keindahan bawah air ini tampak semakin berkembang di Indonesia dan dapat merupakan sumber penghasil devisa (Nontji 2007).

Melihat pentingnya terumbu karang baik sebagai ekosistem maupun sebagai sumberdaya ekonomi maka perlu untuk menjaga kelestariannya. Sekali terumbu karang hancur, maka akan sangat sulit dan memerlukan waktu yang sangat lama untuk memulihkannya kembali seperti sedia kala, itu pun bila masih mungkin.

2.2 Ikan Karang

Pada daerah terumbu karang, organisme yang paling banyak ditemukan dalam jumlah besar adalah dari jenis ikan. Sekitar satu pertiga bagian dari semua spesies ikan hidup pada terumbu karang, sedangkan lainnya memiliki ketergantungan pada karang, lamun dan mangrove dalam siklus hidupnya (Hinrichsen 1998, in Dirhamsyah 2005). Indonesia diyakini merupakan salah satu wilayah di dunia yang kaya akan ikan karang, sekalipun belum ada publikasi yang komprehensif tentang daftar ikan karang, Indonesia memiliki biodiversitas karang tertinggi di dunia, terutama di wilayah Indonesia bagian Timur (Allen 2002, in

Dirhamsyah 2005). Dengan jumlahnya yang besar ini, ikan karang menjadi penyokong hubungan yang ada dalam ekosistem terumbu karang (Nybakken 1997). Kondisi fisik terumbu karang yang kompleks memberikan andil bagi keragaman dan produktivitas biologinya. Banyak celah dan lubang di terumbu karang memberikan tempat tinggal, perlindungan, tempat mencari makan dan berkembang biak bagi ikan dan hewan invertebrata yang berada disekitarnya. Kelompok-kelompok penting ikan karang meliputi kerapu (groupers), baronang


(39)

14

(shark), pari (ray fish), squirre fish, belut laut (eels), croackers, tigawaja (drums),

grunts, priacanthids, dan rudder fish (Supriharyono 2007). Keberadaan ikan

karang sangat dipengaruhi oleh kondisi kesehatan terumbu karang yang ditunjukkan oleh persentase penutupan karang hidup. Menurut penelitian kondisi terumbu karang dengan sistem penangkapan ikan karang secara tradisional memiliki kondisi karang yang lebih sehat (Hoffman 2002).

Ikan karang terbagi kedalam tiga kelompok yaitu: (1) kelompok ikan indikator, yaitu ikan yang digunakan sebagai indikator bagi kondisi kesehatan terumbu karang di suatu perairan seperti famili Chaetodontidae; (2) ikan target, yaitu ikan-ikan yang lebih dikenal oleh nelayan sebagai ikan konsumsi seperti famili Serranidae, Lutjanidae, Haemulidae, Lethrinidae; dan (3) kelompok ikan mayor, yaitu kelompok ikan yang berperan dalam rantai makanan, karena peran lainnya belum diketahui seperti famili Pomacentridae, Scaridae, Acanthuridae, Caesionidae, Siganidae, Muliidae, Apogonidae (Adrim 1993).

Semua jenis ikan pada terumbu karang masuk ke dalam jaring-jaring makanan dalam beberapa cara sehingga terdapat keseimbangan yang rumit dari hubungan mangsa-dimangsa. Beberapa kelompok ikan sangat penting bagi terumbu karang. Ikan kupu-kupu misalnya, yang memakan hanya polip karang. Ikan ini hanya hadir kalau terdapat karang hidup dan dapat digunakan sebagai indikator kesehatan dan tutupan karang dengan melihat keanekaragaman jenis dan banyaknya ikan ini. Ikan kakatua memakan karang dan batuan kapur, dan membuang butiran-butiran putih yang telah digerus oleh penggiling farengialnya, mereka penyebab penting erosi terumbu dan pembentuk pasir. Seekor ikan kakatua dewasa dapat menimbun 500 kg pasir karang/tahun pada terumbu (Romimohtarto dan Sri 2007).

Pada wilayah kawasan konservasi komunitas ikan dan total biomass ikan karang lebih besar dibanding komunitas ikan dan biomass ikan diluar kawasan konservasi. Penelitian ini diteliti dengan melakukan pengamatan underwater

visual cencus (UVC) (Pet-Soede et al. 2001). Berdasarkan hasil penilaian dari 112

penelitian yang dilakukan di 80 kawasan konservasi memperlihatkan peningkatan ukuran (size) individu dari sebuah organisme, peningkatan biomass dan keanekaragaman spesies, dan yang lebih mengejutkan lagi dari penelitian ini


(40)

15

adalah peningkatannya terjadi pada jarak 1-3 tahun (Briggs 2005). Menurut Wantiez et al. (1997) dan Aswani et al. (2007) in Rudi et al. (2009) menyatakan bahwa kelimpahan spesies, kepadatan dan biomassa ikan pada wilayah yang mendapat perlindungan lebih tinggi dan lebih signifikan secara statistik dibanding dengan wilayah yang tidak dilindungi.

2.3Degradasi Ekosistem Terumbu Karang

Secara umum, kerusakan terumbu karang disebabkan oleh kegiatan antropogenik dan gangguan alam. Banyak penelitian yang menyimpulkan bahwa kerusakan terumbu karang utamanya disebabkan oleh dampak yang ditimbulkan oleh aktivitas manusia (Nontji 1999, in Kunzman 2002). Dampak dari antropogenik terhadap terumbu karang dapat terjadi baik secara langsung maupun tidak langsung. Kegitan manusia yang memiliki dampak negatif terhadap terumbu karang adalah kegiatan penambangan karang, penangkapan ikan yang merusak, polusi (run off dan tumpahan minyak), pembangunan wilayah pesisir dan wisatawan yang tidak terkontrol (Nontji 2000). Menurut Burke et al. (2002) beberapa penyebab kerusakan terumbu karang yaitu: 1) Pembangunan di wilayah pesisir yang tidak dikelola dengan baik; 2) akivitas di laut antara lain dari kapal dan pelabuhan termasuk akibat langsung dari pelemparan jangkar; 3) penebangan hutan dan perubahan tata guna lahan yang menyebabkan peningkatan sedimentasi; 4) penangkapan ikan secara berlebihan; 5) penangkapan ikan dengan menggunakan bom atau racun; dan 6) perubahan iklim global. Burke et al. (2002) menambahkan ancaman utama bagi terumbu karang di Indonesia adalah penangkapan ikan secara berlebihan dan penangkapan ikan yang merusak. Persentase ancaman akibat penangkapan ikan secara berlebihan dapat mencapai 64% dari luas keseluruhan, dan mencapai 53% akibat penangkapan ikan dengan metode yang merusak.

Aktivitas antropogenik memberikan gangguan yang terus menerus, sementara gangguan dari alam terjadi secara sporadis sehingga perlu waktu yang cukup lama bagi terumbu karang untuk kembali pada kondisi semula. Beberapa gangguan alam diantaranya: angin topan, El Nino, gempa bumi dan tsunami, serta predator.


(41)

16

Kerusakan ekosistem terumbu karang tidak terlepas dari aktivitas manusia baik di daratan maupun pada ekosistem pesisir dan lautan. Kegiatan manusia di daratan seperti industri, pertanian, rumah tangga akhirnya dapat menimbulkan dampak negatif bukan saja pada perairan sungai tetapi juga pada ekosistem terumbu karang atau pesisir dan lautan. Menurut UNEP (1990) in Dahuri et al.

(2001) sebagian besar (80%) bahan pencemar yang ditemukan di laut berasal dari kegiatan manusia di daratan (land basic activities).

Secara rinci Bengen (2001) merinci dampak kerusakan terumbu karang sebagai akibat kegiatan manusia baik di darat maupun di pesisir dan lautan seperti terlihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Dampak kegiatan manusia pada ekosistem terumbu karang

No. Kegiatan Dampak Potensial

1. Penambangan karang dengan atau tanpa bahan peledak

Perusakan habitat dan kematian masal hewan terumbu 2. Pembuangan limbah panas Meningkatnya suhu air 5-10 oC di atas suhu ambien,

dapat mematikan karang dan biota lainnya. 3. Pengundulan hutan di lahan

atas

Sedimen hasil erosi dapat mencapai terumbu karang di sekitar muara sungai, sehingga mengakibatkan kekeruhan yang menghambat difusi oksigen ke dalam polip.

4. Pengerukan di sekitar terumbu karang

Meningkatnya kekeruhan yang mengganggu pertumbuhan karang.

5. Kepariwisataan • Peningkatan suhu air karena buangan air

pendingin dari pembangkit listrik perhotelan • Pencemaran limbah manusia yang dapat menyebabkan eutrofikasi.

• Kerusakan fisik karang karena jangkar kapal • Rusaknya karang oleh penyelam.

• Koleksi dan keanekaragaman biota karang menurun.

6. Penangkapan ikan hias dengan menggunakan bahan beracun (misalnya Kalium Sianida)

Mengakibatkan ikan pingsan, mematikan karang dan biota avertebrata.

7. Penangkapan ikan dengan bahan peledak

Mematikan ikan tanpa dikriminasi, karang dan biota avertebrata yang tidak bercangkang.

Sumber: Bengen 2001

Cesar (2000) melaporkan terjadi praktek penangkapan besar–besaran dengan bahan peledak dan sianida di Indonesia. Penyebabnya adalah permintaan yang tinggi terhadap ikan karang terutama jenis kerapu (groupers) maupun ikan


(42)

60-17

180 per kilo sehingga menyebabkan perburuan ikan karang hampir di seluruh perairan Indonesia. Untuk menjaga profit yang menggiurkan ini mau tidak mau

supply tetap banyak dan biaya ektraksi harus murah, sehingga masyarakat

beramai-ramai memanen ikan menggunakan bahan peledak dan sianida. Penangkapan ikan dengan bahan peledak berlangsung sejak Tahun 1930 dan merupakan kegiatan ilegal, menyebar selama terjadinya perang dunia II dimana bahan peledak mudah didapatkan.

Jika berbagai ancaman terhadap terumbu karang terjadi, maka kerugian yang dialami negara akan jauh lebih besar daripada manfaat yang diperoleh. Agar lebih jelas dapat dilihat data-data pada Tabel 2.

Tabel 2 Manfaat dan kerugian yang disebabkan oleh ancaman terhadap terumbu karang (dalam ribuan US$ km-2)

Fungsi/ Ancaman Manfaat bersih jumlah manfaat

Kerugian bagi Negara Perikanan Perlindungan pantai Pariwisata Lain-nya (*) Jumlah kerugian (**) Penangkapan ikan dengan bahan racun

33,3 40,2 0,0 2,6-435,6 n.q 42,8-475,6

Penangkapan ikan dengan peledak

14,6 86,3 8,9-193,0 2,9-481,9 n.q 98,1-761,2

Pengambilan

batu karang 121,0 93,6 12,0-260,0 2,9-481,9

>67

(**) 175,5-902,5

Sedimentasi– penebangan kayu

98,0 81,0 - 192,0 n.q 273,0

Sedimentasi-

perkotaan n.q n.q n.q n.q n.q n.q

Penangkapan ikan

berlebihan

38,5 108,8 - n.q n.q 108,9

Sumber: Cesar (1996) in Dahuri 2003

Keterangan : Selang menunjukkan lokasi nilai rendah dan tinggi atas nilai potensi pariwisata dan perlindungan pantai

n.q tidak dapat dihitung

(*) mencakup kerugian kehilangan pengamanan pangan dan nilai kenaekaragaman hayati (tidak dapat dihitung)

(**) kerusakan hutan yang disebabkan oleh pengambilan kayu untuk pengolahan batu kapur (karang) diperkirakan US$ 67.000

Umumnya penyebab sedimentasi karena penebangan hutan atau aktivitas masyarakat kota, sehingga simbiose algae dan karang menjadi terhalang dari


(43)

18

penangkapan cahaya matahari. Sedimentasi yang lebih parah terjadi apabila penutupan lahan seperti reklamasi daerah estuaria dan pantai. Sedangkan polusi yang terjadi disebabkan oleh bahan kimia pertanian dan limbah industri yang dibuang ke perairan. Menurut penelitian Cesar (2000) biaya polusi dan sampah kota selama 1 (satu) tahun di Indonesia adalah 987 milyar US$. Sedangkan keuntungan dari pariwisata adalah 101 milyar USD, dari perikanan 221 milyar US$, dan kesehatan (farmasi) sebesar 4,8 milyar US$ Sehingga total manfaat yang didapatkan dari ekosistem terumbu karang adalah 327 milyar US$, atau sepertiga dari total biaya sebesar 987 milyar US$.

2.4Pengelolaan Terumbu Karang

Sumberdaya ekosistem terumbu karang mempunyai sifat terbatas dan dapat mengalami kerusakan, maka sumberdaya ini perlu dikelola untuk menjamin bahwa sumberdaya dimanfaatkan secara berkesinambungan dan bertanggung jawab, dan potensi ekonominya tidak dihamburkan secara tidak efisien yang membuat keuntungan menjadi kecil bahkan tidak ada lagi (Suadi dan Widodo 2006). Untuk mencegah semakin memburuknya kondisi terumbu karang, terutama dari aktivitas antropogenik, maka diperlukan pengelolaan ekosistem terumbu karang. Pengelolaan ini pada hakekatnya adalah suatu proses pengontrolan tindakan manusia agar pemanfaatan sumberdaya alam dapat dilakukan secara bijaksana dengan mengindahkan kaidah kelestarian lingkungan.

Penurunan kondisi terumbu karang yang berkelanjutan sudah menjadi kenyataan yang menyedihkan bagi para ilmuwan biologi, konservasionis, dan semua pihak yang memberi nilai terhadap keberadaannya. Banyak terumbu karang yang sudah menjadi patahan-patahan sehingga terjadi perubahan fase pada berkembangnya alga dan rumput laut (seaweeds). Beberapa tahun belakangan, banyak penelitian mengarah kepada pengidentifikasian karakteristik lokasi konservasi yang harus segera mendapat perhatian, utamanya di daerah tropis yang merupakan wilayah sebaran terumbu karang (Briggs 2005).

Salah satu cara dan mungkin satu-satunya cara untuk melindungi kepulauan karang adalah dengan pembentukan Kawasan Konservasi Laut (KKL). Sistem zonasi yang diberlakukan di dalam penerapan sebuah Kawasan Konservasi


(44)

19

Laut terbukti dapat diterapkan dalam kerangka menuju pemanfaatan yang berkelanjutan seperti dengan adanya zona inti, zona berkelanjutan, zona pemanfaatan dan zona lainnya (Wolff 2009).

Ekosistem terumbu karang adalah ekosistem yang mengandung sumber daya alam yang dapat memberi manfaat besar bagi manusia, oleh karena itu diperlukan kearifan manusia untuk mengelolanya, yang bisa menjadikan sumber daya alam ini menjamin kesejahteraan manusia sepanjang zaman. Tanpa menghiraukan masa depan dan terus-menerus merusak, ekosistem terumbu karang akan menjadi semacam padang gurun tandus di dalam laut yang hanya dipenuhi oleh patahan-patahan karang dan benda mati lainnya. Karena itu pengelolaan sangat diperlukan untuk mengatur aktivitas manusia serta mengurangi dan memantau cara-cara pemanfaatan yang merusak. Pengelolaan terumbu karang harus berbasis pada keterlibatan masyarakat, sebagai pengguna langsung sumber daya laut ini. Keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan sumber daya terumbu karang sangat penting mulai dalam tahap perencanaan, pelaksanaan, pemantauan sampai pada tahap evaluasi dari suatu cara pengelolaan.

Nontji (2000) menyatakan bahwa degradasi terumbu karang di Indonesia terjadi karena kurangnya pengetahuan masyarakat tentang terumbu karang, lemahnya penegakan hukum, lemahnya koordinasi antar institusi, adanya tekanan terhadap terumbu karang dari masyarakat pesisir dan lemahnya kebijakan nasional tentang pengelolaan terumbu karang.

Dalam hal kebijakan dan strategi pengelolaan terumbu karang, pemerintah membuat suatu pedoman umum pengelolaan terumbu karang melalui Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: KEP.38/MEN/2004 tentang Pedoman Umum Pengelolaan Terumbu Karang. Pedoman umum ini dimaksudkan sebagai acuan bagi Pemerintah, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota, serta masyarakat dalam rangka pengelolaan terumbu karang.


(45)

20

1) mewujudkan pengelolaan yang seimbang antara intensitas dan variasi pemanfaatan yang didasarkan pada data ilmiah yang tersedia dan kemampuan daya dukung lingkungan;

2) mengembangkan pengelolaan yang mempertimbangkan prioritas ekonomi nasional, masyarakat lokal dan kelestarian sumberdaya terumbu karang;

3) mengembangkan pengelolaan terumbu karang secara kooperatif semua pihak; 4) melaksanakan peraturan formal dan peraturan non formal;

5) menciptakan insentif bagi pengelolaan yang berkeadilan dan berkesinambungan.

2.5 Kawasan Konservasi Laut

Kawasan Konservasi Laut (KKL) merupakan suatu kawasan yang berfungsi untuk menjaga kelestarian keanekaragaman hayati yang terdapat di dalam kawasan tersebut dari berbagai gangguan. Berbagai gangguan terhadap kawasan konservasi laut yang terjadi semakin meningkat dalam beberapa tahun belakangan ini, baik gangguan dari alam maupun dari aktivitas kegiatan manusia. Salah satu langkah yang nyata dalam mengurangi berbagai gangguan tersebut adalah penetapan kawasan konservasi laut (Dermawan dan Suraji 2006).

Pengertian KKL diusulkan oleh Komite Nasional Konservasi Laut (KOMNASKOLAUT) sebagai terjemahan resmi dari Marine Protected Area

(MPA). Dengan mengadopsi definisi dari IUCN, KKL dibagi kedalam beberapa kategori yang dapat disetarakan dengan jenis KKL di Indonesia , definisi kategori tersebut adalah sebagai berikut (Dermawan 2006) :

“Kawasan Konservasi Laut adalah perairan pasang surut termasuk kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil, termasuk tumbuhan dan hewan didalamnya, serta termasuk bukti peninggalan sejarah dan sosial budaya dibawahnya, yang dilindungi secara hukum atau cara lain yang efektif, baik dengan melindungi seluruh atau sebagian wilayah tersebut.”

Menurut IUCN (1994) in Supriharyono (2007) ada beberapa tujuan kawasan konservasi laut, yaitu ; (1) melindungi dan mengelola sistem laut dan estuaria supaya dapat dimanfaatkan secara terus menerus dalam jangka panjang dan mempertahankan keanekaragaman genetik; (2) untuk melindungi penurunan,


(46)

21

tekanan, populasi dan spesies langka, terutama pengawetan habitat untuk kelangsungan hidup mereka; (3) mencegah aktivitas luar yang memungkinkan kerusakan kawasan konservasi laut; (4) memberikan kesejateraan yang terus menerus kepada masyarakat dengan menciptakan konservasi laut; dan (5) menyediakan pengelolaan yang sesuai, yang mempunyai spektrum luas bagi aktivitas manusia dengan tujuan utamanya adalah penataan laut dan estuaria.

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumber Daya Ikan, Kawasan Konservasi Perairan adalah kawasan perairan yang dilindungi, dikelola dengan sistem zonasi, untuk mewujudkan pengelolaan sumberdaya ikan dan lingkungannya secara berkelanjutan, disebutkan jenis-jenis dari Kawasan Konservasi Perairan, yaitu:

1) Taman Nasional Perairan adalah kawasan konservasi perairan yang mempunyai ekosistem asli, yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, pengkajian, ilmu pengetahuan, pendidikan, kegiatan yang menunjang perikanan yang berkelanjutan, wisata bahari dan rekreasi.

2) Taman Wisata Perairan adalah kawasan perairan dengan tujuan utama untuk dimanfaatkan bagi kepentingan wisata perairan dan rekreasi.

3) Suaka Alam Perairan adalah kawasan konservasi perairan dengan ciri khas tertentu untuk tujuan perlindungan keanekaragaman jenis ikan dan ekosistemnya.

4) Suaka Perikanan adalah kawasan perairan tertentu, baik air tawar, payau maupun laut dengan kondisi dan ciri tertentu, sebagai tempat berlindung/berkembang biak jenis sumber daya ikan tertentu, yang berfungsi sebagai daerah perlindungan.

Menurut Dahuri (2003), masalah yang mendasar dalam pengelolaan kawasan konservasi laut adalah (1) batasan hukum kawasan konservasi; (2) perusakan habitat; (3) penangkapan yang berlebihan terhadap sumberdaya hayati; (4) polusi dan sedimentasi; (5) kurangnya fasilitas dan infrastruktur; (6) lemahnya keikutsertaan dan kesadaran masyarakat lokal; (7) rendahnya keahlian SDM yang ada; dan (8) lemahnya komitmen politik.


(47)

22

Dalam melakukan penelitian terhadap suatu wilayah, perhatian terhadap masyarakat dan institusi yang mengatur wilayah tersebut merupakan hal yang penting. Banyak penelitian mengenai pengelolaan sumberdaya alam yang berhasil dengan mengedepankan interaksi antara masyarakat dengan institusinya. Dalam kaitan ini, stakeholder menjadi sangat penting (Budiharsono et al. 2006).

Freeman (1984) in Budiharsono et al. (2006) mendefinisikan stakeholder

sebagai kelompok atau individu yang dapat mempengaruhi dan atau dipengaruhi oleh suatu pencapaian tujuan tertentu. Sedangkan Biset (1998) mendefinisikan

stakeholder merupakan orang dengan suatu kepentingan atau perhatian pada

permasalahan. Stakeholder sering diidentifikasi dengan suatu dasar tertentu, yaitu dari segi kekuatan dan kepentingan relatif stakeholder terhadap isu atau dari segi posisi penting dan pengaruh yang dimiliki mereka (Ramirez 1999, in Budiharsono

et al. 2006).

Salah satu pendekatan dalam mengklasifikasikan model pengelolaan sumberdaya perikanan adalah berdasarkan tingkat pengendalian stakeholder. Dalam pendekatan ini, Jentoft (1989) diacu dalam Satria (2002) mengklasifikasikannya menjadi tiga, yakni pemerintah (command and control),

community based-management (CBM) dan Co-Management.

Model command and control merupakan model konvensional. Dalam hal ini, pemerintah memegang seluruh kendali pengelolaan sumberdaya perikanan, khususnya dalam hak inisiatif maupun pengawasan melalui organisasi formal yang dimilikinya. Nelayan atau pelaku usaha perikanan tidak mendapat kesempatan untuk berpartisipasi dalam mengelola sumberdaya perikanan. Dengan demikian proses pengelolaan sumberdaya perikanan berlangsung secara sentralistik. Model community based-management (CBM) atau pengelolaan yang berbasis pada masyarakat yang merupakan kebalikan dari model command and

control. Dalam CBM, pengelolaan sepenuhnya dilakukan oleh nelayan atau

pelaku usaha perikanan di suatu wilayah tertentu melalui organisasi yang sifatnya informal. Dalam model ini, partisipasi nelayan sangatlah tinggi dan mereka memiliki otonomi terhadap pengelolaan sumberdaya perikanan tersebut. Terakhir adalah model co-management yang akhir-akhir ini terus disosialisasikan. Model ini merupakan sintesis dari dua model sebelumnya. Dalam model ini, pemerintah


(48)

23

dan masyarakat yang seringkali diawali organisasi nelayan atau koperasi perikanan bersama-sama terlibat dalam proses pengelolaan sumberdaya mulai dari perencanaan hingga pengawasan (Satria 2002).

Analisis stakeholder adalah suatu sistem untuk mengumpulkan informasi mengenai kelompok atau individu yang terkait, mengkategorikan informasi, dan menjelaskan kemungkinan konflik antar kelompok, dan kondisi yang memungkinkan terjadinya trade-off.

2.7 Kebijakan Operasional Pengelolaan Terumbu Karang

Kebijakan adalah sebuah disiplin ilmu sosial terapan yang menggunakan berbagai metode penelitian dan argumen untuk menghasilkan dan memindahkan informasi yang relevan, sehingga kebijakan dapat dimanfaatkan ditingkat politik dalam rangka memecahkan masalah-masalah kebijakan (Dunn 2001). Kebijakan adalah dasar bagi pelaksanaan kegiatan atau pengambilan keputusan dengan maksud untuk membangun suatu landasan yang jelas dalam pengambilan keputusan dan langkah yang diambil. Kebijakan didasarkan pada masalah yang ada di daerah, selanjutnya kebijakan harus secara terus menerus dipantau, direvisi dan ditambah agar tetap memenuhi kebutuhan yang terus berubah.

Kebijakan umum pengelolaan terumbu karang di Indonesia adalah:

“Mengelola ekosistem terumbu karang berdasarkan keseimbangan antara pemanfaatan dan kelestarian yang dirancang dan dilaksanakan secara terpadu dan sinergis oleh Pemerintah, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota, masyarakat, swasta, perguruan tinggi, serta organisasi non pemerintah”.

Tujuan kebijakan umum pengelolaan terumbu karang nasional adalah terciptanya pengelolaan ekosistem terumbu karang dengan keseimbangan antara pemanfaatan dan kelestariannya yang dirancang dan dilaksanakan secara terpadu dan sinergis oleh masyarakat, pemerintah dan pemerintah daerah, swasta, perguruan tinggi serta lembaga non pemerintah. Kebijakan tersebut merupakan suatu upaya menjawab dan mengantisipasi berbagai isu dan permasalahan yang menjadi penyebab terbesar semakin terdegradasinya ekosistem terumbu karang di Indonesia.


(49)

24

Kebijakan umum sebagaimana tersebut di atas, dijabarkan menjadi tujuh kebijakan operasional sebagai berikut (Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: KEP.38/MEN/2004):

a. Kebijakan 1

Mengupayakan pelestarian, perlindungan, dan peningkatan kondisi ekosistem terumbu karang, terutama bagi kepentingan masyarakat yang kelangsungan hidupnya sangat bergantung pada pemanfaatan ekosistem tersebut, berdasarkan pada kesadaran hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta mengacu kepada standar-standar nasional dan internasional dalam pengelolaan sumberdaya alam.

b. Kebijakan 2

Mengembangkan kapasitas dan kapabilitas Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota, dengan meningkatkan hubungan kerjasama antar institusi untuk dapat menyusun dan melaksanakan program-program pengelolaan ekosistem terumbu karang berdasarkan prinsip keseimbangan antara pemanfaatan sumberdaya alam yang sesuai dengan nilai-nilai kearifan masyarakat dan karakteristik biofisik dan kebutuhan pembangunan wilayah.

c. Kebijakan 3

Menyusun rencana tata ruang pengelolaan wilayah pesisir dan laut untuk mempertahankan kelestarian ekosistem terumbu karang dan sumberdaya alam pesisir dan laut secara nasional serta mampu menjamin kelestarian fungsi ekologis terumbu karang dan pertumbuhan ekonomi kawasan.

d. Kebijakan 4

Meningkatkan kerjasama, koordinasi dan kemitraan antara Pemerintah, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota, serta masyarakat dalam pengambilan keputusan mengenai pengelolaan ekosistem terumbu karang yang meliputi aspek perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, evaluasi, pengawasan dan penegakan hukum.


(50)

25

Meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir melalui pengembangan kegiatan ekonomi kerakyatan, dengan mempertimbangkan sosial budaya masyarakat setempat dan tetap memperhatikan kelestarian ekosistem terumbu karang dan lingkungan sekitar.

f. Kebijakan 6

Mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi, penelitian, sistem informasi, pendidikan dan pelatihan dalam pengelolaan ekosistem terumbu karang dengan meningkatkan peran sektor swasta dan kerjasama internasional.

g. Kebijakan 7

Menggali dan meningkatkan pendanaan untuk pengelolaan ekosistem terumbu karang.

Kebijakan tidak hanya membatasi diri pada pengujian-pengujian teori deskriftif umum maupun teori-teori ekonomi, karena masalah-masalah kebijakan yang kompleks, dimana teori-teori semacam ini seringkali gagal untuk memberikan informasi yang memungkinkan para pengambil kebijakan mengontrol dan memanipulasi proses-proses kebijakan. Walaupun demikian analisis kebijakan juga menghasilkan informasi yang relevan dengan kebijakan yang dapat dimanfaatkan untuk memecahkan suatu masalah dan juga menghasilkan informasi mengenai nilai-nilai serta arah tindakan yang lebih baik. Jadi analisis kebijakan mencakup kegiatan evaluasi dan anjuran kebijakan.

Quandun in Dunn (2001) menyebutkan bahwa analisis kebijakan adalah setiap jenis analisa yang menghasilkan dan menyajikan informasi sehingga dapat menjadi dasar bagi para pengambil kebijakan dalam menguji pendapat mereka. Kata “analisis” digunakan dalam pengertian yang paling umum yang secara tidak langsung menunjukkan penggunaan intuisi dan pertimbangan yang mencakup tidak hanya pengujian kebijakan dalam pemecahan terhadap komponen-komponen tapi juga merencanakan dan mencari sintesa atas alternatif-alternatif baru. Aktivitas ini meliputi sejak penelitian untuk memberi wawasan terhadap masalah atau isu yang mendahului atau untuk mengevaluasi program yang sudah selesai.


(51)

26

1. Pendekatan empiris, adalah pendekatan yang menjelaskan sebab akibat dari kebijakan publik. Pertanyaan pokoknya adalah mengenai fakta yaitu apakah sesuatu itu ada?

2. Pendekatan evaluatif, adalah pendekatan yang terutama berkenaan dengan penentuan harga atau nilai dari beberapa kebijakan. Pertanyaan pokoknya adalah berapa nilai sesuatu?

3. Pendekatan normatif, adalah pendekatan yang terutama berkaitan dengan pengusulan arah tindakan yang dapat memecahkan masalah kebijakan. Pertanyaan pokoknya adalah tindakan apa yang harus dilakukan?


(1)

Biawak Kabupaten Indramayu dengan

tingginya perhatian pemerintah dan LSM terhadap

kelestarian terumbu karang.

Urutkan kegiatan yang paling penting sampai kurang penting

Prioritas

Atribut

Peningkatan upaya pelestarian

dan perlindungan

Peningkatan kapasitas

dan kapabilitas pemerintah

Penyusunan tata ruang pengelolaan

P. Biawak

Peningkatan kerjasama

antara pemerintah

dan masyarakat

Peningkatan kesejahteraan

masyarakat

Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi

Peningkatan pendanaan

Peningkatan upaya pelestarian

dan perlindungan

1

Peningkatan kapasitas dan

kapabilitas pemerintah

-

1

Penyusunan

tata ruang pengelolaan

P. Biawak

-

-

1

Peningkatan

kerjasama antara pemerintah

dan masyarakat

-

-

-

1

Peningkatan kesejahteraan

masyarakat

-

-

-

-

1

Pengembang

an ilmu pengetahuan dan teknologi

-

-

-

-

-

1

Peningkatan


(2)

Biawak Kabupaten Indramayu dengan

permintaan terhadap hasil perikanan dan objek

wisata yang makin meningkat.

Urutkan kegiatan yang paling penting sampai kurang penting

Prioritas

Atribut

Peningkatan upaya pelestarian

dan perlindungan

Peningkatan kapasitas

dan kapabilitas pemerintah

Penyusunan tata ruang pengelolaan

P. Biawak

Peningkatan kerjasama

antara pemerintah

dan masyarakat

Peningkatan kesejahteraan masyarakat

Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi

Peningkatan pendanaan

Peningkatan upaya pelestarian

dan perlindungan

1

Peningkatan kapasitas dan kapabilitas pemerintah

-

1

Penyusunan

tata ruang pengelolaan

P. Biawak

-

-

1

Peningkatan

kerjasama antara pemerintah

dan masyarakat

-

-

-

1

Peningkatan kesejahteraan masyarakat

-

-

-

-

1

Pengembang

an ilmu pengetahuan dan teknologi

-

-

-

-

-

1

Peningkatan


(3)

Biawak Kabupaten Indramayu dengan

tersedianya teknologi monitoring dan transplantasi

karang.

Urutkan kegiatan yang paling penting sampai kurang penting

Prioritas

Atribut

Peningkatan upaya pelestarian

dan perlindungan

Peningkatan kapasitas

dan kapabilitas pemerintah

Penyusunan tata ruang pengelolaan

P. Biawak

Peningkatan kerjasama

antara pemerintah

dan masyarakat

Peningkatan kesejahteraan masyarakat

Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi

Peningkatan pendanaan

Peningkatan upaya pelestarian

dan perlindungan

1

Peningkatan kapasitas dan

kapabilitas pemerintah

-

1

Penyusunan

tata ruang pengelolaan

P. Biawak

-

-

1

Peningkatan

kerjasama antara pemerintah

dan masyarakat

-

-

-

1

Peningkatan kesejahteraan

masyarakat

-

-

-

-

1

Pengembang

an ilmu pengetahuan dan teknologi

-

-

-

-

-

1

Peningkatan


(4)

Biawak Kabupaten Indramayu dengan

kerusakan terumbu karang akibat pencemaran.

Urutkan kegiatan yang paling penting sampai kurang penting

Prioritas

Atribut

Peningkatan upaya pelestarian

dan perlindungan

Peningkatan kapasitas

dan kapabilitas pemerintah

Penyusunan tata ruang pengelolaan

P. Biawak

Peningkatan kerjasama

antara pemerintah

dan masyarakat

Peningkatan kesejahteraan masyarakat

Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi

Peningkatan pendanaan

Peningkatan upaya pelestarian

dan perlindungan

1

Peningkatan kapasitas dan kapabilitas pemerintah

-

1

Penyusunan

tata ruang pengelolaan

P. Biawak

-

-

1

Peningkatan

kerjasama antara pemerintah

dan masyarakat

-

-

-

1

Peningkatan kesejahteraan masyarakat

-

-

-

-

1

Pengembang

an ilmu pengetahuan dan teknologi

-

-

-

-

-

1

Peningkatan


(5)

Biawak Kabupaten Indramayu dengan kegiatan

penangkapan ikan yang merusak

lingkungan (Bom, racun, trawl).

Urutkan kegiatan yang paling penting sampai kurang penting

Prioritas

Atribut

Peningkatan upaya pelestarian

dan perlindungan

Peningkatan kapasitas

dan kapabilitas pemerintah

Penyusunan tata ruang pengelolaan

P. Biawak

Peningkatan kerjasama

antara pemerintah

dan masyarakat

Peningkatan kesejahteraan

masyarakat

Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi

Peningkatan pendanaan

Peningkatan upaya pelestarian

dan perlindungan

1

Peningkatan kapasitas dan

kapabilitas pemerintah

-

1

Penyusunan

tata ruang pengelolaan

P. Biawak

-

-

1

Peningkatan

kerjasama antara pemerintah

dan masyarakat

-

-

-

1

Peningkatan kesejahteraan

masyarakat

-

-

-

-

1

Pengembanga

n ilmu pengetahuan dan teknologi

-

-

-

-

-

1

Peningkatan


(6)

Biawak Kabupaten Indramayu dengan kegiatan

eksploitasi/pemanfaatan terumbu karang

untuk tujuan komersil.

Urutkan kegiatan yang paling penting sampai kurang penting

Prioritas

Atribut

Peningkatan upaya pelestarian

dan perlindungan

Peningkatan kapasitas

dan kapabilitas pemerintah

Penyusunan tata ruang pengelolaan

P. Biawak

Peningkatan kerjasama

antara pemerintah

dan masyarakat

Peningkatan kesejahteraan

masyarakat

Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi

Peningkatan pendanaan

Peningkatan upaya pelestarian

dan perlindungan

1

Peningkatan kapasitas dan kapabilitas pemerintah

-

1

Penyusunan

tata ruang pengelolaan

P. Biawak

-

-

1

Peningkatan

kerjasama antara pemerintah

dan masyarakat

-

-

-

1

Peningkatan kesejahteraan masyarakat

-

-

-

-

1

Pengembang

an ilmu pengetahuan dan teknologi

-

-

-

-

-

1

Peningkatan