diperburuk oleh stereotype dan prasangka suku lain, bahkan oleh orang Pak-pak sendiri. Keengganan memakai marga asli Pak-pak sangat umum terjadi, mengganti
marga asli dengan marga lain seperti Karo dan Toba sering dijumpai. Marga Tumangger, Tinambunen, Anak Ampun, Maharaja, Bancin mengaku Simbolon,
marga Berutu jadi Sinaga Toba, Maha menjadi Sembiring, Lingga menjadi Sinulingga Karo, atau Manik, mengaku manik dari Simalungun, bahkan Solin
mengaku Solihin bagi yang merantau kearah Aceh. Kalau tidak mengganti marga, minimal menyesuaikan dengan lafal bahasa etnis lain seperti bahasa Toba wahyudi,
dkk, 2002. Kebiasaan ini bisa saja, juga terpengaruh dengan hal-hal yang lain seperti konsep akan sehat dan sakit serta pola pencarian pengobatannya.
2.5.2 Budaya Pak-pak dalam hal Sehat Sakit
Menurut Kustander dalam Swasono 1996 menjelaskan bahwa kesehatan dan penyakit merupakan kontruksi budaya, yang berkaitan dengan pengertian normal dan
abnormal menurut pandangan berbagai kategori individu dalam suatu kelompok budaya. Walaupun defenisi tentang normal dan abnormal itu mengandung aspek
persamaan pada berbagai kebudayaan, misalnya mengenai batasan-batasan tentang kemampuan ”normal” dari tubuh dalam menjalankan fungsinya, namun kelompok
masyarakat dengan kebudayaan yang berbeda mempunyai klasifikasi dan defenisi yang berbeda pula mengenai sehat, keadaan sakit, penyakit, maupun ukuran-
ukurannya. Karena itu sulit untuk memperoleh penerapan yang universal terhadap ukuran “kualitas dari skala kehidupan”.
Menurut Sudarti dalam Sarwono 1997 Umumnya masyarakat tradisional memandang sakit jika orang itu kehilangan nafsu makannya atau gairah kerjanya,
Universitas Sumatera Utara
tidak dapat lagi menjalankan tugasnya sehari-hari secara optimal atau kehilangan kekuatan sehingga harus tinggal di tempat tidur. Baik itu karena sakit akibat penyakit
yang biasa diderita masyarakat ataupun penyakit yang dianggap luar biasa dan jarang. Selama seseorang masih mampu melaksanakan fungsinya seperti biasa maka orang
itu masih dikatakan sehat. Cara pandang masyarakat tentang hal seperti ini juga masih banyak diyakini oleh masyarakat suku Pak-pak.
Untuk penyakit-penyakit yang tidak lazim misalnya penyakit yang datang tiba-tiba, atau penyakit yang muncul kebetulan setelah mengunjungi suatu tempat,
maka dianggap sebagai penyakit karena gangguan makhlus halus begu atau karena ula-ula sihir yang dilakukan oleh orang lain. Atau penyakit yang lama sembuhnya,
maka dianggap karena kekuatan roh. Karena kalau penyakit biasa pastilah akan cepat sembuh. Pengobatan yang dilakukan, sesuai dengan penyakit yang di derita. Ada
dengan pengobatan ramuan tradisional yang disebut grama, seperti sinangger yang merupakan ramuan beras yang digongseng sampai hitam ditambah dengan jahe dan
kunyit, untuk sakit kepala. Gambir yang dicampur air dan diminum untuk obat sakit perut dan lain-lain Gajah, 1999. Selain ramuan tradisional ada juga dengan
pengobatan kebatinan yang mana proses penyembuhannya dilakukan dengan doa dan mantra tabas yang dilakukan oleh “orang pintar” sipande-pande. Ada juga
pengobatan dari penggabungan kedua jenis tersebut, yaitu ramuan tradisional yang dibacakan mantra tabas, misalnya Ramuan pinang dan sirih yang telah di bacakan
mantra tabas untuk obat tetanus. Etiologi penyakit yang berasal dari hal-hal yang bersifat gaib atau akibat
kesalahan tidak hanya berkenaan dengan penyakit fisik melainkan juga mengenai
Universitas Sumatera Utara
penyakit jiwa. Misalnya, menurut suku Pak-pak gila gangguan kejiwaan terjadi akibat guna-guna i bahan kalak yang masuk kedalam tubuh seseorang sebagai
hukuman atas kesalahannya terhadap orang lain. Mirip dengan suku Jawa, penyakit semacam itu hanya bisa diobatai oleh dukun. Selain itu ada pula anggapan bahwa gila
terjadi karena masuknya roh jahat jin kedalam tubuh seseorang, yang juga hanya bisa dikeluarkan oleh dukun Swasono, 1996.
2.6 Kerangka Pikir