Kajian Pemanfaatan Tumbuhan Obat Pada Masyarakat Karo Di Kecamatan Tigabinanga Kabupaten Karo

(1)

KAJIAN PEMANFAATAN TUMBUHAN OBAT

PADA MASYARAKAT KARO DI KECAMATAN TIGABINANGA

KABUPATEN KARO

TESIS

Oleh

MAYA ROSEVY BR PURBA

097030023

PROGRAM PASCASARJANA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2011


(2)

KAJIAN PEMANFAATAN TUMBUHAN OBAT PADA

MASYARAKAT KARO DI KECAMATAN TIGABINANGA

KABUPATEN KARO

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh

Gelar Magister Sains dalam Program Studi Ilmu Biologi

pada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

Universitas Sumatera Utara

Oleh

MAYA ROSEVY BR PURBA

097030023

PROGRAM STUDI PASCASARJANA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2011


(3)

PENGESAHAN TESIS

Judul Tesis :

KAJIAN PEMANFAATAN TUMBUHAN OBAT PADA

MASYARAKAT KARO DI KECAMATAN TIGABINANGA KABUPATEN KARO

Nama Mahasiswa

:

MAYA ROSEVY BR PURBA

Nomor Induk Mahasiswa : 097030023

Program Studi :Magister Biologi

Fakultas : Universitas Sumatera Utara

Menyetujui Komisi Pembimbing :

Prof.Dr. Retno Widhiastuti, M.S. Dr. Suci Rahayu, M.Si.

Ketua Anggota

Ketua Program Study Dekan

Prof. Dr. Syafruddin Ilyas,M.Biomed Dr. Sutarman, M.Sc.


(4)

PERNYATAAN ORISINALITAS

KAJIAN PEMANFAATAN TUMBUHAN OBAT PADA

MASYARAKAT KARO DI KECAMATAN TIGABINANGA

KABUPATEN KARO

TESIS

Dengan ini saya nyatakan bahwa saya mengakui semua karya tesis ini adalah

hasil kerja saya sendiri kecuali kutipan dan ringkasan yang tiap satunya telah

dijelaskan sumbernya dengan benar.

Medan, Agustus 2011

Maya Rosevy Br Purba

Nim : 097030023


(5)

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI

KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN

AKADEMIS

Sebagai sivitas akademika Universitas Sumatera Utara, saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Maya Rosevy Br Purba NIM : 097030023

Program Study : Biologi Jenis Karya Ilmiah : Tesis

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Sumatera Utara Hak Bebas Royalti Non-Eksklusif (Non-Exclusive Royalty free Right) atas Tesis saya yang berjudul:

Kajian Pemanfaatan Tumbuhan Obat Pada Masyarakat Karo Di Kecamatan Tigabinanga Kabupaten Karo

Beserta perangkat yang ada. Dengan Hak Bebas Royalti Non-Ekslusif ini, Universitas Sumatera Utara berhak menyimpan, mengalih media, memformat, mengelola dalam bentuk data-base, merawat dan mempublikasikan Tesis saya tanpa meminta izin dari saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis dan sebagai pemegang dan atau sebagai pemilik hak cipta.

Demikian pernyataan ini dibuat dengan sebenarnya.

Medan, Agustus 2011


(6)

Telah diuji pada

Tanggal : 15 Agustus 2011

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Retno Widhiastuti, M.S. Anggota : Dr. Suci Rahayu, M.Si.

Dr. Nursahara Pasaribu, M.Sc.


(7)

RIWAYAT HIDUP

DATA PRIBADI

Nama lengkap : Maya Rosevy Br Purba S.Pd Tempat dan Tanggal Lahir : Berastagi, 19 Maret 1974

Alamat Rumah : Jl. Balai Desa No 7. Sunggal Medan

Nomor Hp : 085360223137

e-mail

Instansi Tempat Bekerja : SMA Negeri 1 Tigabinanga Kabupaten Karo Alamat Tempat Tugas : Jl. Kutacane Tigabinanga.

DATA PENDIDIKAN

SD : SDN No 3 Berastagi Tamat : 1987

SMP : SMP Bina Bersaudara Medan Tamat : 1990 SMA : SMA Bina Bersaudara Medan Tamat : 1993 Strata-1 : FPMIPA IKIP Negeri Medan Tamat : 1998


(8)

KATA PENGANTAR

Pertama-tama penulis panjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rakhmad dan karunia-Nya sehingga tesis ini dapat diselesaikan. Dengan selesainya tesis ini , perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

Rektor Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM, M.Sc (CTM), Sp. A(K) atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan program Megister.

Dekan Fakultas MIPA Universitas Sumatera Utara, Dr Sutarman M.Sc. atas kesempatan menjadi mahasiswa Program Magister pada Program Pascasarjana Fakultas MIPA Universitas Sumatera Utara..

Ketua Program Studi Magister Biologi, Prof. Dr. Syafruddin Ilyas, M.Biomed. Sekretarisi Program Studi Biologi, Dr. Suci Rahayu, M.Si. beserta seluruh Staf Pengajar pada Program Studi Magister Biologi Program Pascasarjana Fakultas MIPA Universitas Sumatera Utara. Terimakasih yang tak terhingga dan penghargaan setinggi-tingginya penulis ucapkan kepada Prof. Dr Retno Widhiastuti, M.S. selaku Pembimbing Utama yang dengan penuh perhatian dan telah memberikan dorongan, bimbingan dan saran, demikian juga kepada Dr. Suci Rahayu, M.Si. selaku Pembimbing Lapangan yang dengan penuh kesabaran menuntun dan membimbing penulis hingga selesainya penelitian ini, kepada penguji Dr. Nursahara Pasaribu M.Sc., Prof. Dr. Syafruddin Ilyas, M.Biomed. atas saran dan masukkan yang telah diberikan kepada penulis.


(9)

Kepada ayahanda Bani Purba dan Ibunda Sulasmi, serta suami tercinta Ir. Aminudin dan ananda terkasih Ichwan Amiya Ghafur, terima kasih atas segala pengorbanan baik berupa moril maupun materil. Budi baik ini tidak dapat penulis balas hanya kepada Allah SWT penulis serahkan.

Medan, Agustus 2011 Penulis

Maya Rosevy Br Purba


(10)

KAJIAN PEMANFAATAN TANAMAN OBAT PADA

MASYARAKAT KARO DI KECAMATAN TIGABINANGA

KABUPATEN KARO

ABSTRAK

Telah dilakukan penelitian tentang kajian pemanfaatan tumbuhan obat pada masyarakat Karo di Kecamatan Tigabinanga Kabupaten Karo. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dan kualitatif, untuk pengambilan data menggunakan teknik purposive sampling dan snowball sampling. Pengumpulan data melalui wawancara dan angket. Analisis data dengan perhitungan Nilai Guna (UVs), Nilai Guna Relative (RUVi), Index of Cultural Significance (ICS) dan Degradasi Pengetahuan masyarakat (D). Dari hasil penelitian tumbuhan obat ditemukan 75 jenis tumbuhan yang digunakan oleh masyarakat Karo di Kecamatan Tigabinanga. Hasil analisis data Nilai Guna (UVs) ditemukan bahwa tanaman jahe merah (Zingiberofficinale Roxb), merupakan tanaman yang memiliki nilai guna tertinggi yaitu 10,49dan nilai Index of Cultural Significance (ICS) yang tertinggi yaitu 117. Sedangkan Nilai Guna (UVs) terendah adalah tanaman nenas(Ananas comosus)dengan nilai 0,59 . dan nilai Index of Cultural Significance (ICS) yang terendah yaitu tanaman Ananas comosus dengan nilai 3. Nilai Guna Relatif yang tertinggi adalah tanaman Arenga pinata dengan nilai 4,83 sedangkan terendah adalah tanaman Manihot utilisima,dengan nilai 3,60. Degradasi Pengetahuan masyarakat yang mengalami degradasi yang terbesar pada kelompok umur A (15-29 tahun) dengan nilai sebesar 14,38% tetapi pada kelompok umur B (30-49 tahun) hanya mengalami degradasi sebesar 1,90%.

Kata Kunci: Nilai Guna, Nilai Guna relatif dan Index of Cultural Significance.


(11)

THE APPLICATION OF MEDICAL PLANT HAS BEEN DONE IN KARO SOCIETY IN KECAMATAN TIGABINANGA KABUPATEN KARO

ABSTRACT

The research about the application of medical plant has been conducted in Karo society in Kecamatan Tigabinanga Kabupaten Karo. This research uses both quantitative and qualitative methods in taking the data by using purposive technique sampling and snowball sampling. The collection of the data uses an interview and questionnaire. Calculation of the data analysis uses Used Value (UVs), Relative Used Value (RUVi), Index of Cultural Significance (ICS) and Degradation of Society Knowledge (D). Based on the research, has founded 75 medical plants that used by Karois society in Kecamatan Tigabinanga Kabupaten Karo. The data analyze result are founded Zingiber officaoxb have the highest Use Value i.e. 10,49 and Index of Cultural Significance i.e. 117. Besides that ananas comosus plant have the lowest Use Value is i.e. 0,59 and Index of Cultural Significance i.e. 3. The highest Relative Use Value is Arenga pinata i.e 4,83. The lowest Relative Use Value is Manihot utilisima i.e. 3,60. Degradation of Society Knowledge (D) that occurring the highest degradation at the age group A (15-29) with the point 14,38% but at the age group B (30-49) have degradation 1,90%.

Key words : Use Value, Relative Use Value and Index of Cultural Significance


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

ABSTRAK ... ii

ABSTRACT... iii

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR TABEL ... v

DAFTAR GAMBAR ... vi

DAFTAR LAMPIRAN ... vii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 3

1.3. Tujuan Penelitian ... 3

1.4. Manfaat Penelitian ... 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1. Etnobotani... 5

2.2. Metode dalam Etnobotani ... 6

2.3. Asal-Usul suku Karo ... 7

2.4. Masyarakat Karo ... 8

2.5. Tanaman Obat ... 9

2.6. Obat Tradisional Karo ... 9

2.7. Ketepatan Penggunaan Obat Tradisional... v


(13)

BAB III METODE PENELITIAN ... 16

3.1. Deskripsi Area ... 16

3.2. Waktu dan Tempat Penelitian... 17

3.3. Alat dan Bahan ... 17

... 3.4 Survey Etnobotani ... 17

3.5. Pengumpulan Data ... 18

3.6. Analisis Data ... 19

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 23

4.1. Nilai Guna dan Nilai Guna Relatif Tanaman Obat ... 23

4.2. Index of Cultural Significance (ICS) ... 27

4.3. Degradasi Pengetahuan ... 30

4.4. Deskripsi Tanaman Obat ... 40

4.5. Pemanfaatan Tumbuhan ... 83

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 92

DAFTARPUSTAKA ... 92 LAMPIRAN ... L-1


(14)

DAFTAR TABEL

No Judul Halaman

3.1 Deskripsi Area Kecamatan Tigabinanga 16

4.1.1 Nilai Guna, Nilai Guna Relatif dan Index of Cultural Significance Tanaman Obat

23

4.3.1 Degradasi Pengetahuan Masyarakat Karo di Kecamatan Tigabinanga 30 4.3.2 Jenis-jenis Tumbuhan yang Digunakan Sebagai Bahan Obat

Secara Tradisional di Kecamatan Tigabinanga

33


(15)

DAFTAR GAMBAR

No Judul Halaman

1 Tanaman Aren 40

Tanaman Asam Jawa 41

3 Tanaman Alpukat 41

4 Tanaman Bawang Merah 42

5 Tanaman Bawang Putih 42

6 Tanaman Belimbing Waluh 43

7 Tanaman Bengle 43

8 Tanaman Bandotan 44

9 Tanaman Padi 45

10 Tanaman Bayam Duri 45

11 Tanaman Bunga Pukul Empat 46

12 Tanaman Ceplukan 47

13 Tanaman Cengkeh 47

14 Tanaman Combrang 48

15 Tanaman Cabe Merah 48

16 Tanaman Durian 49

17 Tanaman Daun Bangun-Bangun 50

18 Tanaman Fanili 50

19 Tanaman Gandarusa 51

20 Tanaman Gundur 51

21 Tanaman Gambir 52

22 Tanaman Inai 52

23 Tanaman Jeringo 53

24 Tanaman Jambu Biji 53

25 Tanaman Jahe Merah 54

26 Tanaman Jahe 54

27 Tanaman Jarak Pagar 55

28 Tanaman Jeruk Purut 55


(16)

30 Tanaman Kacar Air 56

31 Tanaman Kejibeling 57

32 Tanaman Kelapa 57

33 Tanaman Kembang Sepatu 58

34 Tanaman Kemangi 59

35 Tanaman Kemiri 59

36 Tanaman Kunyit 60

37 Tanaman Kayu Manis 61

38 Tanaman Kacang Panjang 61

39 Tanaman Kecubung 62

40 Tanaman Kelingkit Taiwan 62

41 Tanaman Ki Tolod 63

42 Tanaman Kencur 64

43 Tanaman Kumis kucing 64

44 Tanaman Labu Kuning 65

45 Tanaman Labu Siam 65

46 Tanaman Lengkuas 66

47 Tanaman Merica 66

48 Tanaman Mengkudu 67

49 Tanaman Mahkota Dewa 67

50 Tanaman Mangkokan 68

51 Tanaman Meniran 69

52 Tanaman Mawar 69

53 Tanaman Nenas 70

54 Tanaman Pala 70

55 Tanaman Patikan Kebo 71

56 Tanaman Pepaya 71

57 Tanaman Pisang 72

58 Tanaman Pinang 73

59 Tanaman Pegagan 73

60 Tanaman Randu 74

61 Tanaman Serai 74


(17)

63 Tanaman Sawo 75

64 Tanaman Seledri 76

65 Tanaman Sisik Naga 77

66 Tanaman Sintrong 77

67 Tanaman Salam 78

68 Tanaman Sirsak 78

69 Tanamn Sambiloto 79

70 Tanaman Sukun 80

71 Tanaman Tebu 80

72 Tanaman Temulawak 81

73 Tanaman Tembakau 82

74 Tanaman Temu kunci 82


(18)

DAFTAR LAMPIRAN

No Judul Halaman 1 Biodata Dan Pernyataan Informan Kunci dan Responden 95 2 Biodata Dan wawancara Pemanfaatan Tumbuhan Obat Oleh

Responden

96

3 Contoh Perhitungan Nilai Guna, Nilai Guna Relatif 101 4 Nilai Guna Tumbuhan dan nilai Guna Relatif (RUV) 103

5 Index Cultural of Significance 110

6 Index Cultural of Significance Kelompok Umur A 112 7 Index Culturalm of Significance Kelompok Umur B 114 8 Index Culturalm of Significance Kelompok Umur C 116 9 Kategori yang Menggambarkan Tentang Intensitas penggunaan

(intensity of “use”) Jenis Tumbuhan Berguna

118

10 Penentuan Jumlah Sampel dari Populasi Tertentu dengan Taraf Kesalahan 1 %, 5%, 10%

120

11 Jumlah Penduduk di Kecamatan Tigabinanga 122

12 Kandungan Senyawa Kimia Tanaman Obat 123


(19)

KAJIAN PEMANFAATAN TANAMAN OBAT PADA

MASYARAKAT KARO DI KECAMATAN TIGABINANGA

KABUPATEN KARO

ABSTRAK

Telah dilakukan penelitian tentang kajian pemanfaatan tumbuhan obat pada masyarakat Karo di Kecamatan Tigabinanga Kabupaten Karo. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dan kualitatif, untuk pengambilan data menggunakan teknik purposive sampling dan snowball sampling. Pengumpulan data melalui wawancara dan angket. Analisis data dengan perhitungan Nilai Guna (UVs), Nilai Guna Relative (RUVi), Index of Cultural Significance (ICS) dan Degradasi Pengetahuan masyarakat (D). Dari hasil penelitian tumbuhan obat ditemukan 75 jenis tumbuhan yang digunakan oleh masyarakat Karo di Kecamatan Tigabinanga. Hasil analisis data Nilai Guna (UVs) ditemukan bahwa tanaman jahe merah (Zingiberofficinale Roxb), merupakan tanaman yang memiliki nilai guna tertinggi yaitu 10,49dan nilai Index of Cultural Significance (ICS) yang tertinggi yaitu 117. Sedangkan Nilai Guna (UVs) terendah adalah tanaman nenas(Ananas comosus)dengan nilai 0,59 . dan nilai Index of Cultural Significance (ICS) yang terendah yaitu tanaman Ananas comosus dengan nilai 3. Nilai Guna Relatif yang tertinggi adalah tanaman Arenga pinata dengan nilai 4,83 sedangkan terendah adalah tanaman Manihot utilisima,dengan nilai 3,60. Degradasi Pengetahuan masyarakat yang mengalami degradasi yang terbesar pada kelompok umur A (15-29 tahun) dengan nilai sebesar 14,38% tetapi pada kelompok umur B (30-49 tahun) hanya mengalami degradasi sebesar 1,90%.

Kata Kunci: Nilai Guna, Nilai Guna relatif dan Index of Cultural Significance.


(20)

THE APPLICATION OF MEDICAL PLANT HAS BEEN DONE IN KARO SOCIETY IN KECAMATAN TIGABINANGA KABUPATEN KARO

ABSTRACT

The research about the application of medical plant has been conducted in Karo society in Kecamatan Tigabinanga Kabupaten Karo. This research uses both quantitative and qualitative methods in taking the data by using purposive technique sampling and snowball sampling. The collection of the data uses an interview and questionnaire. Calculation of the data analysis uses Used Value (UVs), Relative Used Value (RUVi), Index of Cultural Significance (ICS) and Degradation of Society Knowledge (D). Based on the research, has founded 75 medical plants that used by Karois society in Kecamatan Tigabinanga Kabupaten Karo. The data analyze result are founded Zingiber officaoxb have the highest Use Value i.e. 10,49 and Index of Cultural Significance i.e. 117. Besides that ananas comosus plant have the lowest Use Value is i.e. 0,59 and Index of Cultural Significance i.e. 3. The highest Relative Use Value is Arenga pinata i.e 4,83. The lowest Relative Use Value is Manihot utilisima i.e. 3,60. Degradation of Society Knowledge (D) that occurring the highest degradation at the age group A (15-29) with the point 14,38% but at the age group B (30-49) have degradation 1,90%.

Key words : Use Value, Relative Use Value and Index of Cultural Significance


(21)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Indonesia merupakan Negara agraris yang memiliki areal pertanian dan perkebunan yang luas serta pekarangan yang dapat ditanami tumbuhan obat. Hutan Indonesia yang begitu luas banyak menyimpan kekayaan alam yang begitu besar, diantaranya berpeluang sebagai sumber obat tradisional. Hingga saat ini di Indonesia terdapat 1.036 industri obat tradisional yang memiliki izin usaha industri, terdiri dari 129 Industri Obat Tradisional (IOT) dan 907 Industri Kecil Obat Tradisional (IKOT). Banyaknya lembaga penelitian obat-obatan bahan alam merupakan kekuatan yang dapat dimanfaatkan untuk pengembangan obat tradisional (Depkes, 2007). Indonesia memiliki budaya pengobatan tradisional termasuk penggunaan tumbuhan obat sejak dulu dan dilestarikan secara turun-temurun. Namun adanya modernisasi budaya dapat menyebabkan hilangnya pengetahuan tradisional yang dimiliki oleh masyarakat.

Menurut (Sastropradjo 1990) selain merupakan negara kepulauan, Indonesia juga memiliki jumlah penduduk yang banyak (sekitar 200 juta lebih) yang sebagian besar masyarakatnya masih tinggal di pedesaan, banyaknya masyarakat yang tinggal di pedesaan terutama daerah yang sulit di jangkau (terisolir) menyebabkan pemerataan hasil-hasil pembangunan seperti bidang pendidikan dan kesehatan sulit untuk di laksanakan. Namun pada daerah-daerah terisolir pemanfaatan lingkungan terutama tumbuhan untuk pemenuhan kebutuhan kesehatan seperti untuk obat-obatan tradisional sangat tinggi.

Di negara Indonesia, sekalipun pelayanan kesehatan modern telah berkembang, jumlah masyarakat yang memanfaatkan pengobatan tradisional sangat tinggi. Menurut survey sosial Ekonomi Nasional tahun 2001, 57,7 % penduduk Indonesia melakukan pengobatan sendiri tanpa bantuan medis, 31,7 % diantaranya menggunakan tumbuhan obat tradisional, dan 9,8 % memilih cara pengobatan tradisional lainnya ( Santhyami, 2008).

Menurut Tamin dan Arbain (1995) Indonesia memiliki etnis sangat beragam, setiap kelompok masyarakat ini memanfaatkan tumbuhan untuk kehidupan mereka, seperti untuk obat-obatan, peralatan rumah tangga, bermacam-macam anyaman/tali-temali, bahan pelengkapan upacara adat, di samping yang di gunakan untuk kebutuhan sandang, pangan serta papan. Bentuk susunan ramuan, komposisi dan proses pembuatan/pengolahan dilakukan


(22)

secara tradisional menurut cara suku/kelompoknya masing-masing yang mereka terima secara turun-temurun.

Sejak zaman dahulu manusia sangat mengendalikan lingkungan sekitarnya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, misalnya untuk makan, tempat berteduh, pakaian, obat, pupuk, parfum, bahkan untuk kecantikan dapat diperoleh dari lingkungan. Memanfaatkan tanaman berkhasiat obat sebagai salah satu upaya dalam penanggulangan masalah kesehatan yang dihadapinya. Pengetahuan tentang pemanfaatan tanaman ini merupakan warisan budaya bangsa berdasarkan pengalaman, pengetahuan, dan keterampilan secara turun – temurun telah di wariskan dari satu generasi kegenerasi berikutnya melalui resep nenek moyang, adat istiadat, kepercayaan, atau kebiasaan setempat (Sukmono, 2009).

Menurut Barus (2010), seperti suku yang ada di Indonesia lainnya, suku Karo termasuk suku yang telah lama mengenal sistem pengobatan tradisional. Obat-obatan tradisional Karo beranekaragam. Hal ini menggambarkan bahwa masyarakat Karo mengenal berbagai jenis penyakit dan cara-cara pengobatannya. Selanjutnya Barus (2010), juga menyatakan masyarakat Karo di tempat yang berbeda menggunakan tumbuhan obat yang berbeda, setiap kelompok masyarakat memanfaatkan tumbuhan untuk kehidupan mereka dengan cara yang berbeda satu dengan yang lain.

Masyarakat Karo di Kecamatan Tigabinanga sudah berpuluh tahun memanfaatkan tumbuh-tumbuhan sebagai sumber bahan obat dalam mengobati suatu penyakit ataupun untuk perawatan kesehatan. Mereka menggunakan berbagai jenis tumbuh-tumbuhan yang dapat mereka temukan baik di sekitar mereka ataupun yang ada di hutan. Penggunaan obat tradisional ini sudah lama sekali mereka lakukan secara turun temurun dan tetap terjaga hingga sekarang. Keragaman jenis tumbuh-tumbuhan yang dijadikan obat-obatan tradisional oleh masyarakat, telah memperkaya ilmu pengetahuan dan kesehatan bangsa kita. Oleh karena itu perlu dilakukan suatu penelitian untuk dapat menggali dan mengetahui jenis-jenis tumbuhan obat yang digunakan oleh masyarakat dalam upaya pelestarian tumbuhan tersebut, karena masyarakat setiap daerah di kabupaten Karo menggunakan tumbuhan obat yang berbeda dalam mengobati suatu penyakit.

1.2. Perumusan Masalah

Penelitian mengenai kekayaan flora dan pemanfaatanya oleh masyarakat lokal dibeberapa kawasan di propinsi Sumatera Utara telah banyak dilakukan, namun belum merata dan belum banyak disebarluaskan. Demikian juga penelitian etnobotani di kawasan masyarakat Karo di Kecamatan Tigabinanga belum pernah di lakukan.


(23)

Perumusan masalah dari penelitian ini yaitu:

1. Bagaimana pengetahuan masyarakat Karo di Kecamatan Tigabinanga terhadap pemanfaatan tumbuhan sebagai obat-obatan tradisional.

2. Jenis-jenis tumbuhan apa saja yang digunakan sebagai obat-obatan tradisional oleh masyarakat Karo di Kecamatan Tigabinanga.

1.3. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah:

1. Menginventarisasi tumbuh-tumbuhan sebagai bahan obat-obatan tradisional oleh masyarakat Karo di Kecamatan Tigabinanga Kabupaten Karo

2. Mengetahui nilai guna pemanfaatan setiap jenis tumbuhan, dan nilai guna relatif setiap nara sumber.

3. Mengetahui degradasi pengetahuan yang terjadi pada kelompok masyarakat etnik Karo di Kecamatan Tigabinanga.

4. Mengetahui Indeks kepentingan budaya ( Index of Cultural Significance) 1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini di harapkan dapat memberikan:

1. Informasi pemanfaatan tumbuhan sebagai bahan baku atau bahan obat-obatan secara alami, yang memberikan dampak negatif yang sangat kecil bagi kerusakan atau keracunan pada tubuh di banding dengan obat kimia.

2. Informasi tentang jenis-jenis tumbuhan yang di gunakan sebagai obat oleh masyarakat Karo di Kecamatan Tigabinanga Kabupaten Karo.


(24)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Etnobotani

Etnobotani adalah ilmu yang mempelajari tentang pemanfaatan tumbuhan secara tradisional oleh suku bangsa primitif. Secara terminologi, etnobotani adalah studi yang mempelajari tentang hubungan antara tumbuhan dengan manusia. Etnobotani, sebuah istilah yang pertama kali diperkenalkan oleh seorang ilmuwan bernama Dr.J.W Harshberger pada 1985. Ada lima kategori pemanfaatan tumbuhan dalam kehidupan sehari-hari yaitu: (1) Pemanfaatan tumbuhan untuk bahan makanan (pangan) (2) Pemanfaatan tumbuhan untuk bahan bangunan (papan) (3) Pemanfaatan tumbuhan untuk obat-obatan (4) Pemanfaatan tumbuhan untuk upacara adat (5) Pemanfaatan tumbuhan untuk perkakas rumah tangga (Tamin & Arbain, 1995)

Ilmu etnobotani yang berkisar pada pemanfaatan tumbuh-tumbuhan untuk kemaslahatan orang di sekitarnya, pada aplikasinya mampu meningkatkan daya hidup manusia. Studi lanjutan dapat berfokus pada penggunaan spesifik (pangan/makanan, ekonomi, banyak manfaat, pakan ternak, buah-buahan, obat-obatan, dan kayu bakar,), atau bisa juga dengan mencoba mengumpulkan sejumlah informasi dilain musim, atau memilih tumbuhan spesifik, contohnya cara perkembangbiakan beberapa jenis tumbuhan liar untuk dibudidayakan. Ada berbagai hasil dari studi etnobotani yang dilakukan. Diskusi bersama masyarakat tentang tanaman lokal bisa memunculkan kembali nilai-nilai lama yang pernah didapatkan dari tanaman-tanaman tersebut, selanjutnya peserta bisa menyampaikan gagasan-gagasan lain tentang manfaat tanaman tertentu berdasarkan kearifan lokal. Berapa dari kita yang pernah tahu, kalau daun sambung nyawa yang biasa dikonsumsi sebagai lalapan, ternyata punya khasiat sebagai pencegah hipertensi. Itu baru satu contoh, lalu bagaimana dengan daun sirih, yang berfungsi sebagai bungkus kudapan menyirih nenek-nenek kita, ternyata juga menyimpan potensi untuk menyembuhkan rabun mata (Tamin & Arbain, 1995)

2.2 Metode dalam Etnobotani

Menurut Santhyami (2008) ada dua metode yang digunakan dalam penelitian etnobotani, yaitu:


(25)

a. Metode Observatif

Metoda ini melibatkan masyarakat sebagai pemandu dan informan kunci. Pengambilan data di lapangan menggunakan petak-petak permanen yang biasa dibuat dalam penelitian ekologi menurut cara Oosting (1960). Selanjutnya informan diminta untuk menginventarisasi seluruh jenis tanaman yang mereka kenal memiliki kegunaan. Setiap jenis yang mereka kenal diambil contoh herbarium atau “voucher spesiment” untuk identifikasi nama ilmiahnya. Dari data yang diperoleh kita menentukan nilai guna suatu jenis sumber daya, dilakukan dengan dua cara yaitu :

1. Merancang kepentingan atau manfaat suatu sumber daya sebagai manfaat utama atau tambahan.

2. Membagi sumberdaya kedalam kategori manfaat yang dikenal oleh masyarakat setempat dimana penelitian dilakukan.

b. Survey Eksploratif

Survey yaitu tindakan mengukur atau memperkirakan. Namun dalam penelitian survey lebih berarti sebagai suatu cara melakukan pengamatan di mana indikator mengenai variabel adalah jawaban-jawaban terhadap pertanyaan yang diberikan kepada responden baik secara lisan maupun tertulis. Tim akan membuat kuisioner untuk ditanyakan nantinya kepada informant atau warga masyarkat setempat. Pertanyaan dalam kuisioner berupa; cara mendapatkan tanaman, cara membudidayakan, dipakai

untuk apa saja tanaman tersebut, apakah juga untuk upacara adat dan alat-alat perkakas rumah tangga.

2.3. Asal-usul Suku Karo

Suku Karo atau juga disebut Batak Karo adalah suku asli yang mendiami dataran tinggi Karo, Sumatera Utara, Indonesia. Nama suku ini dijadikan salah satu nama kabupaten di salah satu wilayah yang mereka diami (dataran tinggi Karo) yaitu Kabupaten Karo. Suku ini memiliki bahasa sendiri yang disebut Bahasa Karo. Pakaian adat suku Karo didominasi dengan warna merah serta hitam dan penuh dengan perhiasan emas (Martin, 2004).

Kerajaan Haru-Karo mulai menjadi kerajaan besar di Sumatera, namun tidak diketahui secara pasti kapan berdirinya. Namun demikian, Brahma Putra, dalam bukunya “Karo dari Zaman ke Zaman” mengatakan bahwa pada abad 1 Masehi sudah ada kerajaan di Sumatera Utara yang rajanya bernama “Pa Lagan”. Menilik dari nama itu merupakan bahasa yang


(26)

berasal dari suku Karo. Mungkinkah pada masa itu kerajaan Haru sudah ada?, hal ini masih membutuhkan penelitian lebih lanjut (Prinst, 2004).

Kerajaan Haru-Karo diketahui tumbuh dan berkembang bersamaan waktunya dengan kerajaan Majapahit, Sriwijaya, Johor, Malaka dan Aceh. Terbukti karena kerajaan Haru pernah berperang dengan kerajaan-kerajaan tersebut.Kerajaan Haru identik dengan suku Karo,yaitu salah satu suku di Nusantara. Pada masa keemasannya, kerajaan Haru-Karo mulai dari Aceh Besar hingga ke sungai Siak di Riau. Eksistensi Haru-Karo di Aceh dapat dipastikan dengan beberapa nama desa di sana yang berasal dari bahasa Karo. Misalnya Kuta Raja (Sekarang Banda Aceh), Kuta Binjei di Aceh Timur, Kuta Karang, Kuta Alam, Kuta Lubok, Kuta Laksmana Mahmud, Kuta Cane, Blang Kejeren, dan lainnya (Prinst, 2004).

Suku Karo juga terdapat di Aceh Besar yang dalam logat Aceh disebut Karee. Keberadaan suku Haru-Karo di Aceh ini diakui oleh H. Muhammad Said dalam bukunya “Aceh Sepanjang Abad”, (1981). Ia menekankan bahwa penduduk asli Aceh Besar adalah keturunan mirip Batak. Namun tidak dijelaskan keturunan dari batak mana penduduk asli tersebut. Sementara itu, H. M. Zainuddin dalam bukunya “Tarikh Aceh dan Nusantara” (1961) dikatakan bahwa di lembah Aceh Besar disamping Kerajaan Islam ada kerajaan Karo. Selanjunya disebutkan bahwa penduduk asli atau bumi putera dari Ke-20 Mukim bercampur dengan suku Karo yang dalam bahasa Aceh disebut Karee. Brahma Putra, dalam bukunya “Karo Sepanjang Zaman” mengatakan bahwa raja terakhir suku Karo di Aceh Besar adalah Manang Ginting Suka (Prinst, 2004).

Kelompok karo di Aceh kemudian berubah nama menjadi “Kaum Lhee Reutoih” atau kaum tiga ratus. Penamaan demikian terkait dengan peristiwa perselisihan antara suku Karo dengan suku Hindu di sana yang disepakati diselesaikan dengan perang tanding. Sebanyak tiga ratus (300) orang suku Karo akan berkelahi dengan empat ratus (400) orang suku Hindu di suatu lapangan terbuka. Perang tanding ini dapat didamaikan dan sejak saat itu suku Karo disebut sebagai kaum tiga ratus dan kaum Hindu disebut kaum empat ratus. Dikemudian hari terjadi pencampuran antar suku Karo dengan suku Hindu dan mereka disebut sebagai kaum Jasandang. Golongan lainnya adalah Kaum Imam Pewet dan Kaum Tok Batee yang merupakan campuran suku pendatang, seperti: Kaum Hindu, Arab, Persia, dan lainnya (Prinst, 2004).

2.4. Masyarakat Karo

Menurut Pertampilan (2010) Suku Karo memilliki sistem kemasyarakatan atau adat yang dikenal dengan marga silima, tutur siwaluh, dan rakut sitelu. Marga atau dalam bahasa


(27)

Karo disebut merga tersebut untuk anak laki-laki, sedangkan untuk perempuan disebut beru. Marga atau beru ini disandang di belakang nama seseorang. Merga dalam masyarakat Karo terdiri dari lima kelompok, kelima marga tersebut adalah: Karo-karo, Sembiring, Tarigan, Ginting, Perangin-angin.

Masyarakat Karo menggunakan berbagai jenis tumbuhan yang dimanfaatkan dalam kehidupan sehari-hari, baik sebagai bahan pangan, ramuan obat, bahan industri dan sudah lama tumbuhan digunakan dalam berbagai upacara adat kebudayaan. Tumbuhan ini merupakan tumbuhan liar yang banyak tumbuh di perkebunan, ladang, tepi jalan, maupun kebun (Barus, 2010).

2.5. Tanaman Obat

Studi tanaman obat merupakan ilmu yang kompleks, dan dalam pelaksanaanya memerlukan pendekatan yang terpadu dari beberapa disiplin ilmu antara lain Taksonomi, Ekologi, Geografi tumbuhan, Pertanian, Sejarah, dan antropologi (Tamin & Arbain, 1995). Melonjaknya harga obat sintetis dan efek sampingnya bagi kesehatan meningkatkan kembali penggunaan obat tradisional oleh masyarakat dengan memanfaatkan sumber daya alam yang ada di sekitar. Sebagai langkah awal yang sangat membantu untuk mengetahui suatu tumbuhan berkhasiat obat adalah dari pengetahuan masyarakat tradisional secara turun – menurun. Pada era milenium ini, kecendrungan gaya hidup masyarakat dunia adalah back to nature. Hal ini mengakibatkan penggunaan metode tradisional tidak akan ketinggalan zaman(Dianawati, 2001).

Di Indonesia masih banyak masyarakat yang memanfaatkan tumbuhan dalam kehidupan sehari-hari terutama yang bermukim di sekitar hutan. Indonesia seperti daerah Asia tenggara lainnya memiliki potensi yang tinggi dalam penggunaan tumbuhan sebagai obat-obatan secara tradisional. Penggunaan tumbuhan sebagai obat tradisional juga semakin banyak diminati oleh masyarakat karena telah terbukti bahwa obat yang berasal dari tumbuhan lebih menyehatkan dan tanpa menimbulkan adanya efek samping jika dibandingkan dengan obat-obatan yang berasal dari bahan kimia. Namun, yang menjadi permasalahan bagi peminat obat tradisional adalah kurangnya pengetahuan dan informasi memadai mengenai berbagai jenis tumbuh-tumbuhan yang biasa digunakan sebagai ramuan obat-obatan tradisional dan bagaimana pemanfaatannya (Sukmono, 2009).


(28)

Ramuan tradisional adalah media pengobatan alamiah dengan memakai tumbuhan sebagai bahan dasarnya. Media ini mungkin merupakan media pengobatan tertua. Sampai saat ini ilmu pengobatan ini masih mengacu pada tradisi kuno. Itulah sebabnya obat-obatan atau ramuan dari tumbuh-tumbuhan dan tanaman di sebut obat tradisional, karena ramuan tradisional tersebut di buat dari jenis tumbuhan dan tanaman yang di yakini dapat menyembuhkan atau mengobati suatu penyakit (Dianawati, 2001)

Menurut Tarigan (1990) masyarakat Karo sejak dulu telah mengenal obat-obat tradisional yang beragam, ini menunjukkan bahwa masyarakat Karo mengenal beberapa jenis penyakit dan juga cara-cara mengobatinya. Sesuai dengan jenis kelamin anggota masyarakat dan juga tingkatan usia, maka obat-obat ini dapat dibagi atas:

1. Tambar danak-danak (obat untuk anak-anak) 2. Tambar pernanden (obat kaum ibu)

3. Tambar perbapan (obat kaum bapak) 4. tambar sinterem (obat orang banyak).

Menurut Kumala (2006) Penggunaan obat tradisional secara umum dinilai lebih aman dari pada penggunaan obat modern. Hal ini disebabkan karena obat tradisional memiliki efek samping yang relatif lebih sedikit daripada obat modern.

2.7. Ketepatan Penggunaan Obat Tradisional

Menurut Sukmono (2009) obat tradisional adalah bahan atau ramuan berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, bahan sediaan, sarian (galenik), atau campuran dari bahan-bahan tersebut yang secara turun-menurun telah di gunakan untuk pengobatan. Obat tradisional dari bahan tumbuhan menggunakan bagian-bagian tumbuhan seperti akar, rimpang, batang, buah, daun, dan bunga. Penelitian yang telah di lakukan terhadap tanaman obat sangat membantu dalam penggunaan obat tradisional. Penelitian ditunjang dengan pengalaman empiris semakin memberikan keyakinan akan khasiat dan keamanan obat tradisional.

Efek samping obat tradisional relatif kecil jika di gunakan secara tepat. Menurut Kumala (2006), Sukmono (2009), Ilyas (2010) ketepatan penggunaan obat tradisional meliputi beberapa hal yaitu:

a. Kebenaran Bahan

Tanaman obat di Indonesia terdiri dari beragam spesies yang kadang kala sulit untuk di bedakan satu dengan yang lain. Kebenaran bahan menentukan tercapai atau tidaknya efek


(29)

terapi yang diinginkan. Sebagai contoh lempuyung dipasaran ada beberapa macam yang agak sulit untuk di bedakan satu dengan yang lain. Lempuyung emprit (Zingeber amaricans) memiliki bentuk yang relatif lebih kecil, bewarna kuning dengan rasa yang pahit. Lemuyung emprit dan lempuyung gajah (Zingiber zerumbet) yang memiliki bentuk lebih besar dan berwarna kuning, berkhasiat sebagai penambah nafsu makan. Jenis yang ketiga adalah lempuyang wangi (Zingiber aromaticum) yang memiliki warna agak putih dan berbau harum. Tidak seperti kedua jenis lempuyang sebelumnya, jenis ini memiliki khasiat sebagai pelangsing. Contoh yang lain daun tapak dara yang mengandung alkaloid. Daun ini tidak hanya bermanfaat untuk pengobatan diabetes, tetapi juga dapat menyebabkan penurunan leukosit ( sel-sel darah putih) hingga 30 %. Daun tapak dara mengandung vincristin dan vinblastin yang menyebabkan penderitanya menjadi rentan terhadap penyakit infeksi, sehingga leukosit mengalami penurunan. Sementara itu, karena pengobatan diabetes membutuhkan waktu yang lama sehingga daun tapak dara menjadi tidak tepat digunakan sebagai anti diabetes dan lebih tepat digunakan untuk pengobatan leukimia.

b. Ketepatan Dosis

Tanaman obat, seperti halnya obat buatan pabrik memang tak bisa di konsumsi sembarangan. Tetap ada dosis yang harus di patuhi, seperti halnya dokter. Buah mahkota dewa misalnya, hanya bisa di konsumsi dengan perbandingan 1 buah dalam tiga gelas air. Sedangkan daun min baru berkhasiat jika di rebus sebanyak 7 lembar dalam takaran air tertentu. Batu ginjal dapat diobati dengan keji beling (Strobilis cripsus), tetapi jika melebihi 2 gram serbuk (sekali minum) dapat menyebakan iritasi saluran kemih. Gambir kurang dari ibu jari sehingga dapat mengurangi diare, kalau pemakaiannya lebih maka menyulitkan si pemakai buang air besar selama berhari-hari. Sedangkan penggunaan minyak jarak (Oleum recini ) untuk cuci perut yang tidak terukur akan menyebabkan iritasi saluran pencernaan. Hal ini menepis anggapan bahwa obat tradisisonal tidak memiliki efek samping. Anggapan bila obat tradisional aman di konsumsi walapun gejala sakit sudah hilang adalah keliru

Efek samping tanaman obat dapat di gambarkan dalam tanaman dringo (Acorus calamus), yang biasa digunakan untuk mengobati stres. Tumbuhan ini memiliki kandungan senyawa bioaktif asaron. Senyawa ini punya struktur kimia mirip gologan amfetamin dan ekstasi. Dalam dosis rendah, dringo memang dapat memberikan efek relaksasi pada otot dan menimbulkan efek sedatif (penenang) terhadap sistem saraf pusat. Namun, jika di gunakan dalam dosis tinggi malah memberikan efek sebaliknya, yakni meningkatkan aktivitas mental (psikoaktif). Asaron dringo juga merupakan senyawa alami yang potensial sebagai pemicu


(30)

timbulnya kanker, apalagi jika tanaman ini di gunakan dalam waktu lama. Di samping itu, dringo bisa menyebabkan penumpukan cairan di perut, mengakibatkan perubahan aktivitas pada jantung dan hati, serta dapat menimbulkan efek berbahaya pada usus.Takaran yang tepat dalam penggunaan obat tradisional memang belum banyak didukung oleh data hasil penelitian. Peracikan secara tradisional menggunakan takaran sejumput, segengam ataupun seruas yang sulit di tentukan ketepatannya. Penggunaan takaran yang lebih pasti dalam satuan gram dapat mengurangi kemungkinan terjadinya efek yang tidak di harapkan karena batas antara racun dan obat dalam bahan tradisisonal amatlah tipis. Dosis yang tepat membuat tanaman obat bisa menjadi obat, sedangkan jika berlebih bisa menjadi racun.

c. Ketepatan Waktu Penggunaan

Kunyit diketahui bermanfaat untuk mengurangi nyeri haid dan sudah turun temurun di konsumsi dalam ramuan jamu kunir asam yang sangat baik di konsumsi saat datang bulan. Akan tetapi jika diminum pada awal masa kehamilan beresiko menyebabkan keguguran. Jika sejak gadis penggunaan jamu sari rapet sampai berumah tangga bisa menyebabkan kesulitan memperoleh keturunan bagi wanita yang kurang subur karena adanya kemungkinan dapat memperkecil peranakan. Hal ini menunjukkan bahwa ketepatan waktu penggunaan obat tradisional menentukan tercapai atau tidaknya efek yang di harapkan.

d. Ketepatan Cara Penggunaan

Suatu tanaman obat dapat memiliki banyak zat aktif yang berkhasiat di dalamnya. Masing-masing zat berkhasiat kemungkinan membutuhkan perlakuan yang berbeda dalam penggunaannya. Sebagai contoh adalah daun kecubung jika di hisap seperti rokok bersifat bronkodilator dan digunakan sebagai obat asma. Tetapi jika diseduh dan di minum dapat menyebabkan keracunan/mabuk. Selain itu, tanaman obat dan obat tradisional relatif mudah untuk di dapatkan karena tidak memerlukan resep dokter, hal ini mendorong terjadinya penyalahgunaan tanaman obat dan obat tradisional tersebut. Contohnya, jamu pelancar datang bulan yang sering disalah gunakan untuk menggugurkan kandungan. Resiko yang terjadi adalah bayi terlahir cacat, ibu menjadi infertil, terjadi infeksi pada rahim, atau bahkan kematian.

e. Ketepatan Pemilihan Bahan

Keracunan sering terjadi antara tanaman ngokilo (Gynura segetum Luor) yang dianggap sama dengan keji beling, daun sambung nyawa (Gymnurae procumbensis) dengan


(31)

daun dewa (Gynura procumbens (Lour) Merr). Akhir-akhir ini terhadap tanaman kunir putih, dimana 3 jenis tanaman yang berbeda (Curcuma mangga, Curcuma zedoaria, dan kaempferia rotunda) sering kali sama-sama disebut sebagai “ kunir putih “ yang sempat mencuat kepermukaan karena dinyatakan bisa digunakan untuk pengobatan penyakit kanker.

f. Ketepatan Telaah Informasi

Perkembangan teknologi informasi saat ini mendorong derasnya arus informasi yang mudah untuk diakses. Informasi yang tidak didukung oleh pengetahuan dasar yang memadai dan telaah atau kajian yang cukup sering kali mendatangkan hal yang menyesatkan. Katidaktahuan bisa menyebabkan obat tradisional berbalik menjadi bahan membahayakan. Contohnya, informasi di media massa menyebutkan bahwa biji jarak (Ricinus communis L) mengandung risin yang jika dimodifikasi dapat digunakan sebagai antikanker. Risin sendiri bersifat toksik / racun sehingga jika biji jarak dikonsumsi secara langsung dapat menyebabkan keracunan dan diare. Contoh lainnya adalah tentang pare, pare yang sering digunakan sebagai lalapan ternyata mengandung khasiat lebih bagi kesehatan. Pare alias paria (Momordica charantia) kaya mineral nabati kalsium dan fosfor, juga karotenoid. digunakan sebagai lalapan ternyata bermanfaat bagi kesehatan. Pare juga mengandung alpha – momorcharin, beta-momorchorin, dan MAP30 (momordica antiviral protein 30) yang bermanfaat sebagai anti HIV/AIDS. Namun, biji pare juga mengandung triter penoid yang beraktivitas sebagai antispermatozoa, sehingga penggunaan biji pare secara tradisional dengan maksud untuk mencegah AIDS dapat mengakibatkan infertilitas pada pria.

Dalam jangka panjang, konsumsi biji pare dapat mematikan sperma, memicu ipotensi, merusak buah zakar dan hormon pria bahkan berpotensi merusak liver baik dalam bentuk jus, lalap maupun sayur segar. Bagi wanita hamil baiknya konsumsi pare dibatasi karena percobaan pada tikus menunjukkan pemberian jus pare menimbulkan keguguran.

g. Tanpa Penyalahgunaan

Tanaman obat maupun obat tradisional relatif mudah untuk didapatkan karena tidak memerlukan resep dokter, hal ini mendorong terjadinya penyalahgunaan manfaat dari tanaman obat maupun obat tradisional tersebut, contoh:

1. Jamu peluntur untuk terlambat bulan sering disalah gunakan untuk pengguguran kandungan. Resiko yang terjadi adalah bayi lahir cacat, ibu menjadi infertil, terjadi infeksi bahkan kematian


(32)

3 . Penambahan bahan kimia obat.

Bahan-bahan kimia obat yang biasa dicampurkan itu adalah parasetamol, coffein, piroksikam, theophylin, deksbutason, CTM, serta bahan kimia penahan rasa sakit seperti antalgin dan fenilbutazon. Bahan-bahan kimia obat tersebut dapat menimbulkan efek negatif di dalam tubuh pemakainya jika digunakan dalam jumlah banyak. Bahan kimia seperti antalgin misalnya, dapat mengakibatkan kerusakan pada organ pencernaan, berupa penipisan dinding usus hingga menyebabkan pendarahan. Fenilbutazon dapat menyebabkan pemakainya menjadi gemuk pada bagian pipi, namun hanya berisi cairan yang di kenal dengan istilah moonface, dan jika digunakan dalam waktu yang lama dapat menyebabkan osteoporosis.

h. Ketepatan pemilihan Obat Untuk Indikasi Tertentu

Dalam suatu jenis tanaman dapat ditemukan beberpa zat aktif yang berkhasiat dalam terapi. Resiko antara keberhasilan terapi dan efek samping yang timbul harus menjadi pertimbangan dalam pemilihan jenis tanaman obat yang akan digunakan dalam terapi. Contoh, daun tapak dara mengandung alkaloid yang bermanfaat untuk pengobatan diabetes. Akan tetapi daun tapak dara juga mengandung vincristin dan vinblastin yang dapat menyebabkan penurunan leukosit (sel-sel darah putih) hingga ± 30 %, akibatnya penderita menjadi rentan terhadap penyakit infeksi. Padahal pengobatan diabetes membutuhkan waktu yang lama sehingga daun tapak dara tidak tepat digunakan sebagai anti diabetes melainkan lebih tepat digunakan untuk pengobatan leukimia.

Efek samping obat tradisional relatif kecil jika digunakan secara tepat, yang meliputi kebenaran bahan, ketepatan dosis, ketepatan waktu penggunaan, ketepatan cara penggunaan, ketepatan telaah informasi, dan tanpa penyalahgunaan obat tradisinal itu sendiri. Penelitian yang telah dilakukan terhadap tanaman obat sangat membantu dalam pemilihan bahan baku obat tradisional. Pengalaman empiris ditunjang dengan penelitian semakin memberikan keyakinan akan khasiat dan keamanan obat tradisional.


(33)

METODE PENELITIAN

3.1. Deskripsi Area

Penelitian dilakukan di Kecamatan Tigabinanga, kabupaten Karo. Kecamatan Tigabinanga terdiri dari 18 desa dan 1 kelurahan mayoritas penduduk suku Karo

( Buku Statistik tahunan Kecamatan Tigabinanga, 2010). Tabel 3.1. Deskripsi area Tigabinanga

No Uraian Keterangan

1 Luas wilayah 160,38 km2

2 Ketinggian wilayah dari permukaan laut 600-700 m 3 Kepadatan penduduk 108 / km 4

2

Jumlah penduduk 19889 jiwa

5 Kelurahan 1 kelurahan

6 Desa 18 desa

7 Mata pencaharian utama Bertani Sumber: Buku Statistik Kecamatan Tigabinannga, 2010

Kecamatan Tigabinanga yang dikenal dengan istilah Singalor Lau (daerah yang dilalui air sungai) adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Karo, Sumatera Utara. Wilayahnya dikelilingi oleh bukit barisan, suhu udara 18 - 22 o

Kecamatan ini memiliki 18 desa dengan 1 kelurahan yang terdiri dari Desa Lau Kapur, Desa Kem kem, Desa Gunung, Desa Simpang Pergendangen, Desa Pergendangen, Kelurahan Tigabinanga, Desa Kuta Galoh, Desa Kuta Raya, Desa Bunga Baru, Desa Pertumbuken, Desa Kuala, Desa Kuta Buara, Desa Simolap, Desa Kuta Bangun, Desa Suka Julu, Desa Kutambaru Punti Batu Mamak, Desa Kuta Gerat, Desa Limang, Desa Perbesi.

C daerah tersebut berhawa sejuk, mata pencaharian penduduknya pada umumnya adalah petani. Kecamatan Tigabinanga di kenal sebagai daerah penghasil jagung terbesar dan terbaik di Kabupaten Karo sehingga Tigabinanga dijuluki sebagai kota jagung. Kantor ibukota kecamatan terletak di Kabanjahe dengan jarak ± 37 km Kecamatan Tigabinanga merupakan kecamatan yang berbatasan dengan propinsi Aceh Tenggara (Sitepu, 2010).

Batas-batas kecamatan Tigabinanga :

• Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Kutabuluh • Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Juhar


(34)

• Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Mardinding • Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Tigabinanga

3.2.Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Januari – Mei 2011. Lokasi penelitian terletak di Kecamatan Tigabinanga Kabupaten Karo Propinsi Sumatera Utara, dengan penduduk mayoritas adalah Etnik Karo.

3.3. Alat dan Bahan

Alat – alat yang digunakan dalam penelitian terbagi dalam 2 bagian yaitu peralatan untuk wawancara dan peralatan untuk pengumpulan data taksonomi. Peralatan untuk wawancara antara lain alat perekam suara, alat tulis dan kamera digital. Alat-alat untuk pengumpulan data taksonomi antara lain kantong plastik berbagai ukuran, penggaris, parang, gunting stek, buku-buku Identifikasi tumbuhan obat, buku lapangan, pensil. Bahan-bahan yang digunakan antara lain daftar kuesioner.

3.4. Survey Etnobotani

Secara garis besar metode yang dilakukan pada penelitian ini merupakan gabungan metode penelitian kuantitatif dan penelitian kualitatif. Metode penelitian kuantitatif dilakukan dengan metode survey melalui cara menyebar kuisioner (angket) yang telah diuji validitas dan reliabilitas dan dilanjutkan dengan penelitian kualitatif. Pada tahap ini juga dilakukan wawancara terbuka. Teknik pemilihan informan yang digunakan dalam observasi awal ini adalah

metode purposive sampling teknik pemilihan informan dengan pertimbangan tertentu, dalam hal ini orang yang dianggap paling tahu tentang tumbuhan obat (Sugiyono, 2008). Tokoh yang dipilih melalui metode ini untuk diwawancarai adalah tabib dan dukun beranak. Dari observasi awal ini diketahui data-data calon informan untuk tahap selanjutnya yang layak diwawancarai berdasarkan rekomendasi Thabib dan dukun beranak.

Setelah observasi awal dilakukan penelitian kuantitatif yaitu pengumpulan data tentang tumbuhan obat kepada penduduk dengan cara wawancara semi terstruktur. Pemilihan informan pada tahap wawancara ini dilakukan dengan metode snowball sampling yaitu teknik pemilihan informan berdasarkan rekomendasi informan kunci dalam hal ini thabib dan dukun beranak. Informasi tentang calon informan berikutnya didapat dari informan sebelumnya,


(35)

(Subagyo,2008). Sesudah pengumpulan data, dilakukan pengumpulan spesimen tumbuhan yang diambil langsung di lokasi tumbuhnya dengan dibantu oleh seorang informan kunci. Spesimen dikoleksi, difoto dan diidentifikasi. Analisis di lakukan dalam dua bentuk pendekatan yaitu pendekatan kuantitatif dan pendekatan kualitatif (Rugayah, 2004).

3.5. Pengumpulan data

Untuk mengetahui data tentang pemanfaatan tumbuhan sebagai obat tradisional di lokasi penelitian dilakukan dengan cara :

1. Mencari data tentang informan kunci dan jumlah masyarakat karo sebagai langkah pertama dalam pengambilan sampel di Kecamatan Tigabinanga, Kabupaten Karo.

2. Wawancara dan kuesioner (Angket). Wawancara ditujukan kepada penduduk setempat antara lain: Thabib,dukun, masyarakat/keluarga yang mengetahui dan menggunakan tumbuhan untuk berbagai kebutuhan sehari-hari dan penjaja ramuan tumbuhan obat di pasar-pasar tradisional di lokasi penelitian, dan sampel sebagai responden dari jumlah populasi masyarakat Karo dengan taraf kesalahan 5%, dari setiap desa di Kecamatan Tigabinanga. Wawancara dilakukan pada masyarakat dengan menggunakan kuesioner yang telah diuji validitas dan realibilitas. Wawancara pertama untuk mendapatkan data tumbuhan sebagai tumbuhan obat tradisional dan kegunaannya berasal dari infornan kunci, selanjutnya wawancara dilakukan terhadap masyarakat Karo yang dibagi kedalam 3 kelompok umur dengan pembagian sebagai berikut, kelompok A dengan rentang umur 15 sampai 29 tahun, kelompok B dengan rentang umur 30-49 tahun, kelompok C dengan rentang umur > 50 tahun, hal ini dilakukan untuk menggali pengetahuan mereka tentang obat-obatan tradisional.

3. Observasi, yaitu dengan mengadakan pengamatan dari dekat, mencatat dan mengambil dokumen berupa foto dari setiap tumbuhan dicatat ciri-cirinya, nama lokalnya, bagian yang digunakan, cara penggunaan, kegunaan dan tempat tumbuhnya. Jenis-jenis tumbuhan yang belum diketahui nama ilmiahnya, diambil sampel, dan dibuat herbarium untuk diidentifikasi di Laboratorium Taksonomi FMIPA USU.

3.6. Analisis Data

A. Pendekatan kuantitatif

Data yang dikumpulkan dianalisis untuk mendapatkan nilai guna pemanfaatan setiap jenis tumbuhan (Uvis) dan nilai guna relatif setiap nara sumber (RUV) (Rugayah, 2004), Degradasi pengetahuan (D) yang terjadi (Maturbongs, 2001), suatu kelompok masyarakat


(36)

atau etnik (Cotton, 1996) serta indeks Kepentingan Budaya atau indekx of Cultural Significance (ICS) (Rugayah, 2004) dengan analisis data sebagai berikut :

a. Nilai Guna

s is s

i UV UV =

Dimana : UVs = jumlah nilai total dari suatu jenis UVis= jumlah nilai guna jenis syang diberikan oleh informan i

is = jumlah total informan yang diwawancarai untuk nilai guna jenis s

b. Nilai guna relatif (Relative-Use Value = RUV)

n s is i S UV UV RUV

      =

Dimana: RUVi = nilai guna relatif informan i

is

UV = nilai guna setiap jenis lokal s oleh informan i

s

UV = nilai guna total setiap jenis lokal s dalam penelitian ini

n

S = jumlah jenis lokal menurut informan i, untuk data ini dapat juga didasarkan pada dua atau beberapa informan

c. Index kepentingan budaya (Index Cultural of Significance )

(

)

=

=

n i ni

qxixe

ICS

1

Dimana : untuk penggunaan n, q = nilai kualitas, i = nilai intensitas, e = nilai ekslusivitas .

Sedangkan mengenai perhitungan nilai dari suatu jenis tumbuhan dihitung parameternya sebagai berikut:


(37)

Nilai q = nilai kualitas (Quality value), dihitung dengan menggunakan cara memberikan skor atau nilai terhadap kualitas dari suatu jenis tumbuhan, sebagai contohnya : 5 = makanan pokok, 4 = makanan sekunder/tambahan + material primer, 3 = bahan makanan lainnya + material sekunder + tumbuhan obat-obatan, 2 = ritual, mitologi, rekreasi, etc; 1 = more recognition.

Nilai i = nilai intensitas (intensity value), yaitu menggambarkan intensitas pemanfaatan dari suatu jenis berguna dengan memberikan nilai, misalnya: nilai 5 = untuk sangat tinggi intensitasnya, nilai 4 = secara moderat tinggi intensitasnya, nilai 3 = mediaum intensitas penggunaannya, nilai 2 = rendah intensitas penggunaannya, dan nilai 1 = intensitas penggunaannya sangat jarang (minimal)

Nilai e = nilai ekslusivitas (exclusivity value), sebagai contoh: nilai 2 = paling disukai dan merupakan pilihan utama dan tidak ada duanya, nilai 1 = terdapat beberapa jenis yang ada kemungkinan menjadi pilihan, dan nilai 0,2 = sumber sekunder atau merupakan bahan yang sifatnya sekunder (Cotton, 1996).

d. Penghitungan Degradasi Pengetahuan (D) % 100 1 x C A C D

∑ ∑

− = % 100 2 x C B C D

∑ ∑

− = % 100 3 x C A B D

∑ ∑

− =

Dimana : D (1,2,3,) = Degradasi Pengetahuan

∑ A = Jumlah manfaat tumbuhan yang diketahui oleh kelompok umur A (15-29 tahun)

∑ B = Jumlah manfaat tumbuhan yang diketahui oleh kelompok umur B (30-49 tahun)

∑ C = Jumlah manfaat tumbuhan yang diketahui oleh kelompok umur C (> 50 tahun )

B. Pendekatan Kualitatif Koleksi spesimen herbarium


(38)

Koleksi dan identifikasi spesimen jenis tumbuhan berguna dalam penelitian etnobotani. Koleksi spesimen tidak hanya berupa voucer spesimen herbarium yang digunakan untuk identifikasi, tetapi juga koleksi satu bagian tumbuhan (daun, bunga, buah, akar) atau bagian secara keseluruhan dari tumbuhan untuk keperluan analisis taksonomi. Pengambilan koleksi herbarium berupa voucer spesimen sangat penting karena merupakan catatan permanen dari suatu jenis tumbuhan berguna dan merupakan koleksi data etnobotani.

1. Pemanfaatan spesimen herbarium.

Secara umum koleksi herbarium dibuat berganda dan disimpan diberbagai herbarium di seluruh dunia. Walaupun pembuatan voucher spesimen herbarium berperan penting dalam penelitian etnobotani dan juga penting untuk menjaga kemungkinan tidak dapat melakukan identifikasi di lapangan, koleksi herbarium juga penting artinya untuk identifikasi in-situ bila diinginkan. Jenis-jenis tumbuhan yang belum diketahui nama ilmiahnya, diambil contohnya, dibuat herbariumnya untuk diidentifikasi di laboratorium MIPA USU. Identifikasi jenis – jenis tumbuhan dimulai setelah spesimen kering dengan menggunakan buku acuan sebagai berikut:

a. Flora of Java (Backer & Van der Brink, 1963) b. Flora malesiana (Steenis, 1967)

c. Collection of Illustrated Tropical Plant ( Watanabe & Corner, 1969) d. Tumbuhan Berguna Indonesia (Heyne, 1987)

e. Tumbuhan monokotil (Sudarnadi, 1996)

2. Studi taksonomi: identifikasi tumbuhan

Pada proses identifikasi awal di lapangan di dasarkan pada penampakan morfologi. Bila memungkinkan diidentifikasi pada tingkat famili dan dilanjutkan ke tingkat genus dan nama jenisnya. Bila dalam pengambilan contoh herbarium tidak diketahui nama ilmiahnya atau masih ragu-ragu, maka diperlukan pembuatan spesimen herbarium untuk proses identifikasi di laboratorium. Identifikasi suatu jenis tumbuhan, setiap bagian tumbuhan akan memberikan suatu karakteristik yang menjadi dasar pengidentifikasian termasuk bentuk, bentuk pertumbuhan (growt habit), ukurannya, bentuk daun, posisi daun, sistem perakaran, dan lain-lain. Termasuk struktur reproduksi seperti bunga, biji, buah, dan bagian – bagian lainnya yang dapat membantu identifikasi suatu jenis tumbuhan.


(39)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Nilai Guna dan Nilai Guna Relatif Tanaman Obat

Hasil penelitian mengenai nilai guna, nilai guna relatif dan Index of Cultural Significance tumbuhan obat pada Masyarakat Karo di Kecamatan Tigabinanga dapat dilihat pada Tabel 4.1.1

Tabel 4.1.1. Nilai Guna, Nilai Guna Relatif dan Index of Cultural Significance Tanaman Obat.

No Nama Tumbuhan Nama Ilmiah Total UV Nilai guna UV is RUV s ICS i

1 Asam combrang Atlingera elatior 1525 4,485 4,53 32 2 Alpukat Persea gratissima 635 1,867 4,54 16

3 Aren Arenga pinata 1951 5,378 4,53 13

4 Asam jawa Tamarindus indica 1092 3,211 4,53 14 5 Bawang merah Allium cepa 941 2,767 4,53 17 6 Bawang putih Allium sativum 2341 6,885 4,53 84 7 Belimbing waluh Averrhoa blimbi 966 2,841 4,53 11

8 Padi Oryza sativa 2969 8,732 4,53 92

9 Bayam duri Amaranthus spinosus 844 2,482 4,53 9 10 Bengle Zingiber purpureum 1329 3,908 4,53 12 11 Bungapukulempat Mirabilis jalapa 933 2,744 4,53 5 12 Babadotan Ageratum conyzoides 1156 3,40 4,53 15 13 Cengkeh Eugenia aromatica 956 2,811 4,53 18 14 Cabe merah Capsicum annum 735 2,161 4,53 6 15 Ceplukan Physalis angulata 1039 3,055 4,53 12 16 Durian Durio zibethinus 562 1,652 4,54 14 17 Fanili Vanilla planifolia 948 2,788 4,53 15 18 Gandarusa Justicia gendarussa 1213 3,567 4,533 47 19 Gambir Uncaria gambir 1120 3,294 4,533 39 20 Gundur Benincasa hispida 461 1,355 4,533 27 21 Inai Lawsonia inermis 751 2,208 4,533 12 22 Jahe Zingiber officinale 2333 6,861 4,533 56 23 Jahe merah Zingiber officinale

Roxb. Var Rubra

3567 10,49 4,533 117 24 Jeruk nipis Citrus aurantifolia 1488 4,376 4,533 27 25 Jambu biji Psidium guajava 1029 3,026 4,534 30 26 Jerango Acorus calamus 980 2,882 4,533 9 27 Jarak pagar Ricinus comunis 1048 3,082 4,533 32 28 Jeruk purut Citrus histryx 1231 3,620 4,533 27 29 Kecubung Datura metel 1040 3,058 4,533 5 30 Kejibeling Strobilalanthes crispus 842 2,476 4,533 15 31 Kacar air Impatiens balsamina 1043 3,067 4,533 18 32 Kelapa Cocos nucifera 793 2,332 4,533 59

Bersambung Sambungan Tabel 4.1.1


(40)

33 Kembang sepatu Hibiscus rosa-sinensis 894 2,629 4,533 21 34 Kitolod Isotoma longiflora 848 2,629 4,543 15 35 Kemiri Aleurites moluccana 1040 3,058 4,533 20 36 Kencur Kaemfperia galanga 2002 5,888 4,533 114 37 Kunyit Curcuma domestica 1753 5,155 4,543 79 38 Mangkokan Nothopanax scutellarium 2378 6,994 4,533 84 39 Kayu manis Cinnamomum zylanicum 874 2,567 4,533 23 40 Kacang panjang Vigna sinensis 886 2,605 4,533 12 41 Kumis kucing Orthosiphon stamineus 755 2,220 4,533 14 42 Kelengkit taiwan Malphigia coccigera 554 1,626 4,543 15 43 Kemangi Ocimum formacitratum 589 1,732 4,533 17 44 Lengkuas Alpinia galanga 380 1,121 4,543 12 45 Labu kuning Cucurbita moschata 639 1,879 4,533 21 46 Labu siam Sechium edule 471 1,385 4,534 26 47 Mahkota dewa Phaleria macrocarpha 438 1,285 4,483 35 48 Mawar Rosa sinensis 368 1.058 4,536 15 49 Meniran Phyllanthus urinaria 1013 2,979 4,534 11 50 Merica Piper nigrum 1361 4,002 4,534 94 51 Mengkudu Morinda citrifolia 876 2,576 4,533 78 52 Nenas Ananas comosus 203 0,597 4,533 3 53 Pepaya Carica papaya 935 2,750 4,533 18 54 Pisang Musa paradisiaca 996 2,841 4,533 12 55 Pala Myristica fragrens 98s1 2,885 4,533 24 56 Pegagan Centella asiatica 1076 3,164 4,534 9 57 Patikan kebo Euphorbia hirta 926 2,723 4,534 12 58 Pinang Areca catechu 1415 4,161 4,533 38 59 Randu Ceiba pentandra 661 1,944 4,533 16 60 Seledri Apium graveolus 698 2,052 4,535 17 61 Sirsak Annona muricata 914 2,688 4,533 29 62 Salam Eugenia polyantha 767 2,255 4,535 24 63 Serei Andropogon nardus 367 1,079 4,535 6

64 Sirih Piper betle 2038 5,994 4,533 101

65 Sambiroto Andrographis paniculata 765 2,250 4.533 17 66 Sukun Manilkara zapota 468 1,376 4,534 11 67 Sawo Arthocarpus communis 342 1,005 4.537 30 68 Sintrong Crassocephalum

crepidiodes

844 2,482 4,533 18 69 Sisik naga Drymoglossum

piloselloides

987 2,902 4,534 89 70 Temulawak Curcuma zedoaria 1761 5,179 4,533 27 71 Temu-kunci Kaempferia pandurata 1879 5,526 4,533 33 72 Tembakau Nikotiana tabacum 611 1,797 4,533 15 73 Tebu Shaccarum oficinarum 801 2,355 4,535 21 74 Ubi kayu Manihot esculenta 307 1,132 3,603 6 75 Daun terbangun Coleus amboinicus 1723 5,067 4,533 38

Hasil penelitian tanaman obat yang telah dilakukan pada masyarakat Karo di Kecamatan Tigabinanga diperoleh nilai guna yang tertinggi dimiliki oleh tanaman Jahe merah (Zingiber officinale) dengan nilai 10,49 sedangkan nilai guna terendah dimiliki oleh tanaman

Bersambung Sambungan Tabel 4.1.1


(41)

Nenas(Ananas comosus) dengan nilai 0,59. Nilai guna relatif yang tertinggi dimiliki oleh tanaman Aren (Arenga pinata) dengan nilai 4,83 sedangkan nilai guna relatif yang terendah dimiliki oleh tanaman ubi kayu (Manihot esculenta) dengan nilai 3,60.

Berdasarkan data yang telah diperoleh dapat diketahui bahwa tanaman jahe merah (Zingiber officinale) merupakan tanaman yang paling banyak dimanfaatkan untuk mengobati berbagai penyakit oleh masyarakat Karo yang ada di Kecamatan Tigabinanga. Tanaman jahe merah bukan hanya digunakan oleh para tabib dalam mengobati berbagai penyakit pada masyarakat Karo yang ada di Kecamatan Tigabinanga akan tetapi dalam keseharian masyarakat juga telah lama mengenal tanaman jahe merah dan manfaatnya bagi kesehatan tubuh. Tanaman jahe merah sering digunakan masyarakat untuk menyembuhkan berbagai jenis penyakit misalnya batuk, demam, penyakit perut, patah tulang, infeksi, penyakit kulit, terkena bisa hewan buas dan lain-lain. Masyarakat menggunakan jahe merah sebagai bahan dasar untuk membuat param, sembur dan juga minyak kusuk. Untuk membuat param, sembur dan minyak kusuk, jahe merah merupakan bahan yang harus ditambahkan kedalam ramuan-ramuan lainnya, karena menurut masyarakat jahe merah ini berguna untuk menghangatkan badan dan juga untuk memperlancar buang angin, dan meringankan letih-letih dibadan.

Jahe merah memiliki kegunaan yang paling banyak jika dibandingkan dengan jenis jahe yang lain. Jahe ini merupakan bahan penting dalam industri jamu tradisional dan umumnya dipasarkan dalam bentuk segar dan kering (Hapsoh et al., 2008). Jahe merah mengandung minyak atsiri dan oleoresin yang cukup tinggi pada rimpangnya, memiliki aroma yang sangat tajam dan rasa yang sangat pedas, berbeda dengan jahe biasa, sehingga banyak digunakan oleh masyarakat untuk menyembuhkan berbagai jenis penyakit (Santhyami, 2008).

Berdasarkan data yang diperoleh nenas (Ananas comosus) merupakan jenis tumbuhan yang memiliki nilai guna yang paling rendah, hal ini disebabkan karena nenas sangat jarang digunakan oleh masyarakat Karo yang ada di Kecamatan Tigabinanga untuk mengobati suatu penyakit, karena menurut pendapat masyarakat nenas hanya dikonsumsi sebagai buah-buahan bukan sebagai bahan untuk mengobati suatu jenis penyakit.

Menurut Hakimal (2010) nenas mengandung enzim bromelin yang merupakan salah satu jenis enzim protease sulfhidril yang mampu menghidrolisis ikatan peptida pada protein atau polipeptida menjadi molekul yang lebih kecil yaitu asam amino. Enzim ini terdapat pada tangkai, kulit, daun, buah maupun batang tanaman nenas. Buah nenas yang masih hijau atau belum matang ternyata mengandung bromelin lebih sedikit dibanding buah nenas segar yang sudah matang. Selain enzim bromelin dalam tanaman ataupun buah nenas terdapat dekstrosa, leavulosa, manit, sakarosa, ergosterol, peroksida, asam sitrat dan gula. Nenas bermanfaat


(42)

untuk mengobati batuk, demam, haid tidak teratur, meningkatkan nafsu makan, menghilangkan mules, obat cacing, radang tenggorokan, sembelit, amandel dan sakit kuning (Wasito, 2011).

Nilai guna relatif yang tertinggi terdapat pada jenis tanaman aren (Arenga pinata). Nilai tersebut mengevaluasi seluruh pengetahuan penggunaan jenis tumbuhan setiap nara sumber dibandingkan dengan nara sumber-nara sumber lainnya (Rugayah, 2004). Masyarakat karo yang ada di Kecamatan Tigabinanga mengatakan bahwa mereka menggunakan nira aren untuk memperlancar air susu ibu (ASI) pada wanita dan juga untuk mengobati penyakit diabetes.Aren termasuk kedalam famili Arecaceae. Tinggi batang aren dapat mencapai 25 m. batang pokoknya kukuh dan pada bagian atas diselimuti oleh serabut berwarna hitam yang dikenal dengan ijuk. Daun majemuk menyirip, helaian daun panjangnya sampai 5 m (Steenis, 1981). Aren mengandung justicin, minyak atsiri, kalium dan alkaloid, gula, dan minyak lemak. Nira atau aren dapat dijadikan obat tradisional misalnya untuk mengobati penyakit sembelit, sariawan, radang paru-paru, pusing, disenteri, haid yang tidak teratur, kepala pusing dan untuk memulihkan keletihan. Akar muda pohon aren bisa digunakan untuk obat kencing batu ginjal, dan akar tuanya untuk obat sakit gigi (Wasito, 2011). Gula aren (palm sugar) juga berkhasiat untuk menghambat penyerapan kolesterol oleh tubuh karena memiliki kandungan kalori dan serat yang tinggi, sehingga baik utuk pencernaan (Iskandar, 2005).

Berdasarkan data yang diperoleh nilai guna relatif yang paling rendah terdapat pada tanaman ubi kayu (Manihot esculanta). Ubi kayu merupakan tanaman perdu tidak bercabang atau bercabang sedikit. Batang dengan tanda berkas daun yang bertonjolan. Umbi akar besar, memanjang, dengan kulit berwarna coklat suram (Steenis, 1981). Sebagian masyarakat menggunakan daun ubi untuk mengobati penyakit kulit (bisul) dan reumatik.

Ubi kayu memiliki kandungan kalori, protein, lemak, hidrat arang, kalsium, fosfor, zat besi, vitamin B dan C dan amilum. Daun mengandung vitamin A, B1, C dan kalsium, kalori, fosfor, protein, lemak, hidrat arang dan zat besi. Selain sebagai makanan tanaman singkong memiliki khasiat sebagai obat, diantaranya obat reumatik, sakit kepala, demam, luka, diare, cacingan, disentri, rabun senja, beri-beri. Efek farmakologis dari singkong adalah sebagai anti oksidan, anti kanker, anti tumor, dan menambah nafsu makan, bagian yang umum digunakan pada tanaman ini adalah daun dan umbi (Agoes, 2010).

4.2.Index of Cultural Significance (ICS)

Sistem pemanfaatan keanekaragaman jenis tumbuhan dapat diketahui dengan menganalisis tingkat kepentingan suatu jenis tumbuhan bagi masyarakat yaitu dengan


(43)

mengukur Indeks of Cultural Significance (ICS). Index of Cultural Significance (ICS) merupakan hasil analisis etnobotani kuantitatif yang menunjukkan nilai kepentingan tiap-tiap jenis tumbuhan berguna yang didasarkan kepada keperluan masyarakat, dimana angka ICS menunjukkan tingkat kepentingan tiap jenis tumbuhan berguna oleh masyarakat.

Dari hasil penelitian pada Tabel 4.1.1 nilai Index Cultural of Significance (ICS) masyarakat Karo di Kecamatan Tigabinanga yang tertinggi dimiliki oleh tanaman jahe merah dengan nilai 117 sedangkan Index Cultural of Significance (ICS) yang terendah adalah tanaman nenas dengan nilai 3.

Berdasarkan data yang diperoleh dapat diketahui bahwa tanaman jahe merah mempunyai nilai kepentingan yang sangat besar pada masyarakat Karo di Kecamatan Tigabinanga karena sangat sering digunakan oleh masyarakat untuk membuat ramuan berbagai jenis obat yang berguna untuk menyembuhkan berbagai jenis penyakit. Dalam keseharian sebagian besar masyarakat untuk meramu suatu jenis obat untuk menyembuhkan suatu penyakit tanaman jahe merah merupakan tanaman yang selalu dibutuhkan terutama penyakit yang masih tergolong ringan dan bahkan beberapa penyakit medispun masyarakat masih memanfaatkan jahe merah dalam penyembuhan.Nenas(Ananas comosus) memiliki nilai ICS yang paling rendah yaitu 3. Berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat setempat nenas merupakan jenis tumbuhan yang paling jarang mereka gunakan untuk menyembuhkan suatu jenis penyakit, karena mereka belum mengetahui manfaat nenas sebagai obat tradisional, sebagian besar masyarakat hanya mengetahui manfaat nenas sebagai bahan pangan.

Untuk membedakan index perbedaan kultural setiap jenis tumbuhan tersusun oleh berbagai pemanfaatan jenis tumbuhan berdasarkan pada nilai kepentingan penggunaan, intensitas dan eksklusivitas (Turner, 1988). Berdasarkan data yang diperoleh nilai kepentingan budaya tertinggi dimiliki oleh jahe merah (bahing) hal ini disebabkan tingginya pengetahuan masyarakat Karo tentang manfaat dari jahe merah (bahing).

Rahayu (2003) suku zingiberaceae khususnya jahe merah sangat banyak digunakan oleh masyarakat Karo baik untuk diminum sebagai penghangat badan, juga sangat dipercaya dalam penyembuhan rematik dan asam urat.

Berdasarkan Tabel 4.1.1 nilai Index of Cultural Significance tumbuhan yang paling disukai dan lebih banyak digunakan oleh masyarakat Karo di Kecamatan Tigabinanga adalah jahe merah (Zingiber officinale Roxb) bawang putih (Allium sativum), merica (Piper nigrum), sirih (Piper betle), kencur (Kaemfperia galanga), padi (Oryza sativa). Tumbuhan tersebut banyak digunakan untuk kebutuhan sehari-hari seperti untuk obat-obatan. Dalam meramu obat salah satu dari kelima jenis tumbuhan tersebut tetap dipakai.


(44)

Menurut Hapsoh (2008), jahe merah (Zingiber officinale) memiliki kandungan senyawa kimia yang sangat tinggi dalam rimpangnya berupa zat gingerol, oleoresin, dan minyak atsiri yang tinggi. Rimpang jahe berwarna merah hingga jingga muda, memiliki aroma yang lebih tajam dan rasanya sangat pedas. Kandungan minyak atsiri dan oleoresin yang cukup tinggi pada rimpang berkhasiat untuk mengobati berbagai jenis penyakit misalnya mencret, sakit kepala, demam, pencahar, masuk angin dan pegal-pegal.

Menurut Arisandi (2008), bawang putih (Allium sativum) memiliki kandungan senyawa kimia yang paling baik digunakan sebagai obat tradisional. Kandungan senyawa kimia bawang putih berupa minyak atsiri, aliin, kalium, sulfur, saltivine, diallysulfide. Bawang putih berkhasiat mengobati penyakit kutil dan sebagai antibiotik alami di dalam tubuh manusia.

Maryani (2008), mengatakan pada buah buni dalam biji merica (Piper nigrum) terdapat sel sel yang mengandung minyak atsiri, daun jika diremas beraroma mint. Buah merica banyak digunakan dalam bentuk ramuan untuk obat perut gembung, obat tekanan darah tinggi, sesak napas, pelancar keringat dan memperkuat lambung.

Kencur (Kaemperia galanga) merupakan salah satu jenis tanaman obat yang tergolong dalam suku temu-temuan (Zingiberaceae) karena rimpang tanaman ini mengandung minyak atsiri dan alkaloid yang bermanfaat sebagai stimulan. Kandungan minyak atsiri kencur berupa sineol, asam metil kanil, pentadekaan, asam sinamat, kamphene, alkaloid dan gom. Khasiat dari rimpang kencur dapat mengobati batuk, radang lambung, radang anak telinga, masuk angin, sakit kepala, membersihkan darah kotor, memperlancar haid, mata pegal, keseleo dan sebagai alat KB tradisional (Septiatin, 2008).

Sirih (Piper betle) merupakan tumbuhan memanjat dimana daun dan buahnya dipakai sebagai bahan obat tradisonal untuk menyembuhkan berbagai jenis penyakit. Daun sirih mengandung senyawa kimia berupa minyak atsiri, kavicol, hidroksikavicol, eugenol, penil propana, tannin, gula, dan pati yang digunakan untuk memuat ramuan tradisional (Arisandi, 2008).

Kandungan senyawa kimia padi (Oryza sativa) berupa karbohidrat, dextrin, arabanoxylan, phytin, glutelin, enzim dan vitamin B. Kandungan kimia yang terdapat di dalam tanaman padi berkhasiat untuk mengobati berbagai jenis penyakit misalnya pegal linu dan masuk angin (Wijayakusuma, 2009).


(45)

Hasil penelitian yang telah dilakukan tentang degradasi pengetahuan masyarakat Karo di Kecamatan Tigabinanga tentang manfaat tanaman obat mengalami sedikit penurunan. Hal ini dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel. 4.3.1. Degradasi Pengetahuan masyarakat Karo di Kecamatan Tigabinanga. Kelompok Umur ∑ Responden ICS Degradasi Pengetahuan (D) % 1 A 112 1036 14,38

2 B 115 1187 1,90 3 C 113 1210 12,47

Dari Tabel 4.3.1 dapat dilihat bahwa pengetahuan masyarakat tentang pemanfaatan tanaman obat mengalami degradasi dimana kelompok umur A mengalami degradasi pengetahuan sebesar 14,38 %, kelompok umur B mengalami degradasi pengetahuan sebesar 1,90%, sedangkan kelompok umur C mengalami degradasi pengetahuan sebesar 12,47 %.

Besarnya degradasi pada kelompok umur A dibandingkan pada kelompok umur B, berdasarkan pengamatan dan penelitian dilapangan dan hasil angket dapat disimpulkan bahwa masyarakat Karo di Kecamatan Tigabinanga telah sulit menemukan tumbuhan yang bermanfaat sebagai obat hal ini diduga karena adanya sistem pertanian monokultur. Masyarakat yang ada di Kecamatan Tigabinanga pada umumnya adalah petani jagung, dalam setahun mereka dapat menanam jagung 2-3 kali, sehingga beberapa dari spesies tumbuhan obat agak sulit didapatkan, dan juga kurangnya pengetahuan masyarakat Karo yang ada di Kecamatan Tigabinanga terutama masyarakat yang tinggal di kelurahan Tigabinanga yang berada di ibukota Kecamatan tentang manfaat dari spesies tumbuhan yang bermanfaat sebagai obat, karena mereka lebih memilih cara berobat yang praktis, yaitu dengan pergi berobat ke dokter atau ke rumah sakit, karena telah memiliki pelayanan kesehatan baik fasilitas maupun tenaga kesehatan.

Menurut Rahayu (2003), jumlah tumbuhan yang bermanfaat sebagai obat lebih banyak ditemukan di hutan dibandingkan dengan keanekaragaman jenis obat di kebun campuran. Hal ini dikarenakan masyarakat menganggap bahwa hutan dan kebun campuran adalah lahan yang cukup potensial untuk dijadikan lokasi pencarian dan penanaman tumbuhan obat, bagi mereka selain karena memudahkan dalam pengambilan bahan tumbuhan tersebut pada saat diperlukan (saat sakit), hal inipun dikarenakan kebiasaan dan informasi


(46)

yang mereka terima mengenai pentingnya menjaga kesehatan melalui pemanfaatan tumbuhan obat yang biasa dicari di dalam hutan atau kebun campuran.

Masyarakat Karo di Kecamatan Tigabinanga secara umum memiliki pengetahuan yang cukup baik sekali tentang jenis-jenis tumbuhan obat dan manfaatnya, sudah sejak lama sekali mereka menggunakan tumbuh-tumbuhan yang ada disekitar mereka, baik yang mereka tanam dipekarangan rumah ataupun yang mereka temukan di hutan untuk dijadikan obat untuk menyembuhkan berbagai jenis penyakit misalnya penyakit perut, patah tulang, demam, batuk, infeksi, penyakit kulit, terkena bisa hewan buas dan lain-lain. Pengetahuan tentang tumbuhan obat diperoleh oleh masyarakat secara turun - temurun kepada generasi yang berikutnya. Hal ini disebabkan karena tingginya pengetahuan mereka tentang tumbuhan yang berkhasiat obat, dan mereka juga telah merasakan tentang khasiat dari tumbuhan yang mereka gunakan sebagai obat. Hanya saja pengetahuan pengobatan tersebut telah mengalami sedikit penurunan pada masa sekarang.

Dari hasil penelitian degradasi pengetahuan pada Tabel 4.3.1 didapatkan penurunan pengetahuan masyarakat tentang pemanfaatan tanaman obat-obatan terbesar pada usia 15-29 tahun. Beberapa penyebabnya yaitu, dibangunnya sarana publik (balai pengobatan dan puskesmas) dan tenaga kesehatan di pusat kota kecamatan. Untuk desa- desa yang jauh dari ibukota kecamatan dengan sarana transfortasi yang sulit, sebagian besar masyarakat masih memanfaatkan tanaman-tanaman obat yang tumbuh di pekarangan rumah mereka.

Menurut Maturbongs et al., (2001) faktor yang diduga berpengaruh terhadap tingkat degradasi ini adalah lama berdomisili di desa. Lamanya berdomisili akan menyebabkan seseorang menguasai alam sekitarnya lebih baik dibandingkan dengan waktu domisili lebih singkat. Minat seseorang untuk mengetahui alam sekitar termasuk minat mempelajari pemanfaatan jenis tumbuh-tumbuhan juga berpengaruh terhadap tingkat pengetahuan.

Faktor pendidikan juga mempengaruhi penggunaan tumbuhan dalam kehidupan sehari-harinya pada masyarakat Karo yang ada di Kecamatan Tigabinanga. Generasi muda memiliki pendidikan yang lebih baik dan semakin meningkat, sehingga pengetahuan tentang barang-barang substitusi juga meningkat. Barang substitusi dianggap lebih praktis sehingga akibatnya keinginan untuk menggunakan dan memanfaatkan tumbuhan yang bermanfaat sebagai obat semakin berkurang.

Faktor lain yang berpengaruh terhadap tingkat degradasi misalnya tersedianya obat-obatan oleh puskesmas pembantu sehingga mengurangi minat masyarakat usia muda untuk mengetahui jenis-jenis tumbuhan yang bermanfaat sebagai obat-obatan. Pemberian


(47)

pengetahuan kepada satu orang anak saja di dalam rumah tangga juga turut menghambat perkembangan dan pengetahuan tentang tumbuh-tumbuhan yang berkhasiat sebagai obat.

Jenis-jenis tumbuhan yang digunakan sebagai bahan obat secara Tradisional di Kecamatan Tigabinanga dapat dilihat pada Tabel 4.3.2


(48)

(49)

(50)

(51)

(52)

Berdasarkan Tabel 4.3.2 ditemukan 75 jenis tumbuhan yang digunakan sebagai bahan obat-obatan tradisional oleh masyarakat Karo di Kecamatan Tigabinanga. Dari 75 jenis tumbuhan obat 74 adalah tumbuhan tingkat tinggi dan 1 tumbuhan tingkat rendah. Dari 75 jenis tumbuhan yang ditemukan famili Zingiberaceae yang paling banyak digunakan yaitu 9 jenis diikuti dengan famili Euporbiacheae (5 jenis) Solanaceae (4 jenis), Arecaceae dan Myrtaceae (3 jenis), famili Piperaceae, Lauraceae, Liliaceae, Asteraceae, Bombaceae, Achantaceae, Rutaceae, Cucurbitaceae, Lamiaceae (masing-masing 2 jenis), dan famili Umbelliferae, Fabaceae, Oxalidaceae, Poaceae, Amarathaceae, Nyctaginaceae, Orchidaceae, Rubiaceae,


(53)

Lythraceae, Araceae, Balsaminaceae, Leguminosacea, Labiate, Malphigiaceae, Meliaceae, Rosaceae, Bromelliaceae, Caricaceae, Musaceae, Annonaceae, Umbelliferae, Annonaceae, Compositae, Sapotaceae, Polypodiaceae, Graminae, dan Araliaceae (masing-masing 1 jenis).

Hasil penelitian tentang penggunaan tumbuhan sebagai bahan obat tradisional di Kecamatan Tigabinanga menunjukkan bahwa dalam mengobati suatu jenis penyakit, penduduk menggunakan lebih dari satu jenis tumbuhan yang akan diramu menjadi obat. Penggunaan obat-obatan secara tradisional masih dilakukan hingga sekarang oleh masyarakat Karo yang ada di Kecamatan Tigabinanga khususnya desa-desa yang masih jauh dari ibukota kecamatan terutama untuk mengobati suatu jenis penyakit yang tergolong ringan seperti batuk, demam, sakit kulit, sakit perut, reumatik, memperlancar air susu ibu (ASI), sakit gigi dan sakit mata.

Peran tabib masih dimanfaatkan oleh masyarakat Karo yang ada di Kecamatan Tigabinanga dalam mengobati berbagai jenis penyakit yang tergolong ringan dan berat. Bahkan setelah mereka memeriksakan penyakit mereka kedokter atau ke rumah sakit maka untuk pengobatan selanjutnya mereka serahkan kepada tabib. Hal ini juga disebabkan karena peran tabib yang sangat besar dalam mengobati berbagi jenis penyakit dan tingkat kepercayaan masyarakat yang besar tentang khasiat dari tumbuhan obat dan efek sampingnya.

Penggunaan tanaman obat semakin berkurang digunakan oleh masyarakat walaupun mereka tidak memiliki tenaga kesehatan di desa tersebut, ini terjadi pada salah satu desa di Kecamatan Tigabinanga yaitu Desa Kuta Galoh, hal ini di sebabkan karena masyarakat dalam mengobati suatu penyakit lebih percaya kepada dukun yang memberikan mereka obat untuk penyembuhan berupa air putih yang diminum.

Orang Karo meyakini bahwa selain dihuni oleh manusia alam juga merupakan tempat bagi roh-roh gaib atau makhluk-makhluk lain yang hidup bebas tanpa terikat pada suatu tempat tertentu, untuk itu diperlukan beberapa aktivitas-aktivitas yang dapat menjaga keseimbangan alam. Segala kegiatan yang berhubungan dengan roh-roh gaib dan upacara ritual, suatu kompleks penyembuhan, guna-guna dan ilmu gaib, merupakan sebagian aspek penting dalam kepercayaan tradisional Karo yang pelaksanaanya terpusat pada guru atau dukun (Ginting, 1986).

4.4. Deskripsi Tanaman Obat


(54)

Termasuk kedalam famili Arecaceae. Tinggi batang aren dapat mencapai 25 m. Berdiameter hingga 65 cm, batang pokoknya kukuh dan pada bagian atas diselimuti oleh serabut berwarna hitam yang di kenal dengan ijuk. Daun majemuk menyirip serabut hitam, helaian daun panjangnya sampai 5 m (Steenis, 1981).

Tanaman aren mengandung justicin, minyak atsiri, kalium dan alkaloid. Nira atau aren dapat dijadikan obat tradisional misalnya untuk mengobati penyakit sembelit, sariawan, radang paru-paru dan pusing. Akar muda pohon aren bisa digunakan untuk obat kencing batu ginjal, dan akar tuanya untuk obat sakit gigi (Arisandi, 2008).

2. Asam Jawa (Tamarindus indica L) Nama daerah: acem jawa

Termasuk kedalam famili Fabaceae.Tinggi pohon 15-25 m. Daun berseling, menyirip genap, panjang 5-13 cm. Bunga kuning kemerahan buah polonngnya bewarna coklat dan rasanya asam. Di dalam buah polong terdapat kulit yang membungkus daging buah. Jumlah daging buah 2-5 buah berbentuk pipih, warna coklat

kehitaman. Kandungan kimia pada buah antara lain asam appel, asam sitrat, asam anggur, asam tertrat, asam suksinat, pectin dan gula invert. Kulit biji mengandung albumoid (Arisandi, 2008).

3. Alpukat (Persea gratissima) Nama daerah: Pokat

Tanaman ini termasuk kedalam famili Lauraceae. Tinggi pohon 3-10 m, daun tunggal, bertangkai yang panjangnya 1,5 – 5 cm, bentuknya jorong sampai bundar telur memanjang, tebal seperti kulit, ujung dan pangkal runcing, tepi rata, bertulang menyirip. Bunga majemuk, Gambar 1.Aren (Arenga pinnata)


(55)

berkelamin dua, tersusun dalam malai yang keluar dekat ujung

kehijauan. Buahnya buah buni, berbentuk bola atau bulat telur, panjang 5-20 cm, warna hijau atau hijau kekuningan, berbintik-bintik ungu, daging buah jika masak lunak, warnanya hijau. Bagian yang digunakan untuk obat tradisional adalah daunnya karena mengandung gula, d-parseit, flavonoid quersetin, dan senyawa sterin. Daun alpukat dimanfaatkan untuk mempelancar pengeluaran air seni, penghancur batu saluran air kemih, dan obat sariawan (Maryani et al ,. 2003). Kandungan kimia yang dimiliki daun mengandung saponin, alkaloida, dan flavonoida. Buah mengandung tannin, polifenol, quersetin, gula alkohol perslit (Arisandi, 2008).

4. Bawang merah (Allium cepa) Nama daerah: bawang merah

Tanaman ini termasuk kedalam famili Alliaceae. Bunga bawang merah merupakan bunga majemuk berbentuk tandan yang bertangkai dengan 50-200 kuntum bunga. Bunga bawang merah termasuk bunga sempurna, bentuk biji agak pipih. Bawang merah mengandung vitamin C, acid folic, kalsium, dan zat besi. Bawang merah dikenal sebagai obat karena mengandung

efek antiseptik dan senyawa alliisin yang berfungsi sebagai anti mikroba yang bersifat bakterisida.

5. Bawang Putih (Allium sativum) Nama daerah: Lasuna

Tanaman ini termasuk famili Liliaceae. Tumbuh secara berumpun, berdiri tegak mempunya batang semu daripelepah-pelepah daun. Helaian daunnya mirip pita, berbentuk pipih memanjang. Akar serabut. Umbi terdiri dari anak bawang (siung) yang terbungkus kulit tipis bewarna putih. Kandungan senyawa kimia minyak atsiri, alliin, kalium, sulfur, saltivine, diallysulfide. Bawang putih berkhasiat mengobati penyakit kutil, Gambar 4. Bawang merah (Allium cepa)


(56)

sebagai antibiotik alami di dalam tubuh manusia (Arisandi, 2008). 6. Belimbing Waluh (Averrhoa blimbi) Nama daerah: Asam belimbing

Tanaman ini termasuk kedalam famili Oxallidaceae. Tinggi tanaman 5-10 m. Anak daun bulat telur atau memanjang, malai bunga menggantung panjang 5-20 cm. Bunga berwarna semuanya dengan panjang tangkai putik yang sama. Buah buni persegi membulat tumpul, kuning

hijau, panjang 4 – 6,5 cm (Steenis, 1981). Buah belimbing waluh mengandung unsur kimia yang disebut asam oksalat dan kalium. Daunnya mengandung ekstrak untuk melawan staphylococcus yaitu tannin, sulphur, asam format, peroksidase, kalsium oksalat, kalium sitrat. Batangnya mengandung saponin, tannin, glucoside (Arisandi, 2008).

7. Bengle (Zingiber purpureum) Nama daerah: mburle

Tanaman ini termasuk kedalam famili Zingiberaceae. Herba semusim, tumbuh tegak, tinggi 1 – 1,5 m, membentuk rumpun yang agak padat, berbatang semu, terdiri dari pelepah daun yang pinggirnya berambut sikat. Daun tunggal letak berseling, helaian daun lonjong, tipis, ujung runcing, pangkal tumpul, tepi rata berambut halus, jarang, pertulangan

menyirip panjang 23 – 35 cm, lebar 20 – 40 mm, warnanya hijau. Bunga majemuk bentuk tandan, keluar dari ujung batang, panjang gagang sampai 20 cm. Bengle mempunyai rimpang yang menjalar dan berdaging. Tanaman ini berkhasiat untuk mengobati pusing, sembelit, kegemukan, sakit pinggang, perut nyeri, cacing kremi, encok, sakit kuning, asma, rematik, dan memperkuat uterus bagi wanita sehabis bersalin. Bengle digolongkan sebagai rempah – rempah yang memiliki khasiat obat. Rimpang pada bengle mempunyai kandungan minyak atsiri (sineol, pinen), dammar, pati, tannin (Maryani at al ,. 2003).

8. Bandotan ( Ageratum conyzoides L) Nama daerah: Taludagang

Gambar 6. Belimbing waluh (Averrhoa blimbi)


(57)

Tanaman ini termasuk kedalam famili Asteraceae. Batangnya bulat dan berambut panjang. Jika menyentuh tanah akan mengeluarkan akar. Tumbuhan ini mampu hidup di ketinggian 1-2.100 m dpl. Seluruh bagian tubuhnya bisa digunakan sebagai obat, baik dalam bentuk segar maupun kering. Herba bandotan mengandung asam amino, asam organik pektat.

sub-stance, minyak asiri kumarin friedelin, -siatosterol, stigmasterol, tanin sulfur, dan potasssium klorida. Bandotan berkhasiat sebagai stimulan, tonik, pereda demam (antiseptik), antitoksik, menghilangkan pembengkakan, menghentikan pendarahan ( Kusuma et al., 2005).

9. Padi (Oryza sativa) Nama daerah: Beras

Tanaman ini termasuk kedalam famili Garaminae. Rumpu berumpun kuat, berumur 1 tahun, dari ruas keluar banyak batang yang berakar, tinggi 1,5-2 m. helaian daun berbentuk garis, panjang 15-40 cm. Cabang malai kasar. Anak bulir sangat beranekaragam, tidak berjarum, berjarum pendek atau panjang. Pada waktu masak buah rontok atau tidak, (Steenis, 1981).

Kandungan senyawa kimia karbohidrat, dextrin, arabanoxylan, xylan, phytin, glutelin, enzim, dan vitamin B.

10. Bayam Duri (Amaranthus spinosus L) Nama daerah: Bayam duri

Gambar 8. Bandotan (Ageratum conyzoides)


(1)

Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara


(2)

(3)

Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara


(4)

(5)

Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara


(6)