1.4. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui penggunaan lahanruang di kawasan sub urban Kota Banda Aceh 2. Mengidentifikasi hirarki pusat-pusat aktivitas
3. Menentukan arah pengembangan wilayah Kota Banda Aceh
1.5. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat serta memberi masukan bagi pemerintah Kota Banda Aceh sebagai bahan pertimbangan dan acuan dalam
pengembangan wilayah sub-urban kota Banda Aceh.
TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tsunami
Tsunami merupakan kosa-kata yang berasal dari jepang, yaitu “tsu” berarti pelabuhan dan “nami” berarti gelombangombak. Kedua kata tersebut
digabungkan dan dapat diartikan sebagai “gelombang pelabuhan yang besar”. Pengertian ini diambil dari akibat gelombang raksasa yang sering menyebabkan
kematian dan kerusakan pada pelabuhan-pelabuhan dan pedesaan yang terletak di pantai Jepang Diposaptono, 2005.
2.1.2. Penyebab tsunami
Tsunami dapat ditimbulkan oleh berbagai gangguan yang memindahkan massa air yang besar secara vertikal dari posisi kesetimbangannya. Gempa dengan
patahan vertikal, baik patahan naik atau patahan turun yang terjadi secara mendadak di kedalaman ribuan meter, dapat memicu terjadinya tsunami.
Keberadaan tersebut juga bisa terjadi akibat letusan gunung berapi bawah laut atau lingkungan laut, dimana gaya impulsif yang dihasilkan oleh letusan
memindahkan kolam air dan menciptakan tsunami. Fenomena tersebut pernah terjadi di Indonesia pada saat gunung Krakatau meletus pada tanggal 27 Agustus
1883, yang telah memicu timbulnya gelombang tsunami setinggi lebih dari 30 meter. Selain disebabkan oleh peristiwa alam yang bersumber dari bawah laut,
tsunami dapat pula terjadi akibat longsoran gunung es seperti yang terjadi di Alaska pada tahun 1958 Diposaptono, 2005.
Menurut Diposaptono 2005, kejadian tsunami di Aceh akhir tahun 2004 disebabkan oleh pergeseran lempeng tektonik yang menyebabkan gempa tektonik
berkekuatan 9.0 SR, pada kedalaman 4 km di dasar laut. Disamping menyebabkan gempa, pergeseran tersebut menyebabkan patahan dan memicu dua gempa besar
lainnya di kepulauan Andaman dan Nikobar India dengan kekuatan 6.3 dan 7.3 SR yang mengganggu keseimbangan air laut sehingga menimbulkan pergolakan
air yang dahsyat dan menyebabkan kerusakan serta korban jiwa di daerah pantai yang terletak di sekitar samudera Hindia.
2.1.3. Perambatan dan rayapan tsunami di daratan
Di tengah lautan, ketinggian gelombang tsunami tidak lebih dari 3 meter, terlihat seperti gelombang laut normal pada umumnya, walaupun wujud fisik
tsunami tidak kelihatan di permukaan laut dalam, sebenarnya kecepatan rambatan tsunami bisa mencapai 1000 kmjam di laut dalam, ia akan mengalami perubahan
kenampakan gelombang ketika meninggalkan perairan laut dalam dan merambat ke perairan yang lebih dangkal di pesisir. Pada saat gelombang mencapai perairan
yang dangkal, kecepatan tsunami akan berkurang tetapi energi total dari tsunami konstan sehingga ketinggian gelombang dapat mencapai ketinggian lebih dari 15
meter atau lebih. Pada kedalaman laut 4.000 meter, tsunami merambat dengan kecepatan 720 kmjam, sedangkan pada kedalaman laut 90 meter kecepatannya
berkurang menjadi sekitar 25 – 100 kmjam. Terkadang tsunami bisa saja musnah jauh sebelum mencapai pantai. Namun
bila mencapai pantai, tsunami dapat terlihat sebagai gelombang pasang naik maupun pasang turun yang meningkat drastis, rangkaian gelombang besar, atau
bahkan sebuah bore yang menerjang hingga ke pedalaman daratan yang secara normal tidak pernah terjangkau oleh gelombang laut. Bore adalah gelombang
yang mirip tangga dengan dengan sisi yang curam, yaitu ujung gelombang pasang yang mendesak air sungai ke hulu yang terjadi pada saat pasang laut naik, disebut
juga tidal bore. Sebuah bore dapat terjadi apabila tsunami bergerak dari perairan dalam ke perairan teluk dangkal atau sungai. Terumbu karang, semenanjung,
muara-muara, kenampakan-kenampakan bawah laut dan kelerengan pantai kesemuanya itu membantu untuk memodifikasi tsunami pada saat mencapai
pantai. Tsunami yang bergerak naik ke daratan umumnya merayap dengan
kecepatan sekitar 70 kmjam merupakan kekuatan yang sangat besar yang bisa mengangkat pasir di pantai, mencabut pepohonan dan menghancurkan bangunan
apalagi manusia dan kapal-kapal tidak berdaya melawan turbulensinya. Kualitas air yang dibawa ke daratan mampu membanjiri daerah luas yang biasanya kering
dry land. Rayapan akibat gelombang tsunami dapat menimbulkan genangan banjir yang merambah daratan hingga 300 meter dari garis pantai atau lebih.
2.2. Penataan Ruang
Ruang didefinisikan sebagai wadah yang meliputi ruang daratan, ruang lautan dan ruang udara sebagai suatu kesatuan tempat manusia dan mahluk hidup
lainnya melakukan kegiatan serta kelangsungan hidupnya. Menurut UU No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, penataan ruang adalah suatu sistem proses
perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Perencanaan tata ruang adalah proses untuk menentukan struktur ruang dan pola
ruang yang meliputi penyusunan dan penetapan rencana tata ruang. Pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan struktur ruang dan pola ruang sesuai
dengan rencana tata ruang melalui penyusunan dan pelaksanaan program beserta biaya, sementara itu pengendalian pemanfaatan ruang adalah upaya untuk
mewujudkan tertib tata ruang. Lebih jauh lagi pada pasal 2 undang–undang ini menyatakan bahwa
penataan ruang berasaskan : a Keterpaduan; b Keserasian, keselarasan, dan keseimbangan; c Keberlanjutan; d Keberdayagunaan dan keberhasilgunaan;
e Keterbukaan; f Kebersamaan dan kemitraan; g Perlindungan kepentingan umum; h Kepastian hukum dan keadilan; dan i Akuntabilitas.
Menurut Rustiadi
et al. 2005, penataan ruang pada dasarnya merupakan perubahan yang disengaja. Dalam pemahamannya sebagai proses pembangunan
melalui upaya-upaya perubahan kearah kehidupan yang lebih baik, maka penataan ruang merupakan bagian dari proses pembangunan. Penataan ruang mempunyai
tiga urgensi, yaitu : a Optimalisasi pemanfaatan sumberdaya prinsip produktivitas dan efesiensi; b Alat dan wujud distribusi sumberdaya prinsip
pemerataan, keberimbangan, dan keadilan dan c Keberlanjutan prinsip sustainabilitas.
Konsep penataan ruang dapat menjadi aktivitas yang mengarahkan kegiatan pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat termasuk dunia
usaha. Penataan ruang bukanlah suatu tujuan akan tetapi merupakan alat untuk mencapai tujuan, dengan demikian kegiatan penataan ruang tidak boleh berhenti
dengan diperda kannya rencana tata ruang kabupatenkota, tetapi penataan ruang harus merupakan aktifitas yang terus menerus dilakukan untuk mengarahkan
masyarakat suatu wilayah untuk mencapai tujuan-tujuan pokoknya Darwanto, 2000.
Menurut UU 262007, pola ruang adalah distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan
peruntukan ruang untuk fungsi budidaya. Menurut Rustiadi 2004, tata ruang sebagai wujud pola dan struktur pemanfaatan ruang terbentuk secara alamiah dan
merupakan wujud dari proses pembelajaran learning process yang terus menerus. Sebagai alat pendeskripsian, istilah pola spasial ruang erat dengan
istilah-istilah kunci seperti pemusatan, penyebaran, pencampuran dan keterkaitan, posisilokasi, dan lain-lain. Pola pemanfaatan ruang selalu berkaitan dengan
aspek-aspek sebaran sumberdaya dan aktifitas pemanfaatannya menurut lokasi, setiap jenis aktifitas menyebar dengan luas yang berbeda-beda, dan tingkat
penyebaran yang berbeda-beda pula Rustiadi 2004. Pola pemanfaatan ruang juga dicerminkan dengan gambaran pencampuran
atau keterkaitan spasial antar sumberdaya dan pemanfaatannya. Kawasan pedesaan dicirikan dengan dominasi pencampuran antara aktifitas-aktifitas
pertanian, penambangan, dan kawasan lindung. Sebaliknya, kawasan perkotaan dicirikan oleh pencampuran yang lebih rumit antara aktifitas jasa komersial dan
pemukiman. Adapun, kawasan sub urban di daerah perbatasan perkotaan dan pedesaan dicirikan dengan kompleks pencampuran antara aktifitas pemukiman,
industri dan pertanian. Peta penggunaan lahan dan peta penutupan lahan adalah bentuk deskriptif terbaik dalam menggambarkan pola pemanfaatan ruang yang
ada Rustiadi 2004. Hutabarat 2005, menyatakan bahwa dewasa ini penyelenggaraan penataan
ruang senantiasa dikaitkan dengan upaya mewujudkan good governance, baik dalam konteks pembangunan wilayah administrasi maupun kawasan fungsional.
Penerapan prinsip-prinsip good governance seperti keberlanjutan, keadilan, efesiensi, trasparansi, akuntabilitas, kepatian hukum, dan pelibatan masyarakat
secara keseluruhan juga merupakan prinsip-prinsip dasar dalam penataan ruang. Dalam kata lain instrumen penataan ruang dapat dimanfaatkan oleh pengelola
wilayah administrasif ataupun kawasan fungsional dalam pelaksanaan kegiatan pembangunan yang terpadu untuk mewujudkan ruang yang berkualitas, yang
didukung oleh pelayanan sosial-ekonomi yang baik bagi kesejahteraan masyarakat.
Menurut Rustiadi 2001, proses alih fungsi lahan dapat dipandang merupakan suatu bentuk konsekuensi logis dari adanya pertumbuhan dan
transformasi perubahan struktur sosial ekonomi masyarakat yang sedang berkembang.
Perkembangan yang
dimaksud tercermin
dari adanya:
1 Pertumbuhan aktivitas pemanfaatan sumberdaya alam akibat meningkatnya permintaan kebutuhan terhadap penggunaan lahan sebagai dampak dari
peningkatan jumlah penduduk dan pendapatan per kapita; dan 2 Adanya pergeseran kontribusi sektor-sektor pembangunan dari sektor-sektor primer
sektor-sektor pertanian dan pengelolaan sumberdaya alam ke aktivitas sektor- sektor sekunder industri manufaktur dan jasa.
2.3. Konsep Wilayah dan Pengembangan Wilayah