Hirarki Pusat Aktivitas Arahan Pemanfaatan Ruang dalam Pengembangan Wilayah Sub Urban Kota Banda Aceh Pasca Bencana Tsunami (Studi Kasus Kecamatan Ulee kareng, Lueng Bata, dan Banda Raya)

Penetapan lokasi dari suatu jenis kegiatan hendaknya tidak hanya sekedar menerangkan kegiatan tersebut sebagaimana adanya, melainkan harus dibuat keputusan yang rasional serta dikemukakan alasan mengapa kegiatan tersebut berada di suatu tempat. Cara terbaik untuk menyediakan pusat pelayanan kepada penduduk yang mendasarkan pada aspek keruangan adalah dengan menempatkan lokasi kegiatan pada hirarki wilayah yang luasnya makin meningkat dan berada pada tempat sentral.

2.6. Hirarki Pusat Aktivitas

Keterkaitan antara aktivitas ekonomi dengan aspek lokasi dalam suatu ruang sudah mulai dipelajari sejak era Von Thunen yang menjelaskan tentang pola spasial dari aktivitas produksi pertanian. Von thunen dari suatu pemikiran sederhana, bahwa pola penggunaan lahan dalam suatu ruang merupakan fungsi dari perbedaan harga produksi pertanian yang dihasilkan dan perbedaan biaya produksinya, dimana jarak dari pusat pasar merupakan faktor penentu besarnya biaya produksi. Pemikiran ini didasarkan pada suatu asumsi bahwa : 1 biaya hanya ditentukan oleh jarak dari pasar, 2 karakteristik wilayah dianggap homogen, 3 harga di pusat pasar ditentukan oleh mekanisme suplai dan demand yang normal, 4 tidak ada halangan untuk melakukan perdagangan no barrier to trade seperti biaya tarif, kebijakan harga, labor immobility, dan tidak dapat menggambarkan dengan cukup baik aktivitas ekonomi riil yang terjadi. Kemudian Christaller 1966, dan Losch 1954, dalam Smith 1976, dengan “teori lokasi pusat” yang mulai mencoba untuk menjelaskan mengapa dalam suatu wilayah bisa muncul pusat-pusat aktivitas. Menurut Christaller 1966, setiap produsen mempunyai skala ekonomi yang berbeda sehingga aktivitasnya akan menjadi efesien apabila jumlah konsumennya mencukupi. Karena itu lokasional aktivitas dari suatu produsen ditujuakan untuk melayani wilayah konsumen yang berada dalam suatu jarak atau range tertentu. Dengan demikian wilayah cakupan dari produk yang dihasilkan akan sangat tergantung kepada seberapa jauh keinginan konsumen melakukan perjalanan untuk memperolehnya, elastisitas demand, harga produk, biaya trasport dan frekwensi penggunaannya. Lokasi di sekitar produsen atau suplier yang memiliki tingkat demand konsumen yang mencakupi terhadap barang dan jasa yang dihasilkan disebut dengan istilah treshold. Setiap produk yang dihasilkan, termasuk dalam hal ini fasilitas umum, mempunyai wilayah treshold-nya sendiri. Karena itu distribusi spasial dari aktivitas produksi bisa diprediksi berdasarkan wilayah treshold-nya. Dari sisi karakteristik suplai, aktivitas ekonomi skala besar akan berada di pusat pelayana hirarki I karena wilayah treshold-nya luas. Sementara dari sisi karakteristik demand, produk yang sifatnya inelastis dan frekwensi penggunaannya tidak terlalu sering juga akan berada di pusat pelayanan hirarki I, sebagai upaya untuk mengoptimalkan keuntungan melalui maksimalisasi jumlah konsumen yang harus dilayani. Sistem lokasi pusat-pusat pelayanan dapat diidentifikasi melalui pendekatan top down, yaitu dari aktivitas produksi dengan treshold tinggi ke rendah atau bottom up, yaitu dari aktivitas produksi dengan treshold rendah ke tinggi. Christaller 1966, diacu Smith 1976, melakukan identifikasi melalui pendekatan top down. Hasil analisisnya menunjukkan bahwa lokasi pusat utama akan menjadi semakin besar dan meyebar daripada lokasi pusat yang lebih rendah. Lokasi pusat utama ini akan menyediakan barang dan jasa utama, yaitu barang dan jasa yang dihasilkan oleh aktivitas produksi yang treshold-nya tinggi, dan sekaligus menyediakan barang dan jasa yang lebih rendah, yaitu barang dan jasa yang dihasilkan oleh aktivitas produksi yang treshold-nya rendah. Keberadaan barang dan jasa yang lebih rendah di lokasi pusat utama disebabkan karena produsen dengan treshold-nya rendah ingin medapatkan keuntungan yang lebih tinggi dari treshold-nya itu sendiri. Sementara itu lokasi pusat pelayanan yang lebih rendah hanya akan menyediakan barang dan jasa yang lebih rendah. Sedangakan Losch 1954, diacu Smith 1976, melakukan identifikasi melalui pendekatan bottom up. Hasil analisisnya menunjukkan bahwa lokasi pusat utama hanya akan menyediakan barang dan jasa utama, sedangkan lokasi pusat yang lebih rendah hanya akan meyediakan barang dan jasa yang lebih rendah. Menurut Smith 1976, pemikiran Losch ini banyak ditentang oleh para peneliti, karena dengan menggunakan teknik skalogram berdasarkan skala Gutman, secara empiris tidak pernah ditemukan lokasi pusat pelayanan yang hanya menyediakan barang dan jasa utama saja. Pada perkembangan selanjutnya, Isard 1975, mulai mempertanyakan kegunaan dari teori yang tidak mampu melakukan prediksi karena asumsinya yang kurang realistis. Berkaitan dengan teori lokasi pusat, asumsi-asumsi yang dikritisi mencakup kondisi wilayah yang homogen, terjadinya persaingan sempurna antara produsensuplier, lokasi produsensuplier hanya didasarkan pada treshold, hanya ada satu produsensuplier pada satu pusat, dan konsumen melakukan perjalanan hanya untuk satu tujuan saja. Berdasarka hasil temuan empiris, produsensuplier selain menyediakan jasa untuk konsumen, pada dasarnya juga menjadi konsumen bagi produsensuplier yang lain. Karena itu antara produsensuplier pun saling terkait dalam kerangka sistem supply dan demand. Dengan demikian sebenarnya para produsensuplier akan muncul di satu lokasi apabila terjadi konsentrasi demand di lokasi tersebut. Menurut Isard 1975, teori lokasi pusat tidak mempertimbangkan adanya konsentrasi demand, dan munculnya lokasi pusat utama dalam kondisi wilayah yang relatif homogen justru mengganggu asumsi dasar dari teorinya. Selain itu, berdasarkan hasil temuan empiris konsumen biasanya akan membeli lebih dari satu jenis barang dan jasa dalam satu kali perjalanan. Karena itu ketersediaan jenis barang dan jasa yang beragam akan mendorong konsumen untuk melakukan perjalanan. Fakta empiris ini menggugurkan asumsi bahwa konsumen melakukan perjalanan hanya untuk satu tujuan, dan sekaligus membuat asumsi bahwa lokasi produsensuplier hanya ditentukan oleh treshold-nya menjadi tidak realistis. Apabila produsensuplier memilih lokasi yang lebih jauh untuk bisa melayani wilayah konsumen yang lebih luas. Tetapi karena bagi konsumen membeli berbagai barang dalam satu kali perjalanan membuat ongkos transport menjadi lebih murah, maka produsensuplier yang berbeda akan memilih lokasi yang berdekatan untuk melayani keinginan konsumen. Selanjutnya menurut Smith 1976, teori lokasi pusat ini akan sangat membantu dalam menganalisa sistem hirarki pusat wilayah yang terjadi di lapangan secara empiris. Fakta empiris pertama yang dijumpai adalah sistem hirarki pusat yang berjenjang seperti distribusi log-normal rank-size distribution of urban center. Menurut Berry 1961, diacu dalam Smith 1976, hal ini terjadi karena proses trickle down effect dapat berjalan dengan baik. Tenaga kerja di kota-kota besar akan menuntut upah yang lebih tinggi, sehingga industri akan bergeser ke wilayah-wilayah yang upah tenaga kerjanya lebih rendah. Karena itu industri akan bergeser dari kota-kota besar ke kota-kota yang lebih kecil dan multiplier effect dari bergesernya lokasi industri ini akan mendorong proses trickle down effect terus berjalan. Namun terjadinya proses ini mensyaratkan adanya 2 hal, yaitu adanya pertumbuhan yang berimbang dan berkelanjutan dalam waktu yang relatif lama dan adanya kompetisi diantara perusahaan dalam memperoleh faktor produksi dan tenaga kerja. Faktor empiris kedua adalah sistem hirarki pusat, dimana lokasi pusat utama sangat dominan primate system. Dalam primate system, tidak semua bagian dari suatu wilayah mendapatkan pelayanan yang sama, tetapi ada satu pusat yang dipilih untuk dikembangkan melebihi share dari produsensuplier yang secara riil ada di lokasi tersebut memonopoli aktivitas ekonomi seluruh wilayah, dan meninggalkan wilayah hinterland yang jauh menjaditidak terlayani. Banyak orang berpikir bahwa fakta empiris ini mirip dengan model Von Thunen, dimana munculnya primate center justru akan mendorong komersialisasi dan intensifikasi di wilayah hinterland-nya. Tetapi perlu diingat bahwa model Von Thunen tidak mempertimbangkan faktor-faktor ekonomi bisa bergerak bebas. Menurut Smith 1976, apabila jaringan transportasi, modal, dan industri terkonsentrasi di suatu pusat primate center, intensifikasi produksi di daerah periphery hanya akan menyebabkab harga yang lebih rendah bagi produk periphery yang dihasilkan term of trade-nya rendah. Menurut Berry 1961, diacu dalam Smith 1976, primate system ini terjadi karena suatu wilayah sedang dalam proses menuju masyarakat maju atau masyarakat industri, atau karena bargaining politik yang jauh tidak berimbang, dimana lokasi pusat biasanya dihuni oleh para elite dengan kekuatan politik yang jauh lebih besar. Tetapi menurut Smith 1976, ada satu hal yang dilupakan Berry bahwa di negara-negara Amerika Latin primate system terus berlangsung hingga saat ini. Dalam kondisi ini primate system terjadi bukan karena proses pembangunan ekonomi yang sedang berjalan atau karena keberadaan elit politik di pusat kota, tetapi ini merupakan produk dari sistem ekonomi non kompetitif. Artinya perusahaan di primate center mempunyai keuntungan dari kondisi pasar monopsony dalam memperoleh faktor produksi dan tenaga kerja. Dari berbagai uraian di atas, diketahui bahwa berkembangnya suatu lokasi menjadi pusat pelayanan, secara alamiah terjadi karena adanya proses aglomerasi yang bertujuan untuk mengoptimalkan economic of scale biaya per satuan input menjadi lebih murah apabila skala aktivitasnya menjadi lebih besar dan economic of scope nilai tambah akan meningkat apabila berbagai aktivitas ekonomi yang berbeda digabungkan.

2.7. Citra Satelit Resolusi Tinggi