Penyebab tsunami Perambatan dan rayapan tsunami di daratan

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tsunami Tsunami merupakan kosa-kata yang berasal dari jepang, yaitu “tsu” berarti pelabuhan dan “nami” berarti gelombangombak. Kedua kata tersebut digabungkan dan dapat diartikan sebagai “gelombang pelabuhan yang besar”. Pengertian ini diambil dari akibat gelombang raksasa yang sering menyebabkan kematian dan kerusakan pada pelabuhan-pelabuhan dan pedesaan yang terletak di pantai Jepang Diposaptono, 2005.

2.1.2. Penyebab tsunami

Tsunami dapat ditimbulkan oleh berbagai gangguan yang memindahkan massa air yang besar secara vertikal dari posisi kesetimbangannya. Gempa dengan patahan vertikal, baik patahan naik atau patahan turun yang terjadi secara mendadak di kedalaman ribuan meter, dapat memicu terjadinya tsunami. Keberadaan tersebut juga bisa terjadi akibat letusan gunung berapi bawah laut atau lingkungan laut, dimana gaya impulsif yang dihasilkan oleh letusan memindahkan kolam air dan menciptakan tsunami. Fenomena tersebut pernah terjadi di Indonesia pada saat gunung Krakatau meletus pada tanggal 27 Agustus 1883, yang telah memicu timbulnya gelombang tsunami setinggi lebih dari 30 meter. Selain disebabkan oleh peristiwa alam yang bersumber dari bawah laut, tsunami dapat pula terjadi akibat longsoran gunung es seperti yang terjadi di Alaska pada tahun 1958 Diposaptono, 2005. Menurut Diposaptono 2005, kejadian tsunami di Aceh akhir tahun 2004 disebabkan oleh pergeseran lempeng tektonik yang menyebabkan gempa tektonik berkekuatan 9.0 SR, pada kedalaman 4 km di dasar laut. Disamping menyebabkan gempa, pergeseran tersebut menyebabkan patahan dan memicu dua gempa besar lainnya di kepulauan Andaman dan Nikobar India dengan kekuatan 6.3 dan 7.3 SR yang mengganggu keseimbangan air laut sehingga menimbulkan pergolakan air yang dahsyat dan menyebabkan kerusakan serta korban jiwa di daerah pantai yang terletak di sekitar samudera Hindia.

2.1.3. Perambatan dan rayapan tsunami di daratan

Di tengah lautan, ketinggian gelombang tsunami tidak lebih dari 3 meter, terlihat seperti gelombang laut normal pada umumnya, walaupun wujud fisik tsunami tidak kelihatan di permukaan laut dalam, sebenarnya kecepatan rambatan tsunami bisa mencapai 1000 kmjam di laut dalam, ia akan mengalami perubahan kenampakan gelombang ketika meninggalkan perairan laut dalam dan merambat ke perairan yang lebih dangkal di pesisir. Pada saat gelombang mencapai perairan yang dangkal, kecepatan tsunami akan berkurang tetapi energi total dari tsunami konstan sehingga ketinggian gelombang dapat mencapai ketinggian lebih dari 15 meter atau lebih. Pada kedalaman laut 4.000 meter, tsunami merambat dengan kecepatan 720 kmjam, sedangkan pada kedalaman laut 90 meter kecepatannya berkurang menjadi sekitar 25 – 100 kmjam. Terkadang tsunami bisa saja musnah jauh sebelum mencapai pantai. Namun bila mencapai pantai, tsunami dapat terlihat sebagai gelombang pasang naik maupun pasang turun yang meningkat drastis, rangkaian gelombang besar, atau bahkan sebuah bore yang menerjang hingga ke pedalaman daratan yang secara normal tidak pernah terjangkau oleh gelombang laut. Bore adalah gelombang yang mirip tangga dengan dengan sisi yang curam, yaitu ujung gelombang pasang yang mendesak air sungai ke hulu yang terjadi pada saat pasang laut naik, disebut juga tidal bore. Sebuah bore dapat terjadi apabila tsunami bergerak dari perairan dalam ke perairan teluk dangkal atau sungai. Terumbu karang, semenanjung, muara-muara, kenampakan-kenampakan bawah laut dan kelerengan pantai kesemuanya itu membantu untuk memodifikasi tsunami pada saat mencapai pantai. Tsunami yang bergerak naik ke daratan umumnya merayap dengan kecepatan sekitar 70 kmjam merupakan kekuatan yang sangat besar yang bisa mengangkat pasir di pantai, mencabut pepohonan dan menghancurkan bangunan apalagi manusia dan kapal-kapal tidak berdaya melawan turbulensinya. Kualitas air yang dibawa ke daratan mampu membanjiri daerah luas yang biasanya kering dry land. Rayapan akibat gelombang tsunami dapat menimbulkan genangan banjir yang merambah daratan hingga 300 meter dari garis pantai atau lebih.

2.2. Penataan Ruang