Teori Lokasi dan Pemusatan Kegiatan

dinilai sebagai proses yang kontradiktif mengingat prosesnya selalu diiringi dengan proses konversi lahan pertanian yang sangat prodiktif.

2.5. Teori Lokasi dan Pemusatan Kegiatan

Menurut Hanafiah 1989, pemerintah sebagai penentu lokasi mempunyai kekuatan atau kewenangan yang dapat mempengaruhi penentuan lokasi berbagai kegiatan ekonomi rumah tangga dan perusahaan melalui kegiatan masyarakat yang tersebar secara spasial, dan bertujuan untuk memaksimumkan pelayanan kepada masyarakat melalui penyebaran fasilitas pelayanan secara merata. Kajian tentang teori lokasi secara komprehensif dilaksanakan oleh Alfred Weber pada tahun 1909 Tarigan, 2005. Apabila Von Thunen menganalisis lokasi kegiatan pertanian, maka Weber menganalisis lokasi kegiatan industri atas prinsip minimisasi biaya. Weber mengemukakan teori lokasinya berdasarkan asumsi-asumsi sebagai berikut: 1. Lokasi kajian adalah suatu wilayah yang terisolasi, mempunyai iklim yang homogen, konsumen terkonsentrasi pada beberapa pusat aktifitas, dan kondisi pasar adalah persaingan sempurna. 2. Beberapa sumberdaya alam, seperti tanah liat, pasir, dan air tersedia di mana- mana dalam jumlah yang memadai ubiquitous. 3. Bahan-bahan lainnya tersedia secara sporadis pada tempat-tempat tertentu dengan jumlah terbatas. 4. Tenaga kerja tidak tersedia secara luas, tetapi terbatas pada beberapa lokasi dengan mobilitas yang tetap. Teori lokasi Weber lebih menekankan pada lokasi industri, dengan anggapan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi lokasi tersebut adalah: 1. Biaya transportasi dan biaya tenaga kerja. Biaya transportasi dan biaya tenaga kerja merupakan faktor umum yang secara fundamental berpengaruh dalam penentuan lokasi kegiatan industri, biaya transportasi berbanding lurus dengan dengan jarak tempuh, dan ketersediaan tenaga kerja dengan upah yang rendah di lokasi tertentu akan mempengaruhi keputusan pemilihan lokasi. 2. Kekuatan aglomerasi dan deglomerasi aglomerative and deglomerative force. Kekuatan aglomerasi dan deglomerasi adalah faktor yang juga turut menentukan konsentrasi atau penyebaran berbagai kegiatan ekonomi dalam suatu pola tata ruang. Sampai pada tingkat tertentu kegiatan ekonomi akan cenderung terkonsentrasi atau mengumpul pada suatu lokasi tertentu. Bila hal ini berlangsung terus menerus, maka akan timbul kejenuhan ekonomi pasar lokal yang ditandai oleh dis-economic of scale, dan ini akan mengakibatkan menyebarnya kegiatan ekonomi ke wilayah lain di sekitarnya. Berdasarkan faktor tersebut di atas, maka lokasi industri akan cenderung akan memilih lokasi dengan biaya input yang paling minimum. Weber menyatakan bahwa biaya transportasi merupakan faktor utama dalam determinasi lokasi, asumsinya adalah bahwa biaya transportasi bertambah secara proporsional dengan bertambahnya jarak angkut, sedangkan faktor lainnya merupakan faktor yang dapat memodifikasi lokasi. Salah satu kelemahan dari teori Weber adalah hanya menekankan pada biaya input, dan kurang memperhatikan aspek permintaan pasar, padahal pasar adalah termasuk salah satu variabel dalam menentukan lokasi industri. Konsumen tersebar di wilayah yang luas dengan intensitas permintaan yang berbeda-beda, sehingga pasar menjadi faktor penting dalam pemilihan lokasi yang optimum, yaitu lokasi di mana dapat diperoleh laba maksimum. Hal ini dikemukakan oleh Losch pada tahun 1939, seperti dikutip oleh Hanafiah 1989. Dalam konsep teori lokasinya, Losch mendasarkan pada asumsi: 1. Tidak ada perbedaan spasial dalam distribusi input, seperti bahan baku, tenaga kerja, dan modal pada suatu wilayah yang homogen 2. Kepadatan penduduk yang seragam dan dengan selera yang konstan. 3. Tidak ada interdependensi antara perusahaan. Apabila Weber melihat persoalan dari sisi produksi, maka Losch melihat persoalan dari sisi permintaan pasar atas dasar prinsip lokasi yang dapat memaksimumkan laba. Losch mengatakan bahwa lokasi penjual sangat berpengaruh terhadap jumlah konsumen yang dapat digarapnya. Makin jauh dari tempat penjual, konsumen makin enggan membeli karena biaya transportasi untuk mendatangi tempat penjual semakin mahal. Produsen harus memilih lokasi yang menghasilkan penjualan terbesar yang identik dengan penerimaan terbesar. Pandangan ini mengikuti pandangan Christaller. Atas dasar pandangan tersebut Losch cenderung menyarankan lokasi produksi berada di pasar atau di dekat pasar Tarigan, 2005. Menurut Isard 1960, dalam Tarigan 2005, masalah lokasi merupakan masalah penyeimbangan antara biaya dengan pendapatan yang dihadapkan pada suatu situasi ketidak pastian yang berbeda-beda. Keuntungan relatif dari lokasi sangat dipengaruhi oleh faktor dasar: a biaya input atau bahan baku; b biaya transportasi; dan c keuntungan aglomerasi. Perkembangan dari teori Losch dikembangkan lebih lanjut oleh Isaard pada tahun 1956 dengan konsep aglomerasi. Konsep aglomerasi Isard adalah: 1. Faktor skala usaha yang ekonomis, yaitu suatu besaran skala usaha dari suatu perusahaan tertentu, sebagai konsekuensi dari perluasan perusahaan di suatu lokasi. 2. Faktor lokalisasi yang ekonomis, yaitu lokasi yang ekonomis bagi sekelompok perusahaan industri yang sejenis, sebagai konsekuensi dari peningkatan produksi total pada suatu lokasi. 3. Faktor urbanisasi yang ekonomis, yaitu suatu lokasi yang ekonomis bagi semua perusahaan dari berbagai jenis industri, sebagai konsekuensi kegiatan ekonomi secara keseluruhan di suatu tempat berdasarkan jumlah penduduk, tingkat pendapatan, produksi dan tingkat kesejahteraan setempat. Secara alamiah, terdapat kecenderungan pada setiap individu penduduk dan perusahaan untuk memilih lokasi pada daerah-daerah yang relatif sudah berkembang atau daerah-daerah yang menjadi pemusatan di dalam wilayah yang bersangkutan. Hal ini terjadi karena adanya berbagai keuntungan yang dihasilkan oleh daerah-daerah pemusatan yang menjadi daya tarik bagi penduduk dan perusahaan atau aktifitas ekonomi untuk memilih lokasi pada daerah-daerah tersebut. Keuntungan-keuntungan tersebut dinamakan dengan keuntungan aglomerasi. Keuntungan aglomerasi, dapat didefinisikan sebagai keuntungan yang diperoleh individu penduduk atau perusahaan, dan oleh masyarakat dan industri secara keseluruhan pada suatu daerah di mana terjadi pemusatan kegiatan. Keuntungan ini merupakan keuntungan eksternal yang diakibatkan oleh adanya pemusatan geografi kependudukan, perusahaan, aktifitas sosial ekonomi, ketersediaan sarana dan prasaran fasilitas pelayanan umum dari berbagai institusi dan kelembagaan baik pemerintah maupun swasta. Konsep aglomerasi dapat timbul pada berbagai skala, di mana pusat-pusat aglomerasi yang lebih kecil akan cenderung mengitari pusat aglomerasi yang lebih besar. Pusat dengan tingkat terendah akan melaksanakan berbagai fungsi atau menyediakan berbagai barang dan jasa yang jumlah dan jenisnya terbatas oleh terbatasnya jumlah penduduk ataupun sumberdaya yang dimiliki wilayah tersebut. Pada umumnya aglomerasi terjadi pada bidang pelayanan administrasi, kesehatan, sosial, keuangan, perdagangan, tenaga kerja, dan lalu lintas perhubungan. Setiap pemusatan akan menghasilkan pengaruh positif dan negatif sekaligus. Adanya pemusatan yang berlebihan pada daerah-daerah tertentu, di samping akan menimbulkan masalah sosial ekonomi dan lingkungan hidup, juga akan menyebabkan dana dan sumberdaya untuk pembangunan wilayah lain menjadi terbatas. Apalagi dengan adanya aktifitas lembaga pemerintahan yang berhirarki lebih tinggi di suatu wilayah, maka perhatian pemerintah terhadap wilayah tersebut cenderung lebih besar dibandingkan terhadap wilayah lainnya. Dusseldorp 1971, diacu dalam Prakoso 2005, mengemukakan bahwa konsep dasar teori pusat pelayanan adalah pemusatan dan fungsi pemusatan, batas ambang dan hirarki. Dengan adanya kristalisasi penduduk pada daerah inti akan berimplikasi pada terjadinya pemusatan fasilitas pelayanan sekaligus menobatkan daerah inti ini menjadi pusat pelayanan bagi daerah sekitarnya. Pemusatan pusat pelayanan akan memberikan keuntungan antara lain: 1. Pemanfaatan dan pengelolaan fasilitas pelayanan akan lebih intensif daripada tidak dipusatkan; 2. Fungsi dari setiap fasilitas pelayanan akan lebih efisien; 3. Mengoptimalkan fungsi kelembagaan dan social capital masyarakat. Usaha penekanan biaya operasional dalam rangka meningkatkan efisiensi fasilitas pelayanan atau untuk mendapatkan pasar dan jumlah konsumen yang cukup besar bagi fasilitas pelayanan, cenderung dapat mengurangi banyaknya pusat-pusat pelayanan, sehingga dapat meningkatkan biaya perjalanan konsumen. Jika ditinjau dari segi usaha untuk meningkatkan kesamaan jarak maksimum yang bersedia ditempuh oleh setiap konsumen, maka jumlah pusat-pusat pelayanan perlu ditambah sehingga biaya perjalanan atau jarak ekonomi dapat dikurangi. Hakimi 1964, diacu dalam Rushton 1979, menyatakan bagaimana menemukan satu titik optimum dalam satu jaringan. Dengan adanya jarak yang tetap di antara simpul-simpul yang ada dalam jaringan, maka akan ditemukan satu simpul di antara semua simpul yang ada yang memiliki jarak terpendek dan memiliki kriteria bobot yang ditetapkan. Simpul atau titik yang dimaksud adalah titik tengah dari jaringan, ini merupakan teori yang penting karena dapat digunakan untuk menyelesaikan permasahan-permasalahan penaksiran simpul-simpul alternatif pada jalur jaringan. Hakimi mengatakan, bahwa ada satu simpul dalam jaringan yang meminimumkan jarak terpendek yang berbobot dari semua simpul terhadap satu simpul tertentu di mana simpul tersebut juga merupakan bagian dari jaringan tersebut. Pemukiman penduduk yang tidak tersebar merata di semua wilayah akan menyebabkan setiap individu akan berusaha untuk mendapatkan berbagai jenis barang, jasa, dan pelayanan terbaik yang juga tersebar di berbagai lokasi yang dapat dijangkau berdasarkan biaya yang harus dikeluarkannya. Lokasi yang dapat dijangkau memiliki banyak pilihan dan masyarakat akan memilih yang berada pada posisi most accessible bagi mereka. Suatu lokasi dapat dikatakan most accessible apabila mempunyai kriteria berikut Rushton 1979: 1. Kriteria jarak rata-rata minimum, yaitu jarak total dari semua penduduk yang akan dilayani ke pusat pelayanan terdekat adalah minimum, disebut juga jarak agregat minimum; 2. Kriteria jarak maksimal, yaitu apabila jarak terjauh dari tempat penduduk yang akan dilayani ke pusat pelayanan adalah minimum yang disebut dengan jarak minimax; 3. Kriteria penetapan berdasarkan kesamaan, yaitu apabila jumlah penduduk yang akan dilayani pada daerah yang mengelilingi pusat pelayanan terdekat selalu sama dengan jumlah yang ditentukan; 4. Kriteria ambang batas population treshold, yaitu apabila jumlah penduduk yang akan dilayani pada daerah yang mengelilingi pusat pelayanan terdekat selalu lebih besar dari jumlah yang telah ditentukan; dan 5. Kriteria kapasitas atau daya tampung, yaitu apabila jumlah penduduk yang akan dilayani pada daerah yang mengelilingi pusat pelayanan teredekat selalu lebih kecil dari jumlah yang ditentukan. Rushton 1979, mengungkapkan permasalahan lokasi yang terjadi di negara berkembang, yaitu: 1. Belum berkembangnya sistem transportasi. Sistem transportasi yang ada belum terintegrasi dengan lokasi fasilitas pelayanan masyarakat sehingga sangat menyulitkan bagi masyarakat yang membutuhkan pelayan. 2. Fasilitas pelayanan tidak sesuai dengan kebutuhan. Sering terjadi fasilitas yang tersedia tidak sesuai dengan kebutuhan dalam ukuran tata ruang, sehingga keberadaan fasilitas yang telah ada tidak dapat memenuhi suatu permintaan yang sesuai dengan yang diperlukan. 3. Kesalahan lokasi akibat pengaruh sistem kolonial. Perlunya perbaikan pada sistem pola lokasi yang dibangun oleh sistem kolonial karena hal ini sering menjadi kendala dalam perencanaan pembangunan di masa sekarang dan akan datang, seperti diketahui bahwa sistem kolonial dibangun untuk tujuan dan sesuai dengan keperluan dan kepentingan pemerintah kolonial pada saat itu. 4. Ketidakmerataan tingkat kesejahteraan masyarakat. Upaya pemerataan kesejahteraan masyarakat di suatu wilayah perlu dijadikan perhatian, sehingga perencanaan pembangunan fasilitas pelayanan di suatu wilayah dapat mengarah kepada pencapaian tujuan untuk meningkatkan tingkat pemerataan kesejahteraan masyarakat di wilayah tersebut. Penetapan lokasi dari suatu jenis kegiatan hendaknya tidak hanya sekedar menerangkan kegiatan tersebut sebagaimana adanya, melainkan harus dibuat keputusan yang rasional serta dikemukakan alasan mengapa kegiatan tersebut berada di suatu tempat. Cara terbaik untuk menyediakan pusat pelayanan kepada penduduk yang mendasarkan pada aspek keruangan adalah dengan menempatkan lokasi kegiatan pada hirarki wilayah yang luasnya makin meningkat dan berada pada tempat sentral.

2.6. Hirarki Pusat Aktivitas