Ketentuan Yang Pasti Kematian dalam al-qur'an: perspektif ibnu kathir

13

BAB II TEMA-TEMA KEMATIAN DALAM AYAT AL-

QUR’AN Pada bab ini, penulis mengambil beberapa surat dan ayat tentang tema- tema kematian yang dijadikan pembahasan, kemudian menguraikannya dengan penafsiran Ibn Kathīr dan mufassir lain. Surat dan ayat yang akan dibahas yaitu QS. al-Nis ā’ [4]: 78, QS. al-Mu’minūn [23]: 15, QS. al-A’rāf [7]: 34, QS. Yūnus [10]: 49, QS. al- ijr [15]: 5, QS. al-Na ḥl [16]: 61, QS. al-Isrā’ [17]: 58, QS. Fāṭir [35]: 45, QS. Q āf [50]: 19, QS. al-Wāqi’ah [56]: 83, 84, 85, 86 dan 87, QS. al- Mulk [67]: 2.

A. Ketentuan Yang Pasti

1. QS. al-Nisā’ [4]: 78 1 Ibn Kath īr menafsirkan maksud dari QS. al-Nisā’ [4]: 78 yaitu kalian pasti akan mati, dan tidak ada seorang pun dari kalian yang selamat dari maut, adalah sama maknanya dengan yang disebutkan di dalam ayat lain yaitu QS. al-Ra ḥmān [55]: 26, QS. li ‘Imrān [3]: 185, dan QS. al-Anbiyā [21]: 34, maknanya yaitu setiap orang pasti akan mati. 1 QS. al- Nisā’ [4]: 78                                          “Dimana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, Kendatipun kamu di dalam benteng yang Tinggi lagi kokoh, dan jika mereka memperoleh kebaikan, 1 mereka mengatakan: Ini adalah dari sisi Allah, dan kalau mereka ditimpa sesuatu bencana mereka mengatakan: Ini datangnya dari sisi kamu Muhammad. Katakanlah: Semuanya datang dari sisi Allah. Maka mengapa orang-orang itu orang munafik Hampir-hampir tidak memahami pembicaraan 1 sedikitpun”? QS. al-Nisā’ [4]: 78 Tiada sesuatu pun yang dapat menyelamatkan dia dari kematian, baik dia ikut dalam berjihad ataupun tidak ikut berjihad. Karena sesungguhnya umur manusia itu ada batasnya dan mempunyai ajal yang telah ditentukan serta kedudukan yang telah ditetapkan baginya. 2 Sayyid Qu ṭb menjelaskan dalam karyanya Tafs īr fī ilāl al-Qur‟ān, kematian menurutnya adalah suatu kepastian yang sudah ditentukan waktunya, dan tidak ada hubungannya dengan perlindungan tempat yang dapat melindungi seseorang atau tidak dapat melindungi. Kalau demikian, kematian juga tidak dapat ditunda dengan ditundanya tugas perang, dan tidak dapat pula dimajukan dengan dimajukkanya tugas jihad sebelum waktunya. 3 Kematian dan peperangan adalah dua urusan yang berbeda, dan tidak ada hubungan di antara keduanya. Hubungan yang ada hanyalah antara kematian dan ajal umur, antara waktu yang ditakdirkan Allah dan habisnya waktu itu. Selain itu, tidak ada hubungan lain. Oleh karena itu, tidak ada artinya manusia menginginkan diundurkannya kewajiban perang, dan tidak ada artinya takut kepada manusia baik dalam peperangan maupun di luar peperangan. Dengan sentuhan kedua ini, manhaj Qur’ani mengobati semua lintasan yang melintas dalam pikiran mengenai urusan itu, dan mengobati semua ketakutan dan kegentaran yang ditimbulkan oleh pandangan yang tidak mantap. 4 Menurut pendapat lain yang dimaksud lafaz dari و ialah bintang- bintang yang ada di langit. Pendapat ini disampaikan Ibn Kathīr, tetapi lemah. 2 ‘Abdullāh bin Muḥammad bin ‘Abd al-Raḥmān bin Isḥāq l al-Sheikh, Lubāb al-Tafsīr min Ibn Kathīr, terj. Abdul Ghaffar Bogor: Pustaka Imam al-Syafi’i, 2001, cet. 1, h. 356. 3 Sayyid Qu ṭb, Tafsīr fi ilāl al-Qur‟ān, terj. As’ad Yasin, et. all., Jakarta: Gema Insani, 2008, juz IV, h. 31. 4 Sayyid Qu ṭb, Tafsīr fi ilāl al-Qur‟ān, juz IV, h. 32. Pendapat yang shahih ialah yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengannya adalah benteng yang kuat. Dengan kata lain, tiada guna sikap waspada dan berlindung di tempat yang kokoh dari ancaman maut. Menurut pendapat ulama lain yang di sampaikan oleh Ibn Kath īr yaitu kemakmuran dan rezeki yang berlimpah berupa buah-buahan, hasil pertanian dan lain-lainnya. Yang merupakan musim paceklik kekurangan, kekeringan, dan rezeki yang kering, atau tertimpa kematian anak atau tidak mempunyai penghasilan atau lain-lainnya yang merupakan bencana. Yang dimaksud dengan kata ةنل dalam QS. al-Nisā’ ayat 78 yaitu kemakmuran dan kesuburan yang membuat ternak mereka berkembang biak dengan pesatnya. Begitu juga dengan kuda mereka dan keadaan mereka yang menjadi membaik serta istri-istri mereka yang melahirkan anak-anaknya. 5 Kata ة ي dalam QS. al-Nisā’ ayat 78 menjelaskan yaitu tentang kekeringan dan bencana yang menimpa harta mereka. Maksud dari semuanya yaitu adalah atas ketetapan dan takdir Allah, Dia melakukan keputusan-Nya terhadap semua orang baik terhadap orang yang bertakwa maupun terhadap orang yang durhaka, dan orang mukmin maupun terhadap orang kafir tanpa pandang bulu. 6 Bahwa semua musibah yang datang terhadapnya berawal yang diberikan semuanya dari Allah swt yaitu merupakan kebaikan atau keburukan. Kemudian dari pada itu banyak yang mengingkari, mereka yang mengatakan demikian yang 5 ‘Abdullāh bin Muḥammad bin ‘Abd al-Raḥmān bin Isḥāq l al-Sheikh, Lubāb al-Tafsīr min Ibn Kath īr, cet. 1, h. 357. 6 ‘Abdullāh bin Muḥammad bin ‘Abd al-Raḥmān bin Isḥāq l al-Sheikh, Lubāb al-Tafsīr min Ibn Kathīr, cet. 1, h. 357. timbul dari keraguan dan kebimbangan mereka serta minimnya pemahaman dan ilmu mereka yang diliputi kebodohan dan aniaya. 7 Sesungguhnya ayat di atas sudah sangat jelas maknanya namun demikian penulis menarik kesimpulan dari QS. al-Nis ā’ 78 bahwa setiap makhluk yang hidup di dunia ini mempunya batas umur yang ditentukan oleh Allah swt dan tidak ada yang selamat dari genggaman maut. Baik makhluk itu bersembunyi dalam benteng atau pun bersembunyi dari tempat yang sunyi yang terhindar dari keramaian makhluk lainnya pasti maut itu akan menjemputnya. 2. QS. Al-Mu’minūn [23]: 15 8 Pada penafsiran QS. al- Mu’minūn [23]: 12-15, Ibn Kathīr menjelaskan ayat yang menceritakan bagaimana manusia itu diciptakan yang berasal dari saripati tanah yaitu Adam, namun keturunannya diciptakan dari air mani yang tersimpan dalam tempat yang kokoh yang sudah bercampur dengan cairan seorang wanita yaitu ovum. 7 ‘Abdullāh bin Muḥammad bin ‘Abd al-Raḥmān bin Isḥāq l al-Sheikh, Lubāb al-Tafsīr min Ibn Kathīr, cet. 1, h. 357. 8 QS. al- Mu’minūn [23]: 12-15                                             Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati berasal dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani yang disimpan dalam tempat yang kokoh rahim. Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. kemudian Kami jadikan Dia makhluk yang berbentuk lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta yang paling baik. Kemudian, sesudah itu, Sesungguhnya kamu sekalian benar-benar akan mati. QS. al- Mu’minūn [23]: 12-15 Setelah melewati suatu masa tertentu dijadikan air mani itu segumpal darah, kemudian dari segumpal darah itu menjadi segumpal daging dan dari segumpal daging itu terciptalah tulang belulang yang berbentuk kepala tangan dan kaki, kemudian dibungkusnya tulang-tulang itu dengan daging, otot dan urat-urat, maka terciptalah suatu makhluk yang berbentuk lain dan Allah meniupkan roh terhadapnya. Kemudian Allah memberikan sarana berupa pendengaran, penglihatan, penciuman, suara, pikiran dan gerak, sehingga lengkaplah ia menjadi manusia yang utuh, sempurna sebagai makhluk Allah yang pilihan dan termulia. Kemudian kami jadikan dia makhluk yang berbentuk lain, janin yang lahir dari perut ibunya sebagai bayi tumbuh menjadi balita kemudian balita itu menjadi remaja lalu menjadi manusia lanjut usia dan akan sampai akhir dari kehidupan yaitu kematian. Itulah penjelasan sebuah perjalanan dari kehidupan yang berawal dari saripati tanah yaitu proses penciptaan lalu kembali lagi kepada tanah yaitu kematian. 9 Menurut Sayyid Qu ṭb, kematian adalah akhir dari kehidupan dunia. Dan, kehidupan di alam barzah merupakan jembatan antara dunia dan akhirat. Dengan demikian, ia hanya merupakan fase dari kehidupan, bukan akhir dari kehidupan itu. Kemudian kebangkitan merupakan fase akhir dari pertumbuhan itu. Setelah itu dimulailah kehidupan sempurna yang bersih dari segala kekurangan hidup duniawi, dan dari kebutuhan akan daging dan darah, dari rasa takut dan gelisah, dan dari perubahan dan pertumbuhan. Karena, ia merupakan fase puncak kesempurnaan yang telah ditentukan atas manusia. 9 Ibn Kathīr, Mukhtaṣar Tafsīr Ibn Kathīr, terj. H. Salim Bahreisy dan H. Said Bahreisy, Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsier Surabaya: PT Bina Ilmu, 1994, h. 400-401. Hal itu akan terjadi hanya bagi orang yang menempuh jalan yang sempurna. Jalan yang telah digambarkan oleh paragraf pertama dari surat ini, yaitu jalan orang-orang yang beriman. Sedangkan, orang-orang yang terjerumus dalam fase kehidupan dunia ke tingkat binatang, maka dia dalam kehidupan akhirat akan terjerumus sedalam-dalamnya. Maka, hancurlah kemanusiaannya dan menjadi bahan bahan neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu. Dan, manusia yang seperti ini sama persis dengan batu. 10 Dalam al- Qur’an QS. al-Mu’minūn [23]: 15 penulis tidak mendapati penjelasan yang panjang lebar. Penulis berkesimpulan bahwa antara QS. al- Mu’minūn [23]: 15 dengan ayat sebelumnya memiliki pertalian yang saling berkaitan. Oleh karena itu, penulis mencoba menarik kesimpulan dari al- Qur’an QS. al- Mu’minūn [23]: 15 yang menyatakan proses terjadinya manusia dari awal diciptakan, proses pembentukan tulang, daging dan saraf sehingga menjadikan satu makhluk yang sempurna dalam bentuk yang beraneka ragam perbedaan. Kemudian manusia tersebut menjadikan dewasa dan akhirnya manusia juga akan menghadapi suatu kematian. Itulah perjalanan kehidupan yang berawal dari saripati tanah lalu kembali kepada tanah lagi. 10 Sayyid Qu ṭb, Tafsīr fi ilāl al-Qur‟ān, juz XVIII, h. 167.

B. Tiap-tiap Umat Mempunyai Ajal yang Pasti