Sesaat Menjelang Mati Kematian dalam al-qur'an: perspektif ibnu kathir

C. Sesaat Menjelang Mati

1. QS. Qāf [50]: 19 29 Datanglah sakaratul maut dengan sebenar-benarnya. Itulah yang kamu lari darinya. Yang diajak oleh ayat ini adalah manusia, apakah dia seorang mukmin ataukah seorang kafir. Ibn Kath īr menjelaskan bahwasanya manusia itu tidak dapat melarikan diri dari kematian, ke mana pun dia akan berlari. Karena dia pasti akan bertemu dengan kematian itu. 30 Berbeda Sayyid Qu ṭb, kematian merupakan sesuatu yang diupayakan manusia untuk dihindari atau dujauhkan dari benaknya. Namun, bagaimana mungkin hal itu berhasil. Kematian senantiasa mencari. Ia tiada bosannya mencari, tidak pernah terlambat melangkah, dan tidak mengingkari janji. Sakratul maut bagaikan rombongan kafilah yang merambat di seluruh persendian. Sementara itu, pemandangan terbentang dan manusia mendengar, “Itulah yang kamu selalu lari dari padanya.” 31 Kematian mengguncangkan raganya, padahal sebelumnya dia berada dalam alam kehidupan. Mengapa dikatakan demikian, padahal dia tengah menghadapi sakaratul maut? Dalam hadis sahih ditegaskan bahwa setelah Rasulullah sadar dari pingsan karena menghadapi sakaratul maut, beliau mengusap keringat dari wajahnya seraya bersabda, “Sebhanallah Kematian itu memiliki beberapa hal yang memabukkan.” Beliau bersabda demikian, padahal 29 QS. Qāf [50]: 19            “Dan datanglah sakaratul maut dengan sebenar-benarnya. Itulah yang kamu selalu lari daripadanya.” QS. Qāf [50]: 19 30 Mu ḥammad Nasib al-Rifā’i, Taisīr al-Alīy al-Qādī li Ikhtiṣāri Tafsīr Ibn Kathīr, terj, Syihabuddin, Ringkasan Tafsir Ibn Katsir Bandung: Gema Insani Press, 1999, h. 454-455. 31 Sayyid Qu ṭb, Tafsīr fi ilāl al-Qur‟ān, juz XXVI, h. 23. dirinya memilih menjadi teman di kalangan malaikat yang tinggi dan merindukan perjumaan dengan Allah. Lalu, bagaimana manusia selainnya? Perhatikanlah kata al- ḥāqq pada ungkapa, “Dan datanglah sakaratul mau yang sebenar- benarnya.” Kata itu mengisyaratkan bahwa diri manusia melihat kebenaran yang utuh dalam sakaratul maut tanpa hijab. Dia memahami apa yang semula tidak diketahuinya dan yang diingkarinya. Namun, pemahaman ini diraih setelah hilangnya kesempatan, yaitu tatkala pengliahatan tidak berguna, pemahaman tidak bermanfaat, tobat tidak diterima, dan keimanan tidak dipertibangkan. Kebenaran itulah yang dahulu mereka dustakan, sehingga mereka pun berakhir dalam perkara kacau-balau. Tatkala mereka memahami dan membenarkannya, pemahaman itu tidak lagi berguna dan bermanfaat sedikit pun. 32 Kesimpulan dari QS. Q āf [50]: 19 penulis melihat adanya kesamaan dengan kesimpulan QS. al-Nis ā’ ayat 78 bahwasanya manusia tidak akan mampu melarikan diri dari kematian dan tidak akan dapat bersembunyi walaupun berada di dalam benteng karena sesuai dengan firman-Nya bahwa setiap yang bernyawa pasti akan mengalami kematian dan maut akan mendatangi mereka sesuai dengan ketetapan dari-Nya. 32 Sayyid Qu ṭb, Tafsīr fi ilāl al-Qur‟ān, juz XXVI, h. 23-24. 2. QS al-Wāqi’ah [56]: 83-87 33 Ibn Kah īr menafsirkan ayat di atas dengan munasabah ayat lain sebagaima permasalahan yang menyangkut nyawa sudah sampai dikerongkongan yaitu ketika sakaratul maut tiba, sebagaimana firman- Nya, “sekali-kali jangan. Apabila nafas telah mendesak sampai ke kerongkongan dan dikatakan, ‘siapakah yang dapat menyembuhkan.’ Dan dia yakin itulah saat perpisahan dengan dunia. Dan bertaut antara betis yang satu dan betis yang lain. Kepada Tuhanmulah pada hari itu kamu dihalau. “QS. al-Qiyāmah [75]: 26-30” Selain ayat di atas Ibn Kathīr juga menafsirkan ayat dengan permasalahan yang sama, hal ini bisa disebutkan dalam firman Allah swt, “padahal kamu ketika itu melihat,” yaitu melihat kehadiran malaikat maut dan apa yang dibawanya. “Dan kami lebih dekat kepadanya dari pada kamu,” yaitu kami lebih dekat kepada para malaikat kami, “tetapi kamu tidak melihat” mereka. Hal ini seperti firman-Nya, “sehingga apabila datang kematian kepada salah satu seorang di antara kamu, ia diwafatkan oleh malaikat-malaikat kami dan malaikat-malaikat kami itu tidaklah melalaikan kewajibannya. QS. al- An’ām [6]: 61. Dalam penafsiran Ibn Kath īr, bahwasanya orang yang sudah dalam sakratul maut tidak ada satu pun yang dapat menyembuhkannya baik itu Nabi 33 QS. al- Wāqi’ah [56]: 83-87                             “Maka mengapa ketika nyawa sampai di kerongkongan, Padahal kamu ketika itu melihat, dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada kamu. tetapi kamu tidak melihat, Maka mengapa jika kamu tidak dikuasai oleh Allah? kamu tidak mengembalikan nyawa itu kepada tempatnya jika kamu adalah orang- orang yang benar?” QS. al-Wāqi’ah [56]: 83-87 maupun Rasul. Mereka yang sedang merasakan sakratul maut itu bagaikan kulit yang sedang diseseti, dan mereka yang sedang mengalami sakratul maut itu pasti melihat malaikat maut tersebut.

D. Cobaan-cobaan