1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Berbicara mengenai kematian bukanlah suatu hal yang mudah karena di samping pengetahuan manusia tentang hal tersebut sangat terbatas. Hidup dan
menghembuskan nafas itu adalah satu hakikat yang sulit dibantah dan hampir tidak diperdebatkan oleh manusia.
1
Sedangkan manusia terkadang tidak sadar setelah tidak menghembuskan nafas, akan mengalami suatu proses yaitu kematian, yang mana proses itu
terkadang tidak diperhatikan oleh sekalian manusia dan terkadang bahkan dilupakan.
2
Sebagai seorang Muslim yang beriman, mereka harus percaya akan adanya kematian yang selalu setia menunggunya. Banyak orang yang beranggapan bahwa
kematian hanyalah sebatas kelenyapan semata dan tidak ada hari kebangkitan pembalasan amal setelahnya. Seperti halnya kaum Humanis di Barat, mereka
tidak percaya bahwa setelah kematian akan ada pembalasan atas amal kebaikan dan kejahatan.
3
Bagi mereka, kematian sama halnya dengan matinya hewan atau keringnya dedaunan maupun tanaman. Mereka meyakini kematian pasti datang
menjemput, tetapi tidak mempercayai akan kehidupan selanjutnya yaitu akhirat. Begitu besar perhatian al-
Qur’an dalam menerangkan fenomena kematian. Sebagaimana tercatat, bahwa al-
Qur’an berbicara tentang kematian kurang lebih
1
M. Quraish Shihab, Menjemput Maut Bekal Perjalanan menuju Allah SWT Tanggerang: Lentera Hati, 2005 h. 18
2
M. Quraish Shihab, Menjemput Maut Bekal Perjalanan menuju Allah SWT, h. 19
3
Qomaruddin SF. dalam Alwi Shihab, Zikir Sufi-Menghampiri Ilahi dengan Tasawuf, Jakarta: Serambi, 2003, h. 145.
sebanyak 300 ayat. disamping itu pula ada juga hadis Nabi saw. baik yang shahih maupun dhaif.
4
Salah satu hadis Nabi yang penulis paparkan tentang kematian adalah:
ِ ْ َ ْا َ ْ ََ َ ِا َ ِ َ َ ُ َ ْ ََ َا َ ْ َ ُ ّ َ ْا
“Orang yang cerdas ialah orang yang mengendalikan dirinya dan bekerja untuk kehidupan setelah kematian.” HR. al-Tirmidhī
5
Dengan adanya skripsi yang sederhana ini, penulis akan mencoba membahas beberapa ayat al-
Qur’an yang memiliki hubungan erat tentang perihal kematian. Di antara beberapa surat dan ayat yang akan penulis bahas tentang
tema-tema kematian adalah: QS. al- Nisā’ [4]: 78; QS. li ‘Imrān [3]: 185, dan
156-158; QS. al- Jumu’ah [62]: 5-8.
Kematian sebuah kata yang sederhana tetapi mengandung banyak makna yang sangat dalam. Di dalam kehidupan makhluk yang bernyawa pastilah akan
bertemu dengan yang namanya kematian. Akan tetapi sepertinya mereka banyak yang seakan-akan tidak peduli tidak mau berfikir untuk mempersiapkan diri
bertemu dengan kematian. Bagi sebagian manusia menganggap seolah-olah kematian merupakan sesuatu hal yang menakutkan dan menyeramkan. Karena
manusia berfikir bahwa jika sudah menemui ajal atau kematian pastilah semua kesenangan dan semua hal-hal yang meng-enakkan di dunia akan ditinggalkan.
Pemikiran yang seperti itu adalah merupakan pemikiran bagi manusia yang memiliki keimanan dan ketaqwaan yang sangat tipis dan juga manusia yang hanya
mementingkan kehidupan duniawi semata. Akan tetapi akan berbeda bagi
4
M. Qurais Shihab, Membumikan Al- Qur‟an, Mizan: Bandung, 2007, h.
5
Mu ḥammad bin ‘Isā Abū ‘Isā Tirmidhī Salimī, Jāmi‟ al- aḥīḥ Sunan Tirmidhī, juz 9,
nomor 2647, Beirut: tth, h. 337
manusia yang berfikir dengan kesadaran dan keimanannya, pastilah mereka akan selalu memikirkan dan memaknai arti sebuah kematian dengan segala upaya
untuk bisa mengambil pelajaran dan mempersiapkannya secara lebih matang dan mendalam.
Melalui proses kematian, manusia di-ingatkan akan keberadaannya di alam dunia ini. Ternyata jika direnungkan, kehidupan ini hanyalah sebatas
persinggahan. Dikatakan persinggahan karena waktu kesempatan hidup yang tersedia untuk mereka hanya sementara. Tiap-tiap manusia tidak akan pernah tahu
kapan-kah waktu kesempatan hidup ini akan berakhir. Tidak ada satu pun manusia di alam dunia ini yang dapat hidup kekal abadi. Karena yang hidup kekal abadi
hanyalah Allah swt, dan semua yang bernama makhluk apapun itu pasti akan rusak binasa menghadapi kematian.
6
Penulis menganalisa bahwa orang yang terjerumus ke dalam kesibukan di dunia, yang terpedaya oleh kemewahan dunia, dan yang lebih menyukai
kenikmatan yang diperoleh dengan perantaraan dunia pasti hatinya tidak ingat akan kematian. Yang dapat disimpulkan bahwa dikodratkan dalam penciptaan di
dunia untuk beribadah dan mengabdi kepada Allah swt. Jika ada seseorang yang membahas kepada mereka mengenai kematian
kemudian dia benci dan berpaling dari kematian dan bertambah jauhlah dari Allah swt jika dia diingatkan kematian, maka dia akan menjadi orang yang celaka.
Biasanya orang tersebut akan berbuat yang sewenang-wenangnya dengan kata lain mempunyai sifat-sifat yang tidak terpuji.
6
Imām al-Qurṭubī, Al-Tadhkirah fī Aḥwal al-Mauta wa „Umur al-Akhirah, Beirut Lebanon: Dār el-Marefah, 1996 h. 14.
Adapun di antara orang-orang yang baik ialah bagi orang yang selalu mengingat kematian, sebab dengan mengingat mati orang tersebut di arahkan
untuk selalu mengerjakan perbuatan yang terpuji dan menjauhi perkara yang tercela atau menyebabkan murka Allah swt.
7
Sebagaimana penulis mengambil salah satu ayat kematian dari pembahasan skripsi ini yaitu firman Allah swt dalam QS. al-Nis
ā’ [4]: 78.
Dimana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, Kendatipun kamu di dalam benteng yang Tinggi lagi kokoh
” QS. al-Nisā’ [4]: 78
Seluruh manusia yang memegang teguh ajaran agama Islam diperintahkan untuk senantiasa ingat kepada kematian agar mempersiapkan bekal untuk hidup
setelah mati semaksimal mungkin. Karena kematian itu pasti akan mendatangi makhluk yang bernyawa sekalipun mereka bersembunyi di tempat yang kokoh
tetap akan diterobos oleh mati. kematian merupakan kejadian yang sangat berat dan paling menakutkan
serta mengerikan. Padahal kematian itu pasti akan dialami oleh setiap makhluk yang bernyawa. Apabila kematian sudah dikatakan suatu peristiwa yang paling
menakutkan serta akan dialami oleh setiap manusia. Maka melupakan mati atau tidak pernah ingat mati sekalipun, dikatakan orang yang sangat bodoh dan
merupakan perbuatan yang tidak dapat dipertanggung jawabkan sama sekali. Seseorang yang tidak pernah mengingat mati sedang dia pasti akan
mengalaminya, berarti ia akan menempuh kejadian yang hebat secara membabi
7
Imām al-Qurṭubī, Al-Tadhkirah fī Aḥwal al-Mauta wa „Umur al-Akhirah, h. 15.
buta. Ibarat orang yang berpergian jauh disuatu daerah yang tidak pernah dipelajari sebelumnya dan tidak pernah dipikir sebelumnya dalam keadaan yang
gelap gulita pula. Maka sudah pasti dia tidak akan dapat melangkah atau berjalan ke alam yang gelap gulita itu dan dia pasti akan mempunyai perasaan yang gentar,
takut, bingung, dan tidak tahu jalan apa yang harus dilakukan. Allah menghendaki kebaikan pada seseorang kalau orang itu sendiri suka
berbuat baik, sehingga orang itu senantiasa terpelihara dalam kebaikan sampai akhir hayatnya dan meninggal dengan cara khusnul khatimah. Sebaliknya Allah
menghendaki seseorang berbuat keburukan dan kejahatan kalau orang itu sendiri suka berbuat buruk. Sehingga dia terus menerus berbuat buruk sampai akhir
hayatnya dan meninggal dengan cara su ‛ul khatimah.
Makhluk-Nya tidak hanya manusia saja melainkan malaikat yang baik yang diperintahkan oleh Allah untuk dilaksanakannya dan segala perbuatan
mereka juga akan merasakan kematian. Semua mahluk-Nya tidak akan kekal di dunia ini kecuali Allah semata.
Dengan latar belakang yang telah penulis paparkan di atas, penulis mencoba untuk mengkaji
“Kematian dalam Al-Qur’an: Perspektif Ibn Kathīr”
Hal ini merupakan sebuah kekaguman penulis kepada seorang tokoh ahli tafsir yaitu Ibn Kath
īr
8
sebagai al- afi ẓ, al-Muḥaddīth, al-Faqih, al-Mu’arrikh, al-
8
Nama lengkap Ibn Kathīr adalah Ismāil bin ‘Amr al-Quraisy bin Kathīr al-Baṣrī al-
Dimashqī ‘Imad al-Dīn Abul Fidā al- afiẓ al-Muḥaddīth al-Shāfi’ī. Ia terkenal dengan panggilan Ibn Kathīr ‘Imad al-Dīn al-Fidā’. Ibn Kathīr lahir di Bashra tahun 700 H1300 M dan meninggal
pada hari kamis 26 Sy a’ban tahun 774 H1373 M di Damaskus, beberapa tahun setelah menulis. Ia
dikuburkan di pemakaman sufi di samping makam Gurunya Ibn Taimīyah berdasarkan wasiatnya. Lihat ‘Umar Riḍā Kabalah, Mu‟jam al-Mu‟allifīn Beirut, Maktabah al-Mutsannā Dār Iḥyā al-
Turāth al-‘Arābī, 1376 H 1957 M. jilid I, h. 283-284 dan Ibn Kathīr, al-Bidāyah Wa al-Nihayah Beirut Libanon, Dār al-Kutūb al-‘Ilmīyah. Jilid I, h. 2.
Karya monumental Ibn Kathīr adalah:
Mufass īr dan juga dari terjemahan Kitab Tafsīr Ibn Kathīr dapat di pahami dari
penafsiran ayat al- Qur’an yang jelas dan mudah dimengerti.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah