TINJAUAN PUSTAKA Manajemen Risiko Produksi Jamur Tiram Putih pada Unit Usaha Milik Bapak Sukamto di Desa Cipayung Kecamatan Megamendung Kabupaten Bogor

12

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 . Jamur Tiram Putih

Jamur tiram merupakan jamur kayu yang telah banyak dibudidayakan di Indonesia. Nama jamur tiram putih diambil dari bentuk tudungnya yang melengkung, lonjong, dan membulat menyerupai kerang atau cangkang tiram dengan bagian tepi yang bergelombang Agromedia, 2009. Beberapa jenis jamur sudah dapat dibudidayakan secara komersial. Berkembangnya teknologi dan pengetahuan mengenai budidaya, jamur dapat dibudidayakan dengan membuat rumah produksi kumbung yang suhunya dapat diatur. Jamur mulai menjadi salah satu komoditas sayuran yang dalam beberapa tahun terakhir jamur memiliki peminat yang semakin banyak, baik dari dalam negeri maupun dari mancanegara Direktorat Jenderal Hortikultura, 2006. Menurut Direktorat Jenderal Hortikultura 2006, ada beberapa syarat agar jamur tiram dapat tumbuh dengan baik yaitu jamur tiram dapat tumbuh jika berada pada suhu berkisar 22 o C-28 o C untuk masa inkubasi atau pembentukan miselium dan 16 o C-22 o C untuk masa pembentukan tubuh buah. Selama masa pertumbuhan miselium kelembapan udara dipertahankan antara 60-70, sedangkan pada pertumbuhan badan buah kelembaban dipertahankan berkisar antara 80-90. Suhu dan kelembaban dapat diatur dengan melakukan penyemprotan air ke dalam kumbung. Kandungan air dalam subtrat, diperlukan berkisar antara 60-65. Jika kondisi kering atau kekurangan air maka pertumbuhan jamur akan terganggu. Media tanam jamur tiram putih dibuat menyerupai kondisi tempat tumbuh jamur tiram putih di alam. Bahan baku yang digunakan sebagai media tanam dalam budidaya jamur tiram putih adalah serbuk gergaji, kapur yang berfungsi sebagai penetral keasaman dengan mengontrol pH tetap stabil pada saat proses pengomposan, gips yang berfungsi sebagai bahan penambah mineral dan menguatkan kepadatan media tanam, serta dedak yang mengandung karbohidrat, karbon, nitrogen, dan vitamin B yang dapat mempercepat pertumbuhan miselium jamur tiram putih Direktorat Jenderal Hortikultura, 2006. 13 Menurut Direktorat Jenderal Hortikultura 2007, jamur tiram putih atau dalam bahasa latin disebut Pleurotus sp. merupakan salah satu jamur konsumsi yang bernilai tinggi. Hal ini dikarenakan usahatani jamur tiram putih tidak memerlukan lahan yang luas bahkan dapat dilakukan dipekarangan penduduk. Melalui kegiatan tersebut tentu saja akan memberikan nilai tambah dan juga pendapatan lebih bagi keluarga. Beberapa sentra produksi jamur tiram putih di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 9 Direktorat Jenderal Hoetikultura, 2011. Tabel 9. Sentra Produksi Jamur Tiram Putih di Indonesia Tahun 2011 No Provinsi Kabupaten 1 Aceh Banda Aceh, Aceh Besar 2 Sumatra Barat Limapuluh Kota, Agam, Solok Selatan, Kota Payakumbuh 3 Jambi Kota Jambi, Tanjung Jabo 4 Sumatra Selatan Musi Rawas, Banyuasin, Kota Palembang, OKU Timur 5 Jawa Barat Karawang, Subang, Purwakarta, Cianjur, Indramayu, Cirebon, Bandung Barat, Garut, Ciamis, Tasikmalaya, Bogor, Sumedang 6 Jawa Tengah Karanganyar, Wonosobo, Solo, Tegal, Semarang 7 DIY Sleman, Bantul 8 Jawa Timur Sidoarjo, Pasuruan, KabKota Malang, Batu, Magetan, Mojokerto, Jombang, Jember 9 Banten Tangerang Selatan, Tangerang, Cilegon, Serang 10 Bali Tabanan, Denpasar, Buleleng, Gianyar Sumber: Direktorat Jenderal Hortikultura, 2011 Selain jenis jamur tiram putih, terdapat beberapa spesies jamur tiram yang dapat dikonsumsi, yaitu: jamur tiram merah jambu Pleurotus flabellatus, jamur tiram abu-abu Pleurotus sajor caju, jamur tiram cokelat Pleurotus cystidiosus, jamur tiram hitam Pleurotus sapidus dan jamur tiram kuning Pleurotus citrinopileatus Namun demikian jamur tiram putih memiliki beberapa kelebihan apabila dibandingkan dengan jamur tiram lainnya, diantaranya: 14 1. Jamur tiram putih tumbuh membentuk rumpun dalam satu stadia dan setiap rumpun mempunyai percabangan yang cukup banyak apabila dibandingkan dengan jamur tiram cokelat. 2. Jamur tiram putih memiliki daya simpan lebih lama apabila dibandingkan dengan jamur tiram abu-abu. 3. Jamur tiram putih memiliki kandungan protein yang lebih besar apabila dibandingkan dengan jamur tiram cokelat yaitu sebesar 2,7 . 4. Jamur tiram putih memiliki tudung yang lebih tebal apabila dibandingkan dengan jamur tiram abu-abu. 2.2 Kajian Penelitian Terdahulu 2.2.1 Penelitian Jamur Tiram Putih Ada beberapa peneliti yang telah meneliti tentang jamur tiram putih, diantaranya adalah Harahap 2011 dengan judul analisis strategi pengembangan usaha bibit dan media tanam jamur tiram putih pada “Kelompok Wanita Tani Hanjuang” di Kecamatan Tamansari Kabupaten Bogor, Ginting 2009 dengan judul risiko produksi jamur tiram putih pada usaha Cempaka Baru di Kecamatan Cisarua Kabupaten Bogor dan Nasution 2009 dengan judul analisis kelayakan usaha budidaya jamur tiram putih kasus perusahaan x di Desa Cibitung Kulon, Kecamatan Pamijahan, Bogor Jawa Barat. Pada penelitian Harahap 2011 yang berjudul analisis strategi pengembangan usaha bibit dan media tanam jamur tir am putih pada “Kelompok Wanita Tani Hanjuang” di Kecamatan Tamansari Kabupaten Bogor, pola hidup sehat telah berkembang menjadi gaya hidup sebagian besar masyarakat Indonesia mengakibatkan peningkatan konsumsi terhadap sayuran. Peningkatan konsumsi terhadap sayuran tersebut memberikan pengaruh yang positif terhadap perkembangan bisnis jamur yang pada akhirnya menuntut ketersediaan terhadap pasokan bibit dan media tanam dalam mendukung kegiatan budidaya yang telah menjadi alternatif usaha yang mulai dikembangkan oleh sebagian besar pelaku usaha yang ada. Berdasarkan penelitian Ginting 2009 yang berjudul risiko produksi jamur tiram putih pada usaha Cempaka Baru di Kecamatan Cisarua Kabupaten Bogor 15 dan Nasution 2009 dengan judul analisis kelayakan usaha budidaya jamur tiram putih kasus perusahaan x di Desa Cibitung Kulon, Kecamatan Pamijahan, Bogor Jawa Barat, jamur tiram putih merupakan tanaman yang memiliki cara hidup yang berbeda dengan tanaman sayur lainnya yang umumnya tumbuh di hamparan tanah sebagai media tanam. Tanaman jamur tiram putih hidup pada media berupa serbuk gergaji kayu atau yang dinamakan dedak. Oleh karena itu jamur tiram putih termasuk kedalam tumbuhan saprofit karena hidup pada batang mati. Budidaya tanaman jamur tiram putih dimulai dari pembuatan media tanam yang akan disuntikkan bibit murni berupa spora jamur. Pada tahap pembuatan media tanam dan pembibitan memerlukan pengetahuan yang handal, karena dapat berdampak terhadap kegagalan produksi dimana jamur tiram putih tidak dapat tumbuh dengan baik apabila media tanam dan pembibitan mengalami masalah. Pada umumnya, kebanyakan petani jamur tiram putih memilih untuk membeli bibit yang sudah jadi dalam bentuk baglog, dengan demikian maka kegiatan budidaya yang dilakukan petani hanya pemeliharaan saja. Dalam hal pembibitan dan pembuatan baglog memiliki risiko kegagalan yang cukup tinggi sehingga kebanyakan petani jamur tiram putih tidak bersedia mengambil risiko tersebut. Pada umumnya petani membeli baglog pada pihak yang sudah berpengalaman dan memiliki peralatan yang baik untuk pembuatan bibit. Berdasarkan penelitian Nasution 2009, usaha budidaya jamur mempunyai keuntungan komparatif dibandingkan dengan budidaya tanaman sayuran komersial lainnya. Keuntungan tersebut meliputi aspek ketersediaan bibit yang mudah didapatkan, media tanam yang digunakan dengan memanfaatkan limbah pertanian dengan serbuk gergaji dan jerami, luas lahan yang digunakan untuk pembudidayaan relatif sempit, serta harga jual yang relatif tinggi dibandingkan dengan tanaman sayuran lainnya. Permintaan jamur tiram putih yang tinggi belum dapat terpenuhi oleh petani, sehingga jamur tiram putih yang dibawa kepasar selau habis terjual. Prospek pasar yang tinggi tersebut merangsang individu atau perusahaan untuk meningkatkan skala produksinya. Berdasarkan penelitian Harahap 2011, faktor yang menjadi peluang perusahaan adalah permintaan jamur yang semakin meningkat serta faktor yang 16 menjadi ancaman bagi perusahaan diantaranya yaitu perubahan cuaca yang tidak menentu, ancaman pendatang baru, serta situasi keamanan sekitar perusahaan. Beberapa strategi yang dilakukan perusahaan untuk mengatasi hal tersebut yaitu: 1 Mempertahankanmeningkatkan kualitas produk, 2 Memberikan pelayanan yang baik kepada konsumen, 3 Mempertahankan harga produk yang bersaing, 4 Menerapkan perkembangan teknologi, 5 Meningkatkan jumlah produksi, 6 Memperbaiki struktur bangunan untuk kegiatan operasional, 7 Meningkatkan komunikasi dalam organisasi, 8 Meningkatkan kualitas SDM perusahaan.

2.2.2. Analisis Sumber-Sumber Risiko pada Usaha Agribisnis

Menurut Safitri 2009 risiko produksi akan mempengaruhi tingkat produktivitas yang dihasilkan, terjadinya fluktuasi dalam produktivitas yang dihasilkan perusahaan menunjukkan bahwa perusahaan menghadapi adanya risiko dalam kegiatan produksi. Risiko produksi yang dihadapi PT Pesona Daun Mas Asri disebabkan oleh kondisi alam yang tidak pasti serta serangan hama dan penyakit yang sulit diprediksi. Menurut Ginting 2009 sumber utama munculnya risiko produksi jamur tiram putih pada usaha Cempaka Baru adalah perubahan cuaca dan iklim yang sulit diprediksi serta serangan hama dan penyakit yang sulit dikendalikan karena karakteristik jamur tiram putih rentan terhadap hama dan penyakit. Ketersediaan tenaga kerja yang terampil serta teknologi pengukusan yang digunakan juga merupakan sumber risiko yang terdapat pada usaha Cempaka Baru. Hasil penelitian Sianturi 2011 yang menemukan sumber-sumber risiko yang dihadapi PT Saung Mirwan dalam mengusahakan berbagai jenis bunga antara lain kondisi cuaca dan iklim, hama penyakit dan bibit, peralatan dan bangunan, tenaga kerja dan harga produk. Hasil penelitian Setyarini 2011 juga menemukan sumber-sumber risiko yang dapat menyebabkan terjadinya risiko produksi paprika hidroponik adalah serangan hama dan penyakit, kondisi cuaca dan iklim yang tidak menentu, serta keterbatasan kemampuan tenaga kerja. Penelitian Wisdya 2009 menemukan faktor-faktor penyebab risiko produksi pada produksi anggrek Phalaenopsis antara lain reject yang terdiri dari kontaminasi dalam pembibitan dengan teknik kultur jaringan, serangan hama 17 penyakit, virus, mutan, stagnan dan kerusakan mekanis pada tanaman yang sulit diprediksi. Menurut penelitian Panggabean 2011 Usaha diversifikasi dendrobium yang dilakukan Permata Anggrek dihadapkan pada kendala risiko yang dapat dikelompokkan kedalam dua bagian yaitu: risiko pra penjualan dan risiko dalam pasar. Sumber risiko pra penjualan berasal dari tidak teraturnya persediaan dendrobium karena adanya perubahan iklim dan cuaca serta serangan hama dan penyakit. Risiko pada pasar bersumber dari perubahan selera konsumen, fluktuasi harga jual dan kerusakan pada saat proses transportasi dan distribusi . Di dalam penelitin Ferdian 2011 faktor-faktor operasional penyebab terjadinya risiko yang ada pada usaha Pembenihan ikan lele di Cahaya kita adalah disebabkan oleh manusia dan alam. Faktor manusia disebabkan adanya kesalahan dalam pemberian pakan, kondisi kolam yang kurang bersih, dan terlambat melakukan penyortiran. Sedangkan faktor alam adalah adanya kondisi alam yang berfluktuatif, serta adanya serangan hama, penyakit dan pakan alami pada saat musim penghujan. Dari penelitian-penelitian terdahulu tentang agribisnis diperoleh variabel- variabel yang menjadi sumber-sumber risiko yaitu faktor cuaca yang tidak pasti, serangan hama dan penyakit, ketersedian tenaga kerja yang terampil masih kurang, teknologi yang belum sesuai, efektivitas penggunaan input serta harga produk. Variabel-variabel tersebut juga diduga menjadi sumber risiko pada usaha jamur tiram putih yang diteliti pada penelitian ini.

2.2.3 Metode Analisis Risiko

Pengukuran risiko dapat dilakukan dengan menggunakan metode analisis seperti Variance, Standard Deviation dan Coefficient Variation Elton dan Gruber 1995 diacu dalam Ginting 2009. Ketiga metode analisis tersebut digunakan untuk mengukur kemungkinan penyimpangan akibat dari suatu risiko atau kejadian yang merugikan. Ketiga ukuran tersebut saling berkaitan satu sama lain dan nilai variance sebagai penentu ukuran lainnya. Semakin kecil nilai ketiga indikator tersebut mencerminkan semakin rendah risiko yang dihadapi. 18 Ketiga metode analisis tersebut digunakan dalam penelitian Safitri 2009 dan Ginting 2009, begitu juga dengan penelitian Sianturi 2011 dan Panggabean 2011 serta Wisdya 2009 juga menggunakan expected return untuk menilai risiko yang terjadi di dalam perusahaan. Pada penelitian ini menggunakan metode nilai standar untuk menghitung probabilitas terjadinya risiko dan metode VaR Value at Risk untuk menghitung dampak yang ditimbulkan oleh risiko. Kemudian dari nilai yang didapat dari dua analisis tersebut kemudian dimasukkan ke dalam sebuah peta risiko, dimana pada peta risiko tersebut terdapat dua sumbu yang menggambarkan probabilitas pada sumbu vertikal dan dampak pada sumbu horizontal. Dari peta risiko kemudian dapat diketahui strategi penanganan risiko yang tepat untuk dilaksanakan, diantaranya adalah preventif dan mitigasi, seperti pada penelitian Sumpena 2011. Kountur 2006, dari segi kemungkinan, pada umumnya risiko yang kemungkinannya lebih besar dari 10 dianggap tinggi, kategori kemungkinan suatu risiko sebagai berikut, tingkat kemungkinan rendah yaitu kemungkinan terjadinya 2-5, tingkat kemungkinan medium yaitu kemungkinan terjadinya 5- 10, tingkat kemungkinan tinggi yaitu kemungkinan terjadinya10-20, dan tingkat kemungkinan sangat tinggi, kemungkinan terjadinya lebih dari 20.

2.2.4. Strategi Penanganan Risiko

Menurut Safitri 2009 strategi pengelolaan risiko produksi daun potong di PT Pesona Daun Mas Asri dapat dilakukan dengan diversifikasi dimana terdapat dua jenis komoditas yang ditanam dalam satu luasan lahan. Dengan adanya diversifikasi produk maka akan dapat menutupi kegiatan produksi yang mengalami penurunan selain itu strategi yang digunakan untuk mengelola risiko adalah dengan pola kemitraan produksi antara pihak perusahaan dengan petani. Hal ini dimaksudkan apabila perusahaan mengalami kekurangan produksi maka dapat dipasok dari petani tetapi sebelumnya telah disepakati standar kualitas yang dimiliki oleh perusahaan agar produk yang dihasilkan tidak jauh berbeda. Hasil penelitian Ginting 2009 strategi penanganan risiko produksi yang dapat dilakukan usaha Cempaka Baru adalah strategi preventif, yaitu strategi yang 19 bertujuan untuk menghindari terjadinya risiko. Adapun tindakan preventif yang dilakukan yaitu, meningkatkan kualitas perawatan untuk menangani kondisi iklim dan cuaca yang sulit diprediksi yang dilakukan dengan meningkatkan intensitas penyiraman membersihkan area yang dijadikan kumbung serta memperbaiki dan merawat fasilitas fisik, melakukan perencanaan pembibitan, mengembangkan sumberdaya manusia serta menggunakan peralatan yang steril dalam melakukan penyuntikan bibit murni ke dalam media tanam. Strategi preventif dipilih apabila kemungkinan terjadinya besar. Menurut Wisdya 2009 mengemukakan strategi penanganan risiko produksi anggrek phaleonopsis pada PT Ekakarya Graha Flora dapat dilakukan dengan pengembangan diversifikasi pada lahan yang ada. Alternatif yang dilakukan adalah dengan diversifikasi portofolio pada lahan yang berbeda dengan tumpang sari tetapi dalam waktu yang sama. Adanya diversifikasi akan dapat diminimisasi tetapi tidak dapat dihilangkan seluruhnya atau menjadi nol. Alternatif lain untuk meminimalkan risiko produksi adalah kerjasama penyediaan bibit dengan konsumen dan usaha pembungaan berupa rangkaian bunga dalam pot untuk menampung hasil produk yang reject Hasil penelitian Sianturi 2011 strategi pengelolaan risiko yang dilakukan oleh PT. Saung Mirwan adalah dengan terlebih dahulu mengidentifikasi risiko- risiko yang ada kemudian dievaluasi selanjutnya diambil tindakan untuk meminimalisir risiko. PT. Saung Mirwan juga melakukan variasi penggunaan input untuk mengendalikan risiko. Menurut hasil penelitian Panggabean 2011 Permata Anggrek dalam upaya mengendalikan risiko pengusahaan dendrobium telah melakukan banyak cara yang cukup efektif, diantaranya adalah pencegahan dan pengendalian serangan hama dan penyakit untuk mengurangi jumlah tanaman yang mati, dan merespon dengan baik perubahan tren permintaan. Selain itu Permata Anggrek juga melakukan strategi integrasi vertikal untuk mengurangi risiko yang ada pada tahapan pemeliharaan, yaitu dengan memproduksi anggrek dendrobium sendiri khususnya kelompok dendrobium campur kecil. Mengacu pada penelitian Ginting 2009 yang juga menganalisis risiko produksi jamur tiram penelitian ini juga menggunakan alat analisis yang sama 20 yaitu penilaian hasil perhitungan variance, standard deviation, dan coefficient variance . Namun pada penelitian ini dilakukan pengukuran probabilitas atau kemungkinan terjadinya kerugian yang dilakukan dengan analisis z-score dan juga dilakukan pengukuran dampak risiko dengan menggunakan analisis value at risk seperti yang terdapat pada penelitian Ferdian 2011, untuk kemudian hasil analisis tersebut akan menunjukkan status risiko dalam perusahaan yang akan di petakan dalam peta risiko. Dalam penelitian Ferdian 2011 yang berjudul Manajemen Risiko Pembenihan Ikan Lele Sangkuriang Clarias sp. di Cahaya Kita, Gadog, Bogor, Jawa Barat alternatif penanganan untuk sumber risiko dengan tingkat probabilitas dan dampak yang tinggi kuadran I dan Kuadran II ditangani dengan strategi preventif, yaitu dengan cara manajemen dan waktu penjadwalan, manajemen pakan, manajemen kesehatan dan lingkungan, melakukan perjanjian pembelian dengan pemasok pakan alami dan melakukan kultur pakan alami sendiri serta selalu menjaga kebersihan kolam dan kualitas air. Sedangkan untuk sumber risiko dengan tingkat probabilitas rendah namun dampak yang diakibatkan tinggi Kuadran IV ditangani dengan strategi mitigasi, yaitu dengan cara penggantian air, penanganan benih yang sakit secepatnya dan melakukan penyortiran sesuai jadwal dan berhati-hati. Sedangkan untuk risiko dengan tingkat probabilitas dan dampak yang rendah Kuadran III hanya perlu ditangani dengan jalan memonitor kolam dengan rutin sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan. Untuk mendukung hasil kajian pada penelitian sebelumnya, maka diperlukan analisis risiko produksi pada komoditi yang berbeda dengan probabilitas yang berbeda. Berdasarkan penelitian terdahulu sumber risiko yang terdapat pada risiko operasional yaitu perubahan cuaca yang mempengaruhi suhu dan lingkungan serta hama dan penyakit yang menyerang dan kesalahan akibat dari kelalaian manusia. Perbedaanya terletak pada lokasi perusahaan. Lokasi penelitian yang dipilih merupakan objek baru, hal ini dikarenakan sebelumnya belum pernah ada yang melakukan penelitian ditempat ini. Metode analisis yang digunakan serupa dengan penelitian Ferdian 2011 yaitu menggunakan metode nilai standar untuk mengetahui probabilitas terjadinya suatu risiko dan penggunaan metode VaR dalam mengetahui dampak dari risiko yang terjadi serta 21 penggunaaan peta risiko dalam mengetahui penanganan terhadap risiko yang dihadapi. Penelitian ini lebih menekankan bagaimana cara mengelola sumber- sumber risiko yang ada sehingga jumlah pendapatan dapat ditingkatkan. 22

III. KERANGKA PEMIKIRAN