Analisis Sumber-Sumber Risiko pada Proses Produksi Jamur Tiram Putih (Studi Kasus: Usaha Rimba Jaya Mushroom, Kecamatan Ciawi, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat)

(1)

1

I.

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Hortikultura merupakan salah satu subsektor pertanian yang potensial dalam memberikan kontribusi yang besar terhadap pembangunan ekonomi nasional dan memegang peranan penting dalam sumber pendapatan petani, perdagangan, maupun penyerapan tenaga kerja. Komoditas tanaman hortikultura di Indonesia dapat dibagi menjadi empat kelompok besar, yaitu tanaman buah-buahan, tanaman sayuran, tanaman biofarmaka, dan tanaman hias. Besarnya kontribusi subsektor hortikultura terhadap Produk PDB nasional dapat dilihat pada Tabel 1. Kontribusi komoditas hortikultura secara nasional terhadap pembentukan PDB memperlihatkan kecenderungan yang terus meningkat dari tahun 2007 sampai tahun 2009. Hal ini dapat menunjukkan bahwa subsektor hortikultura merupakan subsektor yang berperan penting dalam pembangunan ekonomi nasional.

Tabel 1. Nilai PDB Hortikultura Indonesia Berdasarkan Harga Berlaku Tahun 2007-2009

No Komoditas Nilai PDB (Milyar Rp)

Tahun 2007

% Tahun

2008

% Tahun

2009

% 1 Sayuran 25.587 33,32 28.205 33,50 30.506 34,54 2 Buah-buahan 42.362 55,16 47.060 55,89 48.437 54,84 3 Tanaman

Hias

4.741 6,17 5.085 6,03 5.494 6,21 4 Biofarmaka 4.105 5,35 3.853 4,58 3.897 4,41 Total 76.795 100 84.202 100 88.334 100 Sumber : Direktorat Jenderal Hortikultura (2011)

Tabel 1 menunjukkan bahwa kontribusi subsektor hortikultura terhadap PDB Indonesia terus mengalami peningkatan dari tahun 2007 sampai tahun 2009. Jika pada tahun 2007 kontribusinya terhadap PDB sebesar 76.795 Milyar Rupiah, maka pada tahun 2008 meningkat menjadi 84.202 Milyar Rupiah, atau peningkatannya sebesar 9,64 persen, kemudian meningkat lagi pada tahun 2009 menjadi 88.334 Milyar Rupiah, atau peningkatannya sebesar 4,90 persen.


(2)

2 Peningkatan PDB sebesar itu tercapai karena terjadinya peningkatan produksi di berbagai sentra produksi dan kawasan hortikultura, di samping meningkatnya luas areal produksi dan areal panen serta nilai ekonomi dan nilai tambah produk hortikultura yang cukup tinggi dibandingkan komoditas lainnya, sehingga pengaruhnya positif pada peningkatan PDB1.

Salah satu kelompok komoditas hortikultura yang menunjukkan perkembangan dengan baik adalah kelompok komoditas sayuran. Pada Tabel 1 terlihat bahwa komoditas sayuran merupakan komoditas hortikultura yang menempati urutan kedua penyumbang terbesar PDB setelah komoditas buah-buahan. Komoditas sayuran mengalami peningkatan dari tahun 2007-2009 baik secara kuantitas maupun secara proporsi pertumbuhan (presentasi). Hal ini mengindikasikan bahwa komoditas sayuran dapat memiliki prospek yang baik di masa mendatang dalam memajukan perekonomian nasional.

Selain penyumbang PDB pertanian yang cukup penting dari subsektor hortikultura, komoditas sayuran juga berperan untuk memenuhi kebutuhan pangan dan gizi masyarakat Indonesia. Kebutuhan sayuran mengalami peningkatan seiring dengan meningkatnya pertumbuhan penduduk dan pendapatan per kapita penduduk Indonesia. Data Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) tahun 2009 memperlihatkan bahwa pada tahun 2002 konsumsi per kapita sayuran di Indonesia sebesar 32,89 kg/tahun, pada tahun 2005 konsumsi per kapita sayuran di Indonesia meningkat menjadi 35,33 kg/tahun, dan pada tahun 2008 konsumsi per kapita sayuran di Indonesia meningkat lagi menjadi 39,45 kg/tahun (Lampiran 1). Peningkatan konsumsi per kapita sayuran di Indonesia ini juga dapat mengindikasikan bahwa permintaan terhadap komoditas sayuran di Indonesia adalah meningkat.

Minat masyarakat Indonesia terhadap sayuran terus meningkat dikarenakan adanya kesadaran dari masyarakat untuk mengikuti pola hidup sehat dan yang telah menjadi gaya hidup masyarakat. Hal ini tentunya sangat berpengaruh terhadap produksi sayuran di Indonesia. Secara keseluruhan, produksi tanaman sayuran di Indonesia cenderung mengalami peningkatan yang menjadikan sayuran merupakan salah satu komoditas yang memberikan kontribusi

1


(3)

3 untuk meningkatkan pendapatan nasional. Data perkembangan produksi sayuran di Indonesia selama tahun 2008 dan tahun 2009 dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Produksi Tanaman Sayuran di Indonesia Periode 2008 – 2009

No Komoditas Produksi (ton) Perkembangan

(%)

2008 2009

1 Kentang 1.071.543 1.176.304 9,77

2 Lobak 48.376 29.759 -38,48

3 Kol/Kubis 1.323.702 1.358.113 2,59

4 Sawi 565.636 562.838 -0,49

5 Wortel 367.111 358.014 -2,47

6 Kembang Kol 109.497 96.038 -12,29

7 Terung 427.166 451.564 5,71

8 Buncis 266.551 290.993 9,16

9 Labu Siam 394.386 321.023 -18,60

10 Kangkung 323.757 360.992 11,50

11 Bayam 163.817 173.750 5,06

12 Kacang Panjang 455.524 483.793 6,20

13 Jamur 43.047 38.465 -10,64

14 Ketimun 540.122 583.139 7,96

Sumber : Direktorat Jenderal Hortikultura (2011)

Tabel 2 menunjukkan perkembangan produksi dari sebagian besar tanaman sayuran di Indonesia. Sebagian besar tanaman sayuran yang ada pada tabel tersebut mengalami peningkatan produksi dari tahun 2008 ke tahun 2009 yang menunjukkan perkembangan yang positif seperti tanaman kentang (9,77 persen), kol/kubis (2,59 persen), terung (6,71 persen), buncis (9,16 persen), kangkung (11,50 persen), bayam (5,06 persen), kacang panjang (6,20 persen), dan ketimun (7,96 persen). Perkembangan yang kurang baik ditunjukkan oleh beberapa tanaman sayuran dimana terjadi penurunan produksi dari tahun 2008 ke tahun 2009 antara lain tanaman lobak (-38,48 persen), sawi (-0,49 persen), wortel (-2,47 persen), kembang kol (-12,29 persen), labu siam (-18,60 persen), dan jamur (-10,64 persen). Perkembangan beberapa tanaman sayuran yang kurang baik disebabkan oleh banyak faktor dan dapat diduga bahwa tingkat risiko dalam pengusahaan dari beberapa tanaman sayuran tersebut adalah besar pada tahun 2009.

Jamur adalah sayuran yang dikonsumsi sebagai makanan atau sebagai obat-obatan. Jamur sebagai makanan sangat digemari masyarakat karena rasanya sangat lezat, bahkan jamur mempunyai khasiat yang baik bagi kesehatan.


(4)

4 Teksturnya yang mirip seperti daging menjadikan jamur sebagai bahan alternatif bagi masyarakat yang ingin mencoba hidup lebih sehat. Beberapa jamur yang telah dibudidayakan dan aman dikonsumsi manusia adalah jamur merang (Volvariella volvaceae), jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus), jamur kuping (Auricularia polytricha), jamur champignon (Agaricus bisporus), dan jamur shiitake (Lentinus edodes). Salah satu jamur yang cukup dikenal dan banyak digemari masyarakat adalah jamur tiram putih.

Saat ini jamur telah menjadi kebutuhan manusia dan telah banyak yang menggemari masakan dari jamur. Dalam tiga tahun terakhir, minat masyarakat untuk mengonsumsi jamur terus meningkat seiring dengan popularitas dan memasyarakatnya jamur sebagai bahan makanan yang lezat dan bergizi. Salah satunya dapat dilihat dari kreatifitas para pedagang, yang sebelumnya hanya menjajakan jamur segar, sekarang sudah bertambah ke olahan, seperti memproduksi keripik jamur.

Kesadaran masyarakat untuk mengonsumsi jamur berpengaruh positif terhadap permintaan jamur itu sendiri. Permintaan jamur terus meningkat, berapapun yang diproduksi oleh petani habis terserap. Kenaikannya sekitar 20-25 persen per tahun. Potensi jamur dapat juga dilihat dari besarnya permintaan pasar luar negeri, seperti Singapura, Jepang, Korea, China, Amerika Serikat, dan Uni Eropa. Dengan melihat tingginya permintaan jamur Indonesia, maka petani Indonesia memiliki peluang yang besar menjadi produsen dan eksportir jamur di pasar domestik ataupun di pasar Internasional. Namun, saat ini tingginya permintaan jamur tidak dapat dipenuhi dengan produksi dalam negeri. Produksi jamur Indonesia hanya mampu memenuhi 50 persen dari permintaan pasar dalam negeri dan belum termasuk permintaan pasar luar negeri, seperti Singapura, Jepang, Korea Selatan, China, Amerika Serikat, dan Uni Eropa. Sampai saat ini permintaan pasar ekspor belum sanggup terpenuhi karena untuk mencukupi kebutuhan dalam negeri saja masih kurang2.

Banyak usaha jamur di Indonesia yang mengalami ketidakberdayaan sehingga tidak mampu memenuhi permintaan jamur yang terus meningkat sementara pasokan jamur terbatas. Ketidakberdayaan industri jamur nasional disebabkan berbagai hal seperti produsen benih yang terbatas, tidak adanya 2

Masyarakat Agribisnis Jamur Indonesia.2007.Bisnis Jamur Bikin Tergiur. http://www.agrina-online.com [4 September 2011]


(5)

5 standarisasi dan jaminan kualitas bibit, teknologi produksi yang belum dibakukan, tempat pembiakan jamur yang kurang higienis serta penanganan pasca panen yang sederhana. Selain itu, terbatasnya permodalan petani, bank yang belum mendukung serta prosedur yang rumit, sehingga penjualannya dikuasai oleh tengkulak. Penyebab lain tidak tersedianya profil atau informasi komoditas yang menyeluruh yang dapat dimanfaatkan para pelaku bisnis jamur3. Tabel 3 memperlihatkan perkembangan luas panen, produksi, dan produktivitas komoditas jamur di Indonesia selama tahun 2005-2009.

Tabel 3. Perkembangan Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Komoditas Jamur di Indonesia Tahun 2005-2009

No Tahun Luas Panen (Ha) Produksi (ton) Produktivitas (ton/Ha)

1 2005 254 30.854 121,47

2 2006 298 23.559 79,05

3 2007 377 48.247 127,97

4 2008 637 43.047 67,57

5 2009 700 38.465 54,95

Standar Deviasi 32,73

Koefisien Variasi 0,37

Sumber : Direktorat Jenderal Hortikultura (2011)

Tabel 3 memperlihatkan bahwa produktivitas jamur di Indonesia adalah berfluktuasi. Namun, tabel tersebut tidak mencerminkan kondisi produktivitas jamur di Indonesia yang sebenarnya, karena pada tabel tersebut luas panen yang digunakan adalah dalam bentuk satuan hektar. Padahal, jamur tidak ditanam pada hamparan tanah seperti tanaman lainnya pada umumnya, tetapi jamur tumbuh pada media tanam yang disebut substrat atau baglog yang terbuat dari serbuk kayu, dedak, dan kapur yang dicampur dengan bahan lainnya dan produksinya dilakukan di dalam sebuah kumbung. Belum tentu di dalam satu hektar lahan, jumlah dan ukuran kumbung, rak kumbung, dan baglog yang diusahakan oleh setiap pengusaha jamur di Indonesia adalah sama setiap periode tanamnya, sehingga satuan hektar tidak seharusnya digunakan jika ingin melihat fluktuasi produktivitas jamur di Indonesia yang sebenarnya. Satuan luas panen yang harusnya digunakan dalam tabel tersebut adalah dalam bentuk satuan baglog sehingga produktivitas jamur di Indonesia dapat dikatakan berfluktuasi. Namun

3

Achmad Dimyati (Direktorat Jenderal Hortikultura, Departemen Pertanian). 2011. Peluang Bisnis Jamur. http://www.naturindonesia.com [4 September 2011]


(6)

6 demikian, berdasarkan tabel tersebut dapat dilihat bagaimana perkembangan produksi jamur Indonesia dari tahun 2005-2009.

Daerah sentra jamur di Indonesia ada di beberapa provinsi seperti Aceh, Sumatera Barat, Jambi, Sumatera Selatan, Jawa Barat, Jawa Tengah, D.I. Yogyakarta, Jawa Timur, Banten, dan Bali. Khusus untuk jenis jamur tiram putih jika dilihat dari jumlah produksinya, maka ada empat provinsi di Indonesia yang merupakan penghasil jamur tiram putih terbanyak, yaitu provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, D.I Yogyakarta dan Jawa Timur. Data Produksi di keempat wilayah tersebut dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Luas Panen dan Produksi Jamur Tiram Putih di Pulau Jawa Tahun 2007 Provinsi Luas Panen (Ha) Produksi (Ton)

Jawa Barat 291,79 7.306,75

Jawa Tengah 15,23 1.838,93

D.I. Yogyakarta 5,89 651,32

Jawa Timur 385,09 28.557,05

Sumber: Direktorat Jenderal Hortikultura (2009)

Berdasarkan Tabel 4 dapat dilihat bahwa jumlah produksi jamur tiram putih di pulau Jawa pada tahun 2007 paling tinggi diproduksi di provinsi Jawa Timur. Provinsi Jawa Barat merupakan wilayah yang juga memiliki tingkat produksi terbesar kedua setelah jawa Timur. Sama halnya seperti data produksi jamur Indonesia (Tabel 3), data pada tabel ini juga menggunakan hektar sebagai satuan luas panennya. Satuan luas panen yang harusnya digunakan dalam tabel tersebut juga adalah dalam bentuk satuan baglog, bukan dalam satuan hektar.

Salah satu wilayah penghasil jamur tiram putih yang terbesar di Provinsi Jawa Barat adalah wilayah Kabupaten Bogor. Petani jamur tiram putih di wilayah Bogor tersebar di beberapa kecamatan, seperti Megamendung, Cisarua, Pamijahan, Dramaga, Ciawi, Ciseeng, Leuwisadeng, dan di kecamatan lainnya (Lampiran 2). Selain didukung oleh ketersediaan bahan baku dalam memproduksi jamur tiram putih seperti serbuk gergaji, dedak, kapur, dan tambahan unsur lain sebagai media pembuatan baglog, juga didukung oleh ketersersediaan pasar jamur tiram putih yang masih terbuka lebar. Bogor merupakan salah satu pemasok utama jamur tiram putih ke kota-kota besar seperti ke kota Jakarta.


(7)

7 Salah satu produsen jamur tiram putih yang terletak di Kecamatan Ciawi, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat adalah usaha Rimba Jaya Mushroom (RJM). Perusahaan ini merupakan perusahaan yang cukup berhasil dalam menjalankan usahanya dan menjadi perusahaan jamur tiram putih yang terbesar di Bogor untuk ukuran usaha perorangan. Tabel 5 akan memperlihatkan bagaimana produktivitas jamur tiram putih pada usaha Rimba Jaya Mushroom setiap hari dari bulan Januari-September 2012.

Tabel 5. Produktivitas Jamur Tiram Putih pada Rimba Jaya Mushroom Setiap Hari dari Bulan Januari-September 2012 (jika diasumsikan bahwa jumlah baglog per hari adalah tetap, yaitu sebanyak 523 baglog)

Tanggal Produktivitas (kg/baglog)

Jan Feb Mar Apr Mei Juni Juli Agts Sep 1 0,17 0,55 0,30 0,44 0,22 0,46 0,33 0,36 0,52 2 0,21 0,65 0,30 0,33 0,22 0,41 0,34 0,35 0,54 3 0,19 0,66 0,30 0,37 0,28 0,49 0,39 0,33 0,62 4 0,28 0,59 0,28 0,38 0,28 0,45 0,52 0,34 0,73 5 0,22 0,51 0,37 0,39 0,28 0,41 0,48 0,33 0,78 6 0,23 0,53 0,32 0,40 0,25 0,33 0,44 0,36 0,70 7 0,19 0,55 0,33 0,37 0,32 0,34 0,37 0,38 0,44 8 0,22 0,57 0,36 0,37 0,54 0,39 0,30 0,39 0,48 9 0,22 0,59 0,32 0,28 0,45 0,44 0,34 0,43 0,52 10 0,24 0,47 0,32 0,26 0,49 0,44 0,36 0,48 0,56 11 0,29 0,46 0,33 0,28 0,45 0,37 0,38 0,51 0,62 12 0,33 0,47 0,41 0,30 0,30 0,36 0,32 0,55 0,57 13 0,39 0,55 0,41 0,39 0,24 0,29 0,26 0,48 0,75 14 0,42 0,54 0,36 0,37 0,26 0,34 0,24 0,40 0,59 15 0,48 0,53 0,31 0,38 0,42 0,32 0,28 0,32 0,60 16 0,50 0,43 0,35 0,43 0,42 0,28 0,26 0,33 0,53 17 0,37 0,40 0,33 0,36 0,33 0,22 0,26 - 0,42 18 0,43 0,38 0,37 0,32 0,29 0,23 0,23 - 0,38 19 0,37 0,45 0,43 0,28 0,25 0,25 0,28 - 0,33 20 0,32 0,48 0,63 0,26 0,20 0,24 0,29 - 0,44 21 0,33 0,37 0,62 0,20 0,22 0,25 0,33 - 0,52 22 0,44 0,32 0,73 0,20 0,25 0,25 0,33 0,26 0,61 23 0,53 0,27 0,65 0,20 0,25 0,28 0,33 0,29 0,62 24 0,50 0,25 0,68 0,16 0,25 0,26 0,40 0,34 0,77 25 0,36 0,27 0,67 0,18 0,30 0,23 0,35 0,33 0,79 26 0,38 0,26 0,65 0,17 0,29 0,24 0,48 0,29 0,43 27 0,36 0,30 0,68 0,18 0,26 0,32 0,49 0,32 0,59 28 0,36 0,32 0,64 0,20 0,24 0,30 0,50 0,34 0,61 29 0,37 0,32 0,65 0,20 0,34 0,40 0,47 0,38 0,61 30 0,39 - 0,56 0,24 0,45 0,39 0,40 0,32 0,61

31 0,49 - 0,56 - 0,46 - 0,37 0,47 -

Standar Deviasi

0,10 0,12 0,15 0,08 0,09 0,08 0,08 0,07 0,11


(8)

8 Tabel 5 memperlihatkan bahwa terdapat variasi produktivitas jamur tiram putih setiap hari dari bulan Januari-September 2012 pada usaha Rimba Jaya Mushroom. Adanya variasi produktivitas menunjukkan terjadinya fluktuasi produksi dalam usaha produksi jamur tiram putih. Hal ini mengindikasikan adanya risiko pada usaha jamur tiram putih di Rimba Jaya Mushroom. Risiko yang dihadapi dalam usaha jamur tiram putih adalah risiko teknis (produksi). Data pada Tabel 5 juga memperlihatkan bahwa ternyata Rimba Jaya Mushroom menghadapi risiko yang lebih besar pada bulan Maret. Hal ini terlihat dari tingginya nilai standar deviasi pada bulan Maret. Terjadinya variasi produktivitas jamur tiram putih pada usaha Rimba Jaya Mushroom dapat juga menggambarkan bahwa usaha-usaha jamur yang ada di Indonesia juga mengalami variasi produktivitas sehingga dapat juga mengindikasikan bahwa usaha-usaha jamur yang ada di Indonesia juga memiliki risiko dalam pengusahaanya.

Risiko produksi yang terjadi pada perusahaan Rimba Jaya Mushroom dan perusahaan-perusahaan jamur tiram putih yang ada di Indonesia tentu akan menggangu dalam kelangsungan dan perkembangan usaha yang juga berdampak pada perolehan pendapatan. Produksi jamur tiram putih yang berfluktuasi akan menyebabkan pendapatan yang berfluktuasi juga. Kerugian akibat risiko produksi yang dialami adalah jumlah produksi yang rendah dan kualitas hasil panen juga menurun. Risiko pada proses produksi jamur tiram putih disebabkan oleh berbagai faktor yang dapat berasal dari lingkungan produksi, bahan baku yang digunakan, peralatan yang digunakan, dan tenaga kerja yang digunakan. Sumber-sumber risiko pada proses produksi jamur tiram putih sangat perlu diidentifikasi untuk mengetahui penyebab dari risiko agar dapat ditangani dengan baik. Dampak kerugian dari setiap risiko yang terjadi juga sangat perlu untuk diperhitungkan karena berpengaruh langsung terhadap pendapatan yang diterima oleh pemilik usaha. Upaya mengantisipasi terjadinya risiko yang bertujuan menekan dampak risiko dalam usaha jamur tiram putih juga menjadi suatu hal yang menarik untuk dikaji. Oleh karena itu, penelitian mengenai sumber-sumber risiko produksi jamur tiram putih penting untuk dilakukan.


(9)

9 1.2. Perumusan Masalah

Usaha Rimba Jaya Mushroom telah memproduksi jamur tiram putih selama sembilan tahun. Budidaya jamur tiram putih sangat berbeda dengan tanaman pertanian lainnya. Jamur tiram putih tidak ditanam pada hamparan tanah seperti tanaman lainnya pada umumnya. Namun, jamur tiram putih tumbuh pada media tanam yang disebut substrat atau baglog yang terbuat dari serbuk kayu, dedak, dan kapur yang dicampur dengan bahan lainnya. Media tanam tersebut harus diolah secara khusus agar jamur dapat bertumbuh dan berkembang dengan baik dan pembuatan media tanam tersebut membutuhkan keterampilan yang khusus. Karena jamur tiram putih tumbuh pada media tanam atau yang disebut dengan baglog, maka sangat menarik untuk mengetahui apa saja sumber-sumber risiko yang terdapat dalam usaha jamur tiram putih.

Seperti yang telah dijelaskan pada latar belakang bahwa hasil panen jamur tiram putih yang diperoleh usaha Rimba Jaya Mushroom setiap harinya dari bulan Januari-September 2012 bervariasi dalam jumlahnya sehingga produktivitas setiap harinya juga bervariasi atau terjadi fluktuasi produktivitas. Variasi produktivitas tersebut mengindikasikan bahwa usaha jamur tiram putih pada Rimba Jaya Mushroom mempunyai risiko dalam pengusahaannya dan risiko akan berdampak pada kerugian yang akan ditanggung oleh pemilik usaha. Jumlah hasil produksi jamur tiram putih yang berfluktuasi akan menyebabkan pendapatan yang berfluktuasi juga. Terjadinya fluktuasi produktivitas menggambarkan adanya penyimpangan dari return yang diharapkan. Berdasarkan data produktivitas jamur tiram putih pada Rimba Jaya Mushroom setiap hari dari bulan Januari-September 2012 (Tabel 5), maka hasil penilaian risiko produksi pada usaha Rimba Jaya Mushroom dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Hasil Penilaian Risiko Produksi Jamur Tiram Putih pada Rimba Jaya Mushroom Berdasarkan Data Produksi Bulan Januari-September 2012

No. Ukuran Nilai

1 Expected Return 0,390

2 Variance 0,013

3 Standard Deviation 0,116


(10)

10 Pada Tabel 6 diperlihatkan hasil penilaian risiko produksi jamur tiram putih pada usaha Rimba Jaya Mushroom berdasarkan nilai coefficient variation. Nilai coefficient variation sebesar 0,3 dapat mencerminkan besarnya risiko produksi jamur tiram putih pada usaha Rimba Jaya Mushroom. Artinya, bahwa untuk setiap satu satuan hasil jamur tiram putih yang diharapkan usaha Rimba Jaya Mushroom dari kegiatan budidayanya, maka risiko yang dihadapi adalah sebesar 0,3. Nilai standar deviasi sebesar 0,116 merupakan nilai penyimpangan dari return yang diharapkan. Terjadinya penyimpangan tersebut mengindikasikan bahwa usaha jamur tiram memiliki risiko dalam pengusahaannya. Penyimpangan yang terjadi disebabkan oleh berbagai faktor.

Setiap risiko yang terjadi pada setiap tahapan proses produksi jamur tiram putih ada penyebabnya atau sumbernya. Jika terjadi risiko produksi pada usaha jamur tiram putih, maka hal tersebut tentu membawa dampak yang merugikan bagi usaha Rimba Jaya Mushroom. Kerugian akibat risiko produksi yang dialami adalah terjadinya penurunan kualitas serta kuantitas hasil panen. Terjadinya penurunan kualitas serta kuantitas hasil panen tentu berdampak terhadap pendapatan yang diterima oleh pengusaha Rimba Jaya Mushroom. Untuk memperkecil dampak risiko yang terjadi pada proses produksi jamur tiram putih, maka sangat perlu untuk mengidentifikasi atau mengetahui apa penyebab dari risiko tersebut sehingga dapat diantisipasi dan ditangani.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini, yaitu :

1. Sumber-sumber apa yang menyebabkan terjadinya risiko pada setiap tahapan proses produksi jamur tiram putih pada usaha Rimba Jaya Mushroom?

2. Bagaimana upaya perusahaan untuk mengantisipasi risiko pada setiap tahapan proses produksi jamur tiram putih di Rimba Jaya Mushroom? 1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarakan perumusan masalah yang telah dikemukakan sebelumnya, maka penelitian ini ditujukan untuk:


(11)

11 1. Menganalisis sumber-sumber risiko pada pada setiap tahapan proses

produksi jamur tiram putih di Rimba Jaya Mushroom.

2. Menganalisis upaya yang dilakukan perusahaan untuk mengantisipasi risiko pada setiap tahapan proses produksi jamur tiram putih di Rimba Jaya Mushroom.

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat dan kontribusi bagi pihak-pihak terkait, seperti:

1. Bagi perusahaan, penelitian ini diharapkan berguna sebagai masukan dalam mengambil kebijakan manajemen pengendalian risiko.

2. Bagi pembaca, penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi sebagai bahan acuan dan bahan perbandingan mengenai risiko untuk penelitian selanjutnya.

3. Bagi penulis, penelitian ini merupakan media untuk menerapkan ilmu yang diperoleh selama perkuliahan dan dapat menjawab keingintahuan dari penulis mengenai sumber-sumber risiko yang terjadi pada setiap tahapan proses produksi jamur tiram putih.

1.5. Ruang Lingkup Penelitian

1. Produk yang dikaji dan diteliti pada penelitian ini adalah baglog dan jamur tiram putih yang diusahakan oleh Rimba Jaya Mushroom.

2. Data yang digunakan merupakan data primer berupa hasil wawancara dan pengamatan pada perusahaan, dan data sekunder. Penelitian ini menggunakan data produksi dan harga jual dari bulan Januari sampai September 2012, dan data kerusakan baglog selama bulan Juni 2012. 3. Lingkup kajian masalah yang diteliti adalah mengenai analisis

sumber-sumber risiko pada proses produksi jamur tiram putih pada usaha Rimba Jaya Mushroom.


(12)

12

II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Sumber-Sumber Risiko Produksi pada Pertanian

Pada dasarnya kegiatan produksi pada pertanian mengandung berbagai risiko dan ketidakpastian dalam pengusahaannya. Dalam kegiatan produksi pertanian atau usahatani, ketidakpastian tersebut berasal dari faktor alam dan lingkungan. Sumber-sumber penyebab risiko pada usaha produksi pertanian sebagian besar disebabkan faktor-faktor teknis seperti perubahan suhu, hama dan penyakit, teknologi, penggunaan input serta kesalahan teknis (human error) dari tenaga kerja. Sumber-sumber risiko tersebut merupakan sumber risiko teknis (produksi). Selain itu, sebagian besar komoditas pertanian mempunyai karakteristik perishable, voluminious, dan bulky. Jika dilihat dari segi non-teknis, maka sumber-sumber risiko pada usaha pertanian digolongkan pada risiko pasar yang mencakup fluktuasi harga input dan output.

Sumber risiko produksi pada pertanian terdiri dari beranekaragam sumber, sesuai dengan karakteristik usahanya. Namun, sebagian besar sumber risiko produksi dalam usaha di bidang pertanian adalah hama dan penyakit dan faktor cuaca dan iklim. Hama dan penyakit dan faktor cuaca dan iklim adalah sumber risiko yang paling sering dihadapi oleh pelaku bisnis dalam menjalankan usahanya khususnya dalam bidang hortikultura (Ginting (2009), Parengkuan (2011), Sembiring (2010), Jamilah (2010), dan Sianturi (2011)). Demikian juga halnya dengan sumber risiko yang terjadi pada usaha perikanan dan peternakan. Dalam usaha ini, hama dan penyakit dan faktor cuaca dan iklim juga merupakan sumber risiko yang sering dihadapi dalam menjalankan usahanya (Silaban (2011), Lestari (2009), dan Pinto (2011)). Kesalahan teknis dari tenaga kerja (human error) juga merupakan sebagian besar sumber risiko produksi dalam usaha di bidang pertanian (Ginting (2009), Parengkuan (2011), Jamilah (2010), Sianturi (2011), dan Lestari (2009)).

Selain hama dan penyakit, faktor cuaca dan iklim, dan kesalahan teknis dari tenaga kerja, ada juga beberapa sumber risiko lain yang terdapat pada kegiatan produksi pertanian. Sumber-sumber risiko tersebut tergantung dari


(13)

13 karakteristik dan lokasi usahanya. Pada usaha produksi jamur tiram putih, perubahan suhu dan tingkat kegagalan peralatan yang digunakan merupakan sumber risiko dalam produksinya (Parengkuan (2011) dan Ginting (2009)). Selain pada usaha produksi jamur tiram putih, peralatan dan bangunan juga merupakan sumber risiko dalam usaha produksi bunga (Sianturi (2011)). Pada usaha produksi sayuran organik dan produksi wortel dan bawang daun, tingkat kesuburan lahan merupakan sumber risiko dalam produksinya (Sembiring (2010) dan Jamilah (2010)).

Berbeda halnya pada usaha pembenihan udang vannamei. Pada usaha ini, faktor mortalitas, kerusakan pada peralatan teknis, dan sistem penyediaan input merupakan sumber risiko dalam menjalankan usahanya (Lestari (2009)). Pada usaha produksi ikan hias, kualitas input merupakan sumber risiko dalam memproduksi ikan hias tersebut (Silaban (2011)). Pada Usaha peternakan ayam broiler, kepadatan ruang produksi merupakan salah satu sumber risiko dalam pengusahaannya (Pinto (2011)).

Dari uraian di atas diperoleh variabel-variabel yang menjadi sumber-sumber risiko produksi pada pertanian, yaitu faktor cuaca dan iklim, hama dan penyakit, kesalahan teknis dari tenaga kerja, perubahan suhu, peralatan dan bangunan yang digunakan, dan kualitas input. Sebagian dari variable-variabel tersebut juga menjadi sumber risiko pada pengusahaan jamur tiram putih di Rimba Jaya Mushroom.

2.2. Metode Analisis Risiko

Dalam hal ini metode analisis risiko dapat dibagi menjadi dua, yaitu metode yang digunakan untuk menilai sumber-sumber risiko yang telah diidentifikasi dan metode yang digunakan untuk menilai besarnya risiko usaha yang dihadapi.

2.2.1. Metode Penilaian Sumber-Sumber Risiko

Sumber-sumber risiko yang telah diidentifikasi dengan analisis kualitatif, dapat dinilai tingkatannya. Tingkat sumber-sumber risiko tersebut akan memperlihatkan risiko yang paling tinggi sampai yang paling rendah pada suatu


(14)

14 usahatani. Salah satunya adalah dengan menggunakan metode nilai standar (analisis z-score) untuk mengukur probabilitas atau kemungkinan terjadinya risiko dari masing-masing sumber risiko produksi yang ada pada suatu usaha dan dengan menggunakan analisis Value at Risk (VaR) untuk mengukur dampak risiko tersebut. Hasil perkalian antara probabilitas risiko dan dampak dari risiko tersebut akan menghasilkan status risiko. Status risiko akan memperlihatkan sumber risiko produksi yang paling besar sampai yang paling kecil pada suatu usahatani. Metode analisis risiko yang seperti ini telah digunakan oleh Parengkuan (2011), Lestari (2009), dan Pinto (2011).

Berbeda halnya dengan metode analisis risiko yang digunakan oleh Ginting (2009), Sembiring (2010), Jamilah (2010), Sianturi (2011), dan Silaban (2011). Kelima peneliti ini hanya mengidentifikasi sumber-sumber risiko yang sering muncul pada suatu usahatani yang dianalisis dengan menggunakan analisis kualitatif tanpa melakukan penilaian terhadap masing-masing sumber risiko.

2.2.2. Metode Penilaian Risiko Usahatani

Pada umumnya metode analisis yang dipakai dalam pengukuran risiko antara lain Variance, Standard Deviation, dan Coefficient Variation. Ketiga ukuran tersebut berkaitan satu sama lain, dimana untuk menghitung variance, sebelumnya harus mengetahui peluang dan expected return dari suatu kejadian dalam menjalankan usaha. Alat ukur risiko ini digunakan untuk mengukur besarnya risiko yang dihadapi dalam menjalankan suatu usaha. Semakin kecil nilai Variance, Standard Deviation, dan Coefficient Variation-nya, maka semakin rendah risiko yang dihadapi.

Pengukuran risiko menggunakan Variance, Standard Deviation, dan Coefficient Variation telah digunakan oleh Ginting (2009), Sembiring (2010), Jamilah (2010), Sianturi (2011), dan Silaban (2011). Namun, kelima peneliti tersebut ada yang menggunakan data satu perusahaan dan ada juga yang menggunakan data survey. Ginting (2009) meneliti risiko produksi jamur tiram putih dalam suatu perusahaan. Demikian juga dengan Sembiring (2010), Sianturi (2011), dan Silaban (2011) yang juga menggunakan data satu perusahaan, namun


(15)

15 terdiri dari beberapa komoditas yang akan dianalisis risikonya (analisis risiko pada kegiatan spesialisasi dan portofolio). Sedangkan Jamilah (2010) menggunakan data survey, dimana kegiatan penelitiannya menggunakan responden penelitian sebanyak 60 orang yang terdiri dari 30 petani wortel dan 30 petani bawang daun.

Berbeda halnya dengan metode analisis risiko yang digunakan oleh Parengkuan (2011), Lestari (2009), dan Pinto (2011). Ketiga peneliti ini tidak menggunakan pengukuran risiko seperti Variance, Standard Deviation, dan Coefficient Variation. Namun, metode analisisnya dimulai dari mengidentifikasi sumber risiko yang dihadapi oleh perusahaan, mengukur probabilitas atau kemungkinan terjadinya risiko dari masing-masing sumber risiko produksi yang ada pada suatu usaha tersebut dengan menggunakan metode nilai standar (analisis z-score), mengukur dampak risiko tersebut dengan menggunakan analisis Value at Risk (VaR), mengklasifikasi sumber risiko ke dalam peta risiko dan mengidentifikasi strategi penanganan risiko yang dihadapi perusahaan.

Dari uraian di atas, terdapat persamaan dan perbedaan metode analisis risiko yang telah digunakan dengan metode analisis risiko yang digunakan dalam penelitian ini. Metode analisis risiko yang digunakan dalam penelitian Ginting (2009), Sembiring (2010), Jamilah (2010), Sianturi (2011), dan Silaban (2011) juga digunakan dalam penelitian ini, yaitu dengan menggunakan Variance, Standard Deviaton, dan Coefficient Variance. Perbedaan terletak pada jenis dan jumlah komoditas yang diteliti kecuali komoditas yang diteliti oleh Ginting (2009).

2.3. Strategi Pengelolaan Risiko

Strategi pengelolaan risiko diperlukan untuk meminimalkan risiko yang terjadi pada perusahaan. Strategi yang akan dilakukan tentunya diawali dengan pengidentifikasian sumber-sumber risiko yang terjadi. Strategi yang digunakan juga sesuai dengan sumber-sumber risiko yang ada. Strategi penanganan risiko dapat dibedakan menjadi dua, yaitu strategi preventif dan strategi mitigasi. Strategi preventif dilakukan untuk menghindari terjadinya risiko. Strategi ini dilakukan apabila probabilitas risikonya besar. Strategi mitigasi adalah strategi


(16)

16 penanganan risiko yang dimaksud untuk memperkecil dampak yang ditimbulkan dari risiko. Strategi mitigasi dilakukan untuk menangani risiko yang memiliki dampak yang sangat besar, Kountur (2008).

Ada beberapa contoh perusahaan yang telah melakukan strategi preventif dalam mengelola risiko produksi di perusahaannya, seperti usaha produksi jamur tiram putih pada Cempaka Baru di Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor (Ginting (2009)), usaha produksi jamur tiram putih pada Yayasan Paguyuban Ikhlas di Desa Cibening, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor (Parengkuan (2011)), usaha sayuran organik pada The Pinewood Organic Farm di Kabupaten Bogor, Jawa Barat (Sembiring (2010)), usaha wortel dan bawang daun di Kawasan Agropolitan Cianjur, Jawa Barat (Jamilah (2010)), usaha bunga pada PT. Saung Mirwan Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat (Sianturi (2011)), usaha ikan hias pada PT Taufan Fish Farm di Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat (Silaban (2011)), usaha pembenihan udang vannamei (Litopenaeus vannamei) pada PT. Suri Tani Pemuka, Kabupaten Serang, Provinsi Banten (Lestari (2009)), dan usaha peternakan ayam broiler Milik Bapak Restu di Desa Cijayanti, Kecamatan Babakan Madang, Kabupaten Bogor (Pinto (2011)).

Strategi-strategi preventif yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan tersebut tentu berbeda satu sama lain, tergantung dari karakteristik usaha dan sumber-sumber risiko yang dihadapi. Contohnya adalah pada usaha produksi jamur tiram putih, contoh strategi preventif yang dilakukan adalah dengan meningkatkan kualitas perawatan untuk menangani risiko iklim dan cuaca dengan meningkatkan intensitas penyiraman, membersihkan area produksi untuk mencegah timbulnya hama dan penyakit, melakukan perencanaan pembibitan yang baik dengan kualitas bahan baku yang baik, mengembangkan sumberdaya manusia dengan mengikuti penyuluhan dan pelatihan tentang jamur tiram putih, menggunakan peralatan yang steril dalam melakukan penyuntikan bibit murni ke dalam media tanam, memasang alat bantu ukur suhu ruangan atau termometer untuk kontrol terhadap suhu ruangan, memberikan arahan kepada para pekerja untuk meminimalkan proses kesalahan sterilisasi (Ginting (2009) dan Parengkuan (2011)).


(17)

17 Contoh strategi preventif yang dilakukan pada usaha produksi sayuran organik adalah dengan melakukan pengendalian hama dan penyakit tanaman, adanya perlakuan pada saat pemanenan dan pengemasan, dan pengelolaan daerah perkebunan (Sembiring (2010)). Contoh strategi preventif yang dilakukan pada usaha produksi wortel dan bawang daun adalah dengan meningkatkan kualitas perawatan untuk menangani kondisi iklim dan cuaca yang sulit diprediksi, menerapkan pengendalian hama secara terpadu (PHT), meningkatkan kesuburan lahan dengan cara pemupukan yang tetap dan merotasikan pola tanam, menggunaan variabel input yang sesuai menurut SOP, dan meningkatkan pengembangan sumberdaya manusia (Jamilah (2010)). Pada pengusahaan bunga, contoh strategi preventif yang dapat dilakukan adalah dengan menaikkan kuantitas bibit yang ditanam untuk mengantisipasi mortalitas bibit yang mungkin terjadi, mengatur frekuensi penyiraman air beserta pupuk untuk mengatasi perubahan suhu yang drastis, mencegah serangan hama dan penyakit tanaman yang dilakukan secara mekanis dan kimiawi, dan menerapkan pemeberian cahaya tambahan agar warna bunganya cerah dan seragam (Sianturi (2011)).

Berbeda halnya juga dengan strategi preventif yang dapat dilakukan pada usaha pembenihan udang vannamei. Contoh strategi preventif yang dapat dilakukan pada usaha ini adalah dengan melakukan persiapan bak pemeliharaan, pemeliharaan induk, pemeliharaan larva, pengelolaan kualitas air, pengelolaan pakan, pemanenan dan pengepakan benur serta pelatihan sumber daya manusia serta dengan melakukan kontrak pembelian dengan pemasok pakan (Lestari (2009)). Pada usaha produksi ikan hias, contoh srategi preventif yang dapat dilakukan adalah dengan penerapan teknologi baru seperti teknologi suntik hormon agar mempercepat proses pematangan gonad ikan, dan meningkatkan manajemen perusahaan yang tepat dan terarah (Silaban (2011)). Pada usaha peternakan ayam broiler juga dapat diterapkan strategi preventif, contohnya adalah dengan memasang jaring kawat pada seluruh bagian kandang untuk mencegah serangan hama predator, memasang ventilasi bantuan untuk mempercepat sirkulasi udara, dan dengan meningkatkan kedisplinan anak kandang dalam menjaga saran prasarana seperti sumur sebagai sumber air minum serta menjaga perlakuan yang bersifat operasional agar tetap steril dan melakukan


(18)

18 penyemprotan menggunakan insectysida untuk menghindari bertumbuh kembangnya kutu dan parasit lainnya pada ayam broiler.

Selain strategi preventif, ada juga yang disebut dengan strategi mitigasi. Ada beberapa strategi mitigasi yang dapat dilakukan, salah satunya adalah dengan melakukan diversifikasi yaitu dengan mengusahakan lebih dari satu komoditas. Selain strategi preventif, strategi mitigasi dengan diversifikasi juga telah dilakukan oleh beberapa perusahaan, seperti usaha sayuran organik pada The Pinewood Organic Farm di Kabupaten Bogor, Jawa Barat (Sembiring (2010)), usaha wortel dan bawang daun di Kawasan Agropolitan Cianjur, Jawa Barat (Jamilah (2010)), usaha bunga pada PT. Saung Mirwan Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat (Sianturi (2011)), dan usaha ikan hias pada PT Taufan Fish Farm di Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat (Silaban (2011)). Diversifikasi dilakukan untuk meminimalisir risiko yang dihadapi.

Berdasarkan contoh strategi preventif dan strategi mitigasi yang telah diuraikan di atas, maka dapat dilihat bahwa strategi-strategi yang dilakukan oleh setiap perusahaan adalah berbeda sesuai dengan karakteristik usaha dan sumber-sumber risiko yang dihadapi. Sebagian dari strategi preventif yang telah dilakukan oleh perusahaan-perusahan di atas, sama dengan strategi preventif yang dilakukan oleh Rimba Jaya Mushroom dalam penelitian ini.


(19)

19

III. KERANGKA PEMIKIRAN

3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis

Kerangka pemikiran teoritis dalam penelitian ini menjelaskan teori-teori yang relevan dengan permasalahan penelitian, yaitu mengenai konsep risiko dan teori lainnya yang berkaitan dengan risiko. Teori-teori tersebut akan dijelaskan sebagai berikut.

3.1.1. Konsep Risiko dan Ketidakpastian

Istilah risiko dan ketidakpastian secara teoritis mempunyai pengertian yang berbeda, meskipun seringkali kedua istilah tersebut digunakan secara bersama-sama. Dari beberapa sumber yang berbeda telah menyebutkan pengertian risiko dan ketidakpastian. Walaupun sumbernya berbeda, namun beberapa sumber tersebut menyebutkan makna atau pengertian risiko dan ketidakpastian yang sama. Risiko adalah peluang terhadap suatu kejadian yang dapat diketahui oleh pelaku bisnis dan tingkat peluangnya terukur secara kuantitatif. Sedangkan ketidakpastian adalah kondisi dimana peluang kejadian tidak dapat diketahui dan tingkat peluangnya tidak dapat diukur secara kuantitatif (Hardaker (1997), Robison dan Barry (1987), Debertin (1986), dan Djohanputro (2008)).

Risiko sangat erat kaitannya dengan ketidakpastiaan, tetapi kedua hal tersebut memiliki makna yang berbeda. Seperti yang dikemukakan oleh Harwood, et al., (1999), bahwa risiko dan ketidakpastian menunjukkan kemungkinan kejadian yang menimbulkan kerugian bagi pelaku bisnis yang mengalaminya. Hal ini juga didukung oleh pernyataan dari Muslich (2007), yang menyatakan bahwa secara umum risiko dapat diartikan dalam berbagai cara, namun pengertian risiko yang paling umum adalah seluruh hal yang dapat mengakibatkan kerugian bagi perusahaan. Muslich (2007) juga menyatakan bahwa risiko yang dapat mencakup semua risiko selain risiko pasar dan risiko kredit adalah risiko operasional, dimana risiko operasional disebabkan oleh kegagalan proses internal perusahaan, kesalahan sumberdaya manusia, kegagalan sistem, kerugian yang disebabkan kejadian dari luar perusahaan, dan kerugian karena pelanggaran peraturan dan hukum yang berlaku .


(20)

20 Demikian juga dengan pernyataan dari Kountur (2006), yang menyatakan bahwa risiko itu terdiri dari tiga unsur penting, yaitu kejadian, kemungkinan, dan akibat. Risiko itu berhubungan dengan suatu kejadian, dimana kejadian tersebut memiliki kemungkinan untuk terjadi atau tidak terjadi, dan jika terjadi ada akibat berupa kerugian yang ditimbulkan. Gambaran mengenai risiko dan ketidakpastian dapat dilihat dalam suatu kontinum seperti Gambar 1.

Peluang dan Hasil diketahui Peluang dan Hasil tidak diketahui

Gambar 1. Risk- Uncertainty Continuum Sumber : Debertin, 1986

Pada Gambar 1 menunjukkan bahwa pada kontinum sebelah kiri menggambarkan kejadian yang berisiko dimana peluang dan hasil dari suatu kejadian dapat diketahui oleh pengambil keputusan. Di sisi lain pada kontinum yang terletak sebelah kanan yang menggambarkan kejadian ketidakpastian dimana peluang dan hasil dari suatu kejadian tidak diketahui oleh pengambil keputusan. Pada gambar tersebut menunjukkan bahwa kontinum bergerak dari titik awal yang di sebelah kiri (risky events) ke arah sebelah kanan (uncertain events). Ini artinya jika kontinum mengarah semakin ke kanan, maka peluang kejadian tersebut makin sulit diketahui dan diukur secara kuantitatif sehingga akan masuk ke dalam kejadian ketidakpastian. Beberapa kejadian seperti pada bisnis usahatani dapat terletak antara dua kutub yang berlawanan yaitu risiko dan ketidakpastian. Dengan kata lain pada kegiatan usahatani, sebagian besar kejadian terletak di tengah-tengah kontinum, yang artinya beberapa peluang kejadian dapat diketahui (seperti kejadian adanya hama dan penyakit, musim kemarau, musim hujan) dan beberapa peluang kejadian tidak dapat diketahui (seperti kejadian bencana gempa dan banjir).

Peluang dan Hasil diketahui Peluang dan Hasil tidak diketahui

RISKY EVENTS UNCERTAIN EVENTS


(21)

21 Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa risiko dan ketidakpastian menunjukkan kemungkinan kejadian yang menimbulkan kerugian bagi pelaku bisnis yang mengalaminya. Debertin (1986) juga mengungkapkan bahwa risiko dan ketidakpastian sangat sulit untuk ditangani karena hasil dan probabilitas yang terkait dengan setiap kejadian tidak dapat diketahui dengan pasti atau sulit untuk diprediksi. Terkait dengan hal itu, Debertin (1986) mengungkapan bahwa perlu adanya asuransi jelas dalam suatu usaha sebagai alternatif untuk menangani risiko.

3.1.2. Sumber-Sumber Risiko

Risiko merupakan hal yang tidak akan pernah dapat dihindari pada suatu kegiatan/aktivitas usahatani dan apabila risiko terjadi maka akan menimbulkan kerugian. Suatu perusahaan harus mampu mendefinisikan risiko-risiko apa saja yang dihadapi sebelum membuat strategi untuk mengendalikan risiko tersebut. Oleh karena itu, perusahaan harus mampu mengidentifikasi sumber-sumber yang menimbulkan risiko.

Ada beberapa sumber risko yang terdapat pada pertanian (Harwood et al. (1999)), meliputi:

1. Risiko produksi (Yield Risk)

Merupakan kegagalan yang terjadi dalam proses budidaya atau dalam proses memproduksi suatu komoditas yang diakibatkan oleh faktor-faktor yang tidak dapat dikendalikan oleh perusahaan. Contohnya berhubungan dengan keadaan alam seperti kelembapan kumbung, perubahan suhu di dalam kumbung, serta serangan hama dan penyakit yang tidak terkontrol. Penerapan teknologi yang tepat merupakan salah satu tindakan yang tepat untuk meminimalisir dampak negatif yang dapat ditimbulkan. Contohnya adalah pemasangan teknologi pengukur suhu di dalam kumbung, sehingga suhu dapat diketahui setiap saat pada kumbung.

2. Risiko pasar (Market Risk)

Merupakan risiko yang terjadi akibat dari tidak stabilnya harga komoditi yang dihasilkan dari usaha dan harga sumber daya atau input yang digunakan untuk menghasilkan komoditi tersebut (fluktuasi harga output dan input). Namun, selain itu risiko pasar juga dipengaruhi oleh penurunan permintaan terhadap


(22)

22 output perusahaan, mutu produk yang tidak sesuai, persaingan antar sesama produsen, kegagalan strategi pemasaran, kelemahan daya tawar perusahaan dibandingkan dengan pembeli. Pada akhirnya risiko harga tersebut akan berpengaruh pada pendapatan yang diperoleh petani.

Dari beberapa sumber tersebut saat ini risiko yang paling utama dihadapi oleh Perusahaan Rimba Jaya Mushroom (RJM) dalam pengusahaannya adalah risiko produksi. Keberhasilan usaha jamur tidak terlepas dari kegiatan produksi yang baik. Kegiatan produksi jamur memerlukan penggunaan input yang tepat, teknologi, keterampilan tenaga kerja yang menjadi faktor utama dan penentu keberhasilan usaha jamur tersebut. Risiko produksi tersebut perlu mendapatkan penanganan dan perhatian lebih intensif dengan berbagai strategi penanganan yang tepat agar perusahaan tidak mengalami kerugian.

Kemudian Kountur (2008) juga mengemukakan bahwa ada beberapa kategori risiko. Kategori risiko tersebut tergantung dari sudut pandang mana melihatnya. Risiko dapat dilihat dari beberapa sudut pandang, yaitu risiko dari sudut pandang penyebab timbulnya risiko, risiko dari sudut pandang akibat yang ditimbulkan, risiko dari sudut pandang aktivitas yang dilakukan, dan risiko dari sudut pandang kejadian yang terjadi, yaitu:

a. Risiko dari sudut Pandang Penyebab

Berdasarkan sudut pandang penyebab kejadian, risiko dapat dibedakan kedalam risiko keuangan dan risiko operasional. Risiko keuangan disebabkan oleh faktor-faktor keuangan seperti perubahan harga input maupun output, tingkat bunga dan mata uang asing. Risiko operasional disebabkan oleh faktor-faktor nonkeuangan seperti manusia, teknologi dan keadaan suhu kumbung.

b. Risiko dari Sudut Pandang Akibat

Dilihat dari sudut pandang akibat yang ditimbulkan terdapat dua kategori risiko yakni risiko murni dan risiko spekulatif. Risiko murni merupakan risiko yang mengakibatkan sesuatu yang merugikan dan tidak memungkinkan adanya keuntungan. Risiko spekulatif adalah risiko yang memungkinkan untuk menimbulkan suatu kerugian atau menimbulkan keuntungan.


(23)

23 Kountur (2008) menyebutkan bahwa segala aktivitas dapat menimbulkan berbagai macam risiko misalnya aktivitas pelaksanaan proses sterilisasi baglog yang dikenal dengan risiko sterilisasi log. Banyaknya risiko dari sudut pandang aktivitas sebanyak jumlah aktivitas yang ada.

d. Risiko dari Sudut Pandang Kejadian

Risiko yang dinyatakan berdasarkan kejadian merupakan pernyataan risiko yang paling baik, misalnya terjadi serangan hama terhadap baglog di kumbung inkubasi, maka risiko yang terjadi adalah risiko hama di inkubasi.

Setiap kegiatan dalam suatu usaha pasti mengandung risiko dalam pengusahaanya dan risiko tersebut tentunya akan memberikan dampak kerugian bagi perusahaan. Jenis-Jenis risikonya tergantung dari jenis usahanya juga, sehingga dalam menentukan strategi untuk menangani risiko yang ada, maka harus terlebih dahulu diketahui jenis risikonya. Dalam bidang agribisnis, risiko yang dapat terjadi pada kegiatan usahatani adalah risiko selama proses produksi berlangsung dan risiko terhadap harga jual. Namun, pada perusahaan Rimba Jaya Mushroom harga relatif stabil, sehingga risiko yang paling utama dihadapi oleh usaha ini adalah risiko produksi. Risiko produksi antara lain disebabkan serangan hama, input, dan faktor kesalahan tenaga kerja. Akibat risiko produksi tersebut terjadi penurunan kualitas serta kuantitas hasil panen. Sedangkan risiko harga disebabkan oleh fluktuasi harga input dan harga output yang dipengaruhi tingkat inflasi serta kondisi permintaan dan penawaran produk.

3.1.3. Penilaian Risiko

Penilaian risiko didasarkan pada pengukuran penyimpangan (deviation) terhadap return yang diharapkan. Untuk menentukan banyaknya kejadian yang dianggap berisiko dapat menggunakan konsep perhitungan peluang. Hasil dari perhitungan peluang ini akan menunjukkan seberapa sering perusahaan menghadapi periode atau hasil yang sesuai dengan harapan, melebihi harapan dan tidak sesuai dengan harapan.

Pengukuran risiko dapat menggunakan nilai varian (variance), standar baku (standard deviation), dan koefisien variasi (coefficient variation) (Elton dan Gruber 1995). Ketiga alat ukur penilaian risiko ini saling berkaitan satu sama lain dengan nilai varian sebagai dasar perhitungan untuk pengukuran lainnya. Standar


(24)

24 baku merupakan akar kuadrat dari perhitungan nilai varian sedangkan koefisien variasi merupakan rasio antara nilai standar baku dengan nilai expected return. Expected return merupakan nilai atau hasil yang diharapkan oleh pengusaha atau pelaku usaha. Expected return dapat berbentuk jumlah produksi, jumlah penjualan dan penerimaan atau pendapatan.

Alat penilaian risiko dengan model varian dan standar baku sering sekali dianggap kurang tepat apabila dibandingkan dengan penerimaan (return). Varian dan standar baku hanya menunjukkan nilai risiko secara absolut. Khususnya apabila dikaitkan dengan proses pengambilan keputusan dalam manajemen perusahaan, model perhitungan dengan varian dan standar baku tidak cukup. Untuk mengatasi hal itu model perhitungan dengan menggunakan koefisien variasi merupakan model yang paling sesuai. Koefisien variasi sudah memperhitungkan antara nilai risiko yang dihadapi sebuah perusahaan dan perbandingannya dengan setiap satu satuan penerimaan (return) yang diperoleh oleh perusahaan.

3.1.4. Strategi Pengelolaan Risiko

Strategi pengelolaan risiko merupakan langkah-langkah yang ditujukan untuk mengurangi tingkat kerugian dari suatu kondisi yang dianggap berisiko. Penanganan risiko dapat dimasukkan ke dalam fungsi-fungsi manajemen, sehingga fungsi-fungsi manajemen yang dikenal dengan planning, organizing, actuating dan controlling (POAC) bertambah satu, yaitu fungsi penanganan risiko (Kountur, 2008).

Menurut Kountur (2008) Strategi penanganan risiko dapat dibedakan menjadi dua, yaitu strategi preventif dan strategi mitigasi.

1. Strategi Preventif

Preventif dilakukan untuk menghindari terjadinya risiko. Strategi ini dilakukan apabila probabilitas risiko besar. Strategi preventif dapat dilakukan dengan beberapa cara, diantaranya :

a. Membuat atau memperbaiki sistem dan prosedur b. Mengembangkan sumberdaya manusia, dan c. Memasang atau memperbaiki fasilitas fisik


(25)

25 2. Strategi Mitigasi

Mitigasi adalah strategi penanganan risiko yang dimaksud untuk memperkecil dampak yang ditimbulkan dari risiko. Strategi mitigasi dilakukan untuk menangani risiko yang memiliki dampak yang sangat besar. Menurut Kountur (2008), ada beberapa cara yang termasuk ke dalam strategi mitigasi, yaitu diversifikasi, penggabungan, dan pengalihan risiko.

Seperti yang dikemukakan oleh Kountur (2008) di atas, bahwa terdapat beberapa alternatif strategi penanganan risiko dalam suatu usaha. Salah satu penanganan risiko yang digunakan oleh pihak Rimba Jaya Mushroom adalah strategi preventif yang dilakukan untuk menghindari terjadinya risiko. Strategi ini dilakukan apabila probabilitas risikonya besar.

3.2. Kerangka Pemikiran Operasional

Perusahaan Rimba Jaya Mushroom (RJM) merupakan perusahaan pertanian yang bergerak di bidang budidaya jamur tiram putih. Rimba Jaya Mushroom (RJM) menghadapi risiko dalam menjalankan usahanya, terutama dalam kegiatan produksi. Sumber-sumber yang menjadi faktor penyebab terjadinya risiko produksi dalam budidaya jamur tersebut, antara lain bahan baku serbuk kayu yang kasar, pencampuran bahan baku tidak merata, baglog kurang padat, pengikatan plastik media tanam longgar, kematangan baglog tidak sempurna, peralatan, tempat, dan tenaga kerja tidak higienis, kesalahan penyusunan baglog ke rak-rak kumbung inkubasi, dan serangan hama di kumbung inkubasi dan kumbung pertumbuhan. Kerugian akibat risiko produksi yang dialami adalah jumlah produksi yang rendah dan kualitas hasil panen juga menurun. Terjadinya penurunan kualitas dan kuantitas hasil panen jamur tiram putih akibat risiko yang terjadi berdampak terhadap pendapatan yang diterima oleh pihak Rimba Jaya Mushroom. Dalam hal ini perlu adanya upaya untuk mengatasi risiko produksi.

Risiko produksi yang dihadapi oleh pengusaha jamur tiram putih ini dapat dianalisis sumber-sumbernya. Sumber-sumber risiko yang terjadi pada usahatani jamur tiram putih dianalisis menggunakan analisis kualitatif dan dapat dilihat sumber risiko yang menimbulkan nilai kerugian terbesar sampai terkecil pada


(26)

26 usaha Rimba Jaya Mushroom. Setelah mengidentifikasi sumber-sumber risiko yang terdapat pada setiap tahapan proses produksi jamur tiram putih di Rimba Jaya Mushroom, maka dapat juga diketahui bagaimana upaya perusahaan ini untuk mengantisipasi setiap risiko yang terjadi karena perusahaan ini merupakan salah satu perusahaan jamur tiram putih yang berhasil. Untuk lebih jelasnya, alur pemikiran operasional dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Kerangka Pemikiran Operasional Risiko Produksi Jamur Tiram Putih

Sumber Risiko:

- Bahan Baku Serbuk Kayu yang Kasar - Pencampuran Bahan Baku tidak Merata - Baglog Kurang Padat

- Pengikatan Plastik Media Tanam Longgar - Kematangan Baglog tidak Sempurna

- Peralatan, Tempat, dan Tenaga Kerja tidak Higienis

- Kesalahan Penyusunan Baglog ke Rak-Rak Kumbung Inkubasi

- Serangan Hama di Kumbung Inkubasi - Serangan Hama di Kumbung Pertumbuhan

Penilaian Sumber-Sumber Risiko:

Berdasarkan Nilai Kerugian yang Ditimbulkan oleh Masing-Masing Sumber Risiko.

Identifikasi sumber-sumber risiko dengan pendekatan kualitatif

Upaya Untuk Mengantisipasi Setiap Risiko


(27)

27

IV.

METODE PENELITIAN

4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada Perusahaan Rimba Jaya Mushroom (RJM) yang berlokasi di Jl. Raya Puncak Gadog Pandansari RT 01/04 Ciawi-Bogor. Pemilihan lokasi dilakukan dengan sengaja (purposive) yang didasarkan pada pertimbangan bahwa daerah tersebut merupakan salah satu daerah sentra produksi jamur tiram putih di Provinsi Jawa Barat, serta adanya ketersediaan data yang akan dapat menjawab kebutuhan dalam penelitian yang akan dilaksanakan. Perusahaan Rimba Jaya Mushroom merupakan perusahaan yang cukup berhasil dalam menjalankan usahanya dan menjadi perusahaan jamur yang terbesar di Bogor untuk ukuran usaha perorangan.

Penelitian yang berlangsung meliputi pengumpulan data untuk keperluan pengolahan data. Pengumpulan data pada Perusahaan Rimba Jaya Mushroom berlangsung pada bulan Juni–Juli 2012.

4.2. Jenis dan Sumber Data

Berdasarkan bentuk dan sifatnya, data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kuantitatif dan data kualitatif. Data kualitatif merupakan data yang bentuknya berupa keterangan dan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan penelitian yang bukan angka (non numerik) berupa keterangan-keterangan mengenai perkembangan usaha jamur tiram putih, kondisi usahanya, peralatan yang digunakan, teknis pelaksanaan kegiatan usaha, identifikasi sumber-sumber risiko produksi pada usaha jamur tiram putih, dan upaya perusahaan untuk mengatasi risiko pada setiap tahapan proses produksi jamur tiram putih. Berbeda dengan data kuantitatif, dalam data kuantitatif bentuknya merupakan fakta dan informasi tentang usaha jamur yang sudah disusun dan lebih terukur. Data kuantitatif ini terdiri dari informasi tentang jumlah produksi jamur tiram putih setiap hari dari bulan Januari-September 2012, jumlah kerusakan baglog akibat sumber-sumber risiko pada setiap tahapan proses produksi jamur tiram putih, jumlah bahan baku yang digunakan untuk sekali pengadukan, harga jual, dan semua keterangan yang berupa angka.


(28)

28 Berdasarkan sumbernya, data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data yang diperoleh langsung dari sumber atau objek penelitian, melalui wawancara langsung dengan pengusahanya dan melalui pengamatan langsung untuk mengetahui kondisi fisik usaha, pengidentifikasian sumber risiko pada setiap tahapan proses produksi jamur tiram putih serta upaya yang dilakukan perusahaan untuk mengantisipasi terjadinya risiko. Data sekunder adalah jenis data yang sudah diterbitkan, berupa konsep mengenai risiko dan pengelolaannya serta literatur tentang jamur yang diperoleh dari buku, artikel, skripsi, jurnal, dan publikasi lainnya. Beberapa data sekunder yang dapat dipergunakan untuk membantu dalam penulisan skripsi ini berupa nilai PDB hortikultura Indonesia, produksi tanaman sayuran di Indonesia, rata-rata permintaan ekspor jamur Indonesia, perkembangan luas panen dan produksi jamur di Indonesia, dan daerah sentra tanaman jamur di beberapa provinsi yang diperoleh dari Buku Saku Data Hortikultura Direktorat Jenderal Hortikultura dan Badan Pusat Statistik melalui situs resminya. Hal ini dimaksudkan untuk mendukung penelitian agar lebih jelas dan spesifik.

4.3. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan dengan beberapa cara, yaitu:

1. Wawancara yang digunakan untuk memperoleh data yang sesuai dengan kondisi yang sebenarnya terjadi dan untuk menggali informasi yang lebih mendalam. Wawancara dilakukan dengan mengadakan tanya jawab dengan pemilik usaha dan karyawan perusahaan tentang gambaran umum perusahaan, sumber-sumber risiko yang terjadi pada proses produksi jamur tiram putih, dan upaya yang dilakukan oleh perusahaan untuk mengantisipasi setiap risiko.

2. Observasi atau pengamatan yang digunakan untuk melihat dan mengamati objek secara langsung terhadap hal-hal yang berhubungan dengan penelitian. Observasi dilakukan langsung pada lokasi usaha budidaya tanaman jamur tiram putih yaitu di Rimba Jaya Mushroom untuk


(29)

29 mengamati proses budidaya jamur tiram putih dan setiap risiko yang terjadi. Pengamatan dilakukan selama bulan Juni-Juli 2012.

3. Membaca dan melakukan pencatatan semua data yang dibutuhkan dalam penelitian, seperti hasil produksi jamur tiram putih setiap hari dari bulan September 2012, harga jual jamur tiram putih dari bulan Januari-September 2012, dan jumlah baglog yang terkena risiko selama bulan Juni 2012.

4.4. Metode Pengolahan dan Analisis Data

Semua data yang dikumpulkan dalam penelitian ini akan diolah dan dianalisis melalui beberapa metode pengolahan data yang dikelompokkan ke dalam dua jenis metode, yaitu: metode analisis kualitatif dan metode analisis kuantitatif.

4.4.1. Analisis Kualitatif

Analisis kualitatif dilakukan untuk menggambarkan keadaan umum perusahaan Rimba Jaya Mushroom, mengidentifikasi sumber-sumber risiko pada setiap tahapan proses produksi jamur tiram putih dan menganalisis upaya yang dilakukan oleh perusahaan untuk mengantisipasi risiko pada setiap tahapan proses produksi jamur tiram putih di Rimba Jaya Mushroom. Metode analisis kualitatif dilakukan dengan cara observasi dan wawancara dengan pemilik usaha ataupun karyawan dari perusahaan Rimba Jaya Mushroom.

4.4.2. Analisis Kuantitatif

Analisis kuantitatif yang digunakan dalam penelitian ini untuk menilai sumber-sumber risiko produksi jamur tiram putih berdasarkan nilai kerugian yang ditimbulkan oleh masing-masing sumber risiko. Sumber-sumber risiko yang telah diidentifikasi menggunakan analisis kualitatif dapat diukur tingkatannya berdasarkan besar kecilnya nilai kerugian yang ditimbulkan oleh masing-masing sumber risiko. Hal ini dilakukan untuk melihat sumber-sumber risiko yang menimbulkan nilai kerugian terbesar sampai terkecil pada usaha Rimba Jaya Mushroom. Penilaian ini akan dilakukan pada setiap sumber-sumber risiko yang ada pada setiap tahapan proses produksi jamur tiram putih di Rimba Jaya


(30)

30 Mushroom berdasarkan pengalaman pengusaha dalam menjalankan usahanya per hari selama bulan Juni 2012. Jadi, nilai kerugian yang ditimbulkan oleh masing-masing sumber risiko pada setiap tahapan proses produksi akan dihitung berdasarkan jumlah baglog atau hasil jamurnya yang rusak. Kemudian dari nilai kerugian yang ditimbulkan oleh masing-masing sumber risiko tersebut, maka dapat dilihat tingkatan sumber risiko dan dapat dilihat juga sumber risiko mana yang menimbulkan nilai kerugian yang paling besar bagi usaha Rimba Jaya Mushroom.


(31)

31

V. GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN

Pada bab ini akan diuraikan mengenai keadaan umum tempat penelitian yaitu Rimba Jaya Mushroom. Data mengenai keadaan umum Rimba Jaya Mushroom diperoleh dari hasil wawancara, pengamatan, dan data sekunder Rimba Jaya Mushroom. Data tersebut dipergunakan untuk memberikan sejarah, perkembangan dan gambaran umum mengenai tempat penelitian.

5.1. Sejarah dan Perkembangan Perusahaan

Rimba Jaya Mushroom adalah perusahaan perseorangan yang bergerak di bidang agribisnis, khususnya dalam budidaya tanaman jamur tiram putih. Rimba Jaya Mushroom berada di Desa Pandansari, Kecamatan Ciawi, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Rimba Jaya Mushroom didirikan oleh Bapak H. Achmad Salim pada tanggal 2 Februari 2003. Pemberian nama Rimba Jaya Mushroom

mempunyai makna tersendiri bagi Bapak H. Achmad. Kata “Rimba” diambil dari

nama perusahaan kayu milik keluarga Bapak H. Achmad di Pontianak,

Kalimantan Barat, sedangkan “Jaya Mushroom” mempunyai makna agar

perusahaan jamur miliknya dapat terus jaya atau maju. Sebelum mengusahakan tanaman jamur tiram putih, Bapak H. Achmad menjalani hidup sebagai pengusaha kosmetik, parfum, dan pakaian. Menjalani hidup sebagai petani telah menjadi impiannya sejak dulu. Jamur menjadi pilihannya karena menurut Bapak H. Achmad bahwa jamur merupakan komoditas pertanian yang memiliki peluang bisnis yang baik. Pada awal berdirinya perusahaan ini, Bapak H. Achmad memiliki lahan seluas 1 Ha untuk membangun 8 kumbung rata-rata berukuran 12 m x 23 m serta dilengkapi rumah peristirahatan.

Pada tahun 2004 perusahaan mengalami kegagalan budidaya karena baglog terkontaminasi lebih dari 100.000 baglog produksi sehingga kerugian mencapai ratusan juta rupiah. Kerugian yang terjadi disebabkan karena Bapak H. Achmad beserta tenaga kerjanya belum benar-benar mahir tentang budidaya jamur tiram putih, masih banyak hal yang perlu dipelajari tentang proses budidaya jamur tiram mulai dari pembibitan F0 hingga pembibitan F2. Selain karena kontaminasi besar-besaran, disebabkan juga oleh kumbang Cyllodes Bifacies yang


(32)

32 menyerang kumbung dan merusak hasil jamur andalannya. Walaupun demikian, Bapak H. Achmad tidak pernah berputus asa. Pengalaman pahit itu justru menjadi guru terbaik baginya. Bersama rekannya Bapak Bahril Ulum selalu berusaha mencari varietas jamur terbaik yang tahan lama dan menghasilkan produksi maksimal. Varietas yang dihasilkan yaitu grandmaster (hasil adaptasi tiram Cina, Thailand, dan India). Sejak awal tahun 2005 hingga saat ini, perusahaan mengalami perkembangan, hal ini terlihat dari peningkatan jumlah kumbung, jumlah tenaga kerja, jumlah produksi, reinvestasi berbagai peralatan dan perluasan pasar. Saat ini Rimba Jaya Mushrom mampu menyerap 120 tenaga kerja. Untuk visi dan misi Rimba Jaya Mushroom saat ini tidak memiliki secara tertulis, tetapi Rimba Jaya Mushroom memiliki tujuan yaitu menjadi perusahaan jamur yang terbesar di Kabupaten Bogor bahkan di Jawa Barat.

5.2. Struktur Organisasi Perusahaan

Struktur organisasi merupakan suatu rangkaian atau bagian sistematis yang menggambarkan pembagian tugas, wewenang dan tanggung jawab antara orang-orang yang menduduki suatu fungsi atau jabatan tertentu yang terdapat dalam suatu organisasi. Struktur organisasi perusahaan Rimba Jaya Mushroom masih bersifat sederhana. Pemilik berperan sebagai direktur sebagai pemegang kekuasaan dan pengambil keputusan perusahaan. Direktur dibantu oleh beberapa manajer dan penanggung jawab yang masing-masing memiliki tanggung jawab di bidang yang berbeda. Struktur organisasi Rimba Jaya Mushroom dapat dilihat pada Lampiran 3. Masing-masing bagian hierarki struktur organisasi tersebut memiliki job description yang telah ditentukan dan harus memiliki tanggung jawab atas pekerjaan tersebut agar tujuan perusahaan dapat tercapai. Adapun job descriptions dari setiap bagian hierarki struktur organisasi Rimba Jaya Mushroom adalah sebagai berikut:

a. Direktur

Berwewenang dan bertanggung jawab untuk menentukan dan mengontrol jalannya perusahaan.


(33)

33 Melakukan usaha pembibitan master yang akan dibiakkan untuk bibit F1 dan F2 dan mengevaluasi semua kegiatan dalam usaha pembibitan dalam perusahaan.

c. Manajer Produksi 2

Mengawasi usaha budidaya jamur dalam perusahaan meliputi pengomposan, pencampuran bahan baku, pembuatan media tanam, sterilisasi, inokulasi, inkubasi, pertumbuhan, panen, keluar masuknya log, dan membagikan gaji tenaga kerja di bagian budidaya jamur tiram.

d. Manajer Pemasaran & Keuangan

Mengelola pemasaran jamur tiram putih dan mengelola laporan keuangan perusahaan dengan mengunakan sistem pembukuan sederhana.

e. Penanggung jawab bibit

Membantu tugas manajer produksi satu dalam usaha pembibitan seperti mencatat hasil produksi bibit, mencatat jumlah bibit yang terjual, dan membagikan gaji tenaga kerja di bagian pembibitan untuk dilaporkan kepada manajer produksi satu.

f. Sekertaris

Membantu tugas manajer pemasaran & keuangan seperti mencatat hasil jamur yang diperoleh, mencatat pengeluaran, dan mencatat penerimaan dari hasil penjualan bibit dan jamur.

g. Penanggung Jawab Inokulasi

Membantu tugas manajer produksi dua dengan bertanggung jawab penuh terhadap pelaksanaan inokulasi seperti menyediakan peralatan inokulasi, mengawasi pelaksanaan inokulasi, mencatat hasil inokulasi, dan mencatat dan membagikan gaji tenaga kerja dibagian inokulasi untuk dilaporkan kepada manajer produksi dua.

h. Penanggung Jawab Panen

Membantu tugas manajer produksi dua dalam kegiatan perawatan kumbung hingga panen, pengendalian mengatasi hama dan penyakit, menyiram baglog yang telah dipanen, mengawasi kegiatan panen seperti memetik jamur, membersihkan jamur dari serbuk dan akar jamur, dan mencatat hasil panen harian untuk dilaporkan kepada manajer produksi dua dan manajer pemasaran.


(34)

34 i. Penanggung Jawab Steam

Membantu tugas manajer produksi dua dengan bertanggung jawab terhadap pelaksanaan steam baglog seperti menyediakan peralatan steam, merawat mesin steam, melakukan pengawasan pelaksanaan steam baglog, mencatat dan membagikan gaji tenaga kerja dibagian steam untuk dilaporkan kepada manajer produksi.

5.3. Aspek Sumberdaya Perusahaan

Sumber daya perusahaan adalah seluruh sumber daya atau aset yang dimiliki perusahaan baik sumberdaya manusia maupun sumberdaya fisik. Sumber daya ini dimanfaatkan oleh perusahaan dalam menjalankan kegiatan usahanya. 5.3.1. Tenaga Kerja

Sumberdaya manusia merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam menunjang kegiatan usaha Rimba Jaya Mushroom. Hal ini disebabkan sumberdaya manusia masih memegang peranan sangat penting dalam kegiatan perusahaan mulai dari persiapan produksi sampai pada kegiatan pemasaran. Maju atau mundurnya perusahaan sangat tergantung pada kemampuan sumberdaya yang dimiliki.

Tenaga kerja pada Rimba Jaya Mushroom dibagi menjadi dua, yaitu bagian kantor dan bagian lapangan. Pembagian tersebut berdasarkan penempatan kerja, bagian kantor bertanggung jawab di bidang keuangan dan pemasaran sedangkan bagian lapangan bertanggung jawab di bidang produksi hingga panen. Rimba Jaya Mushroom memiliki tenaga kerja sekitar 120 orang yang terdiri dari tenaga kerja bulanan, harian, dan upahan. Tenaga kerja bulanan terdiri dari karyawan yang bekerja di kantor, manajer produksi, dan penanggung jawab sedangkan tenaga kerja harian dan upahan terdiri dari karyawan yang bekerja full di lapangan. Tenaga kerja di Rimba Jaya Mushroom adalah penduduk di sekitar lokasi perusahaan yang berlatar belakang pendidikan lulusan SD, SMP maupun SMA untuk direkrut menjadi tenaga kerja harian maupun upahan. Hal ini mengharuskan pihak perusahaan memberikan pengajaran/pelatihan kepada tenaga kerja untuk menambah pengetahuan mereka tentang proses produksi jamur tiram putih. Rimba Jaya Mushroom sebenarnya tidak mengutamakan pendidikan dari para karyawan


(35)

35 dan tenaga kerjanya, karena tujuan pemilik sendiri yaitu Bpk H. Achmad adalah membuka lapangan kerja baru dan merekrut tenaga kerja di daerah sekitar perusahaan sehingga masyarakat mempunyai pekerjaan dan penghasilan agar dapat menghidupi keluarganya. Tidak ada training khusus dari perusahaan apabila ada yang ingin bekerja, hanya pelatihan/pengajaran yang diajarkan oleh penanggung jawab setiap kegiatan produksi.

Tenaga kerja di bagian kantor dan bagian panen bekerja setiap hari. Namun, tenaga kerja di bagian pembibitan dan produksi baglog memiliki hari libur, yaitu setiap hari minggu. Tetapi khusus untuk bagian inokulasi, libur setiap hari senin karena tidak ada baglog yang akan diinokulasi pada hari senin akibat liburnya bagian packing baglog setiap hari minggu. Sementara baglog yang sesuai untuk diinokulasi adalah baglog yang telah didinginkan selama satu hari setelah proses sterilisasi dilakukan. Jadi, pada hari minggu bagian inokulasi mengisi bibit ke baglog yang telah di sterilisasi pada hari sabtu.

Sistem pemberian gaji/upah di Rimba Jaya Mushroom berbeda-beda untuk tiap karyawan. Pemberian gaji/upah tersebut didasarkan pada jabatan, lamanya bekerja, dan jenis pekerjaan yang dilakukan. Pemberian gaji bagi karyawan tetap (karyawan yang ada dalam hirarki struktur organisasi perusahaan) dilakukan rutin setiap bulan dengan jumlah yang telah ditentukan berdasarkan jabatan. Bagi karyawan harian, pemberian upah dilakukan setiap hari Sabtu berdasarkan jumlah hari kerja, sehingga apabila karyawan tidak masuk kerja maka akan mengurangi jumlah upah yang akan diterima. Sama halnya dengan karyawan upahan, dimana upah diterima pada hari Sabtu sesuai dengan jumlah kegiatan produksi yang dilakukan. Rimba Jaya Mushroom juga memberikan tunjangan kepada karyawan berupa tunjangan hari raya yang diberikan sekali setiap tahun. Rimba Jaya Mushroom juga menyediakan berbagai fasilitas seperti mushola, toilet, tempat parkir dan ruang ganti bagi karyawan yang bertujuan untuk memberikan kenyamanan kerja bagi karyawan.

5.3.2. Pemilikan Peralatan

Sumberdaya fisik merupakan barang, sarana dan prasarana yang dimiliki oleh perusahaan dalam menjalankan seluruh kegiatannya mulai dari kegiatan


(36)

36 produksi hingga kegiatan pemasaran. Adapun Sumberdaya fisik yang dimiliki perusahaan Rimba Jaya Mushroom meliputi:

1. Lahan

Rimba Jaya Mushroom memiliki satu lahan seluas 1 ha yang dimanfaatkan dalam usaha budidaya jamur tiram putih. Pada lahan tersebut terdapat bangunan rumah pemilik, kantor, serta ruangan-ruangan yang mendukung kegiatan produksi pembibitan F0, F1, dan F2.

2. Bangunan

Pada lahan yang dimiliki oleh Rimba Jaya Mushroom terdapat berbagai ruangan yang mendukung aktivitas usaha pembibitan dan budidaya jamur tiram putih. Rimba Jaya Mushroom memiliki kantor berukuran 24 m2 yang berfungsi sebagai tempat menerima tamu dan kegiatan pengelolaan laporan keuangan. Perusahaan juga memiliki ruangan-ruangan yang mendukung aktivitas usaha pembibitan dan budidaya jamur tiram putih meliputi laboratorium, ruang persiapan, ruang inokulasi, ruang inkubasi, dan 5 kumbung budidaya.

a. Laboratorium

Laboratorium adalah tempat yang digunakan untuk pembibitan bibit kultur murni (F0). Rimba Jaya Mushroom memiliki ruangan berukuran 2 x 3m yang digunakan sebagai laboratorium. Pada laboratorium tersebut terdapat tempat penyimpanan bibit dan autoklaf.

b. Ruang Persiapan

Ruang persiapan merupakan ruang yang digunakan untuk mencampur bahan baku sampai dengan pengukusan (sterilisasi). Ruang tersebut terdiri dari ruang pengomposan, ruang pengadukan bahan baku, ruang packing baglog, dan ruang pengukusan (sterilisasi).

Ruang pengomposan memiliki ukuran 3 x 3 m, tepat di sebelah ruang ini juga digunakan untuk menyimpan bahan baku. Ruang persiapan digunakan untuk aktivitas usaha produksi baglog mulai dari pengadukan media sampai kepada penyimpanan baglog ke dalam ruang inkubasi baglog. Pada perusahaan Rimba Jaya Mushroom, ruang pengadukan, ruang packing baglog, dan ruang pengukusan (sterilisasi) terdapat dalam satu ruangan yang sama. Ruangan tersebut memiliki ukuran 34 x 1m. Peralatan yang digunakan mulai dari proses pengadukan sampai


(37)

37 dengan pembuatan baglog siap budidaya (bibit produksi F2) disimpan dalam lemari penyimpanan yang terdapat di ruang pembuatan baglog siap budidaya (bibit produksi F2). Baglog siap budidaya (bibit produksi F2) yang sudah jadi, kemudian dikukus atau disterilisasi di dalam mesin steamer yang tiap mesin steamer berkapasitas 2.000 baglog. Mesin steamer untuk bibit (bibit induk F1) berkapasitas 1.200 botol bibit. Rimba Jaya Mushroom memiliki lima mesin steamer yang terdiri dari empat mesin steamer baglog siap budidaya (bibit produksi F2) dan satu mesin steamer bibit (bibit induk F1).

b. Ruang Inokulasi

Ruang Inokulasi digunakan untuk kegiatan memasukkan bibit ke dalam baglog. Bibit yang ada dalam botol dituangkan pada masing-masing baglog. Satu botol bibit dapat digunakan untuk sembilan baglog. Ruang inokulasi terbagi menjadi dua, yaitu ruang inokulasi bibit induk (F1) dan ruang inokulasi baglog siap budidaya (bibit produksi F2). Rimba Jaya Mushroom memiliki satu ruang inokulasi bibit induk (F1) dengan ukuran 2 x 5 m, serta empat ruang inokulasi log pertumbuhan (bibit produksi F2) masing-masing berukuran 10 x 6 m, 10 x 7 m, 10 x 8 m, dan 10 x 8 m.

c. Ruang Inkubasi

Ruang inkubasi adalah ruang yang digunakan untuk pertumbuhan miselium pada media tanam yang telah diinokulasi dengan suhu berkisar 23-28oC. Ruangan ini dilengkapi dengan rak-rak inkubasi untuk menyimpan media tanam yang telah diinokulasi sampai inkubasi dianggap berhasil jika tumbuh miselium yang berwarna putih merata di sekitar eksplan atau spora. Ruang inkubasi terbagi menjadi tiga, yaitu ruang inkubasi bibit murni (F0), ruang inkubasi bibit induk (F1), dan ruang inkubasi baglog siap budidaya (bibit produksi F2). Rimba Jaya Mushroom memiliki satu ruang inkubasi bibit murni (F0) berukuran 5 x 3 m, dua ruang inkubasi bibit induk (F1) dengan ukuran masing-masing 5 x 8 m dan 18 x 10 m, serta 10 ruang inkubasi baglog siap budidaya (bibit produksi F2) masing-masing berukuran 35 x 10 m, 25 x 10 m, 18 x 10 m, dan 20 x 10 m.

d. Kumbung Budidaya (Ruang Pertumbuhan)

Budidaya jamur tiram putih dalam pertumbuhannya memerlukan kumbung. Kumbung yaitu konstruksi bangunan khusus yang terbuat dari bambu


(38)

38 sebagai tempat untuk menyimpan pertumbuhan baglog. Kumbung yang baik dan sesuai dengan standar sangat mempengaruhi keoptimalan pertumbuhan jamur. Konstruksi bangunan menggunakan bilik dan bambu. Saat ini perusahaan Rimba Jaya Mushroom memiliki lima kumbung budidaya dengan kapasitas kumbung 30.000 baglog. Ukuran kumbung bervariasi seperti 10 x 15 m, 10 x 20 m, dan 10 x 30 m.

3. Alat Transportasi

Alat transportasi yang dimiliki oleh perusahaan terdiri dari empat mobil pick up dan enam mobil truk. Alat transportasi ini digunakan untuk kegiatan pemasaran dan pencarian bahan baku yang digunakan untuk proses produksi jamur tiram putih.

4. Peralatan

Sarana dan prasarana yang menunjang kegiatan usaha ini juga sangat diperlukan untuk menjaga kontinuitas suatu usaha. Rimba Jaya Mushroom memiliki sarana produksi, pemasaran, dan bagian kantor dalam mendukung usahanya. Kondisi peralatan yang dimiliki Rimba Jaya Mushroom sampai saat ini dapat dikatakan memadai dan layak untuk digunakan berdasarkan umur ekonomis tertentu. Sarana dan prasarana yang digunakan dalam kegiatan usaha pembibitan dan budidaya jamur tiram putih dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Sarana dan Prasarana pada Rimba Jaya Mushroom

No. Bagian Sarana dan Prasarana

1. Pembuatan F0 (PDA) Gelas ukur 1/2 liter, tabung reaksi, autoklaf, spatula, masker, sapu injuk, meja, dan kursi

2. Pembibitan F1 Kursi, botol plastik, serok, botol saos, masker, sekop, keranjang, troli, dan sapu lidi

3. Proses produksi baglog

Sekop, gerobak, troli, serok, keranjang, botol plastik, sapu lidi, kursi, dan ember

4. Sterilisasi Mesin steamer, selang tabung gas, tabung gas, sarung tangan, dan keranjang.

5. Pendinginan baglog Kipas angin dan lampu UV

6. Inokulasi Lampu UV, spatula, sapu injuk, sprayer, dan masker 7. Inkubasi Keranjang angkut, sapu lidi, sarung tangan, dan troli

8. Kumbung (growing) Pisau, selang air, asahan pisau, pengki, sapu lidi, keranjang, dan troli

9. Kantor Alat tulis kantor, meja, kursi, TV, dispenser, galon, jam dinding, sapu injuk, sapu lidi, telepon, lemari, dan timbangan Sumber : Rimba Jaya Mushroom (2012)


(39)

39 5.4. Aspek Permodalan

Sumber keuangan yang digunakan Rimba Jaya Mushroom berasal dari pemilik usaha yaitu Bapak H. Achmad tanpa pinjaman dari bank maupun pihak lain. Seiring dengan perkembangan kebutuhan dan pembangunan produksi yang semakin meningkat maka kebutuhan modal budidaya jamur tiram ini juga semakin meningkat. Pihak pengelola Rimba Jaya Mushroom berusaha untuk tidak melakukan pinjaman ke pihak luar tetapi dengan sumber pembiayaan yang berasal dari keuntungan perusahaan diinvestasikan kembali ke dalam untuk membeli peralatan dan bahan baku yang dibutuhkan dalam usaha budidaya jamur tiram. Hal ini merupakan suatu kekuatan perusahaan, karena perusahaan sampai saat ini tidak memiliki masalah terhadap permodalan.

Kegiatan pencatatan pembukuan baik pengeluaran maupun pemasukan perusahaan didata secara rutin setiap hari sehingga data keuangan perusahaan dapat tercatat dengan baik. Tenaga kerja bagian keuangan juga berkompetensi di bidang keuangan, teliti dan harus secara rutin melakukan report (laporan) tentang kegiatan dan kondisi keuangan kepada pemilik perusahaan. Transaksi pembayaran untuk kegiatan penjualan dan pembelian bahan baku dilakukan secara tunai. 5.5. Unit Bisnis

Rimba Jaya Mushroom merupakan perusahaan yang bergerak di bidang pertanian, khususnya dalam budidaya tanaman jamur tiram putih segar, baglog (bibit produksi F2), dan bibit jamur tiram putih (bibit induk F1). Beberapa aspek yang akan diuraikan dalam deskripsi unit bisnis ini diantaranya adalah pengadaan bahan baku atau input, teknis dan teknologi produksi, serta pemasaran jamur tiram putih di Rimba Jaya Mushroom.

5.5.1. Pengadaan Bahan Baku

Kegiatan budidaya jamur tiram putih ini akan berkesinambungan apabila pengadaan bahan baku dapat terpenuhi. Kegiatan produksi akan menghasilkan produk yang berkualitas apabila didukung oleh pengadaan bahan baku yang sesuai dan juga berkualitas. Rimba Jaya Mushroom menyediakan keseluruhan bahan baku yang menunjang kegiatan produksi sebelum kegiatan produksi dilakukan.


(40)

40 Bahan baku yang dibutuhkan untuk usaha budidaya jamur tiram putih dapat diperoleh dari daerah-daerah di Bogor, Bandung, Jakarta, Padang, dan Palembang. 1. Bibit

Perusahaan Rimba Jaya Mushroom membuat bibit sendiri yang biasa disebut bibit master. Bibit master dibuat oleh Bapak Dadang di bagian produksi dan pembuatan bibit master ini dilakukan dalam laboraturium. Bibit master yaitu pembiakan tahap pertama dari induk jamur ke media agar menghasilkan kultur muni. Kultur murni inilah yang digunakan untuk menghasilkan biakan tahap kedua (F1) dan ketiga (F2). Produksi bibit di perusahaan dapat memperkecil pengeluaran dan menambah pendapatan perusahaan.

2. Bahan Baku a. Serbuk Kayu

Serbuk kayu merupakan bahan dasar dalam budidaya jamur tiram putih karena serbuk kayu menjadi tempat tumbuh jamur yang dapat mengurai dan memanfaatkan komponen kayu sebagai sumber nutriennya. Ketersediaan serbuk kayu yang baik sangat menunjang terhadap cepatnya proses inkubasi. Kandungan yang terdapat dalam serbuk kayu sangat dibutuhkan bagi pertumbuhan jamur, kandungan yang terdapat antara lain: karbohidrat, lignin, dan serat. Serbuk kayu yang baik adalah serbuk yang tidak banyak mengandung getah, bersih, dan kering (tidak busuk). Serbuk kayu yang banyak mengandung getah akan menghambat terhadap proses pertumbuhan miselium. Sedangkan serbuk kayu yang basah atau busuk akan memicu tumbuhnya jamur-jamur liar yang tentunya akan mengganggu bahkan mengagalkan pertumbuhan miselia dan memicu terjadinya kontaminasi yang nantinya akan menimbulkan berbagai macam penyakit. Jenis kayu yang paling baik untuk dijadikan media adalah kayu albasia, karena jenis kayu ini tidak keras, tekstur yang dimiliki cukup lembut dan kayu ini tidak banyak mengandung getah.

Untuk menjaga kontinuitas serbuk kayu, Rimba Jaya Mushroom memiliki pemasok tetap yaitu dari pabrik penggergajian kayu yang terdapat di daerah Leuwiliang, Cibadak, dan Sukabumi. Sampai saat ini perusahaan selalu mendapatkan serbuk kayu dari para pemasoknya. Serbuk kayu tersebut langsung


(1)

97 Risiko Produksi dengan Baglog atau Jamur Tiram Putih yang tidak Terkena Risiko Produksi

Baglog yang Rusak akibat

Serbuk Kayu Kasar Baglog yang tidak Rusak

Baglog yang Mengandung Campuran Bahan Baku tidak

Merata

Baglog yang Mengandung Campuran Bahan Baku yang


(2)

98

Baglog Kurang Padat Baglog yang Padat

Baglog yang Pengikatan Plastik Media Tanamnya

Longgar

Baglog yang Pengikatan Plastik Media Tanamnya tidak


(3)

99 Baglog yang tidak Matang

Sempurna

Baglog yang Matang Sempurna

Baglog Rusak akibat Proses Inokulasi tidak Higienis


(4)

100

Baglog yang Rusak akibat Kesalahan Penyusunan Baglog ke Rak-Rak Kumbung Inkubasi

Baglog yang tidak Rusak

Baglog yang Terkena Serangan Hama di Kumbung Inkubasi

Baglog yang tidak Terkena Serangan Hama di Kumbung


(5)

101 Jamur yang Terkena Serangan

Hama kumbang Cyllodes Bifacies di Kumbung

Pertumbuhan

Jamur yang tidakTerkena Serangan Hama kumbang

Cyllodes Bifacies di Kumbung Pertumbuhan


(6)

ii

RINGKASAN

ERCILIA SITUNGKIR. ANALISIS SUMBER-SUMBER RISIKO PADA PROSES PRODUKSI JAMUR TIRAM PUTIH (Studi Kasus: Usaha Rimba Jaya Mushroom, Kecamatan Ciawi, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat). Skripsi. Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor (Di bawah bimbingan NUNUNG KUSNADI).

Jamur adalah jenis sayuran yang dikonsumsi sebagai makanan atau sebagai obat-obatan. Menurut Masyarakat Agribisnis Jamur Indonesia, permintaan jamur terus meningkat, berapapun yang diproduksi oleh petani habis terserap. Kenaikan produksinya sekitar 20-25 persen per tahun. Potensi jamur Indonesia dapat juga dilihat dari besarnya permintaan dari pasar luar negeri. Namun, saat ini tingginya permintaan jamur tidak dapat dipenuhi dengan produksi dalam negeri. Produksi jamur Indonesia hanya mampu memenuhi 50 persen dari permintaan pasar dalam negeri, belum lagi ditambah permintaan dari pasar luar negeri. Tingkat penawaran jamur yang lebih kecil dibandingkan dengan tingkat permintaannya disebabkan karena ketidakberdayaan industri jamur nasional. Banyak faktor yang menyebabkan ketidakberdayaan industri jamur di Indonesia dan dapat diduga bahwa risiko dalam pengusahaan jamur adalah besar. Salah satu produsen jamur tiram putih yang berhasil sampai saat ini dan terletak di wilayah Kabupaten Bogor adalah Rimba Jaya Mushroom (RJM). Usaha ini memproduksi baglog dan jamur tiram putih.

Risiko yang paling utama dihadapi oleh usaha RJM adalah risiko produksi. Kerugian akibat risiko produksi yang dialami adalah terjadinya penurunan kualitas serta kuantitas hasil panen. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah (1) menganalisis sumber-sumber risiko pada setiap tahapan proses produksi jamur tiram putih di RJM dan (2) menganalisis upaya yang dilakukan perusahaan untuk mengantisipasi risiko pada setiap tahapan proses produksi jamur tiram putih di RJM. Usaha RJM berlokasi di Jl. Raya Puncak Gadog Pandansari RT 01/04 Ciawi-Bogor. Waktu penelitian adalah selama bulan Juni-Juli 2012. Data dikumpulkan melalui wawancara dan observasi tentang gambaran umum perusahaan, sumber-sumber risiko yang terjadi pada proses produksi jamur tiram putih, dan upaya yang dilakukan oleh perusahaan untuk mengantisipasi setiap risiko.

Beberapa sumber risiko produksi yang memberi kerugian potensial bagi usaha RJM, diantaranya adalah bahan baku serbuk kayu yang kasar, pencampuran bahan baku tidak merata, baglog kurang padat, pengikatan plastik media tanam longgar, kematangan baglog tidak sempurna, peralatan, tempat, dan tenaga kerja tidak higienis, kesalahan penyusunan baglog ke rak-rak kumbung inkubasi, dan serangan hama di kumbung inkubasi dan kumbung pertumbuhan. Berdasarkan jumlah baglog yang rusak dan nilai kerugian yang ditimbulkan oleh masing-masing sumber risiko tersebut, maka risiko yang paling besar adalah risiko yang disebabkan kematangan baglog tidak sempurna pada tahap sterilisasi baglog. Risiko ini terjadi setiap kali produksi dilakukan dan nilai kerugiannya lebih besar dari sumber risiko lainnya. Dalam hal ini perusahaan dapat lebih fokus untuk mengantisipasi risiko tersebut agar kerugian yang diakibatkan dapat berkurang.