konsumtif.
42
Secara  praksis,  tuntutan  moral  Islam  untuk  menjaga keselarasan  alam  adalah  larangan  berperilaku  serakah  dan  menyia-nyiakan
tabdzir. Sebagai  ciptaan  yang  lebih  rendah  daripada  manusia,  alam  ini
disediakan  oleh  Tuhan  bagi  kepentingan  manusia  untuk  kesejahteraan hidupnya,  baik  yang  bersifat  spiritual  maupun  yang  bersifat  material.  Al-
Qur‟an  menggambarkan:  ”Dialah  yang  telah  membuat  bumi  patuh kepadamu,  maka  berjalanlah  dan  makanlah  dari  yang  tersedia”  67:15;
Bumi juga dilukiskan sebagai tempat yang menerima: ”Kami tidak membuat bumi  melainkan  sebagai  tempat  bagi  yang  hidup  maupun  yang  mati”
77:25-26. Bahkan lebih penting lagi, yakni sebagai pemenuhan kebutuhan manusia  yang  bersifat  spiritual,  bumi  dianggap  sebagai  sesuatu  yang  suci
dan tempat untuk beribadat kepada Allah. Nabi Muhammad berkata: ”Bumi dibuat  untukku  dan  umat  Islam  sebagai  tempat  sembahyang  dan  untuk
mensucikan.”  Ini  artinya  bahwa  bumi  pada  dasarnya  adalah  tempat  yang suci,  bahkan  tanah  debu  dapat  digunakan  untuk  bersuci  ketika  tidak  ada
air. Manusia  harus  mengamati  alam  raya  ini  dengan  penuh  apresiasi,
baik  dalam  kaitannya  dengan  keseluruhannya  yang  utuh  maupun  dalam kaitannya dengan bagiannya yang tertentu, semuanya sebagai ”manifestasi”
Tuhan perkataan Arab ’alam memang bermakna asal ”manifestasi”, guna
menghayati  keagungan  Tuhan  Yang  Maha  Esa,  sebagai  dasar  peningkatan
42
Quraish Shihab, Membumikan Al- Qur’an, Jakarta: Mizan, 2005, h. 296-7
kesejahteraan spiritualitas. Dengan memperhatikan alam itu, terutama gejala spesifiknya,
manusia dapat
menemukan patokan
dalam usaha
memanfaatkannya  sebagai  dasar  kesejahteraan  material,  melalui  ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan prinsip ini, manusia dapat mengemban
tugas  membangun  dunia  ini  dan  memeliharanya  sesuai  dengan  hukum- hukumnya  yang  berlaku  dalam  keseluruhannya  secara  utuh  tidak  hanya
dalam  bagiannya  secara  parsial  semata,  demi  usaha  mencapai  kualitas hidup yang lebih tinggi. Di sinilah letak relevansi keimanan untuk wawasan
lingkungan, atau environmentalism.
3. Analisis Kasus Lumpur Lapindo Menurut Hukum Islam
Pengertian  pertanggungjawaban  pidana  dalam  sudut  Syari‟at  Islam adalah  pembebasan  seseorang  dengan  hasil  akibat  perbuatan  atau  tidak
perbuatan  yang  dikerjakannya  dengan  kemauan  sendiri,  dimana  ia mengetahui  maksud-maksud  dan  akibat-akibat  dari  perbuatan  itu.
Pertanggungjawaban  pidana  tersebut  ditegakkan  atas  tiga  hal  :  pertama adanya perbuatan yang dilarang, kedua dikerjakan dengan kemauan sendiri,
ketiga pembuatnya mengetahi akibat perbuatannya tersebut.
43
Dengan  adanya  syarat-syarat  tersebut,  maka  kita  dapat  mengetahui bahwa  yang  dapat  dibebani  dengan  pertanggungjawaban  pidana  hanya
manusia,  yaitu  manusia  yang  berakal  pikiran,  dewasa  dan  berkemauan sendiri.  Oleh  karena  itu  tidak  ada  pertanggungjawaban  bagi  kanak-kanak,
43
Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta, bulan bintang, 2006 cet ke-2, h. 119
orang  gila,  orang  dungu,  orang  yang  sudah  hilang  kemauannya  dan  orang yang dipaksa atau terpaksa.
44
Adanya perbuatan yang dilarang berdasarkan adanya peraturan yang kita  kenal  dengan  asas  legalitas  dalam  Hukum  Pidana  Islam  dapat  kita
ketahui dari salah satu  kaidah dalam Islam yaitu :
َ ص
ق ءلقع   عفْ  ح
Artinya: ”Sebelum ada nash, maka tidak ada hukum bagi perbuatan orang-
orang yang berakal sehat ”.
45
Pengertian dari kaidah ini bahwa perbuatan orang-orang yang cakap mukallaf  tidak  dapat  dikatakan  sebagai  perbuatan  yang  dilarang,  selama
belum ada nash ketentuan yang melarangnya dan ia mempunyai kebebasan untuk  melakukan  perbuatan  itu  atau  meninggalkannya  sehingga  ada  nash
yang melarangnya. Pengertian  kaidah  tersebut  diatas  identik  dengan  kaidah  lain
berbunyi:
حت  ع َإ  ح إ  ء شْ   ف  صْ
Artinya : ”Pada dasarnya semua perkara dibolehkan sehingga ada dalil yan
menunjukkan keharamannya ”
46
Kaidah  tersebut  mempunyai  pengertian  bahwa  semua  sifat  dan perbuatan    tidak  diperbolehkan  dengan  kebolehan  asli,  artinya  bukan  oleh
kebolehan yang dinyatakan oleh syara‟. Dengan demikian selama tidak ada
nash  yang melarangnya maka tidak ada tuntutan terhadap semua perbuatan
44
Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta, bulan bintang, 2006 cet ke-2, h. 119
45
Abdul Qadir Audah, „At Tasyri’ Al Jina’iy Al Islamiy, Juz I, Beirut: Daar Al-Kitab, t.t,, h.  115  atau  Lihat  :  Ahmad  Wardi  Muslich,  Pengantar  Dan  Asas  Hukum  Pidana  Islam
–Fikih Jinayah- Jakarta, Media Grafika, 2006 Cet ke-2 h. 29
46
Muslich, Pengantar Dan Asas Hukum Pidana Islam,  h. 30
dan sikap tidak  berbuat tersebut. Kita dapat melihat hal ini dari kaidah lain yang berbunyi :
َ   ف ك   ل  ف ف  ع  ق  ك   َإ  ع ش ف  َ
ق عف  َإ  ع ش ف
ث   ع  ح ع    ع  ف
Artinya: ”Menurut syara’ seseorang tidak dapat diberi pembebanan taklif
kecuali  apabila  ia  mampu  memahami  dalil  dalil  taklif  dan  cakap untuk
mengerjakannya. Dan menurut syara’ pula seseorang tidak dibebanitaklif
kecuali dengan
pekerjaan yang
mungkin dilaksanakan dan disanggupi serta diketahui oleh mukallaf dengan
pengetahuan yang bisa mendorongnya untuk melakukan perbuatan tersebut”.
47
Kaidah  ini  menyatakan  tentang  syarat-syarat  yang  harus  terdapat pada  pelaku  dalam  kedudukannya  sebagai  orang  yang  bertanggung  jawab
dan  pada  perbuatan  yang  diperintahkan,  adapun  syarat  untuk  pelaku mukallaf  itu  ada  dua  macam  :  pertama  pelaku  sanggup  memahami  nash-
nash  syara‟  yang  berisi  hukum  taklifi;  kedua  pelaku  orang  yang  pantas dimintai pertanggungjawaban dan dijatuhi hukuman Sedangkan syarat untuk
perbuatan  yang  diperintahkan  ada  tiga  macam  :  pertamaPerbuatan  itu mungkin  dikerjakan,  kedua,  perbuatan  itu  disanggupi  oleh  mukallaf,  yakni
ada  dalam  jangkauan  kemampuan  mukallaf,  baik  untuk  mengerjakannya maupun  untuk  meninggalkannya,  ketiga  perbuatan  tersebut  diketahui
mukalaf dengan sempurna.
48
Asas legalitas  yang didasarkan kaidah tersebut diatas bersumberkan dari  Al-
Qu‟ran.  Beberapa  diantaranya  dapat  kita  temukan  pada  Surat  Al-
47
Abdul  Qadir  Audah,  „At  Tasyri’  Al  Jina’iy  Al  Islamiy,  Beirut:  Daar  Al-Kitab,  t.t,  h. 116
48
Muslich,  Pengantar  Dan  Asas  Hukum  Pidana  Islam  h.  31  atau  lihat  :  Ahmad  Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta, bulan bintang, 2006 cet ke-2, h. 48
Israa‟  ayat  15,  Surat  Al-Baqarah  ayat  286,  dan  dalam  konteks  pencurian pada Surat Al-Maidah ayat 38. Surat Al-
Israa‟ ayat 15
ع   ك َ س   ع   ح
Artinya: ”Dan  kami  tidak  menghukum  manusia  sebelum  kami  mengutus
seorang rasul ”. QS. Al-Israa‟ : 15
ت ء  ع   َ س     ف  ع   ح  ق  ك  ك   ك
Artinya: ”Dan  tidaklah  tuhanmu  menghancurkan  kota-kota  sebelum
diamengutus di ibukotanya, seorang rasul yang membacakan ayat- ayat kami”. QS. Al-Qashash: 59
Dari  ayat  tersebut  Ibnu  Katsir,  Thabari,  al-Qurthubi,  al-Maraghi,  dan Ali As-Shabuni menyimpulkan bahwa hukuman Allah hanya berlaku manakala
sudah didahului argumentasi yang telah ditetapkan dan disampaikan oleh para rasul-Nya.  Ini  sebagai  landasan  normative  bahwa  hukum  Allah  semata-mata
keadilan bagi manusia sendiri.  Dan setiap orang akan menerima sanksi hukum akibat perbuatannya sendiri.
49
Berdasarkan  pesan  inti  ayat  ini,  para  pakar  hukum  Islam  fuqaha, menetapkan  asas  hukum  pidana  Islam  yang  berbunyi:  la  jarimata  wala
uqubata  qabla wurudi an-  nash tidak  ada  suatu tindak pidana dan  tidak  ada sanksi hukum selama belum ada ketentuan teks hukumnya.
Konsekuensi asas legalitas ini adalah bahwa  tiada suatu perbuatan boleh dianggap melanggar hukum oleh hakim jika belum dinyatakan secara jelas oleh
suatu  hukum  pidana  dan  selama  perbuatan  itu  belum  dilakukan.  Hakim  dapat menjatuhkan  pidana  hanya  terhadap  orang  yang  melakukan  perbuatan  setelah
49
Muhammad  Ali  As-Shabuni,  Shafwah  At-Tafasir  Beirut:  Dar  al-Fikr,  t.t.,  jld.  2,  h. 440-441