Pertanggung jawaban pidana korporasi dalam tindak pidana korupsi menurut hukum positif dan hukum islam: Studi Putusan Pengadilan Negeri Jakarta selatan No:2068/PID.B/2005/PN

(1)

ABSTRAK

Beberapa waktu belakangan ini, kerap terjadi tindak pidana terjadi namun bukan dilakukan oleh personenrecht melainkan oleh pelaksana kewajiban hukum lain yaitu badan hukum. Di Indonesia, kita dapat menyebut beberapa kasus tindak kejahatan yang dilakukan oleh korporasi seperti kasus pencemaran lingkungan hidup yang dilakukan oleh PT. Freeport di Papua, PT. New Mont di Teluk Buyat, Sulawesi dan PT. Minarak Lapindo Jaya dan kebocoran lupur di Sidoarjo. Semuanya menimbulkan kerugian yang tidak sedikit baik berupa materil maupun kerugian social. Dua yang disebut terakhir yang sering terungkap dipermukaan dan menjadi polemik, Beberapa LSM dan Lembaga Bantuan Hukum mengajukan gugatan, namun hanya diwilayah perdata kepada dua perusahaan tersebut.

Kekalahan demi kekalahan dialami oleh pengacara dari LSM dan LBH tersebut. Hal itu dapat dikarenakan banyak faktor. Dan tentu kajian untuk menentukan faktor-faktor tersebut haruslah mendalam. Yang menarik dan menjadi perhatidan penulis adalah tidak ada satupun ada gugatan pidana yang dilakukan oleh pemerintah dalam hal ini kejakasaan terhadap kasus-kasus tersebut. Padahal kasus tersebut dapat juga diselesaikan lewat jalur pidana, karena kasus-kasus yang terjadi jelas-jelas merugikan rakyat Indonesia.

Tentu dengan menggunakan logika pertanggungjawaban pidana korporasi. Namun yang menjadi persoalan kemudian adalah pertanggungjawaban pidana korporasi merupakan sesuatu yang baru yang merupakan perluasan dari perbuatan melawan hukum dalam hukum perdata yaitu doctrine respondeat superiors. Menurut paham ini bahwa dalam hubungan antara master dengan servan (Dewan Direksi / atasan dengan Pengurus / Bawahan) berlaku postulat atau maxim qui


(2)

facit per alium facit per se dengan arti bahwa seseorang yang melakukan perbuatan melalui orang lain dianggap dia sendirilah yang melakukan perbuatan itu. Sehingga pertanggungjawaban pidananya dapat dilekatkan pada orang yang menentukan / menyuruh lakukan perbuatan itu. Dalam korporasi atau perusahaan yang menentukan perbuatan atau segala tindak tanduk adalah mekanisme sistem dan kebijakan yang di tetapkan dewan direksi dan atasan dalam perusahaan.

Terlebih dalam pidana ada beberapa konsep pertanggungjawaban pidana korporasi yang dapat dijadikan dasar dalam penghukuman, baik itu strict liability (pertanggungjawaban langsung) maupun vicarious liabity (pertanggungjawaban delegasi) dapat dijadikan dasar untuk melanjutkan kasus diwilayah perdata.

Tulisan ini ingin menyajikan seluk beluk pertanggungjawaban pidana korporasi tersebut sekaligus membandingkannya dengan konsep pertanggungjawaban pidana dalam hukum Islam. Spesifikasi permasalahan yang penulis angkat bukan tentang pencemaran lingkungan hidup melainkan tentang dugaan korupsi ketiga mantan direktur Bank Mandiri, Tbk. Karena menurut penulis, selain kasus pencemaran lingkungan belum pernah diajukan dalam wilayah pidana, juga karena –setahu penulis- kasus yang memungkinkan di tarik kepada pemahaman pertanggungjawaban pidana korporasi adalah kasus dugaan korupsi tersebut. Lebih jauh, karena didalamnya putusan tersebut para saksi ahli hukum pidana menyinggung tentang keberadaan di mungkinkannya konsep pertanggungjawaban pidana korporasi bentuk vicarious liability. Karena kasus korporasinya tentang korupsi maka tentu hal tersebut penulis jelaskan berikut kemungkinan diterapkan sanksi jinayah dalam tindak pidana korupsi.


(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur hanya milik Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan taufiq-Nya yang tidak terhingga. Salam beserta shalawat senantiasa terlimpahkan kepada Rasulullah Muhammad saw, kepada keluarga, sahabat serta umatnya hingga akhir zaman.

Alhamdulillah, karya ilmiah ini dapat penulis rampungkan. Setelah hampir setahun lamanya sejak pencarian data awal dan pengajuan judul. Semoga bakti kecil ini dapat menggambarkan kecintaan penulis yang luar biasa besar kepada Ibunda dan Ayahanda tercinta.

Pada kesempatan ini izikanlah penulis memberikan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah berjasa dalam masa perkuliahan penulis dan penyelesaian karya ilmiah ini, diantara mereka adalah :

1. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H., M.A., M.M., Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum, Guru Besar sekaligus pembimbing penulis yang tetap semangat membimbing ditengah kesibukan Beliau yang sedemikian padat. 2. Dr., Yayan Sopyan, M.Ag Pembantu Dekan Bidang Kemahasiswaan

Fakultas Syari’ah dan Hukum.

3. Asmawi M.Ag., dan Sri Hidayati M.Ag., masing-masing sebagai Ketua prodi dan Sekretaris Jinayah Siyasah yang dengan sabar melayani kebutuhan penulis.


(4)

4. Segenap Dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah membimbing penulis hingga dapat menyelesaiakan karya ilmiah ini.

5. Segenap pengurus Perpustakaan Syari’ah dan Hukum dan Pengurus Perpustakaan Utama.

6. Indonesian Corruption Watch yang dengan baik hati meminjamkan Putusan Pengadilan dan buku-buku yang berkenaan tema yang penulis angkat.

7. Ira Sahiroh Ma’fufah, S.Sos.i, pejuang feminim sejati yang tengah menyelesaikan studi S-2 UNPAD. Ingat bahwa segala jerih akan membuahkan hasil.

8. Sekretaris Dekan yang selalu tersenyum dan membantu penulis menyampaikan hasil tulisan kepada Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM.

9. Guru-guru penulis, Kanda Fahmi M. Ahmadi, M.Si, Sang Sosiolog, Kanda M.Ainul Syamsul, Sang Pengacara Muda, Kanda Ihdi Karim Makin Ara, S.Hi, Silly Nursyahid, S.Hi atas segenap nasehat dan tuntunan.

10.Abang-abang penulis di HMI, Kanda Syarifuddin, S.Hi, Calon Hakim dari Medan, Kanda Jalaluddin Noor Harahap, S.Hi, Sarjana terbaik se-UIN, Kanda Iryad Maulana S.Ei,, Sang Enterpreneurship sejati, M.Isnur, S.Hi, pejabat Pengacara Publik LBH Jakarta, Kanda M.Said Lubis dan Ahmad “Elang” Muttaqin dua orang pemikir yang mencintai Kampus. Terima kasih atas dialektika yang luar biasa yang penulis dapatkan. Tak lupa untuk Asep Jubadillah dan Fadlika H.S. Harahap yang dengan kesungguhan hati membangun Komisariat setahun kemarin.


(5)

11.Saudara-saudara penulis di Lembaga Kajian dan Bantuan Hukum Mahasiswa Islam Muhamad Hafidz, M. Sidik, Teuku Mahdar A., M. Haris Barkah, Muliarto,

12.Faudzul Adzim, Hary Chandra, dan Sang Bungsu Ridho Akmal Nasution. Semoga silahturahmi ini tetap terjaga dan LKBHMI ini bisa menjadi LBH Ciputat.

13.Kawan-kawan Pidana Islam, Ahmad Zaelani, Sang Presiden Kecil dengan ide besar, Epi Sumantri dengan kekuatan semangat belajar yang tak pernah hilang, Hijrah Haris Fadillah yang telah berkenan menjual printernya dengan harga murah, Devidson “semoga dapat menjadi suami yang handal”, dan segenap angkatan Pidana Islam 2004. Maju terus pantang mundur.

14.Kawan-kawan KOMPAK, Bung Edy, Bakhtiar, cahaya, dkk, tetap semangat membangun ideologi anti kekerasan.

Kepada segenap elemen yang pernah mengisi dan membentuk karakter penulis dan tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Semoga hal tersebut tidak mengurangi penghargaan dan kecintaan penulis. Terima kasih.

Ciputat, 12 November 2008 M


(6)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ………. i

DAFTAR ISI ………iv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ……….. 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah……… 4

C. Tujuan Penelitian …………..……… 5

D. Tinjauan Pustaka ……… 5

E. Metode Penelitian ………. ………. …... 6

F. Sistematika Pembahasan ……… 8

BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI A. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi ………..10

1. Perbuatan Pidana ; Actus Reus ... ..10

2. Kesalahan ; Mens Rea ……… .. ..13

3. Pertanggungjawaban Pidana ; Criminal Liability ………... 18

4. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi : Corporate Criminal Liability ……….. ………26

a. Doctrine Of Strict Liability ……… ..26

b. Doctrine Of Vicarious Liability ………28


(7)

1. Pertanggungjawaban Pidana Islam ………31

2. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Islam ………. 34

BAB III GAMBARAN UMUM TENTANG TIDAK PIDANA KORUPSI A. Korupsi Dalam Hukum Positif ………38

1. Unsur Setiap Orang ………... 44

2. Unsur Melawan Hukum ……….. 45

3. Unsur Memperkaya Diri Sendiri Atau Orang Lain ………….. ….. 46

4. Unsur Dapat Merugikan Keuangan Negara ………. ….. 47

5. Unsur Penyalahgunaan Wewenang, Kesempatan, Atau Sarana Yang Ada Karena Jabatan Atau Kedudukan ……….. 48

B. Sariqah (Pencurian) ……… 50

1. Pengambilan Secara Diam-Diam ………. 54

2. Barang Yang Diambil Berupa Harta ………. 55

3. Harta Milik Orang Lain ………. 56

4. Adanya Niat Melawan Hukum Atau Kesengajaan ………. 57

5. Adanya Unsur Khianat yaitu menentang kebenaran dan tidak Amanah ………. 58

BAB IV ANALISA PUTUSAN A. Posisi Kasus ……… 61

B. Analisa Kasus ………. 66


(8)

2. Analisa Putusan Hakim Mengenai Pertanggungjawaban

Pidana Korporasi ……… 84 3. Analisa Putusan Hakim Mengenai Pertanggungjawaban

Pidana Korporasi Islam ……….. 91

BAB V KESIMPULAN

A. Kesimpulan ………. 95

B. Saran-saran ………. 97


(9)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Badan hukum atau korporasi (rechtspersoon) adalah elemen pendukung hak dan kewajiban yaitu segala sesuatu yang menurut hukum dapat mempunyai hak dan kewajiban, sama seperti manusia.1 Aktifitas korporasi sekarang ada yang merugikan manusia dan membuka peluang digolongkan kepada perbuatan melawan hukum..2

Perbuatan pidana korporasi hanya memungkinkan menentukan siapa pengurus yang dimintai pertanggungjawaban pidana. Sering muncul kesulitan dalam menentukan pihak mana yang harus mengganti kerugian diantara pihak korporasi, direksi, pengurus atau bawahan. Terlebih, ketika jumlah kerugian yang muncu mencapai hingga ratusan atau milyaran rupiah.3

Kejahatan Korporasi (Corporate crime) meliputi : kecurangan dalam perdagangan, kejahatan perbankan, kelalaian dalam pembuatan obat dan makanan, penimbunan barang, pemalsuan mata uang dan dokumen, kecurangan dalam pembukuan, kejahatan lingkungan hidup. Termasuk didalamnya juga perbuatan korupsi.4

Kejahatan yang disebut terakhir, yaitu perbuatan pidana korupsi yang dilakukan atas nama korporasi jauh lebih besar nominalnya dibandingkan

1 Chidir Ali, Badan Hukum, (Bandung, Alumni, 1991) Cet. ke II, h. 4

2 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Buku Ketiga, Bab VIII mengatur tentang

Perseroan Terbatas dan Bab IX mengatur tentang Badan Hukum.

3 Sutan Remy Sjahdeini, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, (Jakarta: Grafitti Pers,

2006), cet ke-1 h.27

4 Arief Amrullaah, Kejahatan Korporasi –The Hunt For Mega Profits And Attack


(10)

perbuatan pidana korupsi yang dilakukan perorangan. Contoh, kasus penggelapan dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia dengan salah satunya pelakunya Sjamsul Nursalim (BDNI) yang memanipulasi uang negara sebesar Rp 26.369.524.999.800 dan U$ 96.700.000.5

Penerapan pertanggungjawaban pidana dalam korporasi kerap menemui kesulitan pada asas hukum, terutama menyangkut asas tiada pidana tanpa kesalahan (zeen strap zonder zchuld)6 karena tindak pidana tidak berdiri sendiri, tindak pidana baru bermakna apabila terdapat pertanggung jawaban pidana.7.

Pertanggungjawaban pidana lahir karena adanya celaan objektif (vewijtbaarheid) kepada pembuat tindak pidana dan secara subjektif kepada pembuat tindak pidana yang memenuhi persyaratan untuk dapat dikenai pidana karena perbuatannya. 8

Hukum Islam juga mengatur tentang pertanggungjawaban pidana sekalipun dalam penerapannya agak sulit. Namun sekalipun sulit untuk menarik konsep pertanggungjawaban hukum Islam ke dalam bahasan korporasi, hukum

Islam punya bahasan pertanggungjawaban pidana perorangan.

Pertanggungjawaban Islam perorangan dapat didefinisikan pembebanan seseorang

5 Edi Yunara,

Korupsi Dan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi (tanpa tempat, PT. citra Aditya bakti, 2005) cet ke- 1 h. 84. atau Lihat majalah legal review no. 22/th ii 30 juni – 31 juli 2004.

6 Asas ini juga sering disebut dengan istilah

tiada hukuman tanpa kesalahan. Asas ini dimulai lewat uraian an act does not make a person guilty unless the mind is guilty or actus non facit reum nisi mens sit rea. Lihat : Leden Marpaung, Asas Teori-Praktik Hukum Pidana (Jakarta, sinar grafika, 2005) Cet. ke-2 h. 9 atau Lihat : Farid, Hukum Pidana I, h. 42

7 Andi Zaenal Abidin Farid menegaskan bahwa ada beberapa unsur pembentuk

pertanggungjawaban pidana. Yaitu kemampuan bertanggungjawab, kesengajaan, jenis kesengajaan, kehilafan kealpaan, kelalaian dan adanya tidak alasan pemaaf atau adanya alasan pembenar. Lihat : Andi Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I, (Jakarta, Sinar Grafika, 1995), Cet ke-h. 260-266

8 Celaan obejektif adalah celaan yang pada prinsipnya meliputi adanya sifat melawan

hukum, persesuaian dengan delik dan adanya alasan pemaaf. Dikutip dari artikel Muhammad Ainul Syamsu, tentang dualisme tentang delik: sebuah kecenderungan baru dalam hukum pidana Indonesia.


(11)

dengan hasil (akibat) perbuatan (atau tidak ada perbuatan) yang dikerjakan dengan kemauan, dimana ia mengetahui maksud-maksud dan akibat-akibat dari perbuatan itu.9

Penelitian ini menyajikan keberadaan konsep pertanggungjawaban langsung atau tanpa kesalahan (strict liability) dan pertanggungjawaban delegasi (vicarious liability) dan pertanggungjawaban pidana hukum Islam yang mirip dengan konsep strict liability.

Terkait permasalahan diatas penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang pertanggungjawaban korporasi yang menyangkut tentang korupsi. Analisa dilakukan tehadap putusan pengadilan untuk kasus korupsi oleh Direktur PT. Bank Mandiri Tbk. yang diduga merugikan negara senilai Rp. 160 Milyar. Penulis memberikan judul penelitian :

Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Korupsi Dalam Hukum Islam Dan Hukum Positif (Studi Putusan Pidana Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No: 2068/Pid.B/2005/PN)

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana konsep pertanggungjawaban pidana korporasi serta bagaimana hukum Islam mengatur tentang pertanggungjawaban korporasi?

2. Bagaimana sesungguhnya tindak pidana korupsi diatur peraturan perundang-undangan Indonesia dan bagaimana hukum Islam (Ta’zir) merumuskan tindak pidana korupsi?

9 Pertanggungjawaban pidana tersebut ditegakkan atas tiga hal, yaitu : adanya perbuatan

yang dilarang; dikerjakan dengan kemauan sendiri; pembuatnya mengetahui terhadap akibat perbuatan tersebut.


(12)

3. Bagaimana sesungguhnya kasus korupsi ketiga mantan Direktur PT. Bank Mandiri sejauh mana dapat dijerat dengan asas pertangggungjawaban pidana korporasi?

C. Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Menjelaskan konsep pertanggungjawaban pidana korporasi serta bagaimana hukum Islam mengatur tentang pertanggungjawaban korporasi?

2. Menjelaskan tindak pidana korupsi diatur peraturan perundang-undangan Indonesia dan bagaimana hukum Islam (Ta’zir) merumuskan tindak pidana korupsi?

3. Menjelaskan korupsi ketiga mantan Direktur PT. Bank Mandiri sejauh mana dapat dijerat dengan asas pertangggungjawaban pidana korporasi?

D. Tinjauan Pustaka

Penelitian menelaah tema korupsi dan pertanggungjawaban pidana korporasi. Kekhususannya ada pada analisa putusan pengadilan tingkat pertama tentang dakwaan terhadap Mantan Direktur PT. Bank Mandiri terhadap dugaan penyalahgunaan uang sejumlah 160 Milyar yang sekarang sudah keluar putusan kasasi-nya. Namun penulis memfokuskan diri hanya pada konsep pertanggungjawaban pidana korporasi pada putusan Pengadilan Negeri mengingat terbatasnya kemampuan penulis. Berikut adalah daftar penelitian lain tentang pertanggungjawaban pidana korporasi dan perbuatan korupsi yang penulis ketahui.

1. Penulis Sofwah Urwatil Wusqo dengan judul Kejahatan Korporasi : Tindak Pidana Kejahatan Korporasi Dalam Tinjauan Positif Dan Hukum Islam. Kode


(13)

perpustakaan 12.SJJS.2006.91., tujuan penelitian memahami kejahatan korporasi dalam hukum positif dan hukum Islam.

2. Penulis Asep Hadi Tumdi Korupsi dengan judul Tindak Pidana Korupsi Berdasarkan Hukum Islam Dan Hukum Positif. Kode perpustakaan 166.SJAS.2000.61., tujuan penelitian memahami tindak kejahatan korupsi dalam hukum Islam dan positif

3. Penulis Sutrisno Korupsi dengan judul Usaha Pemberantasan Korupsi Menurut Hukum Islam Dan Hukum Positif. Kode perpustakaan 40. SJAS.2005.67., tujuan penelitian mengetahui usaha pemberantasan korupsi 4. Penulis Sulaiman dengan judul Korupsi : Studi Tindak Pidana Korupsi Dana

Non-Budgeter Bulog (Analisa Putusan MA.RI. Reg.No.572 K/Pid/2003 Terhadap Ir. Akbar Tanjung). Kode perpustakaan PMH.2006.84., tujuan penelitian menganalisa kasus dakwaan korupsi terhadap Akbar Tanjung.

Nilai orisinilitasnya penelitian ini, berdasarkan tinjauan pustaka diatas setidaknya ada pada dua hal. Pertama : pertanggungjawaban pidana korporasi dengan kefokusan pada term strict liability dan vicarious liability. Kedua, putusan pidana Pengadilan Negeri Jaksel No: 2068/Pid.B/2005/PN tentang dugaan kasus korupsi ketiga mantan Direktur PT. Bank Mandiri.


(14)

E. Metode Penelitian 1. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini terdiri dari penelitian hukum normatif (penelitian hukum kepustakaan). yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka.10

Dalam penulisan penelitian ini ada tiga bab Inti. Yaitu pertama Bab II tentang pertanggungjawaban pidana korporasi dalam hukum pidana dan hukum Islam, kedua bab III tentang korupsi dalam hukum pidana dan hukum Islam, ketiga bab IV tentang analisa terhadap putusan hakim dengan menggunakan pisau analisa pertanggungjawaban pidana korporasi, perbuatan pidana korupsi serta hukum Islam..

2. Sumber Data

Dalam hal ini, data primer diperoleh dari Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan putusan pidana No: 2068/Pid.B/2005/PN.Jak.Sel. Sedangkan data sekundernya KUHP, UU No. 31 tahun 1999 korupsi dan UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Kemudian digunakan juga data-data pendukung seperti tulisan-tulisan yang tersebar dan buku-buku dan jurnal-jurnal yang terkait dengan masalah ini. Data sekunder juga didapat dari media massa (koran, majalah, surat kabar) baik yang cetak maupun yang elektronik.

3. Teknik Dan Instrumen Pengumpul Data

10 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta, PT Raja


(15)

Data dalam penelitian ini diperoleh dengan menggunakan alat pengumpul data sebagai berikut :Bahan Hukum, terdiri dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat. No : 2068/Pid.B/2005/PN.Jak.Sel. Sedangkan bahan hukum sekundernya adalah Peraturan Perundang-undangan yaitu KUHP, UU No. 31 tahun 1999 dan UU No. 20 tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, hasil penelitian pendapat para pakar buku-buku hukum serta catatan dan tulisan-tulisan lain yang mendukung dan memperjelas bahan hukum primer serta bahan hukum lain yang penulis dapatkan baik melalui penelusuran buku-buku yang berkaitan, surfing internet, artikel-artikel, jurnal-jurnal, ataupun dari sumber lainnya.

4 . Metode Pengolahan Dan Analisa Data

Data yang diperoleh dari putusan PN. Jaksel, hasil kajian bahan hukum, KUHP dan penelitian para pakar dan tulisan-tulisan yang berkenaan lainnya akan dianalisis dan ditinjau lebih jauh, dengan didukung oleh referensi lain yang memperkuat materi hukum.

Sedangkan pengolahan akan menggunakan metode deskriptif analitis. Metode deskriptif analitis yaitu metode yang menggambarkan dan memberikan analisa terhadap kenyataan di lapangan yang diperoleh dari hasil dokumen hukum yang sah yaitu keputusan hakim juga dokumen-dokumen hukum para pakar dan peneliti hukum. Hal tersebut dilakukan dengan cara mengedit data yaitu memeriksa data yang terkumpul dan hal yang terkait dengan pertanggunjawaban korporasi sudah dipaparkan semua kemudian menyajikannya secara sistematis.


(16)

F. Sistematika Pembahasan

Teknik Penulisan yang digunakan dalam skripsi ini mengacu kepada buku Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2005.11 Adapun sistematika pembahasan sebagai berikut:

Bab pertama, merupakan bagian pendahuluan atau berisikan pengantar, yang memuat latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penelitian, metode penelitian dan sistematika pembahasan.

Bab kedua, membahas tentang gambaran dari pertanggungjawaban pidana korporasi. Lingkup kewenangannya dan gambaran umum penerapan konsep pertanggungjawaban pidana korporasi termasuk dalam konsep hukum Islam.

Bab ketiga, membahas ini yang di maksud dengan korupsi menurut hukum Islam dan hukum positif. Bahasan ini akan membagi kedalam sub bab : pertama ; membahas definisi, unsur dan sanksi korupsi menurut peraturan perundang-undangan, kedua ; membahas definisi, unsur dan sanksi korupsi yang dikaitkan dengan sariqah (pencurian) dalam hukum Islam serta uqubah nya (hukumannya) masuk pada kategori Ta’zir dengan penambahan pada unsur ta/zir yaitu khianat.

Bab keempat, merupakan bagian analisa. Diketengahkan posisi kasus, analisa konsep pertanggungjawaban korporasi berdasarkan prinsip strict liability dan vicarious liability termasukjuga pertanggungjawaban pidana korporasi dalam hukum Islam.

Bab kelima, adalah Penutup, terdiri dari pertama kesimpulan dan kedua saran-saran.

11 Fakultas Syari’ah Dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, Pedoman Penulisan Skripsi,


(17)

BAB II

GAMBARAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI

A. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi

Unsur pertanggungjawaban pidana korporasi meliputi pertama adalah adanya perbuatan, kedua adanya pertanggungjawaban pidana, ketiga terpenuhi unsur kesalahan korporasi.

1. Perbuatan Pidana, Actus Reus

Perbuatan manusia dalam arti luas dapat diartikan mengenai apa yang dilakukan apa yang diucapkan (act), dan bagaimana sikapnya terhadap suatu kejadian (omission) atau perbuatan negatif.12

Van Hamel menyebutkan bahwa ”tidak melakukan sesuatu” itu pada umumnya tidak bertentangan dengan hukum, akan tetapi perilaku semacam itu akan bersifat melanggar hukum apabila ada suatu ”kewajiban hukum yang bersifat khusus”.13 Larangan itu ditujukan kepada perbuatan, yaitu pada keadaan yang ditimbulkan oleh kelakuan, sedangkan ancaman pidananya ditujukan kepada orang yang melakukan perbuatan itu.14

12 Leden Marpaung, Asas Teori Dan Praktik Hukum Pidana, (Jakarta, Sinar Grafika,

2006) Cet. ke-3 h.31

13 Ibid., h.31

14 Contoh act adalah pasal 362 KUHP yang rumusannya antara lain: ”barang siapa

mengambil sesuatu barang, yang seluruhnya atau sebahagian kepunyaan orang lain....”, sedangkan contoh omission adalah pasal 164, 165,166 KUHP yaitu tentang kewajiban lapor jika ada kemungkinan terjadinya tindak kejahatan. Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta, Rineka Cipta, 2002) Cet ke-7 h. 54


(18)

Perbuatan pidana dinyatakan sebagai yang merugikan masyarakat dan bertentangan dengan tata pergaulan masyarakat yang dianggap baik dan adil.15 Namun tidak semua semua perbuatan yang merugikan masyarakat diberi sanksi. Begitu pula, kita tidak dapat menyebutkankan bahwa hanya perbuatan-perbuatan yang menimbulkan kerugian besar saja yang dapat dijadikan perbuatan pidana.16

Hukum pidana tak melarang adanya orang mati tetapi melarang adanya orang mati karena perbuatan orang lain.17 maka beraku postulat ”Kejadian tidak dapat dilarang, jika yang menimbulkan bukan orang, dan orang pun tidak dapat diancam pidana jika tidak karena kejadian yang ditimbulkan olehnya”.18

Istilah ”perbuatan pidana” itu kerap disamakan dengan istilah dalam Belanda ”strafbaar feit”, padahal arti keduanya dalam term hukum pidana adalah berbeda. Simons menerangkan bahwa strafbaar feit adalah kelakuan (handeling) yang diancam dengan pidana, yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggungjawab. Van Hammelmerumuskan sebagai berikut : strafbaar feit adalah kelakuan orang (menselijke gedraging) yang dirumuskan dalam wet, yang bersifat melawan hukum, yang patut dipidana (strafwaardig) dan dilakukan dengan kesalahan.

Simons berkata bahwa strafbaar feit itu sendiri terdiri atas handeling dan gevolg (kelakuan dan akibat). Adapun mengenai yang kedua hal itu berbeda sekali dengan ”perbuatan pidana” sebab disini tidak dihubungkan dengan kesalahan

15 Roeslan Saleh,

Perbuatan Pidana Dan Pertanggungjawaban Pidana –Dua Pengertian Dasar Dalam Hukum Pidana-, (Jakarta, Aksara Baru, 1983), h. 13 atau Lihat: Moeljatno, Perbuatan Pidana Dan Pertanggungjawaban Dalam Hukum Pidana, Pidato dies natalies Universitas Gajah Mada tahun 1955, h. 9

16 Saleh Perbuatan Pidana Dan Pertanggungjawaban Pidana, h. 13 17 Moeljatno,

Asas-Asas Hukum, h. 54


(19)

yang merupakan pertanggungjawaban pidana bagi orang yang melakukan perbuatan pidana.19

Dalam konteks perbuatan pidana J.M. Van Bemmelen mengatakan bahwa yang pada umumnya harus dipandang sebagai suatu kejahatan adalah segala sesuatu yang merusak dan tidak susila.20 Friedman menyatakan bahwa perubahan nilai menyebabkan sejumlah perbuatan yang tadinya merupakan perbuatan tidak tercela dan tidak dituntut pidana berubah menjadi perbuatan yang dipandang tercela dan perlu dipidana.21

Dalam hukum pidana yang juga menjadi perhatian adalah sifat melawan hukum. Sifat melawan hukum dipandang ada dua : pertama, sifat melawan hukum formil yaitu sifat melawan hukum yang mencocoki sifat kekeliruan atau ketidaksusilaan dengan undang-undang. Kedua, sifat melawan hukum materil yaitu pendapat yang menyatakan bahwa belum tentu kalau semua perbuatan yang mencocoki dengan undang-undang bersifat melawan hukum.22

Ada 5 elemen penyusun perbuatan pidana, yaitu : pertama adalah kelakuan dan akibat, kedua adalah hal ikhwal atau keadaan tertentu yang menyertai

19 Ibid., h. 56-57. Tentang kelakuan, Moeljatno sependapat dengan apa yang dikatakan

Vos yaitu bahwa hanya sikap jasmani yang disadari sajalah yang masuk kualifikasi perbuatan pidana.

1. Sikap jasmani yang orangnya sama sekali pasif yaitu tidak dikehendaki olehnya karena dipaksakan orang lain, tidak dimasukkan kedalam makna kelakuan.

2. Gerakan refleks juga tidak dapat dinamakan kelakuan.

3. Sikap jasmani yang diadakan dalam keadaan tidak sadar juga tidak dapat dinamakan kelakuan.

20 Rantawan Djanim,

Korporasi Dan Pertanggungjawaban Pidana¸ (Semarang, Badan Penerbit Universitas Diponogoro, 2006) cet. ke-1 h.

21 Rusli effendi, A.Z. Abidin Farid, Barny C.M.,

Masalah Kriminalisasi Dan Dekriminalisasi Dalam Rangka Pembahasan Hukum Pidana, Dalam BPHN-DepKeh, Simposium Pembaharuan Hukum Pidana Nasional, (Bandung, Bina Cipta, 1986), h. 65.

22 Moeljatno,


(20)

perbuatan. Dimana menurut Van Hammel dibagi dua golongan yaitu : mengenai diri orang yang melakukan perbuatan dan mengenai diluar diri si pembuat. Ketiga adalah keadaan tambahan yang disebut dengan unsur-unsur yang memberatkan. Misal pasal 351 ayat 2 dan 3 KUHP tentang penganiayaan dengan pemberatan. Keempat adalah adanya perbuatan yang tertentu dirumuskan seperti dirumuskan maka sifat pantang dilakukannya perbuatan itu sudah nampak dengan wajar. 23 Ini yang kemudian dinamakan dengan sifat melawan hukumnya perbuatan, tidak perlu dirumuskan lagi sebagai elemen atau unsur tersendiri. Misal padal 285 tentang pemerkosaan. Dan yang kelima adalah sifat melawan hukum subjektif. 2. Kesalahan ; Mens Rea

Dapat dipidananya seseorang, terlebih dahulu harus ada dua syarat yang menjadi suatu keadaan, yaitu pertama perbuatan yang bersifat melawan hukum sebagai sendi perbuatan dan kedua perbuatan yang dilakukan harus dapat dipertanggungjawabkan sebagai sendi dari kesalahan.24

Vos menjelaskan bahwa tanpa sifat melawan hukumnya suatu perbuatan tidaklah mungkin dipikirkan adanya kesalahan, namun sebaliknya sifat melawan hukumnya perbuatan mungkin ada tanpa adanya kesalahan. 25 Namun menurut Moeljatno, menyatakan bahwa rumusan tersebut lebih baik dengan kalimat bahwa orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan atau tidak mungkin dijatuhi pidana kalau dia tidak melakukan perbuatan pidana, tetapi meskipun melakukan perbuatan pidana dia tidak selalu atau belum tentu dapat dikenakan pidana.26

23 Ibid., h. 130

24 Bambang Poernomo, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta, Ghalia Indonesia, 1994) Cet

ke-7 h. 135.

25 Ibid., h. 135. 26 Ibid., h 135.


(21)

Menurut Jonkers, kesalahan dibagi atas tiga bagian yaitu selain pertama kealpaan dan kesengajaan, meliputi juga kedua sifat melawan hukum dan ketiga kemampuan bertanggung jawab. Dari pandangan diatas terlihat bahwa pengertian tentang kesalahan tersebut diatas nampak sekali terselip elemen dari sifat melawan hukum. Pendapat ini sebenarnya bertentangan dengan pandangan mengenai elemen melawan hukum seharusnya terletak pada bidang perbuatan pidana.

Vos memandang pengertian kesalahan mempunyai tiga tanda khusus yaitu : pertama kemampuan bertanggungjawab dari orang yang melakukan perbuatan; kedua hubungan batin tertentu dari orang yang berbuat yaitu perbuatannya itu dapat berupa kesengajaan atau kealpaan; ketiga tidak adanya dasar alasan penghapusan pertanggungjawaban bagi Si pembuat atas perbuatannya. Sedangkan menurut E. Mezger memandang pengertian kesalahan dengan: pertama kemampuan bertanggung jawab; kedua adanya bentuk kesalahan; ketiga tak adanya alasan penghapus kesalahan.

Dahulu ada anggapan kesalahan dalam hukum pidana itu identik dengan kesengajaan atau kealpaan, akan tetapi lambat laun tumbuh pendapat yang mengatakan bahwa kesalahan bukan hanya terdiri dari kesengajaan atau kealpaan semata namun ada hal lain yang penting yaitu berupa kemampuan bertangung jawab dan unsur tidak adanya alasan pemaaf dan adanya alasan pembenar.

Jonkers dan Pompe memandang bahwa kesalahan harus memenuhi syarat-syarat : pertama sifat melawan hukum, kedua mempunyai bentuk kesengajaan atau kealpaan, dan ketiga pertanggungjawaban pidana. Adakalanya isi kesalahan tersebut diatas dapat disimpulkan menjadi tiga bagian, yaitu : pertama tentang kemampuan bertanggungjawab orang yang melakukan perbuatan, kedua tentang hubunngan batin tertentu dari orang yang melakukan perbuatan yang berbentuk


(22)

kesengajaan atau kealpaan, ketiga tentang tidak adanya alasan pengahapus kesalahan / pemaaf.

Kesalahan dengan tiga bagian itu dapat dijumpai dalam buku hukum pidana karangan Vos dan Mezger, kedua ahli itu berbeda sedikit saja dalam merumuskan isi yang ketiga karena perbedaan penekanan, disatu pihak menekankan pada pertanggung jawaban, sedangkan dilain pihak menekankan pada kesalahan. Vos menyebutkan tiga macam isi kesalahan : pertama kemampuan bertanggung jawab orang yang melakukan perbuatan, kedua hubungan batin orang itu dengan perbuatannya yang berupa kesengajaan atau kealpaan, ketiga tidak adanya alasan yang menghapuskan pertanggungjawaban jawab terhadap perbuatan pada pembuat. Sedangkan Mezger menentukan tiga macam pengertian dalam kesalahan, yaitu pertama kemampuan bertanggung jawab, kedua bentuk kesalahan berupa kesengajaan atau kealpaan dan ketiga Alasan-alasan yang menghapus kesalahan. 27

Anak yang bermain korek api dipinggir rumah tetangga kemudian membakarnya, orang gila, dan dokter yang diminta membuat suatu keterangan dengan todongan pistol (pasal 276 KUHP) dikepalanya tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana..28

Dengan demikian dapatlah kita temukan pengertian kesalahan, Menurut Prof. Mr. G.A. Van Hamel kesalahan adalah ketika seseorang melakukan perbuatan, dengan kesadaran aktif memiliki kehendak atas pebuatannya (tanpa paksaan) yang ia secara insyaf mengetahui bahwa perbuatan itu dilarang menurut ukuran masyarakat setempat (memiliki sifat melawan hukum).

27 Ibid., h 144 28 Moeljatno,


(23)

3. Pertanggungjawaban Pidana ; Criminal Liability

Apakah orang yang melakukan perbuatan kemudian dijatuhi hukum pidana, sebagaimana telah diancamkan, ini tergantung dari soal apakah ketika melakukan perbuatan ini dia mempunyai kesalahan. Sebab asas dalam pertanggungjawaban pidana adalah: tidak dipidana jika tidak ada kesalahan (zeen straf zonder schuld; actus non facit reum nisi mens sit rea).29 Menurut Moeljatno orang tidak mungkin dipertanggungjawabakan atau dijatuhi pidana kalau dia tidak melakukan perbuatan pidana. Tetapi meskipun melakukan perbuatan pidana, tidak selalu ia dapat dipidana.30

Sedangkan Roeslan Saleh menyebutkan ”tetapi betapapun itu, aturan undang-undanglah yang menetapkan siapa-siapa yang dipandang sebagai pembuat yang bertanggungjawab itu. Satu kali telah ditetapkan bahwa seseorang adalah yang harus dipertanggungjawabkan atas perbuatan pidana yang terjadi, maka langkah selanjutnya adalah menegaskan apakah ia juga memenuhi syarat-syarat yang diperlukan untuk pertanggungjawaban itu.”31

Andi Hamzah mengatakan bahwa melawan hukum adalah mengenai perbuatan yang abnormal secara objektif. Kalau perbuatan itu tidak melawan hukum berarti bukan perbuatan amoral dan pembuatnya tidak bersalah. Dapat dikatakan bahwa ada kesalahan jika pembuat dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan. Perbuatannya dapat dicelakan terhadapnya. Celaan ini bukan celaan

29 Ibid., h.. 153 30 Ibid., h.. 155

31 Roeslan Saleh, Pikiran-pikiran Tentang Pertanggungan Jawab Pidana, (Jakarta, Ghalia


(24)

etis melainkan celaan hukum. Celaan obyektif dapat dipertanggungjawabkan kepada pembuat menjadi celaan subyektif.32

Menurut Chairul huda makna asas ”tiada pidana tanpa kesalahan” adalah ”tiada pertanggungjawaban pidana tanpa kesalahan”. Dan menurut Chairul, bagaimana cara agar asas kesalahan ini dikonkretisasi dan tingkat kesalahannya yang dipersyaratkan tidaklah perlu sama untuk tiap delik. Dengan demikian, syarat dan isi kesalahan tidak perlu sama, terhadap pembuat pidana dengan subjek hukum manusia atau korporasi.33

Dengan demikian ternyata untuk adanya kesalahan terdakwa harus memenuhi empat unsur yaitu: pertama, melakukan perbuatan pidana (sifat melawan hukum), kedua, diatas umur tertentu atau mampu bertanggung jawab, ketiga mempunyai suatu bentuk alasan yang berupa kesengajaan atau kealpaan, keempat tidak adanya alasan pemaaf.

Sedangkan pertanggungjawaban pidana hanya melekat kepada seseorang yang memiliki kemampuan bertanggunjawab melakukan perbuatan pidana dengan kesalahan didalamnya serta ketiadaan adanya alasan pemaaf sebagai sifat kesadaran akal.

4. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi ; Corporate Criminal Liability

Korporasi dapat dimasukkan kepada kategori yang khusus dalam hukum pidana.34 Chairul Huda mengatakan agar rumusan terhadap pidana korporasi tidak

32 Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta, Rineka Cipta, 2004), cet ke-2, h.

130

33 Chairul Huda, “

Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan” Menuju Kepada “Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan”, (Jakarta , Kencana Prenada Media, 2006) cet ke-2 h. 86


(25)

samar-samar maka perumusan korporasi sebagai subjek khusus hukum pidana sebaiknya dilakukan. kalau tidak Tentu hal tersebut cenderung bertentangan dengan asas legalitas.35

Tujuan perlindungan yang dituju oleh asas legalitas, bukan saja terhadap orang perseorangan tetapi juga korporasi. Van Strien mengatakan, sebagaimana dikutip oleh Chairul Huda bahwa tidak hanya manusia subjek hukum yang harus mendapatkan perlindungan dari pelaksanaan kekuasaan negara yang mempunyai kecenderungan tidak terbatas. Perlindungan yang sama juga harus diberikan kepada badan hukum”.36

Chairul Huda menyatakan bahwa pertanggungjawaban pidana korporasi dilakukan atas dasar kesalahan. Hanya saja isi kesalahan tersebut berbeda dengan subjek hukum manusia. Dasar dari penetapan dapat dipersalahkannya badan hukum ialah tidak dipenuhinya dengan baik fungsi kemasyarakatan yang dimiliki badan hukum. Indikator kesalahan bagi korporasi adalah ketika korporasi sudah melakukan kegiatan yang tidak mencerminkan hubungan baik dengan masyarakat dan kemasyarakatan. Hukum mengharapkan fungsi korporasi sebagai badan hukum seiring sejalan dengan fungsi korporasi dalam kemsayarakatan.37

Berkenaan dengan pembebanan pertanggungjawaban pidana kepada korporasi, menurut Reksodipuro, setidaknya terdapat tiga konsep, yaitu : pertama, pengurus korporasi sebagai pembuat dan penguruslah yang betanggung jawab, kedua korporasi sebagai pembuat dan pengurus juga bertanggungjawab, ketiga

35 Ibid., h. 48 36 Ibid., h. 48 37 Ibid., h. 85


(26)

korporasi sebagai pembuat dan juga sebagai yang bertanggungjawab.38 Menurut Sutan Remy Sjahdeini, ada dua konsep lagi yaitu keempat, korporasi sebagai pelaku tindak pidana, tetapi pengurus yang harus memikul beban pertanggung jawaban pidana. dan kelima pengurus dan korporasi keduanya sebagai pelaku tindak pidana, dan keduanya pula yang harus memikul pertanggungjawaban pidana.39

Pertanyaan akademis yang mucul kemudian bahwa bagaimana korporasi juga dapat menjadi pelaku pidana adalah: ”atas dasar teori atau falsafah pembenaran apa korporasi dapat dibebani pertanggungjawaban pidana? Adagium universitas delincruere non potest (korporasi tidak dapat melakukan perbutatan pidana) menurut asas keadilan bagi masyarakat dapat dikecualikan. Sudah sewajarnya asas kesalahan tidak berlaku murni. Maksudnya disamping asas kesalahan dianut pula konsep lain yang dapat mempertanggungjawabkan korporasi yang melakukan perbuatan pidana.

Sebelum memasuki wilayah pembahasan pertanggungjawaban pidana korporasi secara spesifik kita lihat beberapa elemen pasal dalam UU No. 20 tahun 2001 tentang perubahan tentang UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.

Pasal 1 ayat (1) dan (3) UU No. 20 Tahun 2001 Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :

1. Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.

38 Reksodipuro,

Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Tindak Pidana Korporasi , (Semarang:FH UNDIP,1989).

39 Sutan Remy Sjahdeini, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, (Jakarta, Graffiti Pres,


(27)

3. Setiap orang adalah orang perseorangan atau termasuk korporasi.

Jelas dituliskan dalam pasal tersebut bahwa korporasi merupakan kumpulan orang yang terorganisasi baik berupa badan hukum maupun bukan badan hukum. Maksud penyataan tersebut adalah organisasi yang terdaftar di Pemerintahan (departemen hukum dan HAM atau departemen dalam negeri) atau yang tidak terdaftar namun ekssitensinya diakui masyarakat maka dapat disebut organisasi badan hukum. Bank mandiri selakuk perseroan terbatas masuk kepada kualifikasi badan organisasi berbadan hukum dengan melekatnya hak dan kewajiban sebagai badan hukum. 40

Sedangkan pasal yang spesifik bicara tentang tindak pidana korupsi oleh korporasi diatur dalam pasal 20 UU No. 20 Tahun 2001 Pasal 20 ayat (1), ( 2), (3), (4), (5), (6), (7) UU No. 20 Tahun 2001.

1. Dalam hal tindak pidana korupsi oleh atau atas nama suatu korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan atau pengurusnya.

2. Tindak pidana korupsi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan

40 Bank Mandiri sebagai badan usaha “bank” sebagai bank. Bank Mandiri harus tunduk

pada peraturan perundang-undangan perbankan.Apabila tindakan direksi melanggar asas dan ketentuan perbankan, maka direksi dapat diminta pertanggungjawaban atas pelanggaran tersebut. Apabila pelanggaran peraturan perbankan terjadi karena direksi melakukan perbuatan melawan hukum atau perbuatan lain yang bersifat kepidanaan, direksi dapat diminta pertanggungjawaban pidana ; Meskipun Bank Mandiri merupakan PT. Terbuka, tetapi secara struktur, Bank Mandiri tetap sebagai sebuah “Persero” yang menjadi ciri bahwa Bank Mandiri adalah milik Negara. Perubahan-perubahan kepemilikan saham, apalagi saham negara menduduki jumlah terbesar dibandingkan dengan pemegang saham lainnya (posisi dominan), sama sekali tidak mengurangi status hukum Bank Mandiri sebagai BUMN yang mengelola kekayaan Negara. Dalam status yang demikian, direksi atau setiap orang yang bekerja pada Bank Mandiri demikian pula BUMN lainnya, tidak semata-mata melakukan fungsi keperdataan tetapi juga fungsi public yang menjalankan tugas pemerintahan pada Bank Mandiri sebagai BUMN. Lebih lanjut hal tersebut secara hukum mengandung arti bahwa direksi atau setiap orang yang bekerja pada BUMN seperti Bank Mandiri, berkedudukan sebagai unsur penyelenggara pemerintahan, karena itu kepada mereka dapat diberlakukan ketentuan-ketentuan mengenai penyelenggara pemerintah-an seperti ketentuan tentang pemberantasan korupsi ;


(28)

hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama.

3. Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu korporasi maka korporasi tersebut diwakili oleh pengurus.

4. Pengurus yang mewakili korporasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dapat diwakili oleh orang lain.

5. Hakim dapat memerintahkan supaya pengurus korporasi menghadap sendiri di pengadilan dan dapat pula memerintahkan supaya pengurus tersebut dibawa ke sidang pengadilan.

6. Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap korporasi, maka pengilan untuk menghadap dan Penyerahan surat panggilan tersebut disampaikan kepada pengurus di tempat tinggal pengurus atau di tempat pengurus berkantor.

7. Pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi hanya pidana denda, dengan ketentuan maksimum pidana ditambah 1/3 (satu per tiga).

Pasal 20 diatas menerangkan beberapa hal yang menurut penulis cukup penting yaitu ; Pertama, pada ayat (1) dinyatakan tuntutan dan penjatuhan pidana korporasi dapat dilakukan terhadap korporasi dan atau pengurusnya. Kata “dan” dan “atau” antara kata “korporasi” dengan kata “pengurusnya” menunjukkan bahwa tuntutan dapat dijatuhkan kepada salah satu dari “korporasi” atau “pengurus koporasi” atau gabungan dari “korporasi dan pengurus korporasi”. Kata “dan” menunjukkan akumulasi atau penjumlahan sedangkan kata “atau” menunukkan pilihan. Penjelasan pasal 20 UU No. 20 Tahun 2001 Pasal 20 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “pengurus” adalah organ korporasi yang menjalankan kepengurusan korporasi yang bersangkutan, sesuai dengan anggaran dasar, termasuk mereka yang dalam kenyataannya memiliki kewenangan dan ikut


(29)

memutuskan kewajiban korporasi yang dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi.Sedangkan ayat (3) menjelaskan bahwa dalam hal tuntutan pidana diatasnamakan korporasi maka korporasi tersebut diwakili oleh pengurusnya.

Seperti yang dikatakan Sutan Remy Sjahdeini dan reksodipuro bahwa – terlepas penggurus atau korporasi yang melakukan kejahatan- sesungguhnya keduanya dapat dijerat dengan hukum pidana.

Kedua,sebuah tindak pidana korupsi dapat dijerat kepada wilayah pertanggungjawaban pidana korporasi ketika kejahatan tersebut dilakukan dalam hubungan kerja atau hubungan lain dalam lingkungan korporasi tersebut. Ketiga bahwa ayat (7) menyatakan bahwa hukuman pidana pokok hanya berupa denda dengan ketentuan maksimal pidana ditambah sepertiga. Dalam pasal 2 maksimal hukuman pidana hanya Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) dengan asumsi ditambahsepertiga maka maksimal hukuman yang dijatuhkan adalah 1.400.000.000,00 (satu milyar empat satur juta). Hal ini menjadi problem tersendiri ketika kerugin yang terjadi lebih banyak dari itu. Dalam kasus E.C.W Neloe misalnya kerugian negara berjumlah 160. Milyar. Serasa tidak adil rasanya jika menggunakan sanksi pasal 2 tersebut.

Korupsi merupakan bagian integral dari tata cara pengaturan keuangan negara maka dari itu penulis akan mengutip beberapa pasal yang terkait dengan penyelenggaraan keuangan negara. Definisi keuangan Negara menurut penjelasan UU No. 29 Tahun 2001 Keuangan negara yang dimaksud adalah Seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan, termasuk didalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karenanya :


(30)

a. Berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat Negara, baik di tingkat pusat maupun daerah;

b. Berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggungjawaban Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, yayasan, badan hukum,41 dan perusahaan yang menyertakan modal negara, atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan Negara. Sedangkan yang dimaksud dengan Perekonomian Negara adalah kehidupan perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan ataupun usaha masyarakat secara mandiri yang didasarkan pada kebijakan Pemerintah, baik ditingkat pusat maupun di daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bertujuan memberikan manfaat, kemakmuran, dan kesejahteraan kepada seluruh kehidupan masyarakat.

17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :

1. Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai

dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang

41 Bank Mandiri sebagai badan hukum keperdataan ; Sebagai badan hukum keperdataan,

setiap badan hukum memiliki kekayaan sendiri yang terpisah dari pemegang saham, sebagai badan hukum keperdataan tindakan Terdakwa sebagai direksi memang dipertanggungjawabkan kepada (dalam) RUPS. Dengan demikian, setiap pemegang saham yang merasa dirugikan dapat meminta pertanggung jawaban direksi melalui RUPS. Apakah dengan demikian, seluruh pertanggungjawaban direksi semata-mata bersifat keperdataan ? sama sekali tidak. Apabila terbukti, direksi yang merugikan badan hukum karena penyalahgunaan wewenang, atau melakukan tindakan lain yang bersifat kepidanaan, direksi dapat diminta pertanggung jawaban menurut hukum pidana.


(31)

dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban

tersebut.

Keuangan Negara mengatur tentang definisi keuangan Negara. Harta Negara adalah setipa uang atau barang milik Negara dengan kewajiban dan hak hukum melekat didalamnya. Korporasi Negara berupa Badan Hukum Milik Negara (BUMN) merupakan bagian dari kekayaan Negara. Jadi kekayaan yang terkadung dalam PT. Mandiri Tbk merupakan kekayaan Negara.

Setelah duduk perkara tentang keuangan negara jelas, kembali pembahasan pada pertanggungjawaban pidana korporasi. Perbedaaan konsep yang diterapkan pada pertanggungjawaban pidana korporasi bukan saja terjadi pada negara yang menganut common law system dengan negara-negara eropa kontinental yang menganut civil law system, tetapi diantara negara-negara yang menganut sistem yang sama pun ternyata dasar teori atau falsafah pembenarannya berbeda-beda.42 Ada dua ajaran pokok yang menjadi landasan bagi dibukanya peluang pertanggungjawaban pidana korporasi, ajaran-ajaran tersebut adalah doctine of strict liability dan doctrine of vicarious liability.

a. Doctrine Of Strict Liability

Menurut doktrin strict liability, seseorang sudah dapat dipertanggungjawabkan perbuatannya untuk tindak pidana tertentu walaupun pada diri orang itu tidak ada kesalahan43 Dalam lingkup pertanggungjawaban tanpa

42 Ibid., h.77 43 Djanim,

Korporasi Dan Pertanggungjawaban Pidana¸ h.109. Ungkapan ”strict liability” pertama kali digunakan oleh W.H. Winfield pada tahun 1926 dalam suatu artikel berjudul


(32)

kesalahan sering dipersoalkan apakah strict libility sama dengan absolut liability. Dalam hal ini, ada dua pandangan yang berbeda. Pandangan pertama yang menerima strict liablity sebagai absolut liability dan pandangan yang kedua menegaskan bahwa strict liability adalah bukan absolut liability.44

Menurut doktrin strict liability, pertanggungjawaban pidana dapat dibebankan kepada pelaku tindak pidana yang bersangkutan dengan tidak perlu dibuktikan adanya kesalahan, baik itu berupa kesengajaan atau kelalaian pada pelakunya. Dalam ajaran strict liability pertanggungjawaban pidana bagi pelakunya tidak dipermasalahkan, maka strict liability juga disebut juga absolute liability. Dalam bahasa Indonesia adalah pertanggungjawaban mutlak.45

Beberapa pendapat tentang strict liability oleh ahli hukum Indonesia seperti Roeslan Saleh menyatakan bahwa dalam praktek, pertanggungjawaban pidana lenyap, apabila ada salah satu keadaan-keadaan yang memaafkan. Praktek pula yang melahirkan aneka macam tingkatan keadaan-keadaan mental yang dapat menjadi syarat ditiadakannya pengenaan pidana, sehingga dalam

The Myth of absolut liability”, sedangkan istilah ”absolut liablity” dikemukakan oleh John Salmond dalam bukunya ”the law of tort” pada tahun 1907.

44

Strict liability disebut bukan absolute liability jika actus reus tetap memerlukan unsur pokok mens rea –sebagai salah satu ciri kesalahan- untuk menetapkan diperlukannya seseorang dipidana atau tidak. Sebagai contoh : X dituduh melakukan tindak pidana menjual daging yang tidak layak untuk dimakan: karena dapat membahayakan kesehatan dan jiwa orang lain. Perbuatan ini di Inggris termasuk perbuatan pidana yang dapat dipertanggungjawabkan dengan strict liability. Dalam kasus seperti ini tidak perlu dibuktikan bahwa X mengetahui bahwa daging itu layak dikonsumsi, tetapi harus tetap dibuktikan bahwa X setidak-tidaknya memang menghendaki (sengaja) menjual daging itu. Jadi dalam kasus ini strict liability tidak bersifat absoluteliability. Lihat : Djanim, Korporasi Dan Pertanggungjawaban Pidana¸ h 110. Contoh strict liability yang murni diterapkan di Indonesia adalah dalam kasus pelanggaran lalu lintas atau lampu lalu lintas. Para pengemudi kendaraan bermotor yang tidak berhenti pada saat lampu menunjukkan lampu merah menyala, akan ditilang polisi dan selanjutnya akan disidang dimuka pengadilan. Hakim akan memutuskan hukuman atas pelanggaran tersebut tidak akan mempersoalkan ada tidak adanya kesalahan pada pengemudi yang melanggar peraturan lalu lintas itu. Lihat: Sjahdeini, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, h. 80 atau Lihat : Loebby Loqman, Pertanggungan Jawab Pidana Bagi Korporasi Dalam Tindak Pidana Lingkungan Hidup, (Jakarta, Kantor Meneg KLH, 1989), h. 93

45 Sjahdeini,


(33)

perkembangannya lahir kelompok kejahatan yang bentuk pengenaan pidananya cukup dengan strict liability.46Sedangkan Muladi menyatakan penerimaan bentuk pertanggungjawaban dalam hukum pidana yang disebut strict liability guna menjatuhkan pemidanaan terhadap korporasi, ”dilakukan atas dasar kepentingan masyarakat, bukan atas dasar kesalahan subyektif”. Strict liability merupakan refleksi kecenderungan untuk menjaga keseimbangan sosial.47

Perdebaatan tentang keberadaan sikap kalbu atau guilty mind dibantah dengan pendapat bahwa ”suatu korporasi adalah sebuah abstraksi". Ia tidak punya akal pikiran sendiri dan begitu pula tubuh sendiri; kehendaknya harus dicari atau ditemukan dalam diri seseorang yang untuk tujuan tertentu dapat disebut sebagai agen/perantara, yang benar-benar merupakan otak dan kehendak untuk mengarahkan (directing mind and will) dari korporasi tersebut. Jika seseorang merupakan otak pengarah dari perusahaan, maka tindakannya merupakan tindakan dari perusahaan itu sendiri”.48 Orang yang bertindak atau berbicara atas nama perusahaan. Ia bertindak sebagai perusahaan, dan akal pikirannya yang mengarahkan tindakannya berarti adalah akal pikiran dari perusahaan. Jika akal pikirannya bersalah, berarti kesalahan itu merupakan kesalahan perusahaan. 49

b. Doctrine Of Vicarious Liability

Selain konsepsi strict liability, di negara Anglosaxon dan Anglo American dikenal pula pertanggungjawaban pidana yang disebut ”vicarious liability”, yaitu

46 Saleh, Pikiran-Pikiran Tentang Pertanggungjawaban Pidana, h. 21 47Muladi, “

Fungsionalisasi Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Korporasi”, Makalah Seminar Nasional Kejahatan Korporasi di FH UNDIP, (Semarang, 23-24 November), h.4

48Bismar Nasution,

Kejahatan Korporasi Dan Pertanggungjawaban Pidananya, Makalah Disampaikan Dalam Ceramah Di Jajaran Kepolisian Daerah Sumatera Utara, Tanjung Morawa Medan, 27 April 2006. PDF, h.6


(34)

the legal responsibility of one person of wrongful acts of another, as for example, when the acts are done within scope of employment. Pertanggungjawaban hukum seseorang tindakan yang lain tidak adil, sebagai contoh, pada tindakan yang sudah dilakukan dalam lingkup ketenaga-kerjaan. Vicarious liability diartikan oleh Black sebagai : ”indirect legal responsibility; for example, the liability of an empleyer for the acts of an employee, or a principal for torts and contracts of an agent”. Pertanggungjawaban hukum tidak langsung; dengan contoh, kewajiban dari suatu pengusaha untuk bertanggung jawab dari tindakan suatu karyawan, atau untuk kesalahan dan kontrak dari suatu agen.50

Vicarious libility berangkat dari dari perbuatan melawan hukum dalam hukum perdata yang dipahami dalam doctrine of respondeat superior, menurut maxim ini dalam hubungan antara master dengan servan atau antara servan dengan agent berlaku maxim qui facit per alium facit per se. Menurut maxim tersebut seseorang yang berbuat melalui orang lain dianggap dia sendiri yang melakukan perbuatan itu.51

Roeslan Saleh menyebutkan pada umumnya orang hanya bertanggungjawab terhadap perbuatannya sendiri namun dalam konsep vicarious liability yaitu orang dapat bertanggungjawab terhadap perbuatan orang lain.52

Undang-undang dapat menentukan pertanggungjawaban vicarious liability, jika terjadi hal-hal sebagai berikut : pertama apabila seseorang telah mendelegasikan kewenangannya kepada orang lain secara sah. Dalam hal ini berlaku prinsip tanggung jawab bersifat dilimpahkan atau the delegation

50 Djanim, Korporasi Dan Pertanggungjawaban Pidana, h 114 51 Sjahdeini,

Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, h.84

52 Roeslan Saleh,


(35)

principle53, kedua atasan dapat mempertanggungjawabkan perbuatan yang secara fisik dilakukan oleh pekerjanya, jika menurut hukum perbuatan pekerjanya itu dipandang sebagai perbuatan majikan.54

Perumusan vicarious liability dapat mengikuti konstruksi penyertaan. Dalam vicarious liability, antara orang yang melakukan tindak pidana dan orang yang ikut dimintai pertanggungjawaban pidana atas perbuatan tersebut, mempunyai hubungan tertentu. Dimintakan pertanggungjawaban seseorang justru karena dia adalah atasan dari orang yang melakukan tindak pidana. Dalam kejadian lain, pertanggungjawaban pidana timbul karena pelaku bertindak untuknya. Dengan demikian, menurut Chairul Huda ada persamaan antara vicarious liability dengan penyuruhlakukan atau penganjur dalam penyertaan. Perbedaannya jika dalam penyertaan dipersyaratkan adanya kesengajaan (kesalahan) pada para peserta, dalam vicarious liability justru hal ini tampaknya dikecualikan.55

Namun bukan berarti pertanggungjawaban berarti pertanggungjawaban vicarious liability crime tidak berdasar kesalahan. Majikan tetap bertanggung

53 Barda Nawawi Arief, Perbandingan Hukum Pidana, (Jakarta, Rajawali Press, 1990) h.

34. Contoh dari prinsip pendelegasian ini adalah : ketika X sebagai pemilik rumah maka, yang pengelolaanya diserahkan kepada Y sebagai manajer. Berdasarkan peringatan dari polisi, X telah menginstruksikan dan melarang Y untuk mengizinkan pelacuran di rumah makan itu, yang ternyata dilanggar oleh Y. Dalam kasus tersebut X dipertanggungjawabkan terhadap kejadian itu. Konstruksi hukumnya adalah bahwa X telah mendelegasikan kewajibannya kepada Y. Dengan telah dilimpahkannya kebijaksanaan usaha rumah makan itu kepada manajer (Y), maka pengetahuan si manajer merupakan pengetahuan dari sipemilik rumah makan.

54 Andi Zaenal Abidin,

Bunga Rampai Hukum Pidana, (Jakarta, Pradnya Paramita, 1983) h. 42 Contoh lain dari vicarious liability adalah kasus Moessel Bros v.L & N.W Railway Co. (1917) yang dalam hal ini pemimpin perusahaan Moessel Bros dinyatakan bertanggungjawab terhadap perbuatan pegawainya yang memberitahukan secara tidak benar jumlah barang perusahaan yang akan dikirim dengan kereta api, agar tidak membayar ongkos tol yang seharusnya. Meskipun majikan tidak ikut serta dan tidak memberikan perintah untuk menghindari pembayaran yang seharusnya, karena pembuat Undang-undang secara absolut melarang perbuatan yang demikian dan menjadikan majikan bertanggung jawab tanpa mens rea.

55 Sjahdeini,


(36)

jawab atas perbuatan bawahannya yang merupakan tidak pidana, sekalipun perbuatan tersebut diluar pengetahuannya. Pertanggungjawaban seseorang dalam vicarious liability bukan ditujukan kepada kesalahan orang lain tetapi terhadap “hubungannya” dengan orang lain tersebut. Dalam hal mana menurut undang-undang memiliki “hubungan” demikian merupakan tindak pidana. Jadi konstruksinya sama dengan penyertaan. Oleh karena itu vicarious liability dapat dipandang sebagai bentuk baru penyertaan.56

Vicarious liability mungkin diterapkan kasus yang menyangkut hubungan antara atasan dengan bawahan, dewan direksi dengan jajaran pengurus dibawahnya. Dengan demikian, walaupun seseorang tidak melakukan sendiri suatu tindak pidana dan tidak mempunyai kesalahan dalam arti biasa, ia masih dapat dipertanggungjawabkan 57

B. Pertanggungjawaban Pidana Dalam Islam 1. Pertanggungjawaban Pidana Islam

Pertanggungjawaban pidana dalam Islam ditegakkan atas tigal hal : pertama adanya perbuatan yang dilarang; kedua dikerjakan dengan kemauan sendiri; ketiga pembuatnya mengetahui terhadap akibat perbuatan tersebut. Adanya perbuatan yang dilarang berdasarkan adanya peraturan yang kita kenal dengan asas legalitas dalam Hukum Pidana Islam dapat kita ketahui dari salah satu kaidah dalam Islam yaitu :

56 Ibid., h. 45 57 Djanim,


(37)

Artinya : ”Sebelum ada nash, maka tidak ada hukum bagi perbuatan orang-orang yang berakal sehat”.58

Pengertian dari kaidah ini bahwa perbuatan orang-orang yang cakap (mukallaf) tidak dapat dikatakan sebagai perbuatan yang dilarang, selama belum ada nash (ketentuan) yang melarangnya dan ia mempunyai kebebasan untuk melakukan perbuatan itu atau meninggalkannya sehingga ada nash yang melarangnya.

Pengertian kaidah tersebut diatas identik dengan kaidah lain yang berbunyi :

!

"#ی%&' ()

Artinya : ”Pada dasarnya semua perkara dibolehkan sehingga ada dalil yan menunjukkan keharamannya”59

Kaidah tersebut mempunyai pengertian bahwa semua sifat dan perbuatan tidak diperbolehkan dengan kebolehan asli, artinya bukan oleh kebolehan yang dinyatakan oleh syara’. Dengan demikian selama tidak ada nash yang melarangnya maka tidak ada tuntutan terhadap semua perbuatan dan sikap tidak berbuat tersebut. Kita dapat melihat hal ini dari kaidah lain yang berbunyi :

*

()

+ , -ﻡ )% /( ی

/(,

01 / ( 2

/( ی 3*ﺏ

4ﺏ )%

" 52ﻡ () "(#&ی #() " 63( ﻡ /( #(

! ﻡ - #ﻡ

Artinya : ”Menurut syara’ seseorang tidak dapat diberi pembebanan (taklif) kecuali apabila ia mampu memahami dalil-dalil taklif dan cakap untuk mengerjakannya. Dan menurut syara’ pula seseorang tidak dibebanitaklif kecuali dengan pekerjaan yang mungkin dilaksanakan dan disanggupi serta diketahui

58 Abdul Qadir Audah,

‘At Tasyri’ Al Jina’iy Al Islamiy, Juz I, Dar Al Kitab, Beirut t.t, h. 115 atau Lihat : Ahmad Wardi Muslich, Pengantar Dan Asas Hukum Pidana Islam –Fikih Jinayah- (Jakarta, Media Grafika, 2006) Cet ke-2 h. 29

59 Muslich,


(38)

oleh mukallaf dengan pengetahuan yang bisa mendorongnya untuk melakukan perbuatan tersebut”.60

Kaidah ini menyatakan tentang syarat-syarat yang harus terdapat pada pelaku dalam kedudukannya sebagai orang yang bertanggung jawab dan pada perbuatan yang diperintahkan, adapun syarat untuk pelaku mukallaf itu ada dua macam : pertama pelaku sanggup memahami nash-nash syara’ yang berisi hukum taklifi; kedua pelaku orang yang pantas dimintai pertanggungjawaban dan dijatuhi hukuman

Sedangkan syarat untuk perbuatan yang diperintahkan ada tiga macam : pertama Perbuatan itu mungkin dikerjakan, kedua, perbuatan itu disanggupi oleh mukallaf, yakni ada dalam jangkauan kemampuan mukallaf, baik untuk mengerjakannya maupun untuk meninggalkannya, ketiga perbuatan tersebut diketahui mukalaf dengan sempurna. 61

Asas legalitas yang didasarkan kaidah tersebut diatas bersumberkan dari Al-Qu’ran. Beberapa diantaranya dapat kita temukan pada Surat Al-Israa’ ayat 15, Surat Al-Baqarah ayat 286, dan dalam konteks pencurian pada Surat Al-Maidah ayat 38.

Surat Al-Israa’ ayat 15

!

"#

$

Dan kami tidak menghukum manusia sebelum kami mengutus seorang rasul”. (QS. Al-Israa’ : 15)

60 Audah, ‘At Tasyri’ Al Jina’iy Al Islamiy, h. 116

61 Muslich, Pengantar Dan Asas Hukum Pidana Islam h. 31 atau Lihat : Ahmad Hanafi,


(39)

ﺕ ی '( )* ) ی

(+ , -.

ی

/ 01 2)( 23 4

5601

!

#7

$

Dan tidaklah tuhammu menghancurkan kota-kotam sebelum dia mengutus di ibukotanya, seorang rasul yang membacakan ayat-ayat kami”. (QS. Al-Qashash: 59)

Tentang kemampuan bertanggungjawab :

(

8 9:ﻥ ; <+)=ی

> 0 1

!

?@A

$

Tuhan tidak membenani seseorang kecuali menurut kemampuannya”. (QS. Al-Baqarah: 286)

Sedangkan penerapannya dalam konteks korupsi atau pencurian adalah :

B* ; ; +

=ﻥ 9 C DBE C(یFی,

GH . IH 91 J 91

' = KBی

>FL C1

!

M@

$

Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha perkasa lagi maha bijaksana”. (QS. Al-Maidah: 38)

Setelah ayat tersebut turun maka pencurian secara jelas dilarang beserta sanksi jika ada yang melakukannya. Sariqah merupakan kejahatan yang hukumannya adalah potong tangan, baik pelaku itu laki-laki atau perempuan.

Prinisip tidak ada jarimah dan tidak ada hukuman tanpa suatu nash (ketentuan) dalam sariqah gugur sudah karena undang-undang-nya hadir bersamaan dengan turunannya Surat Al-Maidah:38. Hal ini sama dengan aturan asas legalitas dalam hukum positif. Asas legalitas dalam Syariat Islam diatas seperti tersebut diatas adalah memberikan satu makna bahwa tidak ada jarimah dan tidak ada hukuman tanpa sesuatu nash (ketentuan) yang disebutkan dalam syara’, bukan didasarkan pada nash-nash syara umum semata yang menyuruh


(40)

keadilan dan melarang kezaliman, melainkan didasarkan atas nash-nash yang jelas dan khusus mengenai soal ini.

2. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Islam

Pengertian pertanggungjawaban pidana dalam sudut Syariat Islam adalah pembebasan seseorang dengan hasil akibat perbuatan atau tidak perbuatan yang dikerjakannya dengan kemauan sendiri, dimana ia mengetahui maksud-maksud dan akibat-akibat dari perbuatan itu. Pertanggungjawaban pidana tersebut ditegakkan atas tiga hal : pertama adanya perbuatan yang dilarang, kedua dikerjakan dengan kemauan sendiri, ketiga pembuatnya mengetahi akibat perbuatannya tersebut.62

Dengan adanya syarat-syarat tersebut, maka kita dapat mengetahui bahwa yang dapat dibebani dengan pertanggungjawaban pidana hanya manusia, yaitu manusia yang berakal pikiran, dewasa dan berkemauan sendiri. Oleh karena itu tidak ada pertanggungjawaban bagi kanak-kanak, orang gila, orang dungu, orang yang sudah hilang kemauannya dan orang yang dipaksa atau terpaksa.63

Sejak semula syariat islam sudah mengenal badan hukum. Hal ini terbukti dari kenyataan bahwa para fuqaha mengenalkan baitul mal (perbendaharaan negara) sebagai “badan” (jihat) yakni badan hukum (syaksun ma’nawi), Hal ini terbukti dari kenyataan bahwa para fuqaha mengenalkan baitul mal (perbendaharaan negara) demikian juga dengan sekolahan-sekolahan dan rumah sakit-rumah sakit. Badan-badan ini dianggap mempunyai hak-hak milik dan mengadakan tindakan-tindakan tertentu terhadapnya. Akan tetapi badan-badan tersebut tidak dapat di bebani pertanggungjawaban pidana, karena

62 Hanafi,

Asas-Asas Hukum Pidana Islam, h. 119


(41)

pertanggungjawaban ini didasarkan atas adanya pengetahuan terhadap pilihan, sedangkan kedua perkara ini tidak terdapat pada badan-badan hukum. Akan tetapi kalau terjadi perbuatan-perbuatan yang dilarang dan yang keluar dari orang-orang yang betindak atas nama badan hukum tersebut, maka orang-orang itulah yang bertanggungjawab atas perbuatan yang dilakukannya.64

Hukum Islam dalam teori serta penerapannya cukup sederhana. Konsep pertanggungjawaban pidana korporasi dalam hukum Islam dekat sekali dengan doktrin strict liability atau liabilitywithoutfault (pertanggungan tanpa kesalahan). Dengan kata lain hukum Islam tidak mementingkan faktor kesalahan (guiltymind) baik berupa kesengajaan (dolus) maupun kelalaian (culpa) dalam menjatuhi hukuman pidana. Istilah dalam bahasa Indonesia yang digunakan adalah pertanggungjawaban mutlak65.

Sedangkan pertanggungjawaban pidana dapat hapus karena hal-hal yang berkaitan dengan perbuatan sendiri atau karena hal-hal yang berkaitan dengan diri pembuat. Dalam keadaan pertama, perbuatan yang dikerjakan adalah mubah (tidak dilarang) dan dalam keadaan kedua, perbuatan yang dikerjakan tetap dilarang tetapi tidak dijatuhi hukuman.66

Hal-hal yang mengakibatkan kebolehan suatu perbuatan haram (jarimah) ialah : pembelaan yang sah, pengajaran, pengobatan, permainan olahraga, hapusnya jaminan keselamatan jiwa harta, memakai wewenang dan melaksanakan kewajiban bagi pihak yang berwajib.Mengenai hapusnya hukuman ada empat perkara yaitu : terpaksa, mabuk, gila, belum dewasa. Pada masing-masing perkara

64 Ibid., h. 119-120. 65 Sjahdeini,

Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, h.27

66 Hanafi,


(42)

ini pembuat melakukan perbuatan yang dilarang oleh syara’ dan seharusnya dijatuhi hukuman dan seharusnya dijatuhi hukuman, akan tetapi syarat menghapuskannya dari hukuman karena adanya hal-hal yang terdapat pada diri pembuat.67

Salah satunya adalah pembelaan yang sah yang dapat diartikan sebagai hak seseorang untuk mempertahankan dirinya atau orang lain, atau mempertahankan harta sendiri atau harta orang lain. Dengan kekuatan yang diperlukan dari setiap serangan yang nyata tidak sah. Hal ini berdasarkan dalil :

N )* F * . '= )* /F * C. O 6H P Q1 R Q1 (S1 R Q1 (S1

0 C1 T ; 4, C)* ; 0ﺕ '= )* /F *

UVC

> 0 1

!

"7W

$

Artinya : “Bulan haram dengan bulan haram dan pada sesuatu yang patut dihormati, berlaku hukum qishaash. Oleh sebab itu barangsiapa yang menyerang kamu, maka seranglah ia, seimbang dengan serangannya terhadapmu. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah, bahwa Allah beserta orang-orang yang bertakwa”. (QS. Al-Baqarah : 194)

Dikalangan fuqaha tidak diragukan lagi hukum membela diri adalah suatu jalan yang sah untuk mempertahankan diri sendiri atau diri orang lain atau suatu harta dan kehormatan. Serangan kanak-kanak, orang gila dan hewan merupakan termasuk pembelaan diri. Adapun syarat pembelaan diri adalah pertama adanya serangan atau tindakan melawan hukum, kedua penyerangan harus terjadi seketika, ketiga tidak ada jalan lain untuk menyelamatkan diri, keempat, dalam penolakan seranan hanya kekuatan seperlunya saja yang dipakai.


(43)

BAB III

GAMBARAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI

A. Korupsi Dalam Hukum Positif

Korupsi berasal dari bahasa latin corruptio atau coruptus. Corruptio berasal dari kata latin yang lebih tua. Dari bahasa latin itulah turun kebanyak bahasa eropa seperti Inggris yaitu corruption, corrupt; Perancis yaitu corruption; dan Belanda yaitu corruptie, korruptie. Dari bahasa Belanda inilah kata itu turun kebahasa Indonesia.68 Korup dapat diartikan sebagai busuk, palsu, suap69, atau rusak, suka menerima uang sogok menyelewengkan uang/barang milik perusahaan atau negara, menerima uang untuk kepentingan pribadi, penyelewengan atau penggelapan uang negara untuk kepentingan pribadi atau orang lain.70

Pada mulanya pemahaman korupsi mulai berkembang di barat pada permulaan abad ke-19, yaitu setelah adanya revolusi Prancis, Inggris dan Amerika ketika prinsip pemisahan antara keuangan pribadi mulai diterapkan. Penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan pribadi khususnya dalam soal keuangan dianggap sebagai korupsi.71

Berhubung banyaknya pasal dalam kejahatan tindak pidana korupsi dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo UU 20 Tahun 2001 maka penulis hanya akan

68 Andi Hamzah,

Pemberantasan Korupsi Dalam Hukum Pidana Nasional Dan Internasional, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006) Cet. ke-3 h.4

69 T. Heru Kasida Brataatmaja, Kamus Bahasa Indonesia, (Yogyakarta, Kanisius, 1993) 70 Sudarsono, Kamus Hukum, (Jakarta, PT. Rineka Cipta, 2002)

71 Malang Corruption Watch, Mengerti Dan Melawan Korupsi, (Jakarta, Sentralisme


(44)

mengetengahkan tentang pasal yang menjadi fokus jaksa penuntut umum dalam dakwaan yang didakwaan kepada para terdakwa.

ECW Neloe, I Wayan Pugeg, dan M. Sholeh Tasripan didakwa dengan subsidiaritas, yaitu:

- Primer, melanggar Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 UU No. 31 tahun 1999 jo UU No. 20 tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 Pasal 64 ayat (1) KUHP. - Subsidair, melanggar Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999

jo UU No. 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP

- Lebih subsidair, melanggar Pasal 3 jo pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat ke-1 jo Pasal 64 ayat (1) KUHP. - Labih subsidair lagi, melanggar Pasal 3 jo pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999

jo UU No. 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Rumusan pasal 2 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

(1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

(2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.

Jadi, bagian inti (bestanddelen) pasal 2 ayat (1) ini adalah72 :


(45)

1. Secara melawan hukum;

2. Memperkaya diri sendiri atau orang lain atau memperkaya suatu korporasi;

3. Dapat merugikan perekonomian negara.

Bagian yang pertama yaitu melawan hukum, menurut Andi Hamzah yang dimaksud dengan secara melawan hukum dalam arti formil maupun arti materil.73 Sedangkan Roeslan Saleh menyebutkan menurut ajaran melawan hukum, yang disebut melawan hukum materil tidaklah hanya bertentangan dengan hukum yang tertulis tetapi juga bertentangan dengan hukum yang tidak tertulis.74

Kaya dapat diartikan mempunyai harta yang banyak atau banyak harta. 75 Memperkaya diri dapat diartikan dengan menjadikan lebih kaya. Menurut Andi Hamzah memperkaya diartikan sebagai ”menjadikan orang yang belum kaya menjadi kaya atau orang yang sudah kaya menjadi lebih kaya.”76

Unsur dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Adami Chawazi mengemukakan bahwa keuangan negara adalah kekayaan negara dalam bentuk apapun. Yang dimaksud dengan perekonomian dalam konteks ini adalah suatu usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan ataupun usaha masyarakat secara mandiri yang didasarkan pada kebijakan pemerintah, baik ditingkat pusat maupun ditingkat daerah sesuai dengan ketentuan peraturan

73 Ibid., h.123 74 Roeslan Saleh,

Sifat Melawan Hukum Dari Perbuatan Hukum Pidana, (Jakarta, Aksara Baru, 1987) h.7

75 Yandianto, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Bandung, MZS, 1997), h. 240

76 Andi Hamzah, Korupsi Di Indonesia dan Pemecahannya, (Jakarta, PT. Gramedia


(46)

perundang-undangan yang berlaku dan bertujuan memberikan manfaat kemakmuran dan kesejahteraan kepada seluruh rakyat.77

Sementara itu, untuk perumusan pasal 2 ayat (2) Undang-undang No. 31 tahun 1999, menyatakan bahwa yang dimaksud dengan ”keadaan tertentu” adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi, yaitu apabila :

a. Tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi : penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas dan penanggulangan krisis ekonomi dan moneter78

b. Penanggulangan tindak pidana korupsi.79

Pasal 3 Undang-undang 31 Tahun 1999

”Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan , kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)”.

77 Adami Chawazi,

Hukum Pidana Materiil Dan Formiil Korupsi Di Indonesia, (Jakarta, Bayu Media, 2005) cet. Ke-2, h. 46

78 Hamzah, Pemberantasan Korupsi Dalam Hukumi, h. 77

79 R. Wiyono, Pembahasan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, (Jakarta, sinar


(1)

Daftar Pustaka

Audah, Abdul Qadir, ‘at Tasyri’ al Jina’iy al Islamiy, Juz I, Beirut: Al-Qahiroh Dar Al Kitab, 1977.

Ali, Chidir, Badan Hukum, Bandung: Alumni, 1991. Cet. Ke II. Arief, Barda Bawawi, “Masalah Penegakkan Hukum & Kebijakan Penanggulangan Kejahatan”, Jakarta: Citra Aditya Bakti, 2001. Cet. Ke-1.

Amrullaah, Arief, Kejahatan Korporasi –The Hunt For Mega Profits And Attack Democracy- Jawa Timur: Bayu Media, 2006.

Arief, Barda Nawawi, Perbandingan Hukum Pidana, Jakarta: Rajawali Press, 1990.

Black, Henry Campbell, Black’s Law Dictionary, West Publishing Co., St. Paul, Minnessota, 1990, ed.6, h. 339.

Brataatmaja, T. Heru Kasida, Kamus Bahasa Indonesia, Yogyakarta: Kanisius, 1993.

Chawazi, Adami, Hukum Pidana Materiil Dan Formiil Korupsi Di Indonesia, Jakarta: Bayu Media, 2005. Cet. Ke-2.

Djanim, Rantawan, Korporasi dan Pertanggungjawaban Pidana, Semarang, Badan Penerbit Diponegoro, 2006.

Effendi, Rusli, A.Z. Abidin Farid, Barny C.M., Masalah Kriminalisasi Dan Dekriminalisasi Dalam Rangka Pembahasan Hukum Pidana, Dalam BPHN-DepKeh, Simposium Pembaharuan Hukum Pidana Nasional, Bandung: Bina Cipta, 1986.

Farid, Andi Zainal Abidin, Hukum Pidana I, Jakarta: Sinar Grafika, 1995.


(2)

---, Bunga Rampai Hukum Pidana, Jakarta, Pradnya Paramita, 1983. Fakultas Syari’ah Dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, Pedoman Penulisan Skripsi, Jakarta: Fakultas Syari’ah Dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, 2004.

Garnasih, Yenti, Marwan Effendi, dkk, Benang Kusut Peradilan Korupsi Perbankan, Catatan Hasil Eksaminasi Putusan Neloe Dkk, Jakarta, KRHN, 2006. Cet. Ke-1.

Hamzah, Andi, Korupsi Di Indonesia dan Pemecahannya, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1991.

---, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 2004. Cet Ke-2.

---, Pemberantasan Korupsi Dalam Hukum Pidana Nasional Dan Internasional, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006.

Huda, Chairul, “Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan” Menuju Kepada “Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan”, Jakarta: Kencana Prenada Media, 2006.

Hanafi, Ahmad, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 2006.

Kansil, C.S.T., Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1989.

KPK, Memahami Untuk Membasmi –Buku Saku Untuk Memahami Tindak Pidana Korupsi-, Jakarta: KPK, 2006. Cet Ke-2.

Loqman, Loebby, Pertanggungan Jawab Pidana Bagi Korporasi Dalam Tindak Pidana Lingkungan Hidup, Jakarta: Kantor Meneg KLH, 1989.


(3)

Moleong, Lexi J, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosda Karya, 2005.

Marpaung, Leden, Asas Teori-Praktik Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika, 2005.

Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 2002. Muslich, Ahmad Wardi, Pengantar Dan Asas Hukum Pidana Islam – Fikih Jinayah- Jakarta: Media Grafika, 2006.

Malang Corruption Watch, Mengerti Dan Melawan Korupsi, Jakarta: Sentralisme Production, 2005.

Poernomo, Bambang, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1994.

Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1976.

Remmelink, Jan, Hukum Pidana, Jakarta: Gramedia Pustaka, 2003. Suma, Muhammad Amin, dkk, Pidana Islam Di Indonesia –Peluang, Prospek Dan Tantangan-, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001. Cet. Ke-1.

Sjahdeini, Sutan Remy, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Jakarta: Grafitti Pers, 2006.

Simpson, Sally S., Strategy, Structure and Corporate Crime, 4 Advances in Criminological Theory 171 (1993)

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004.

Sudarsono, Kamus Hukum, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2002.

Saleh, Roeslan, Perbuatan Pidana Dan Pertanggungjawaban Pidana – Dua Pengertian Dasar Dalam Hukum Pidana-, Jakarta: Aksara Baru, 1983.


(4)

---, Pikiran-pikiran Tentang Pertanggungan Jawab Pidana, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982.

---, Sifat Melawan Hukum Dari Perbuatan Hukum Pidana, Jakarta: Aksara Baru, 1987.

Soetjipto, Andi Andojo, Indroharto, MH. Silaban, et all. Kapita Selekta Hukum dalam Buku Mengenang Prof. H. Oemar Seno Adjie, ed Machrup Elrick, Jakarta: Ghalia Indonesia,1996.

Wiyono, R., Pembahasan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, Jakarta: Sinar Grafika, 2005. Cet Ke-1.

Yandianto, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Bandung: MZS, 1997.

Yunara, Edi, Korupsi Dan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, tanpa tempat: PT. Citra Aditya Bakti, 2005

Peraturan Perundang-undangan

Kitab Undang-undang Hukum Perdata Kitab Undang-undang Hukum Perdata

Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Terhadap Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Perpres No. 14 Tahun 2007


(5)

Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pidana No: 2068/Pid.B/2005/PN.Jak.Sel.

Makalah atau Artikel

Artikel Moeljatno, Perbuatan Pidana Dan Pertanggungjawaban Dalam Hukum Pidana, Pidato dies natalies Universitas Gajah Mada tahun 1955.

Muladi, “Fungsionalisasi Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Korporasi”, Makalah Seminar Nasional Kejahatan Korporasi di FH UNDIP, Semarang, 23-24 November

Majalah Legal Review no. 22/th ii 30 juni – 31 juli 2004

Bismar Nasution, tentang Kejahatan Korporasi Dan Pertanggungjawaban Pidananya. Artikel.

Surya Online. 19 juni 2007; Laporan Independen Audit BPK Terhadap Bencana Lumpur Lapindo.

Koran atau Internet

ECW Neloe: “Nilailah Saya Dengan Hati Nurani”, www.hukumonline.com, 9 Februari 2006

Neloe Cs Lolos Dari Tuntutan 20 Tahun Penjara”, www.hukumonline.com, 20 Februari 2006.

Neloe : “Negara Tak dirugikan”, www.hukumonline.com. Kompas, 10 Februari 2006

KY Panggil Majelis Hakim Kredit Macet Bank Mandiri”, www.republika.co.id, Jumat 10 maret 2006


(6)

UU Korupsi Menganut Kerugian Negara Dalam Arti Formil”, 21 februari 2006

Neloe dkk. “Dituntut 20 Tahun penjara”, Kompas, 27 Januari 2006 www.hukumonline.com,