Latar Belakang Masalah P E N D A H U L U A N
4
often referred to as “white collar crime”. Bahwa kejahatan korporasi merupakan tindak pidana yang dilakukan oleh dan karenanya dapat dibebankan pada suatu
korporasi karena aktivitas-aktivitas pegawai atau karyawannya seperti penetapan harga, pembuangan limbah, dan kejahatan ini sering juga disebut sebagai
“kejahatan kerah putih”. Suatu tindak pidana dapat teridentifikasi dengan timbulnya kerugian
harm, yang kemudian mengakibatkan lahirnya pertanggungjawaban pidana atau criminal liability. Terkait dengan kejahatan korporasi, maka timbul pertanyaan
mengenai bagaimana pertanggungjawaban korporasi atau corporate liability mengingat di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana KUHP, yang
dianggap sebagai subyek hukum pidana hanya orang perseorangan atau naturlijkee person. Selain daripada itu, KUHP juga masih menganut asas sociates
delinquere non potest, dimana badan hukum atau korporasi dianggap tidak dapat melakukan tindak pidana. Jika seandainya kegiatan atau aktivitas yang dilakukan
untuk dan atas nama suatu korporasi terbukti mengakibatkan kerugian, maka harus diberikan sanksi, terlepas siapa yang akan bertanggungjawab, apakah
pribadi korporasi itu sendiri atau para pengurus korporasi tersebut. Dalam KUHP memang hanya ditetapkan bahwa yang menjadi subyek
tindak pidana adalah orang perseorangan. Meskipun seharusnya pembuat undang- undang dalam merumuskan delik juga harus memperhitungkan bahwa
manusia juga melakukan suatu tindakan di dalam atau melalui organisasi yang dalam hukum keperdataan maupun di luarnya misalnya dalam hukum
administrasi, muncul sebagai satu kesatuan dan oleh karena itu diakui serta
5
mendapat perlakuan sebagai badan hukum atau korporasi. berdasarkan KUHP, pembuat undang-undang akan merujuk pada pengurus atau komisaris korporasi
jika mereka berhadapan dengan situasi seperti itu. Sehingga, KUHP saat ini tidak dapat menjadi landasan untuk memperoleh pertanggungjawaban pidana dari
sebuah korporasi, karena hanya dimungkinkan pertanggungjawabannya oleh pengurus korporasi.
Meskipun saat ini KUHP tidak mengikutsertakan korporasi sebagai subyek hukum yang dapat dibebankan pertanggungjawaban pidana, namun korporasi
mulai diposisikan sebagai subyek hukum pidana dengan ditetapkannya UU No.7Drt1955 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana
Ekonomi. Kemudian kejahatan korporasi juga diatur dan tersebar dalam berbagai undang-undang khusus lainnya dengan rumusan yang berbeda mengenai arti
“korporasi”, antara lain termasuk pengertian badan usaha, perseroan, perusahaan, perkumpulan, yayasan, perserikatan, organisasi, dan lain-lain, sebagaimana
undang-undang yang disebutkan dibawah ini :
1. UU No.11PNPS1964 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi; 2. UU No.38 Tahun 2004 tentang Jalan; dan
3. UU No.31 Tahun 1999 jo. UU No.21 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan lain-lain.
4. UU No. 5 Tahun 1999.
5
Di Indonesia sendiri, salah satu peraturan yang mempidanakan kejahatan korporasi adalah Undang-undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Lingkungan
5
Kosparmono Irsan, “Kejahatan Korporasi; BAB IV”, Jakarta 2007
6
Hidup. Hal ini dapat dilihat berdasarkan isi Pasal 46 Bab IX mengenai ketentuan pidana yang mengadopsi doktrin vicarious liability.
Terhadap hal-hal diatas baik dalam sistem hukum common law maupun civil law, memang sangat sulit untuk dapat mengatribusikan suatu bentuk tindakan
tertentu serta membuktikan unsur mens rea criminal intent atau guilty mind dari suatu entitas abstrak seperti korporasi. Indonesia sendiri, meskipun undang-
undang diatas dapat dijadikan sebagai landasan hukum untuk membebankan criminal liability terhadap korporasi, namun Pengadilan mempergunakan
peraturan-peraturan tersebut. Hal ini dapat dilihat dari sedikitnya kasus-kasus kejahatan korporasi di pengadilan dan tentu saja berdampak pada sangat
sedikitnya keputusan pengadilan berkaitan dengan kejahatan korporasi. Akibatnya, tidak ada acuan yang dapat dijadikan sebagai preseden bagi
lingkungan peradilan di Indonesia.
6
Tidak adanya peraturan yang jelas terhadap para pemilik modal menimbulkan adanya eksploitasi besar-besaran terhadap alam. Dampak dari
eksploitasi alam secara besar-besaran sebagai akibat kekeliruan implementasi kebijakan pembangunan tersebut mulai dirasakan rakyat Indonesia beberapa tahun
belakangan ini. Berbagai peristiwa yang melibatkan korporasi terjadi silih berganti. Pencemaran Teluk Buyat,
“Lumpur Lapindo” di Sidoarjo merupakan beberapa kasus pencemaranpengrusakan lingkungan yang dilakukan oleh
korporasi .
6
“Kejahatan korporasi”: http:www.tanyahukum. comperusahaan114kejahatan- korporasi, Diakses tanggal 12 September 2014
7
Tragedi Lumpur Lapindo dimulai pada tanggal 27 Mei 2006. Peristiwa ini menjadi suatu tragedi ketika banjir lumpur panas mulai menggenangi areal
persawahan, pemukiman penduduk dan kawasan industri. Hal ini wajar mengingat volume lumpur diperkirakan sekitar 5.000 hingga 50 ribu meter kubik perhari
setara dengan muatan penuh 690 truk peti kemas berukuran besar. Akibatnya, semburan lumpur ini membawa dampak yang luar biasa bagi masyarakat sekitar
maupun bagi aktivitas perekonomian di Jawa Timur: genangan hingga setinggi 6 meter pada pemukiman; total warga yang dievakuasi lebih dari 8.200 jiwa;
rumahtempat tinggal yang rusak sebanyak 1.683 unit; area pertanian dan perkebunan rusak hingga lebih dari 200 ha; lebih dari 15 pabrik yang tergenang
menghentikan aktivitas produksi dan merumahkan lebih dari 1.873 orang; tidak berfungsinya sarana pendidikan; kerusakan lingkungan wilayah yang tergenangi;
rusaknya sarana dan prasarana infrastruktur jaringan listrik dan telepon; terhambatnya ruas jalan tol Malang-Surabaya yang berakibat pula terhadap
aktivitas produksi di kawasan Ngoro Mojokerto dan Pasuruan yang selama ini merupakan salah satu kawasan industri utama di Jawa Timur.
7
Dampak dari luapan lumpur yang bersumber dari sumur di Desa Renokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Propinsi Jawa Timur
sejak 27 Mei 2006 ini telah mengakibatkan timbunan lumpur bercampur gas sebanyak 7 juta meter kubik atau setara dengan jarak 7.000 kilometer, dan
jumlah ini akan terus bertambah bila penanganan terhadap semburan lumpur tidak secara serius ditangani. Lumpur gas panas Lapindo selain mengakibatkan
7
Wikipedia Indonesia, Banjir Lumpur Panas Sidoarjo 2006, Diakses tanggal 12 September 2014
8
kerusakan lingkungan, dengan suhu rata-rata mencapai 60 derajat celcius juga bisa mengakibatkan rusaknya lingkungan fisik masyarakat yang tinggal disekitar
semburan lumpur. Lingkungan fisik yang dimaksud diatas adalah untuk membedakan lingkungan hidup alami dan lingkungan hidup buatannya, dimana
dalam kasus ini mengalami gangguan Daud Silalahi menganggap bahwa kerusakan lingkungan tersebut sebagai awal krisis lingkungan karena manusia
sebagai pelaku sekaligus menjadi korbannya.
8
Lumpur juga berbahaya bagi kesehatan masyarakat. Kandungan logam berat Hg, misalnya, mencapai 2,565 mgliter Hg, padahal baku mutunya hanya
0,002 mgliter Hg. Hal ini menyebabkan infeksi saluran pernapasan, iritasi kulit dan kanker.4 Kandungan fenol bisa menyebabkan sel darah merah pecah
hemolisis, jantung berdebar cardiac aritmia, dan gangguan ginjal.
9
Selain perusakan lingkungan dan gangguan kesehatan, dampak sosial banjir lumpur tidak bisa dipandang sederhana. Setelah lebih dari 100 hari tidak
menunjukkan perbaikan kondisi, baik menyangkut kepedulian pemerintah, terganggunya pendidikan dan sumber penghasilan, ketidakpastian penyelesaian,
dan tekanan psikis yang bertubi-tubi, krisis sosial mulai mengemuka. Konflik sosial antar warga mulai muncul menyangkut biaya ganti rugi, berbagai keresahan
mulai muncul dengan adanya konspirasi penyuapan oleh Lapindo, Rebutan truk pembawa tanah urugan hingga penolakan menyangkut lokasi pembuangan lumpur
setelah skenario penanganan teknis kebocoran menggunakan snubbing unit
8
Daud Silalahi, Hukum Lingkungan Dalam Sistem Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia. Bandung. Penerbit Alumni. 1996. H. 9
9
Kompas, 19 Juni 2006
9
dan pembuatan relief well mengalami kegagalan horisontal. Berdasarkan hal tersebut, timbulnya kerugian masyarakat, menimbulkan pertanyaan,
“Apakah dalam kasus luapan lumpur panas Lapindo Brantas Inc. ini telah terjadi tindak
pidana kejahatan korporasi?”. Untuk mendapatkan jawabannya maka dilakukan sebuah studi penelitian hukum normatif-kualitatif dan hasilnya menunjukkan
bahwa dilihat dari aturan-aturan hukum yang berlaku, Lapindo Brantas Inc. telah melakukan pelanggaran hukum tindak pidana kejahatan korporasi.
Berdasarkan uraian tersebut, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dan pengkajian lebih mendalam terkait dengan kejahatan korporasi secara khusus
yang berkaitan dengan lumpur lapindo. Hasil riset atas tema tersebut selanjutnya
akan dituangkan dalam sebuah skripsi yang berjudul: “Pertanggungjawaban Korporasi Pada Kasus PT.Lapindo Brantas Menurut Perspektif Hukum
Islam ”