39
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
golongan ini tidak tertarik dengan menggunakan pelarut etil asetat sehingga hasil pengujiannya menghasilkan hasil negatif. Hal lain yang bisa mengindikasikan
flavonoid menunjukkan hasil negatif adalah kemungkinan karena pada tahap penyarian tidak sempurna, sehingga flavonoid belum dapat disari atau ekstrak
yang dihasilkan tidak homogen sehingga kemungkinan sampel yang digunakan tidak mengnadung flavonoid.
4.3 Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Daun
Garcinia benthami Pierre
Skrining aktivitas antibakteri dari daun Garcinia benthami Pierre dilakukan menggunakan metode bioautografi. Bioautografi merupakan metode
skrining mikrobiologi yang umum digunakan untuk mendeteksi adanya aktivitas antimikroba. Tujuan dilakukannya metode bioautografi ini terkait pencarian
senyawa murni yang aktif sebagai antibakteri. Metode ini juga memiliki kelebihan yaitu, sederhana, murah, hemat waktu dan tidak memerlukan peralatan yang
canggih Choma, 2010. Prinsip dari metode bioautografi adalah plat kromatogram dicelupkan pada
suspensi mikroorganisme dan kemudian diinkubasi. Zona penghambatan komponen antibakteri diketahui dengan cara menyemprot garam tetrazolium pada
kromatogram Ismail, 2011. Hal yang dilakukan dalam pengerjaan dengan metode bioautografi adalah
melakukan persiapan larutan uji, larutan kontrol, peremajaan bakteri, dan penyiapan plat KLT. Larutan uji yang digunakan adalah konsentrasi 5000 ppm
dibuat dengan cara ditimbang 25 mg ekstrak n-heksan, etil asetat, dan metanol kemudian dilarutkan dalam 5 mL masing-masing pelarut. Konsentrasi 5000 ppm
dipilih berdasarkan jurnal dari Valgas et al, dimana berdasarkan jurnal tersebut konsentrasi yang dapat digunakan berkisar dari 5000 ppm sampai 40000 ppm.
Dari hasil optimasi yang dilakukan, pada konsentrasi 5000 ppm sudah dapat dihasilkan zona hambat sehingga konsentrasi tersebut dipilih menjadi konsentrasi
uji. Larutan kontrol positif yang digunakan adalah kloramfenikol konsentrasi
2000 ppm. Kloramfenikol konsentrasi 2000 ppm dibuat dengan cara ditimbang 10
40
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
mg serbuk kloramfenikol yang dilarutkan dengan 5 mL DMSO 100. Kloramfenikol digunakan sebagai kontrol positif karena kloramfenikol merupakan
antibakteri spektrum luas, sehingga bisa digunakan untuk melawan bakteri baik Gram negatif maupun Gram positif. Tujuan dari digunakannya kontrol positif
adalah sebagai pembanding dari zona hambat yang terbentuk. Kontrol negatif yang dipakai adalah pelarut yang digunakan untuk melarutkan masing-masing
ekstrak yaitu n-heksan, etil asetat, dan metanol. Tujuan dari digunakannya masing-masing pelarut sebagai kontrol negatif adalah untuk membuktikan bahwa
pelarut yang digunakan untuk melarutkan ekstrak tidak berpengaruh terhadap aktivitas antibakteri.
Peremajaan bakteri dilakukan dalam media Nutrient Agar miring yang sudah disterilkan. Bakteri yang digunakan terdiri dari bakteri Gram positif yaitu
Staphylococcus epidermidis ATCC 12228, Bacillus subtilis ATCC 6633 dan bakteri Gram negatif yaitu Salmonella thyphii ATCC 14028, Shigella dysenteriae
ATCC 13313, Helicobacter pylori ATCC 43504, dan Pseudomonas aeruginosa ATCC 27853. Keenam bekteri tersebut mewakili bakteri patogen yang menyerang
saluran pencernaan, pernafasan dan kulit. Setelah melakukan persiapan, hal selanjutnya yang dilakukan adalah
melakukan skrining. Skrining dilakukan menggunakan tiga ekstrak yaitu ekstrak n-heksan, etil asetat, dan metanol. Masing-masing ekstrak dilarutkan dengan
masing-masing pelarut sehingga menghasilkan konsentrasi 5000 ppm setelah itu larutan uji, kontrol positif, dan kontrol negatif diinokulasikan masing-masing
sebanyak 10 µL pada plat KLT yang sudah disiapkan. Setelah kering, plat KLT yang sudah diinokulasikan dicelupkan dalam suspensi bakteri yang sudah
disiapkan. Suspensi bakteri dibuat dengan cara semua mikroba dari hasil peremajaan dibuat menjadi suspensi mikroba 10
9
sesuai dengan kekeruhan Mc Farland III dengan cara 5 sampai 10 ose bakteri dimasukkan ke dalam tabung
reaksi yang telah diisi dengan 2 mL larutan NaCl 0,9 kemudian dikocok dengan vortex. Kekeruhan suspensi mikroba yang dibuat dibandingkan dengan kekeruhan
standar Mc Farland III, Kemudian di encerkan sampai konsentrasi 10
7
menggunakan NaCl 0,9, kemudian diencerkan kembali sampai konsentrasi 10
6
41
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
menggunakan BHI Radji, 2006 dan Bobby, 2013. Penggunaan NaCl 0,9 bertujuan untuk melakukan pengenceran saja sedangkan BHI bertujuan untuk
melakukan pengenceran dan sebagai media pertumbuhan dari bakteri uji. Inkubasi dilakukan selama 24 jam didalam inkubator dengan suhu 37
C. Tujuan dilakukannya inkubasi adalah agar bakteri dapat tumbuh dengan baik.
Setelah inkubasi selesai, plat KLT disemprot menggunakan larutan p- iodonitrotetrazolium INT yang digunakan sebagai indikator pertumbuhan
bakteri. INT digunakan karena selain dari hasilnya yang baik dan kontras karena memberikan warna ungu juga penyiapannya yang mudah yaitu dilarutkan dalam
akuades Valgas et al., 2007. Tabel 4.4 Hasil skrining antibakteri ekstrak daun Garcinia benthami Pierre
Bakteri Gambar
Staphylococcus epidermidis Keterangan
:
- E = ekstrak etil asetat
- M = esktrak metanol
- N = ekstrak n-heksan
- E- = kontrol - EA
- M- = kontrol - M
- N- = kontrol - N
- K+ = kontrol +
kloramfenikol
Staphylococcus epidermidis
42
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Bacillus subtilis Keterangan :
- E = ekstrak etil asetat
- M = esktrak metanol
- N = ekstrak n-heksan
- E- = kontrol - EA
- M- = kontrol - M
- N- = kontrol - N
- K+ = kontrol +
kloramfenikol
Salmonella thypii Keterangan :
- E = ekstrak etil asetat
- M = esktrak metanol
- N = ekstrak n-heksan
- E- = kontrol - EA
- M- = kontrol - M
- N- = kontrol - N
- K+ = kontrol +
kloramfenikol
Shigella dysenteriae Keterangan :
- E = ekstrak etil asetat
- M = esktrak metanol
- N = ekstrak n-heksan
- E- = kontrol - EA
- M- = kontrol - M
- N- = kontrol - N
- K+ = kontrol +
klorsmfenikol
Bacillus subtilis
Salmonella thypii
Shigella dysenteriae
43
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Helicobacter pylori Keterangan :
- E = ekstrak etil asetat
- M = esktrak metanol
- N = ekstrak n-heksan
- E- = kontrol - EA
- M- = kontrol - M
- N- = kontrol - N
- K+ = kontrol +
kloramfenikol
Pseudomonas aeruginosa Keterangan :
- E = ekstrak etil asetat
- M = esktrak metanol
- N = ekstrak n-heksan
- E- = kontrol - EA
- M- = kontrol - M
- N- = kontrol - N
- K+ = kontrol +
kloramfenikol
Hasil dari tahap non elusi menunjukkan bahwa esktrak etil asetat memiliki aktivitas antibakteri lebih besar dibandingkan dengan ekstrak n-heksan dan
metanol. Hal ini disebabkan oleh senyawa kimia yang terkandung dalam ekstrak etil asetat, dimana etil asetat merupakan pelarut semipolar sehingga akan
menarik senyawa yang bersifat semipolar juga yaitu ada yang bersifat non polar dan ada juga yang bersifat polar, sehingga keseimbangan antara senyawa yang
bersifat non polar dan polar lebih besar dibandingkan dengan ekstrak n-heksan Helicobacter pylori
Pseudomonas aeruginosa
44
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
yang bersifat non polar maupun metanol yang bersifat polar. Menurut Kanazawa et al., 1995 untuk interaksi suatu senyawa antibakteri dengan bakteri diperlukan
keseimbangan hidrofilik-lipofilik HLB : hydrophilic lipophilic balance. Sifat hidrofilik diperlukan untuk menjamin senyawa larut dalam fase air yang
merupakan tempat hidup mikroba, tetapi senyawa yang bekerja pada membran sel hidrofobik memerlukan pula sifat lipofilik, sehingga senyawa antibakteri
memerlukan keseimbangan hidrofilik-lipofilik untuk mencapai aktivitas yang optimal Branen Davidson 1993.
Berdasarkan hasil penelitian menunjukan bahwa ekstrak n-heksan memiliki aktivitas antibakteri pada bakteri uji Bacillus subtilis. Hal ini bisa
dilihat dari terbentuknya zona bening pada sekeliling totolan ekstrak n-heksan pada plat KLT bakteri B. subtilis. Berdasarkan penapisan fitokimia ekstrak n-
heksan walaupun banyak menghasilkan hasil yang negatif, tetapi ekstrak n-hekan memiliki hasil positif pada uji golongan terpenoid. Dimana senyawa terpenoid
ini mempunyai kemampuan sebagai antibakteri dengan mekanisme kerjanya diduga melibatkan pemecahan membran oleh komponen-komponen lipofilik
Cowan, 1999; Bobbarala, 2012. Hasil penelitian untuk ekstrak metanol menunjukkan bahwa esktrak
metanol memiliki aktivitas antibakteri pada bakteri uji P. aeruginosa dan S. thypimurium. Berdasarkan penapisan fitokimia ekstrak metanol menghasilkan
hasil positif pada uji golongan flavonoid, terpenoid, saponin dan tannin, dimana keempat metabolit sekunder tersebut diketahui mempunyai aktivitas antibakteri.
Mekanisme kerja flavonoid adalah membentuk senyawa kompleks dengan protein melalui ikatan hidrogen sehingga struktur tersier protein terganggu, dan
protein tidak dapat berfungsi lagi maka terjadi denaturasi protein dan asam nukleat. Denaturasi tersebut menyebabkan koagulasi protein dan mengganggu
metabolisme dan fungsi fisiologis bakteri. Metabolisme yang terganggu akan mengakibatkan rusaknya sel secara permanen karena tidak tercukupnya
kebutuhan energi Agustin, 2005. Mekanisme terpenoid sebagai antibakteri diduga melibatkan pemecahan membran oleh komponen-komponen lipofilik
cowan, 1999; Bobbarala, 2012. Mekanisme saponin sebagai antibakteri adalah
45
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
dengan cara meningkatkan permeabilitas membran sel bakteri sehingga dapat mengubah struktur dan fungsi membran, menyebabkan denaturasi protein
membran sehingga membran sel akan rusak dan lisis Siswandono dan Soekarjo, 1995. Mekanisme tannin sebagai antibakteri adalah dengan cara merusak
membran sel yang menyebabkan kebocoran intraseluler. Akibat terganggunya permeabilitas dan rusaknya fungsi integritas membran sitoplasma, sel tidak dapat
melakukan aktivitas hidup sehingga pertumbuhannya terhambat Smullen, 2007. Hasil penelitian untuk ekstrak etil asetat menunjukan bahwa ekstrak etil
asetat memiliki zona hambat pada keenam bakteri yang diujikan. Hal ini bisa dilihat dari terbentuknya zona bening pada sekeliling totolan ekstrak etil asetat
disetiap plat KLT bakteri uji, sedangkan untuk ekstrak n-heksan dan metanol juga memiliki zona hambat tetapi tidak disemua plat KLT bakteri uji, hal ini
menandakan bahwa ekstrak etil asetat memiliki aktivitas antibakteri pada keenam bakteri uji, sehingga ekstrak etil asetat dapat dijadikan sampel uji untuk
dilakukan pengujian untuk tahap yang selanjutnya yaitu tahap elusi. Berdasarkan penapisan fitokimia ekstrak etil asetat memberikan hasil
positif untuk senyawa terpenoid, saponin dan tannin. Dimana ketiga senyawa tersebut mempunyai aktivitas antibakteri. Mekanisme terpenoid sebagai
antibakteri diduga melibatkan pemecahan membran oleh komponen-komponen lipofilik cowan, 1999; Bobbarala, 2012. Mekanisme saponin sebagai
antibakteri adalah dengan cara meningkatkan permeabilitas membran sel bakteri sehingga dapat mengubah struktur dan fungsi membran, menyebabkan denaturasi
protein membran sehingga membran sel akan rusak dan lisis Siswandono dan Soekarjo, 1995. Mekanisme tannin sebagai antibakteri adalah dengan cara
merusak membran sel yang menyebabkan kebocoran intraseluler. Akibat terganggunya permeabilitas dan rusaknya fungsi integritas membran sitoplasma,
sel tidak dapat melakukan aktivitas hidup sehingga pertumbuhannya terhambat Smullen, 2007.
Hasil penelitian ini juga menunjukan bahwa kontrol negatif yang digunakan tidak memberikan zona hambat terhadap pertumbuhan bakteri uji,
sehingga hal ini bisa membuktikan bahwa pelarut yang digunakan untuk
46
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
melarutkan ekstrak tidak mempunyai aktivitas antibakteri sehingga tidak berpengaruh terhadap aktivitas antibakteri yang dihasilkan dari ekstrak uji.
Kontrol positif kloramfenikol yang digunakan memberikan zona hambat yang cukup besar, hal ini menandakan bahwa bakteri uji masih belum resisten
terhadap kontrol positif sehingga kontrol positif masih layak digunakan. Peda tahap non elusi, dari ketiga ekstrak yang diujikan terhadap keenam
bakteri uji, ekstrak etil asetat merupakan ekstrak yang memiliki hasil positif aktivitas antibakteri pada keenam bakteri uji, sehingga ekstrak etil asetat
merupakan ekstrak yang dipilih untuk dijadikan sampel pada tahap selanjutnya yaitu tahap elusi.
Tabel 4.5 Hasil uji bioautografi ekstrak daun Garcinia benthami Pierre
Ekstrak Nilai Rf yang Menunjukkan Daerah Hambatan Terhadap Bakteri
S. epidermidis 100
EA N : E
9:1 N : E
8:2 N : E
7:3 N : E
6:4 N : E
5:5 N : E
4:6 Rf
Rf Rf
Rf Rf
Rf Rf
EA
47
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Ekstrak Nilai Rf yang Menunjukkan Daerah Hambatan Terhadap Bakteri
B. subtilis 100
EA N : E
9:1 N : E
8:2 N : E
7:3 N : E
6:4 N : E
5:5 N : E
4:6 Rf
Rf Rf
Rf Rf
Rf Rf
EA
Ekstrak Nilai Rf yang Menunjukkan Daerah Hambatan Terhadap Bakteri
H. pylori 100
EA N : E
9:1 N : E
8:2 N : E
7:3 N : E
6:4 N : E
5:5 N : E
4:6 Rf
Rf Rf
Rf Rf
Rf Rf
EA
48
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Ekstrak Nilai Rf yang Menunjukkan Daerah Hambatan Terhadap Bakteri
P. aeruginosa 100
EA N : E
9:1 N : E
8:2 N : E
7:3 N : E
6:4 N : E
5:5 N : E
4:6 Rf
Rf Rf
Rf Rf
Rf Rf
EA
Ekstrak Nilai Rf yang Menunjukkan Daerah Hambatan Terhadap Bakteri
S. thypimurium 100
EA N : E
9:1 N : E
8:2 N : E
7:3 N : E
6:4 N : E
5:5 N : E
4:6 Rf
Rf Rf
Rf Rf
Rf RF
EA
49
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Pengujian aktivitas antibakteri menggunakan metode bioautografi hampir sama pengerjaannya dengan skrinning aktivitas antibakteri. Perbedaannya yaitu
untuk pengujian aktivitas antibakteri dilakukan tahap elusi menggunakan berbagai eluen yang sesuai. Pemilihan eluen sebaiknya dimulai dari pelarut organik yang
non polar seperti n-heksan dan peningkatan kepolaran dengan etil asetat atau pelarut yang lebih polar lainnya Gritter, 1991.
Eluen yang digunakan dalam penelitian ini dimulai dari 100 n-heksan kemudian dilanjutkan 100 etil asetat, n-heksan 9 : etil asetat 1 , 8:2, 7:3, 6:4,
5:5, dan 4:6. Dari kedelapan eluen yang dicoba eluen 100 n-heksan tidak terjadi pemisahan senyawa hal ini bisa dilihat dari tidak adanya spot yang naik, sehingga
eluen ini tidak digunakan. Untuk eluen 100 etil asetat sampai eluen n-heksan 4: etil asetat 6 terjadi pemisahan, dimana dapat dilihatnya spot yang naik pada
plat KLT yang dielusi. Namun, tidak semua eluen menghasilkan pola pemisahan yang baik. Hal ini disebabkan dari kepolaran senyawa yang terdapat dalam
ekstrak etil asetat. Dimana dari ketujuh eluen yang digunakan eluen yang Ekstrak
Nilai Rf yang Menunjukkan Daerah Hambatan Terhadap Bakteri S. dysenteriae
100 EA
N : E 9:1
N : E 8:2
N : E 7:3
N : E 6:4
N : E 5:5
N : E 4:6
Rf Rf
Rf Rf
Rf Rf
Rf EA
50
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
menghasilkan pola pemisahan yang baik adalah eluen n-heksan : etil asetat 7:3 sampai 5:5. Pada ketiga eluen tersebut terdapat spot-spot yang terlihat terpisah,
sehingga nantinya untuk tahap penelitian selanjutnya yaitu tahap isolasi bisa memudahkan untuk pengerjaannya.
Pemilihan eluen yang terbaik tidak hanya dilihat dari pola pemisahan yang baik saja tetapi aktivitas antibakteri pun harus dipertimbangkan. Eluen dapat
dikatakan baik jika menghasilkan pola pemisahan yang baik dan juga terdapat aktivitas antibakteri, karena tujuan dari pengujian dengan metode ini adalah untuk
menentukan senyawa yang mempunyai aktivitas antibakteri. Aktivitas antibakteri dari metode ini dapat dilihat dari terbentuk zona hambat pada bagian-bagian spot
yang naik. Zona hambat dapat terlihat dengan menggunakan larutan p- iodonitrotetrazolium INT yang disemprotkan pada plat KLT yang telah
diberikan perlakuan dan diinkubasi. INT akan menyebabkan bakteri yang tumbuh pada plat KLT menjadi warna merah atau ungu sedangkan bagian plat yang tidak
ditumbuhi bakteri akan tetap berwarna putih atau krem. Hal ini terjadi karena adanya reaksi enzimatik antara larutan INT dengan bakteri,dimana larutan INT
yang tadinya berwarna kuning kehijauan akan direduksi oleh enzim dehidrogenase yang terdapat pada bakteri sehingga berubah formazan yang
berwarna merah atau ungu Zakiya, 2014. Hasil penelitian menunjukan bahwa nilai Rf yang aktif dari keenam
bakteri uji tidak sama. Sifat senyawa tertentu di dalam sistem kromatografi lapis tipis dinyatakan dengan harga Rf. Harga Rf didefinisikan sebagai berikut :
Rf = Pada bakteri S.epidermidis eluen yang memiliki hasil pengujian yang
terbaik adalah eluen n-heksan : etil asetat 5:5, karena ketika menggunakan eluen tersebut menghasilkan pola pemisahan yang baik dan memiliki zona hambat pada
dua spot nilai Rf 0,24 dan 0,32. Pada eluen n-heksan : etil asetat 7:3 dan 6:4 juga mempunyai pola pemisahan yang baik tetapi zona hambat yang terbentuk
hanya masing-masing satu spot nilai Rf 0,08 dan nilai Rf 0,34 sehingga eluen n-
51
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
heksan : etil asetat 5:5 dapat dijadikan eluen yang terbaik untuk pengujian bakteri S. epidermidis.
Pada bakteri B. subtilis eluen yang memiliki hasil pengujian yang terbaik adalah eluen n-heksan : etil asetat 7:3, karena ketika menggunakan eluen
tersebut menghasilkan pola pemisahan yang baik dan memiliki zona hambat pada empat spot nilai Rf 0,033; 0,083; 0,13 dan 0,383 . Pada eluen n-heksan : etil
asetat 6:4 dan 5:5 yang mempunyai pola pemisahan yang baik tetapi zona hambat yang terbentuk hanya satu nilai Rf 0,483 dan dua spot 0,167 dan 0,33
sehingga eluen n-heksan : etil asetat 5:5 dapat dijadikan eluen yang terbaik untuk pengujian bakteri B. subtilis.
Pada bakteri H. pylori eluen yang memiliki hasil pengujian yang terbaik adalah eluen n-heksa : etil asetat 6:4, karena ketika menggunakan eluen tersebut
menghasilkan pola pemisahan yang baik dan memiliki zona hambat pada lima spot nilai Rf 0,033; 0,125; 0,208; 0,383 dan 0,6. Pada eluen n-heksan : etil asetat
5:5 walaupun mempunyai jumlah zona hambat yang sama dengan eluen n- heksan : etil asetat 6:4 yaitu lima spot nilai Rf 0,125; 0,208; 0,417; 0,6917 dan
0,767 tetapi dari segi pola pemisahan senyawa eluen 6:4 lebih baik dibanding dengan eluen n-heksan : etil asetat 5:5 sedangkan untuk eluen n-heksan : etil
asetat 7:3 jumlah zona hambatnya hanya terdapat 4 spot nilai Rf 0,05; 0,1167; 0,33 dan 0,358 sehingga eluen n-heksan : etil asetat 6:4 dapat dijadikan eluen
yang terbaik untuk pengujian bakteri H. pylori. Pada bakteri P. aeruginosa eluen yang memiliki hasil pengujian yang
terbaik adalah eluen n-heksan : etil asetat 5:5, karena ketika menggunakan eluen tersebut menghasilkan pola pemisahan yang baik dan memiliki zona hambat pada
lima spot nilai Rf 0,24; 0,3; 0,6; 0,7 dan 0,76. Pada eluen n-heksan : etil asetat 7:3 dan 6:4 juga mempunyai pola pemisahan yang baik tetapi zona hambat
yang terbentuk hanya satu 0,08 dan empat spot 0,12; 0,36; 0,4 dan 0,56 sehingga eluen n-heksan : etil asetat 5:5 dapat dijadikan eluen yang terbaik
untuk pengujian bakteri P. aeruginosa.
52
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Pada bakteri S. thypimurium eluen yang memiliki hasil pengujian yang terbaik adalah eluen n-heksan : etil asetat 5:5, karena ketika menggunakan eluen
tersebut menghasilkan pola pemisahan yang baik dan memiliki zona hambat pada tiga spot dengan nilai Rf 0,26; 0,36 dan 0,64. Pada eluen n-heksan : etil asetat
7:3 dan 6:4 juga mempunyai pola pemisahan yang baik tetapi zona hambat yang terbentuk hanya satu titik penotolan sampel dan dua spot nilai Rf 0,12
dan 0,18 sehingga eluen n-heksan : etil asetat 5:5 dapat dijadikan eluen yang terbaik untuk pengujian bakteri S. thypimurium.
Pada bakteri S. dysenteriae eluen yang memiliki hasil pengujian yang terbaik adalah eluen n-heksan : etil asetat 6:4, karena ketika menggunakan eluen
tersebut menghasilkan pola pemisahan yang baik dan memiliki zona hambat pada satu spot dengan nilai Rf 0,45. Pada eluen n-heksan : etil asetat 5:5 dan 7:3
walaupun mempunya jumlah zona hambat yang sama dengan eluen n-heksan : etil asetat 6:4 yaitu masing-masing satu dengan nilai Rf 0,3 dan 0,15 tetapi dari segi
pola pemisahan senyawa eluen n-heksan : etil asetat 6:4 lebih baik dibanding dengan eluen n-heksan : etil asetat 5:5 dan 7:3 sehingga eluen n-heksan : etil
asetat 6:4 dapat dijadikan eluen yang terbaik untuk pengujian bakteri S. dysenteriae.
53 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN