26
Apabila dilihat batasan usia anak dari sudut Psikososial, Singgih Gunarso dalam makalahnya yang berjudul Perubahan Sosial Dalam Masyarakat yang
disampaikan dalam Seminar “Keluarga dan Budaya Remaja Perkotaan” yang
dilakukan di Jakarta, mengemukakan bahwa klasifikasi perkembangan anak hingga dewasa dikaitkan dengan usia dan kecenderungan kondisi kejiwaannya,
menurut Singih Gunarso terbagi menjadi lima tahap, yaitu: 1.
Anak, seseorang yang berusia dibawah 12 tahun; 2.
Remaja dini, yaitu seseorang yang berusia antara 12 – 15 tahun 3.
Remaja penuh, yaitu seseorang yang berusia antara 15 – 17 tahun; 4.
Dewasa muda, yaitu seseorang yang berusia antara 17 – 21 tahun; dan 5.
Dewasa, seseorang yang berusia diatas 21 tahun.
13
Lebih lanjut Singgih Gunarso dengan mensitir pendapat dari J. Pikunas dan R.J. Havighurts menjelaskan bahwa masing-masing tingkatan usia
mempunyai karakteristik sendiri-sendiri. Sebagai Contoh: Kategori remaja dini usia 12
– 15 tahun memiliki kecenderungan kejiwaan:
1. Sibuk menguasai tubuhnya, karena faktor ketidakseimbangan postur
tubuhnya, atau kekurangnyamanan tubuhnya. 2.
Mencari identitas dalam keluarga, satu pihak menjurus pada sifat egosentris, pada pihak lain ia belum dapat sepenuhnya diserahi tanggung
jawab, sehingga masih sangat memerlukan dukungan keluarga.
13
Ibid. h. 12
27
3. Kepekaan sosial tinggi, solidaritas pada teman tinggi, dan besar
kecenderungannya mencari popularitas. Dalam fase ini, ia sibuk mengorganisasikan dirinya dan mulai mengalami perubahan sikap, minat,
pola-pola hubungan pertemanan, mulai timbul dorongan seksual, bergaul dengan lain jenis.
4. Minat keluar rumah tinggi, kecenderungan untuk “Trial and error” tinggi,
dan kemauan untuk belajar dari pengalaman tinggi. 5.
Mulai timbul usaha-usaha untuk menguasai diri baik di lingkungan rumah, sekolah, klub olah raga, kesenian, dan lingkungan pergaulan pada
umumnya.
14
Di dalam kategori inilah, anak membawa pengaruh pada sikap kearah yang lebih agresif sehingga pada periode ini banyak tindakan anak-anak yang dapat
mengarah kepada gejala kenakalan anak. Kenakalan anak ini timbul karena anak sedang mengalami perkembangan fisik dan perkembangan jiwa. Selain itu,
pengaruh lingkungan terutama lingkungan di luar rumah juga turut mempengaruhi.
Kategori remaja penuh, mempunyai kecenderungan kejiwaan: 1.
Sudah mulai menampakan dirinya mampu dan bisa menerima menerima kondisi fisiknya;
2. Mulai bisa menikmati kebebasan emosionalnya;
3. Mulai lebih mampu bergaul;
14
Zahrotun Nihayah, dkk., Psikologi Perkembangan Tinjauan Psikologi Barat dan Islam, Jakarta: UIN Jakarta Press, h.112
28
4. Sudah menemukan identitas dirinya;
5. Mulai memperkuat penguasaan dirinya dan menyesuaikan perilakunya
dengan norma-norma keluarga dan kemasyarakatn; 6.
Mulai secara perlahan-lahan meninggalkan reaksi-reaksi dan sikap-sikap kekanak-kanakan.
15
C. Pertanggungjawaban Pidana dalam Hukum positif
Pertanggungjawaban pidana dapat diartikan sebagai diteruskannya celaan yang objektif yang ada pada perbuatan pidana yang secara subjektif yang ada
memenuhi syarat untuk dapat dipidana karena perbuatannya itu.
16
Pertanggungjawaban dalam hukum pidana atau yang juga disebut criminal responsibility
artinya : ”orang yang telah melakukan suatu tindak pidana disitu belum belum berarti ia harus dipidana, ia harus mempertanggungjawabkan atas
pebuatannya yang telah dilakukan.” Mempertanggungjawaban atas suatu perbuatan berarti untuk menentukan pelaku salah atau tidak.
17
Pertanggungjawaban pidana dalam bahasa asing di sebut sebagai “toereken-baarheid,”
“criminal reponsibilty,”
“criminal liability,”
pertanggungjawaban pidana disini di maksudkan untuk menentukan apakah seseorang tersebut dapat di pertanggungjawabkan atasnya pidana atau tidak
terhadap tindakan yang di lakukanya itu.
18
15
Ibid., h.113
16
Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Jakarta :Sinar Grafika, 2011, h.20
17
Suharto R.M., Hukum Pidana Materiil, Jakarta: Sinar Grafika, 2002, h.106
18
S.R Sianturi .Asas-asas Hukum Pidana Indonesia dan Penerapannya,Cet IV, Jakarta :Alumni Ahaem-Peteheam,1996,h .245
29
Dalam konsep KUHP tahun 1982-1983, pada pasal 27 menyatakan bahwa pertanggungjawaban pidana adalah di teruskanya celaan yang objektif ada pada
tindak pidana berdasarkan hukum yang berlaku, secara obyektif kepada pembuat yang memenuhi syarat-syarat undang-undang untuk dapat dikenai pidana karena
perbuatanya.
19
Sebagaimana telah diketahui, untuk adanya pertanggungjawaban pidana, suatu syarat yang diperlukan adalah si pembuat harus mampu bertanggung jawab,
dengan lain perkataan harus ada kemampuan bertanggung jawab dari si pembuat. Mengenai apa yang dimaksud dengan kemampuan bertanggung jawab
toerekeningsvatbaarheid ini KUHP tidak merumuskannya, sehingga harus dicari dalam doktrin atau Memorie van Toelichting MvT.
20
D. Kesalahan geen straf zonder schuld.
Kesalahan merupakan suatu hal yang sangat penting untuk memidana seseorang. Tanpa itu, pertanggungjawaban pidana tidak akan pernah ada. Maka
tidak heran jika dalam hukum pidana dikenal asas ”tiada pidana tanpa kesalahan” geen straf zonder schuld. Asas kesalahan ini merupakan asas yang fundamental
dalam hukum pidana, demikian fundamentalnya asas tersebut, sehingga meresap dan menggema dalam hampir semua ajaran penting dalam hukum pidana.
Kesalahan adalah dapat dicelanya pembuat tindak pidana karena dilihat dari segi
19
Djoko Prakoso .Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia . Edisi Pertama , Yogyakarta : Liberty Yogyakarta , 1987 ,h.75
20
I Made Widyana, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta:Fikahati Aneska, 2010, h. 38
30
masyarakat sebenarnya dia dapat berbuat lain jika tidak ingin melakukan perbuatan tersebut.
21
Jadi disamping orang telah melakukan tindak pidana masih diperlukan kesalahan padanya. Asas pertanggungjawaban pidana berbunyi “Tiada pidana
tanpa kesalahan” asas ini oleh masyarakat Indonesia dijunjung tinggi dan akan dirasakan bertentangan dengan rasa keadilan jika ada orang tidak bersalah tidak
dijatuhi hukuman. Kesalahan adalah suatu keadaan psychologisch yang oleh penilaian hukum pidana ditentukan sebagai keliru dan dapat dicela. Dengan
adanya kesalahan, orang harus bertanggungjawab atas perbuatannya untuk dapat ia jat
uhi pidana. Karena ajaran tentang kesalahan juga disebut “pertanggung jawaban pidana” atau dengan istilah criminal responsibility.
22
. Menurut Moeljatno, kesalahan adalah adanya keadaan psikis yang tertentu pada orang yang melakukan perbuatan pidana dan adanya hubungan
antara keadaan tersebut dengan perbuatan yang dilakukan yang sedemikian rupa, hingga orang itu dapat dicela karena melakukan perbuatan tadi. geen straf zonder
schuld, no punishment without fault, actus non facit reum nisi mens sist rea, an act does not make a person guilty unless his mind is guilty.
Adagium “tiada pidana tanpa kesalahan” dalam hukum pidana lazimnya dipakai dalam arti: tiada
pidana dicela. Tetapi sesungguhnya, pasti dalam hukum pidana, orang tidak dapat berbicara tentang kesalahan tanpa adanya perbuatan yang tidak patut. Karena itu
asas kesalahan disini diartikan sebagai: tiada pidana tanpa perbuatan tidak patut
21
Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Jakarta :Sinar Grafika, 2011, h.20
22
Suharto R.M., Hukum Pidana Materiil, Jakarta: Sinar Grafika, 2002, h.106
31
yang objektif, yang dapat dicelakakan kepada pelakunya, dengan lain perkataan, kesalahan adalah perilaku alasan pemidanaan yang sah menurut undang-
undang.
23
E. Kemampuan Bertanggungjawab
Kemampuan bertanggung jawab dapat diartikan sebagai kondisi batin yang normal atau sehat dan mempunyai akal seseorang dalam membeda-bedakan
hal-hal yang baik dan yang buruk. Atau dengan kata lain, mampu untuk menginsyafi sifat melawan hukumnya suatu perbuatan dan sesuai dengan
keinsyafan itu mampu untuk menentukan kehendaknya. Andi Zainal Abidin mengatakan bahwa kebanyakan undang-undang
merumuskan syarat kesalahan secara negatif. KUHP diseluruh dunia pada umumnya tidak mengatur tentang kemampuan bertanggungjawab. Yang diatur
ialah kebalikannya, yaitu ketidakmampuan bertanggungjawab. Demikian halnya dengan ketentuan pasal 44 KUHP yang berbunyi:
“1. Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggung- jawabkan padanya, disebabkan karena jiwanya cacat dalam
tumbuhnya gebrekkige ontwikkeling atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana.
2. Jika ternyata bahwa perbuatan tidak dapat dipertanggungjawabkan padanya disebabkan karena jiwanya cacat dalam tumbuhnya atau
terganggu karena penyakit, maka Hakim dapat memerintahkan supaya orang itu dimasukkan kedalam rumah sakit jiwa, paling lama satu
tahun sebagai waktu percobaan.”
24
23
I Made Widyana, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta:Fikahati Aneska, 2010, h. 38
24
Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Jakarta :Sinar Grafika, 2011, h.20