Anak Menurut Hukum Islam

40 perbedaan orang, lingkungan, keadaan dan mentalnya. mengingat kondisi jasmani dan iklim daerah tempat anak itu berada. Namun demikian para fuqaha’ menetapkan umur 7 tahun itu sebagai ketetapan ketamyîzan seorang anak demi keseragaman hakim. Para fuqaha ’ berpedoman dengan usia dalam menentukan batas-batas kemampuan berpikir, agar bisa berlaku untuk semua orang, dengan mendasarkan kepada keadaan yang banyak terjadi pada anak-anak kecil. Pembatasan tersebut diperlukan untuk jangan sampai terjadi kekacauan hukum dan agar mudah bagi seseorang untuk meneliti apakah kemampuan berpikir sudah terdapat atau belum, sebab usia anak bisa diketahui dengan mudah. Boleh jadi, seorang anak yang berusia 7 tahun menunjukkan kemampuan berpikir sudah terdapat atau belum, sebab usia anak bisa diketahui dengan mudah. Boleh jadi, seorang anak yang belum berusia 7 tahun menunjukkan kemampuan berpikir, tetapi ia tetap dianggap belum tamyîz, karena yang menjadi ukuran adalah kebanyakan orang, bukan perseorangan. 8 Perbuatan jarîmah yang dilakukan oleh anak dibawah usia tujuh tahun tidak dijatuhi hukuman, baik sebagai hukuman pidana atau sebagai pengajaran. Akan tetapi anak tersebut dikenakan pertanggungjawaban perdata, yang dibebankan atas harta milik pribadi, yakni memberikan ganti kerugian terhadap kerugian yang diderita oleh harta milik atau diri orang lain wujûd ad-dhaman fî 8 A. Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, cet. II Jakarta: Bulan Bintang, 1976, h. 390 41 mâlihi. 9 walaupun demikian, kewajiban mengganti rugi tetap tidak terlepas dari padanya, sebagaimana telah ditegaskan oleh Al-Amidi. 10 Mengenai tidak berlakunya hukum qishâsh bagi anak-anak oleh karena ketiadaan taklîf, di tegaskan juga oleh Syarbani Khatib 11 dan Imam ar- Ramli. 12 2. Masa Kemampuan Berpikir Lemah Marhalah al-Idrâk al-Dha’îf Fase ini dimulai sejak seseorang anak berumur 7 tahun sampai berumur 15 tahun. Anak dalam masalah ini disebut anak mumayyiz. Anak mumayyiz tidak dapat dimintai pertanggung jawaban pidana. Jadi anak yang munayyiz berarti seorang anak yang telah mampu membedakan antara yang baik dan yang buruk, tetapi ia belum mampu dimintai pertanggungjawaban atas segala perbuatan yang ia lakukan. Akan tetapi ia dapat dijatuhi pidana pengajaran. Dalam soal perdata ia disamakan dengan anak belum tamyîz. Masa ini dimulai sejak usia tujuh tahun sampai mencapai kedewasaan baligh, dan kebanyakan fuqah â’ membatasinya dengan usia lima belas tahun. Kalau seorang anak telah mencapai usia tersebut maka ia dianggap dewasa, meskipun boleh jadi ia belum dewasa dalam arti yang sebenarnya. Imam Abu Hanifah sendiri membataskan kedewasaan kepada usia delapan belas tahun, dan menurut suatu riwayat sembilan belas tahun. Pendapat yang terkenal dalam madzhab Maliki sama dengan pendapat Imam Abu Hanifah. 9 Ibid., h. 397 10 Al-Amidi, Saifuddin Abul Hasan Ali Ibn Muhammad, al- Hikam fi Usul al-Ahkam , juz I, Mesir : Musthafa al-Babi ,al-Halaby, tt, h. 78 11 Khatib, Muhammad Syarbani, Mughni al-Muhtaj Ila –Ma’rifat , Ma’ani Alfadz Minhaj „ala Matan Minhaj an-Nawawi, juz II kairo : Dar al- Fikr, 1958, h . 279 12 Ar-Ramli, Muhammad Syihabuddin , Nihayat al-Muhtaj Ila Syarh al –Minhaj, juz V Mesir : Musthafa al-Babi Al-Halaby, tt h.246 42 Pada masa tersebut seseorang anak tidak dikenakan pertanggungjawaban pidana atas jarimah-jarimah yang diperbuatnya, akan tetapi ia bisa dijatuhi pengajaran. Pengajaran ini meskipun sebenarnya berupa hukuman juga, akan tetapi tetap dianggap sebagai hukuman pengajaran, bukan sebagai hukuman pidana, dan oleh karena itu kalau anak tersebut berkali-kali memperbuat jarîmah dan berkali-kali pula dijatuhi pengajaran, namun ia dianggap pengulang kejahatan recidivist. Mengenai pertanggungjawaban perdata, maka ia dikenakan, meskipun bebas dari pertanggungjawaban pidana. 13 3. Masa Kemampuan Berpikir Penuh Marhalah al-Idrâk al-Tâmm Masa ini dimulai sejak seseorang anak mencapai usia kecerdikan sinnur- rusydi, atau dengan perkataan lain, fase ini dimulai sejak seorang berumur 15 tahun sampai delapan belas tahun, menurut perbedaan pendapat dikalangan fuqahâ sampai meninggal dunia. Pada masa ini seseorang dikenakan pertangungjawaban pidana atas jarimah-jarimah yang diperbuatnya bagaimanapun juga macamnya Maka ia telah dewasa dan karenanya ia sudah mempunyai pertanggungjawaban penuh, baik dalam lapangan hukum perdata, pidana dan dalam menjalankan kewajiban-kewajibannya dengan Tuhan. 14 Dalam Islam seorang akan dikenakan pembebanan hukum apabila seseorang itu mukallaf. Dengan demikian segala perbuatan itu akan dikenakan 13 A. Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, cet. II Jakarta: Bulan Bintang, 1976, h. 397 14 Abdul Qadir Audah, At- Tasyri’ Al-Jina’ Al-Islami, Juz I, Muassasah arrisalah, t.th., h. 601 43 hukum seperti yang berhubungan dengan kewajiban, larangan, makruh dan Ibahah. Orang mukallaf menurut ulama’ ushuliyyin disebut mahkûm „alaîh. 15 Dalam hal ini, ada beberapa syarat bagi mukallaf untuk dapat dikenakan pembebanan hukum yaitu : 1. Mukallaf dapat memahami taklîf, seperti mampu memahami nash-nash yang dibebankan dari Al Qur’an dan Al Sunah secara atau perantaraan. Karena orang yang tidak mampu memahami dalil taklîf dia tidak dapat mengikuti apa yang dibebankan kepadanya dan tidak tahu apa yang menjadi tujuannya. Akal orang yang belum bisa memahami baik itu orang yang lupa, tidur, gila dan anak-anak tidak bisa diberi beban hukum, sebagai mana sabda Rasulullah SAW. Yang berbunyi : َ ع َ نَ َ عَ ئا َ ش َ ةَ َ رَ ض َ يَ َهلا ََ ع َ َ ه َ قَا َ لا َ ت َ َ قَ: َ لا ََ ر َهسَ و َهلَ َ لا َ َ صَ ل َهلاَى ََ ع َ لَ يَ ََ و َ سَ ل َ مَ َهرَ ف َ عَ َ لاَ ق َ لَهم ََ ع َ نَ َ ث َ ل َ ث ََ ع َ نَ َ لا َ ئا َ مَ َ حَ ت َ يَى َ سَ ت َ يَ ق َ ظ ََ و َ ع َ نَ َ صلا َ ب َ يَ َ حَ ت َ يَى َ حَ ت َ لَ م ََ و َ ع َ نَ َ لا َ م َ جَه َ وَ ن َ َ حَ ت َ يَى َ عَهق َ ل َ َ اور َ َيراخبلا وَ تلا يذمر َ يئاس لاو 16 َ Artinya : “Dari „Aisyah RA. berkata Bahwa Rasulullah SAW bersabda ;Pena pembebanan hukum diangkat atas tiga golongan yaitu orang yang tidur hingga ia terjaga, anak kecil hingga ia baligh dan orang yang gila hingga ia sembuh.”HR. Bukhori, at- Tirmidzi, dan an-Nasa i’ Syarat ini selaras dengan yang dikemukakan oleh Khudlori Beik, sebagai berikut : 15 Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, Jakarta: Amzah, 2010, h. 50 16 Muhammad ibn ‘Isya at-Tirmidzi, Jami’ at-Tirmidzi, Mesir: Dar el-Kutub, t.t., h.1339 44 َ م َ نَ َهشَهر َ و َ ط َ تَ و َ جَ ي َ َ َ تلا َ كَ ل َ ي َ ف َهقَ د َ رَهة َ مَ ن َه يَ و َ ج َهد َ اَ لَ ي َ َ ف َ ى َ فَ ه َ م َ لا َ خ َ ط َ با ََ ت َ ص َ وَ ر َ مَ ع َ نا ي َ اَ ا َ لَ ف َ ظا َ لاَ ت َ ي َ بَ ها َ تلا َ كَ ل َ ي َهف 17 َ Artinya : “Diantara syarat taklif adalah mampu memahami nash- nash khithob dalam arti memahami arti bentuk lafadl yang menunjukkan pembebanan.” 2. Mukallaf adalah orang yang ahli cakap dengan sesuatu yang dibebankan kepadanya. pengertian ahliahliyah menurut bahasa adalah : ةيحلصلا yang berarti kecakapan. Sedangkan pengertian ahliyah menurut Abu Zahrah adalah kecakapan seseorang untuk menerima hak dan kewajiban . 18 Menurut Ulama’ Ushul, ahliyah itu terbagi menjadi dua macam yaitu : a. Aḥliyyah al-Wujûb Kecakapan dalam menerima kewajiban hukum Pada dasarnya dapat ditetapkan sebagai ahli wajib karena keadaannya wujudnya sebagai manusia. Keahlian manusia sebagai ahli wajib ini sejak permulaan manusia, mulaisejak janin sampai meninggal dunia. Ketika masih dalam bentuk janin dalam kandungan ahli wajib itu berkurang karena baginya hanya ditetapkan hak-haknya saja. Kalau janin itu lahir maka dikatakan sebagai ahliyyah dan bila lahir dengan keadaan mati dianggap tidak pernah ada. b. Aḥliyyah al-Adâ’ kecakapan dalam bertindak secara hukum Pada dasarnya ditetapkannya ahli melaksanakan bukan karena wujudnya sebagai manusia, akan tetapi ditetapkannya ahli 17 Khudlari Beik, Ushul Fiqh, Maktabah Al-Tijariyah Al-Kubra, Mesir, 1979, h. 110 18 Muh. Abu Zahrah, Ushul Fiqh, Dar Al-Fikr, Beirut, t.th., h. 229 45 melaksanakan adalah bisa membedakan antara yang baik dan yang buruk. Ahli melaksanakan ialah layaknya mukallaf untuk diperhitungkan menurut syara’, ucapan dan perbuatannya. Keahlian melaksanakan ini melihat kadar akalnya karena akal itulah yang dijadikan sebagai asas. Ahliyyah ada’ yang sempurna adalah ketika sempurnanya akal karena baligh yang sudah dibebani syara’ dan baligh itu disertai dengan sehatnya akal. Sedang ahliyyah ada ’ yang kurang yaitu anak kecil yang sudah mumayiz dan yang menyerupainya. 19 Menurut Wahbah Az-zuhaili sanksi di dunia bermacam-macam sesuai dengan jenis perbuatan yang dilanggarnya, misalnya perbuatan pidana Islam memberikan sanksi di dunia berupa ketentuan yang secara tegas disebutkan dalam Al- qur’an, yaitu Qishâsh, had, diyat, dan kafarat. Sedangkan perbuatan pidana yang secara tidak tegas ditentukan sanksinya dalam Al- qur’an dan As-Sunah diserahkan kepada umat Islam untuk menentukan sanksinya, yakni dengan hukuman ta’zîr. 20 Dalam kitab subul al-salam disebutkan hukuman ta’zîr selain oleh hakim dapat dilakukan oleh tiga orang: 1. Ayah, ia boleh menjatuhkan ta’zîr terhadap anaknya yang masih kecil dengan tujuan edukatif dan mencegah dari akhlak yang jelek. Menurut 19 Abd. Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh , Majlis A’la Indonesia, Jakarta, h. 135 20 Wahbah az-Zuhaily, al-fiqh al-Islamy wa Adilatuh, Beirut: Dar al-Fikr, 1989, VI, h. 197 46 pendapat yang kuat bahwa sang ibu pun boleh berbuat serupa selagi anak masih berada dalam asuhannya. 2. Majikan, sang majikan diperbolehkan menta’zîr hambanya baik yang bersangkutan dengan hak dirinya atau hak Allah. 3. Suami, sang suami diperbolehkan menta’zîr isterinya dalam masalah nusyûz yang dilakukan isteri, sebagaimana yang telah dijelaskan dalam Al- Qur’an . 21

B. Pertanggungjawaban Pidana Dalam Hukum Islam

Pengertian pertanggungjawaban pidana dalam syariat Islam adalah pembebanan seseorang dengan akibat perbuatan atau tidak adanya perbuatan yang dikerjakannya dengan kemauan sendiri, dimana orang tersebut mengetahui maksud dan akibat dari perbuatannya itu. 22 Dalam syariat Islam pertanggungjawaban pidana dikenal dengan istilah al- mas ’ûliyyah al-jinâiyyah itu didasarkan kepada tiga hal: 1. Adanya perbuatan yang dilarang, 2. Perbuatan itu dikerjakan dengan kemauan sendiri, dan 3. Pelaku mengetahui akibat dari perbuatannya itu . 23 Apabila terdapat tiga hal tersebut maka terdapat pula pertanggungjawaban. Apabila tidak terdapat maka tidak terdapat pula pertanggungjawaban. Dengan 21 Sayid Sabiq, Fiqh Sunnah, Bandung: Al- Ma’arif, t.t., Jilid 10, Cet ke-3, h. 165 22 A. Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, cet. II Jakarta: Bulan Bintang, 1976, h. 197 23 Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam Fikih Jinayah, Jakarta: Sinar Grafika, 2004, h.74 47 demikian orang gila, anak dibawah umur, orang yang dipaksa dan orang yang terpaksa tidak dibebani pertanggungjawaban, karena dasar pertanggungjawaban pada mereka itu tidak ada. Pembebasan pertanggungjawaban pada mereka ini didasarkan kepada Hadits Nabi dan Al- Qur’an. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Abu Daud disebutkan: َ ع َ نَ َ عَ ئا َ ش َ ةَ َ رَ ض َ يَ َهلا ََ ع َ َ ه َ قَا َ لا َ ت َ َ قَ: َ لا ََ ر َهسَ و َهلَ َ لا َ َ صَ ل َهلاَى ََ ع َ لَ يَ ََ و َ سَ ل َ مَ َهرَ ف َ عَ َ لاَ ق َ لَهم ََ ع َ نَ َ ث َ ل َ ث ََ ع َ نَ َ لا َ ئا َ مَ َ حَ ت َ يَى َ سَ ت َ يَ ق َ ظ ََ و َ ع َ نَ َ صلا َ ب َ يَ َ حَ ت َ يَى َ حَ ت َ لَ م ََ و َ ع َ نَ َ لا َ م َ جَه َ وَ ن َ َ حَ ت َ يَى َ عَهق َ ل َ َ اور َ وَيراخبلا َ يذمرتلا َ يئاس لاو 24 َ Artinya : “Dari „Aisyah RA. berkata Bahwa Rasulullah SAW bersabda ;Pena pembebanan hukum diangkat atas tiga golongan yaitu orang yang tidur hingga ia terjaga, anak kecil hingga ia baligh dan orang yang gila hingga ia sembuh.”HR. Bukhori, at- Tirmidzi, dan an- Nasai’ Dalam hal pertanggungjawaban pidana, hukum Islam hanya membebankan hukuman pada orang yang masih hidup dan mukallaf, hukum Islam juga mengampuni anak-anak dari hukuman yang semestinya di jatuhkan bagi orang dewasa kecuali ia ialah baligh. 25 Hal ini di dasarkan pada dalil Al- Qur’an: َهن ي به يَ ك ل ذ كَ م ه ل ب قَن مَ ني ذ لاَ ن ذ أ ت ساَا م كَاوهن ذ أ ت س ي ل فَ مهلهح لاَهمهك مَهلا ف ط ْاَ غ ل بَا ذ إ و َ مهك لَه للاَ ٌَمي ك حٌَمي ل عَه للا وَ تا يآ Artinya:” Dan apabila anak-anakmu Telah sampai umur baligh, Maka hendaklah mereka meminta izin, seperti orang-orang yang sebelum mereka meminta izin. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat-Nya. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana”.QS. An-Nur:59 24 Muhammad ibn ‘Isya at-Tirmidzi, Jami’ at-Tirmidzi, Mesir: Dar el-Kutub, t.t., h.1339 25 Ibid., h. 75 48 Menurut Syari’at Islam pertanggungjawaban pidana didasarkan atas dua perkara, yaitu kekuatan berpikir dan pilihan irâdah dan ikhtiyar. Oleh karena itu kedudukan anak kecil berbeda-beda menurut perbedaan masa yang dilaluinya hidupnya, mulai dari waktu kelahirannya sampai masa memiliki kedua perkara tersebut. Hasil penyelidikan para fuqah â’ mengatakan bahwa masa tersebut ada tiga: yaitu: masa tidak adanya kemampuan berpikir, masa kemampuan berpikir lemah, dan masa kemampuan berpikir penuh. Konsep yang dikemukakan oleh Syariat Islam tentang pertanggungj awaban anak belum dewasa merupakan konsep yang baik sekali, dan meskipun telah lama usianya, namun menyamai teori terbaru dikalangan hukum positif. Hukum Romawi sebagai bentuk hukum positif yang paling maju pada masa turunnya Syari’at Islam dan yang menjadi dasar Hukum-hukum Eropa modern mengadakan pemisahan antara pertanggungjawaban anak-anak dengan pertanggungjawaban orang dewasa dalam batas yang sempit sekali, yaitu usia 7 tahun. Jadi apabila anak-anak telah berumur 7 tahun keatas, maka ia dikenakan pertanggungjawaban pidana sedang kalau belum mencapai usia tersebut maka tidak dikenakan, kecuali kalau ketika memperbuat jarimah ia mempunyai niatan untuk merugikan orang lain, maka dalam hal ini dikenakan pertanggungjawaban pidana. 26 Hukum Islam tidak juga menjatuhkan hukuman terhadap pelaku yang di paksa dan orang yang hilang kesadarannya. Atas dasar ini seseorang hanya mempertanggungjawabkan perbuatannya terhadap apa yang telah dilakukannya 26 A. Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, cet. II Jakarta: Bulan Bintang, 1976, h. 397 49 dan tidak dapat dijatuhi hukuman atas tindakan pidana orang lain . 27 Orang yang harus bertanggung jawab atas suatu kejahatan adalah orang yang melakukan kejahatan itu sendiri dan bukan orang lain. Hal ini didasarkan kepada firman Allah dalam Al- Qur’an. َ س ف ل فَا ح لا صَ ل م عَ ن م َ ا ه ي ل ع فَءا س أَ ن م و Artinya :”Barangsiapa yang berbuat kebaikan maka untuk dirinya dan barangsiapa yang berbuat kejahatan maka akibatnya atas dirinya ”.QS. Fushilat:46

C. Hapusnya Pertanggungjawaban Pidana

Tidak semua tindak pidana dapat dikenai sanksi atau pidana. Ada beberapa alasan yang menyebabkan pelakunya terbebas dari sanksi. Dalam Hukum pidana Islam mengenai beberapa alasan yang dapat menghapuskan tindak pidana dikenal dengan istilah asbâb al-ibâhah dan asbâb r af’i al-uqûbah. 28

1. Disebabkan Perbuatan Mubah Asbâb al-Ibâhah

Asbâb al-ibâhah atau sebab dibolehkannya perbuatan yang dilarang pada umumnya berkaitan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban. Seseorang tidak akan mendapatkan sanksi setelah ia melakukan perbuatan tertentu yang merupakan perbuatan pidana, yaitu apabila ada dasar pembenar. Dasar pembenar adalah alasan yang dapat menjadikan hilangnya sifat melawan hukum, sehingga 27 Topo Santoso, Menggagas Hukum Pidana Islam,;Penerapan Syariat Islam Dalam Konteks Modernitas, Cet . Kedua, Bandung : Asy Syaamil Press Grafika,2001 , h. 16 28 Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam Fikih Jinayah, Jakarta: Sinar Grafika, 2004, h.90

Dokumen yang terkait

Pertanggungjawaban pidana anak menurut hukum pidana islam dan undang-undang nomor 11 Tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana anak

0 6 169

ANALISIS PERBANDINGAN PERLINDUNGAN HUKUM PIDANA TERHADAP ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK

0 8 49

ANALISIS PERBANDINGAN PENYIDIKAN ANAK YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA BERDASARKAN UNDANG UNDANG NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DAN UNDANG UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK

0 7 42

PENULISAN HUKUM / SKRIPSI TINJAUAN DISKRESI KEPOLISIAN TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK.

0 4 12

PENDAHULUAN TINJAUAN DISKRESI KEPOLISIAN TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK.

0 2 10

PENUTUP TINJAUAN DISKRESI KEPOLISIAN TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK.

0 2 4

PENDAHULUAN PENERAPAN DIVERSI TERHADAP ANAK YANG BERKONFLIK DENGAN HUKUM MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK.

0 5 17

PENUTUP PENERAPAN DIVERSI TERHADAP ANAK YANG BERKONFLIK DENGAN HUKUM MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK.

0 2 4

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK

0 0 75

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK

0 2 75