52
kemaslahatan bagi masyarakat pada umumnya. orang-orang yang melaksanakan kewajiban tersebut merupakan orang-orang yang memang
bertugas sebagai pelayan publikmasyarakat pada umumnya. Islam meletakkan dasar terhadap tanggungjawab bagi pemimpin atau penguasa.
Kaedah hukum Islam menetapkan bahwa petugas pemerintah tidak dapat dikenai pertanggungjawaban pidana apabila menunaikan tugasnya
kewajibannya sesuai denagan batas-batas kewenanganya. Apabila terjadi pelanggaran
dalam menunaikan
kewajibanya tersebut
maka bertanggungjawab secara pidana jika dia tahu bahwa itu adalah bukan
hanya atau itu adalah pelanggaran.
31
2. Disebabkan Hapusnya Hukuman Asbâb Raf’i al-Uqûbah
Sebab hapusnya hukuman tidak mengakibatkan perbuatan yang di lakukan itu dibolehkan, melainkan tetap pada asalnya yaitu dilarang. Hanya saja oleh
karena keadaan si pelaku tidak mungkin dilaksanakannya hukuman maka ia di bebaskan dari hukuman. Dalam Islam ada beberapa sebab yang dapat
menghapuskan hukuman
:
32
a. Lupa
Lupa adalah tidak siapnya sesuatu pada waktu diperlukan dan tercabutnya rasa ingat dari hatinya, baik karena kelalaian atau kesengajaan.
Dalam syariat Islam lupa disejajarkan dengan keliru, seperti pada ayat 286 Surat Al-Baqarah:
31
Ali Yafie , Ahmad Sukarja ,Muhammad Amin Suma, dkk, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, Edisi Indonesia , hlm. 220
32
ibid , h. 225
53
ا ن أ ط خ أَ و أَا ي س نَن إَا ن ذ خا ؤه تَ اَا ب ر
Artinya :”Ya Tuhan kami janganlah Engkau menuntut kami apabila kami lupa atau keliru. QS. Al-Baqarah:286
Juga seperti dalam hadis:
َهرَ ف َ عَ
َ ع َ نَ
َهاَ مَ ت َ يََ
اَ ل َ خ
َ ط َهءاَ
َ و َ لا
َ سَ ي َهنا
ََ وَ م َ ساا
َهتَ ك َ رَه
َ و َ عَا
َ لَ يَ َ
يقهيبلاوَ جامَنباَ اور
33
Artinya :”Dihapuskan dari umatku kekeliruan, lupa, dan perbuatan yang dipaksakan atasnya.
HR. Ibnu Majah dan Baihaqi”
Dalam membicarakan hukum dan pengaruh lupa para fuqaha terbagi kepada dua kelompok. Pertama, kelompok yang mengatakan
bahwa lupa adalah yang umum, baik dalam urusan ibadah maupun urusan pidana. Mereka berpegang kepada prinsip umum yang menyatakan bahwa
orang yang mengerjakan perbuatan yang dilarang karena lupa, ia tidak berdosa dan dibebaskan dari hukuman. Meskipun demikian ia tetap
dikenakan pertanggungjawaban perdata, apabila perbuatannya itu menimbulkan kerugian kepada orang lain.
34
Kedua, kelompok yang berpendapat bahwa lupa hanya menjadi alasan hapusnya hukuman akhirat, karena hukuman akhirat didasarkan atas
kesengajaan, sedangkan pada orang lupa kesengajaan itu sama sekali tidak ada. Untuk hukuman-hukuman dunia, lupa tidak bisa menjadi alasan
33
Tajuddin ‘Abdul Wahab ibn ‘Ali al-Subki, Thabaqat as-Syafi’iyah al-Kubro, Mesir:
Dar el-Salam . h. 218
34
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam Fikih Jinayah, Jakarta: Sinar Grafika, 2004, h.97
54
hapusnya hukuman sama sekali, kecuali dalam hal-hal yang berhubungan dengan hak Allah, dengan syarat ada motif yang wajar untuk melakukan
perbuatannya itu dan tidak ada hal-hal yang mengingatkannya sama sekali. Lupa kelompok kedua ini terdiri atas dua macam; pertama, lupa
yang dimaklumi dan tidak berdosa. Lupa jenis ini terjadi karena kelalaian atau tidak sengaja, misalnya orang yang terlambat shalat karena ia
ketiduran. Namun, hal ini pun perlu diperhatikan, apakah ketiduran yang menyebabkan ia terlambat shalat terjadi berulang kali atau baru sekali. Jika
ketidurannya belum pernah terjadi sebelumnya atau bukan merupakan suatu kebiasaan, maka hal ini bisa dimaklumi.
Kedua, lupa yang tidak bisa dimaklumi dan pelakunya mendapatkan dosa. Lupa jenis ini terjadi karena kesengajaan, baik dalam
bentuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Sebagai contoh, seseorang sudah mengetahui bahwa ketika azan bergema hendaknya ia
bersegera mengambil air wudhu untuk menunaikan salat. Akan tetapi. Ia sengaja menunda dengan alasan bahwa waktu salatnya masih panjang. Ia
lebih memilih bermain atau mengerjakan sesuatu yang mubah. Kemudian Allah menakdirkan ia lupa akan shalatnya, dan baru ingat setelah masuk
waktu salat berikutnya.
35
35
Assadulloh Al Faruk, Hukum Pidana Dalam Sistem Hukum Islam, Bogor: Ghalia Indonesia, 2009, h. 88
55
Meskipun demikian, pengakuan lupa semata-mata dari pelaku tidak bisa membebaskannya dari hukuman, sebab pelaku harus dapat
membuktikan kelupaannya dalam hal ini sangat sukar dilakukan.
36
b. Keliru
Keliru adalah terjadinya sesuatu di luar kehendak pelaku. Dalam jarîmah yang terjadi karena kekeliruan, pelaku melakukan perbuatan
tersebut bukan karena niat atau kesengajaan, melainkan karena kelalaian dan kurang hati-hati.
Dalam segi pertanggungjawaban pidana, orang yang keliru dipersamakan dengan orang yang sengaja berbuat, apabila perbuatan yang
dilakukannya itu merupakan perbuatan yang dilarang oleh syara’. Hanya
saja sebab pertanggungjawabannya berbeda. Dalam perbuatan sengaja sebabnya adalah sengaja melakukan perbuatan yang dilarang, sedangkan
dalam perbuatan karena kekeliruan sebabnya adalah melenggar ketentuan syara’ bukan karena sengaja, melainkan karena kelalaian dan kurang hati-
hati. Keliru dapat menghapuskan pidana, tetapi tidak bagi tindak pidana
jinâyat. Dalam tindak pidana, syariat telah menentukan bahwa pelaku tindak pidana jinâyat harus dijatuhi sanksi, meskipun perbuatannya
dilakukan karena keliru. Dengan kata lain, unsur kekeliruan dapat
36
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam Fikih Jinayah, Jakarta: Sinar Grafika, 2004, h.80