Disebabkan Hapusnya Hukuman Asbâb Raf’i al-Uqûbah
55
Meskipun demikian, pengakuan lupa semata-mata dari pelaku tidak bisa membebaskannya dari hukuman, sebab pelaku harus dapat
membuktikan kelupaannya dalam hal ini sangat sukar dilakukan.
36
b. Keliru
Keliru adalah terjadinya sesuatu di luar kehendak pelaku. Dalam jarîmah yang terjadi karena kekeliruan, pelaku melakukan perbuatan
tersebut bukan karena niat atau kesengajaan, melainkan karena kelalaian dan kurang hati-hati.
Dalam segi pertanggungjawaban pidana, orang yang keliru dipersamakan dengan orang yang sengaja berbuat, apabila perbuatan yang
dilakukannya itu merupakan perbuatan yang dilarang oleh syara’. Hanya
saja sebab pertanggungjawabannya berbeda. Dalam perbuatan sengaja sebabnya adalah sengaja melakukan perbuatan yang dilarang, sedangkan
dalam perbuatan karena kekeliruan sebabnya adalah melenggar ketentuan syara’ bukan karena sengaja, melainkan karena kelalaian dan kurang hati-
hati. Keliru dapat menghapuskan pidana, tetapi tidak bagi tindak pidana
jinâyat. Dalam tindak pidana, syariat telah menentukan bahwa pelaku tindak pidana jinâyat harus dijatuhi sanksi, meskipun perbuatannya
dilakukan karena keliru. Dengan kata lain, unsur kekeliruan dapat
36
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam Fikih Jinayah, Jakarta: Sinar Grafika, 2004, h.80
56
mengahapuskan hukuman bagi pelaku tindak pidana selain jinâyat, karena hapusnya unsur kesengajaan.
37
Apabila melihat dasar-dasar yang ada dalam syara’ maka
sebenarnya pertanggungjawaban itu hanya dibebankan kepada perbuatan sengaja yang diharamkan oleh
syara’ dan tidak dikenakan terhadap kekeliruan. Dalam surah Al-Ahzab ayat 5 disebutkan:
َهك ي ل عَ س ي ل و َ مهكهبوهله قَ ت د م ع تَا مَن ك ل وَ بَمهت أ ط خ أَا مي فٌَحا هجَ م
Artinya:”Dan tidak ada dosa atasmu tentang apa yang kamu kerjakan karena keliru, tetapi tentang apa yang disengajakan oleh
hatimu.”QS. Al-Ahzab:5
Akan tetapi, dalam keadaan tertentu syara’ membolehkan
dijatuhkannya hukuman atas kekeliruan sebagai pengecualian dari ketentuan pokok tersebut. Misalnya tindak pidana pembunuhan,
sebagaimana disebutkan dalam surah An-Nisa ayat 93.
َ ن م ؤهم لَ نا كَا م و ٌَة ي د وَ ة م ؤ مَ ة ب ق رَهري ر ح ت فَا ئ ط خَا م ؤهمَ ل ت قَن م وَا ئ ط خَ ا إَا م ؤهمَ لهت ق يَن أ
َ ل أَى ل إٌَة م ل س م
Artinya :”Dan tidaklah boleh bagi seorang mukmin untuk membunuh mukmin yang lain kecuali karena keliru. Barangsiapa yang
membunuh orang mukmin karena keliru maka hukumannya memerdekakan hamba yang mukmin dan membayar diat kepada
keluarganya…” QS. An-Nisa:93
37
Assadulloh Al Faruk, Hukum Pidana Dalam Sistem Hukum Islam, Bogor: Ghalia Indonesia, 2009, h. 89
57
Dengan adanya dua ketentuan tersebut diatas, yang satu merupakan ketentuan pokok dan yang satu lagi merupakan pengecualian dari
ketentuan pokok maka kelanjutannya untuk dapat dikenakan hukuman atas perbuatan karena kekeliruan harus terdapat ketentuan yang tegas dari
syara’. Dengan demikian, apabila syara’ tidak menentukan hukuman untuk suatu perbuatan karena kekeliruan maka tetap berlaku ketentuan
pokok, yaitu bahwa perbuatan tersebut tidak dikenakan hukuman.
38
c. Pelakunya Orang gila
Keadaan gila adalah hilangnya akal untuk mempertimbangkan suatu tindakan secara logis. Gila menghalangi seseorang untuk berbicara
dan bertindak secara wajar. Keadaan gila pada diri seseorang dapat dibedakan dari segi waktu, yaitu sebagai berikut:
1 Gila yang berlansung dalam waktu yang lama dan berkelanjutan al-
junûn al-muabbad. Keadaan gila ini membebaskan seseorang dari pertanggungjawaban hukum, baik dalam hal ibadah, muamalah
maupun jinâyah.
2
Gila yang berlangsung sementara dan tidak berkelanjutan al-junûn al- muaqqat. Keadaan gila ini tidak menghalangi beban taklîf padanya
.
39
d. Pelakunya adalah anak-anak
Anak-anak adalah golongan yang tidak dikenai pidana atas perbuatannya, karena bukan termasuk orang yang mampu untuk
38
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam Fikih Jinayah, Jakarta: Sinar Grafika, 2004, h.81
39
Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, Jakarta: Amzah, 2010, h. 102
58
bertanggung jawab. Jika anak-anak melakukan suatu perbuatan pidana, maka perbuatannya dimaafkan.
40
Pertanggungjawaban pidana dibebankan pada seseorang yang mukallaf, yaitu yang memiliki kemampuan berpikir dan pilihan dalam berbuat. Jika kedua
faktor tersebut tidak dimiliki oleh seorang maka tidak dapat dimintai pertanggungjawaban. Kemampuan berpikir seseorang itu bisa atau dapat hilang
karena suatu bawaan sejak lahir atau karena suatu sebab adanya gangguan dari luar. Manusia ketika mencapai kedewasaan sudah dapat dengan matang
menggunakan kekuatan berpikirnya, akan tetapi karena adanya suatu gangguan atau karena serangan penyakit baik itu sebagian atau seluruh alam berpikirnya
hilang bisa kapan dan di mana saja tanpa ada waktu tertentu. Hilangnya kemampuan berpikir akal sehat dalam kehidupan sehari-hari dapat dinamakan
dengan gila. Hilangnya kekuatan berpikir secara sempurna terkadang terus menerus maka itu dinamakan dengan gila terus menerus, artinya hilangnya
kekuatan berpikir hanya beberapa saat gila kambuhanberselang.
41
40
A. Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, cet. II Jakarta: Bulan Bintang, 1976, h. 397
41
Abdul Qadir ‘Audah, Al-Tasyri’ al jian’iy al- islamy, muqaranan bil-Qammil Wadhi’iy, Juz Awal ,Beirut : Muasasah Riasalah , 1996, h.127
59