Shavreni Oktadi Putri : Kesiapan Menikah Pada Wanita Dewasa Madya Yang Bekerja, 2010.
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Masa dewasa merupakan waktu yang paling lama dialami setiap manusia dalam rentang kehidupan Hurlock, 1999. Menurut Erikson dalam Hoyer
Roudin, 2003 masa dewasa ini terbagi menjadi tiga tahapan, yaitu masa dewasa dini yang dimulai dari usia 20 sampai 35 tahun, masa dewasa madya dari usia 35
sampai 60 tahun dan dewasa lanjut dimulai dari usia 60 tahun ke atas. Setiap tahapan pada masa dewasa tersebut memiliki tugas perkembangannya masing-
masing. Menurut Havighurst dalam Hurlock, 1999 tugas perkembangan merupakan
tugas yang muncul pada suatu periode tertentu dalam kehidupan setiap individu. Bila individu berhasil dalam tugas tersebut maka akan membawa keberhasilan
untuk menyelesaikan tugas berikutnya, tetapi apabila gagal akan menimbulkan kesulitan dalam menghadapi tugas berikutnya. Salah satu tugas perkembangan
yang harus diselesaikan pada masa dewasa dimulai dari dewasa dini, yaitu menikah dan membina kehidupan berumah tangga.
Pengertian menikah sendiri menurut Undang-Undang Perkawinan No.1 tahun 1974, yaitu :
”Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga rumah
tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Shavreni Oktadi Putri : Kesiapan Menikah Pada Wanita Dewasa Madya Yang Bekerja, 2010.
Hal ini sejalan dengan pendapat Hogg 2002 yang mengatakan menikah adalah menemukan pasangan yang cocok untuk diajak berkomitmen dalam
menjalani kehidupan bersama di masa-masa selanjutnya dan untuk memiliki keturunan. Dengan kata lain dapat dikatakan pernikahan adalah suatu hubungan
jangka panjang dengan orang lain yang dianggap sesuai dengan diri individu itu sendiri untuk mencapai keluarga yang bahagia dan kekal.
Membentuk suatu hubungan dan memilih pasangan dengan bijak merupakan langkah pertama yang dilakukan untuk menuju suatu pernikahan yang bahagia.
Tetapi kadang-kadang pasangan yang terlihat serasi dan saling mencintai belum tentu merasa siap untuk menikah. Hal ini dikarenakan suatu pernikahan meliputi
banyak aspek kehidupan dan memerlukan tanggung jawab lebih dari individu yang akan menikah. Untuk mencapai keluarga yang bahagia dan kekal dibutuhkan
sumber dan keterampilan khusus dari masing-masing pasangan, seperti apakah pasangan tersebut sudah cukup matang secara personal untuk menerima tanggung
jawab dalam pernikahan Blood, 1978. Oleh karena itu, sebelum memasuki dunia pernikahan diperlukanlah suatu
kesiapan Blood, 1978. Kesiapan menikah merupakan keadaan siap atau bersedia dalam berhubungan dengan seorang pria atau seorang wanita, siap menerima
tanggung jawab sebagai seorang suami atau seorang istri, siap terlibat dalam hubungan seksual, siap mengatur keluarga, dan siap untuk mengasuh anak Duvall
Miller, 1985. Jika seseorang telah memiliki kesiapan maka pernikahan yang bahagia dan kekal akan dapat dicapai oleh pasangan suami-istri.
Shavreni Oktadi Putri : Kesiapan Menikah Pada Wanita Dewasa Madya Yang Bekerja, 2010.
Setelah menikah, maka tugas perkembangan selanjutnya yang berada pada masa dewasa madya adalah membantu anak remajanya menjadi orang dewasa
yang bertanggung jawab dan bahagia. Tetapi fenomena yang muncul di masyarakat saat ini adalah adanya dewasa madya yang belum juga menikah atau
melajang, sedangkan menikah merupakan tugas perkembangan yang berada pada masa dewasa dini. Hal ini dapat menghambat individu tersebut untuk menjalankan
tugas perkembangannya di masa dewasa madya yang seharusnya telah memiliki tugas untuk mendidik anak.
Fenomena malajang ini dapat terlihat dalam Waspada online 2008 yang mengangkat fenomena dewasa madya melajang, berikut ini adalah satu contoh
surat yang dilayangkan seorang wanita lajang kepada Waspada: ”...Saya gadis 46 tahun, tetapi masih sendiri... belum punya pasangan
hidup. Dulu saya pernah tunangan, tetapi gagal ke pelaminan. Tentu saja saya sedih, Bu. Saya ingin seperti yang lain, sukses dalam karir dan
rumah tangga. Saya PNS di kota kecil, saya hanya punya beberapa teman, ke mana-mana ketemunya itu lagi, itu lagi.... Jadi mungkin agak sulit
mendapat pendamping. Apa yang harus saya lakukan, apakah masih ada jodoh untuk saya? Saya tidak mau sendiri terus. Saya ingin berbagi rasa,
saling sayang dengan pendamping saya. Saya tidak berharap muluk- muluk, tetapi juga jangan asal mendapat pendamping... Yang penting
seiman.”
Pernikahan merupakan pola normal dalam kehidupan orang dewasa. Sebagian besar orang dewasa ingin menikah dan mengalami tekanan dari orang tua dan
teman-teman untuk menikah Hurlock, 1999. Hal ini menunjukkan bahwa pernikahan mendapat perhatian yang besar dari masyarakat dan diharapkan setiap
individu dewasa mengalaminya. Pernikahan memang hal yang sangat dinantikan bagi setiap orang, baik pria
maupun wanita. Selain sebagai pemenuhan kebutuhan seksual, pernikahan juga
Shavreni Oktadi Putri : Kesiapan Menikah Pada Wanita Dewasa Madya Yang Bekerja, 2010.
dapat memenuhi kebutuhan psikologis seseorang, seperti rasa kasih sayang, rasa aman, dan rasa ingin dihargai. Jadi, dengan menikah seorang individu akan
merasa tenang dapat melindungi dan dilindungi serta dapat mencurahkan segala isi hati kepada pasangannya. Pernikahan juga dapat memenuhi kebutuhan sosial,
seperti yang telah disampaikan bahwa norma-norma masyarakat yang memandang lain seorang individu yang terlambat atau tidak menikah, membuat individu ingin
menikah agar tidak mendapat sorotan dari masyarakat. Manfaat terakhir dari menikah adalah untuk memenuhi kebutuhan religi
seseorang, dengan melakukan pernikahan maka salah satu aspek dalam agama telah dapat dipenuhi sesuai dengan kepercayaan yang dianut oleh individu yang
bersangkutan Walgito, 2002. Kebutuhan-kebutuhan inilah yang melatarbelakangi seseorang untuk menikah.
Menurut Jacoby dan Bernard dalam Setyowati Riyono, 2003 wanita mendapat tekanan yang lebih besar untuk menikah dibandingkan dengan pria
setelah usia tertentu, umumnya sekitar usia 30 tahun. Hurlock 1999 mengatakan pria yang melajang tidak mengalami masalah seperti yang dialami wanita yang
belum menikah karena pria dapat menikah kapan saja. Pria juga lebih mudah melakukan adaptasi dengan kehidupan melajang dibandingkan dengan wanita.
Cockrum dan White dalam Suryani, 2007 juga mencatat terdapat standar yang berbeda yang digunakan masyarakat dalam memandang pria yang hidup
melajang dengan wanita yang hidup melajang. Pria yang hidup melajang cenderung lebih dapat diterima dibandingkan dengan wanita melajang. Wanita
melajang yang sering disebut ”perawan tua”, selalu disodorkan pertanyaan
Shavreni Oktadi Putri : Kesiapan Menikah Pada Wanita Dewasa Madya Yang Bekerja, 2010.
”Kapan kamu menikah?” dari orang sekitar. Apalagi Jones dalam Suryani, 2007 mengatakan bahwa sikap masyarakat Indonesia yang menempatkan menikah dan
memiliki anak sebagai prioritas hidup wanita semakin membuat pernikahan menjadi hal yang lebih penting bagi wanita daripada pria sehingga status melajang
yang dimiliki wanita lebih mendapat sorotan. Hasil penelitian Blakemore, Lawton, dan Vartanian dalam Suryani, 2005
pun menunjukkan bahwa wanita memiliki keinginan yang lebih tinggi untuk menikah dibandingkan dengan pria. Dorongan ini muncul karena hingga saat ini
wanita masih ingin memenuhi tuntutan tradisional mereka, yaitu menjadi seorang istri dan seorang ibu.
Umumnya status melajang yang dimiliki wanita dewasa madya lebih banyak dialami oleh wanita yang bekerja. Hal ini sesuai dengan pendapat Hurlock 1999
yang mengatakan bahwa saat berusia dua puluhan wanita yang belum menikah tujuan hidupnya adalah perkawinan, tetapi pada saat ia belum juga menikah pada
waktu usianya mencapai tiga puluh, maka ia cenderung untuk menukar tujuan hidupnya ke arah nilai, tujuan, dan hidup baru yang berorientasi pada pekerjaan.
Status melajang lebih sering dimiliki oleh wanita yang bekerja semakin jelas terlihat dari banyaknya media massa yang mengangkat artikel mengenai
fenomena melajang pada wanita yang bekerja. Salah satu media massa yang mengangkat fenomena melajang pada wanita
bekerja adalah surat kabar Surabaya Post 2004 yang memberitakan banyaknya wartawan wanita yang belum menikah melajang di masa dewasa. Dari hasil
wawancara kepada sebelas wartawan ditemukan berbagai alasan mengapa mereka
Shavreni Oktadi Putri : Kesiapan Menikah Pada Wanita Dewasa Madya Yang Bekerja, 2010.
menunda pernikahan, salah satunya adalah karena ingin konsentrasi pada pekerjaan apalagi saat karir sedang beranjak naik, tetapi keinginan untuk memiliki
suami dan berkeluarga tetap menjadi cita-cita ideal. Bahkan sebagian besar wartawan akan meninggalkan pekerjaannya jika sudah menikah, tetapi ada juga
yang ingin tetap bekerja sebagai penulis. Pembahasan mengenai wanita yang masih melajang juga terdapat dalam
berbagai surat kabar lainnya, diantaranya yaitu Pernik PUBLIK 2003 yang menuliskan bahwa sosok wanita karir yang sukses merupakan fenomena umum di
kota-kota besar, sekalipun ia seorang ibu rumah tangga. Bagi seorang wanita karir yang belum berumah tangga, kesuksesan dan kemajuan karir sering dituding
sebagai penyebab penghambat jodoh wanita. Pikiran Rakyat Online 2007 dalam wacana ”Mengapa Wanita Melajang?”
juga menuliskan fenomena melajang mengenai alasan mengapa seorang wanita memutuskan melajang di atas usia 30 tahunan, salah satu di antaranya karena
menentukan kriteria yang terlalu tinggi untuk calon pasangannya. Banyak wanita semakin tinggi tingkat pendidikan atau jabatan, semakin kurang berminat
menjalin hubungan dengan pria yang tidak setara. Hasil dari penelitian yang dilakukan Wong 2005 mengatakan bahwa
penundaan pernikahan bisa terjadi karena wanita dewasa tersebut mempertimbangkan karir, pendidikan, dan finansial sebagai prasyarat dalam
melakukan pernikahan. Wanita yang berpendidikan lebih tinggi memilih untuk menata karir dan pendidikan mereka lebih dahulu, tetapi bukan berarti mereka
tidak mempunyai hasrat untuk menikah. Hanya saja mereka memandang kedua
Shavreni Oktadi Putri : Kesiapan Menikah Pada Wanita Dewasa Madya Yang Bekerja, 2010.
hal tersebut sebagai prasyarat untuk menikah. Secara umum wanita yang belum menikah memiliki posisi pekerjaan yang lebih tinggi dibandingkan mereka yang
telah menikah. Wirawan dalam Femina, 2002 juga melakukan wawancara terhadap wanita
karir yang masih lajang. Dari hasil wawancara itu didapatkan hasil bahwa wanita yang sebenarnya sudah sampai pada usia nikah, tapi sampai saat ini belum juga
menikah menyatakan alasannya untuk tetap melajang adalah karena keinginan untuk berkonsentrasi pada karir, kesibukan dalam pekerjaan yang membuat
mereka sulit untuk membagi waktu, keinginan untuk bersenang–senang menikmati hasil jerih payahnya sendiri, serta belum siap secara finansial dan
mental. Memang selain pendidikan dan karir, faktor kesiapan diri juga menjadi faktor
utama yang menjadi penyebab adanya penundaan untuk menikah. Dalam mencari pasangan hidup dan berkeluarga, individu harus siap secara finansial dan mental.
Individu yang hendak menikah harus memikirkan tempat tinggal maupun biaya sekolah anak. Dalam hal kesiapan mental, individu harus mampu mempersiapkan
dirinya secara matang sehingga mampu untuk menyelesaikan masalah rumah tangga, menyesuaikan diri dan hidup bersama dengan orang lain seumur hidup
Suryani, 2007. Berdasarkan artikel-artikel dari berbagai media massa di atas, dapat kita
temukan bahwa wanita yang bekerja dan masih melajang di masa dewasa madya sebenarnya masih menginginkan suatu pernikahan, hanya saja mereka memiliki
banyak pertimbangan-pertimbangan yang harus dipikirkan sebelum memutuskan
Shavreni Oktadi Putri : Kesiapan Menikah Pada Wanita Dewasa Madya Yang Bekerja, 2010.
untuk menikah, seperti kesiapan mental dan finansial. Kesiapan mental dan kesiapan finansial ini termasuk ke dalam aspek kesiapan menikah yang telah
disebutkan sebelumnya. Kesiapan menikah merupakan hal yang penting untuk membentuk keluarga
yang bahagia dan kekal. Kesiapan ini meliputi dua aspek, yaitu kesiapan menikah pribadi dan kesiapan menikah situasi. Kesiapan menikah pribadi meliputi
kematangan emosi, kesiapan usia, kematangan sosial, kesehatan emosional, dan kesiapan model peran. Sementara yang termasuk dalam kesiapan situasi adalah
kesiapan finansial dan kesiapan waktu Blood, 1978. Bila individu dewasa telah dapat memenuhi kedua aspek tersebut maka dapat dikatakan bahwa individu
tersebut telah siap untuk menikah. Jika kita lihat dari aspek kesiapan menikah pribadi, yaitu kematangan emosi.
Wanita dewasa yang berusia di atas 35 tahun dapat dikatakan telah memiliki kematangan emosi tersebut. Menurut Blood 1978 kematangan emosi berasal dari
pengalaman yang cukup terhadap suatu perubahan dan suatu permasalahan. Pengalaman tersebut akan membuat seseorang menjadi sadar terhadap
perasaannya sendiri dan ia akan belajar untuk dapat merespon suatu peristiwa dalam kehidupannya. Dengan kata lain, dapat dikatakan semakin bertambah usia
seseorang, maka bertambah jugalah kematangan seseorang karena semakin banyak pengalaman dan perubahan terhadap suatu masalah yang didapat oleh
indvidu dewasa selama rentang hidup yang telah dijalani.
Shavreni Oktadi Putri : Kesiapan Menikah Pada Wanita Dewasa Madya Yang Bekerja, 2010.
Hal ini terlihat dari hasil wawancara peneliti dengan AI 53 tahun yang memiliki pekerjaan pegawai negeri, ketika ditanya bagaimana sikap responden
dalam menghadapi suatu masalah yang membuat responden marah: “Namanya kia manusia emosi tetap ada dalam hal apapun itu. Ginilah
jadinya kalau kesalahan itu bukan dari kita, dari kawan tapi melibatkan kita, kita tanyakan sama dia kita bicarakan kenapa bisa begini.”
“Kalau marah saya diam, daripada kita maki-maki ngapain orang, bagus kita diam. Diakan nanti tahu sendiri. Saya gak mau saya ngotot kali,
introspeksi aja harus hati-hati berarti lain kali saya jangan begitu lagi saya kerjakan.”
komunikasi interpersonal, Mei 2009
“Kan ada itu cuek, ya udah kapok situ, kena kenalah. Kalau saya enggak, bagaimana masalahnya saya kerjakan dulu, apapun masalahnya gak
pernah saya meninggalkan masalah gitu aja, gak pernah saya.”
komunikasi interpersonal, Mei 2009
Dalam hal menyikapi suatu permasalahan, responden dapat menghadapinya dengan tenang dan tidak penuh emosi, berusaha mencari solusi terhadap
permasalahan tanpa menyalahkan dan menyerang orang lain. Reponden pun dapat memandang suatu permasalahan secara positif serta dapat mengambil pelajaran
dari permasalahan itu. Dilihat dari segi kesiapan usia sudah tampak jelas bahwa wanita dewasa
madya sudah cukup siap untuk menikah, mengingat teori perkembangan Havinghusrt dalam Hurlock, 1999 yang mengatakan bahwa menikah merupakan
tugas perkembangan pada masa dewasa dini. Apalagi usia seseorang berkaitan dengan kematangan psikologis seseorang. Pernikahan pada usia yang masih muda
akan banyak mengundang masalah yang tidak diinginkan, karena psikologisnya
Shavreni Oktadi Putri : Kesiapan Menikah Pada Wanita Dewasa Madya Yang Bekerja, 2010.
belum matang. Oleh karena itu, dengan usia yang telah dewasa maka diharapkan lebih dapat menghadapi permasalahan yang ada Walgito, 2002.
Kematangan sosial juga hal yang telah dimiliki oleh wanita dewasa madya. Menurut Blood 1978 kematangan sosial dapat dilihat dari pengalaman
berkencan dan pengalaman hidup sendiri. Seiring dengan berjalannya usia, membuat individu dewasa yang telah berumur 40 sampai 60 tahun dapat
dikatakan telah memiliki pengalaman-pengalaman dan dapat membuktikan kepada keluarga dan teman-teman bahwa mereka bisa mandiri dalam menjalani
hidup. Hal ini terlihat dari hasil wawancara peneliti dengan AI 53 tahun dan TK 40
tahun yang memiliki pekerjaan wiraswasta : “Kalau yang serius ada 2 kali…”
“Ya kalau pas kali belumlah, tapi udah adalah orang yang mau serius, tapi beda iman mau apa kita bilang.”
komunikasi interpersonal, Mei 2009 “Pernah, waktu di Batam, ibu banyak juga. Satu kita beda agama kadang
ketemunya ya kan, ada juga yang beda agama dia bisa pindah tapi mau dibawanya kita jauh-jauh. Ke Korea..... Kita udah nyaman, nyambung lah
istilahnya. Tapi kan pikiran ibu masih kekeluargaan, saudaraku semua di sini.”
“Ada, kemarin orang Medan, orang Batak tapi beda agama gak maulah ibu. Dia anak satu-satunya laki-laki jadi mana mungkin dia mau pindah.”
komunikasi interpersonal, Mei 2009
Dari pengalaman berkencan, responden telah beberapa kali membangun hubungan dengan lawan jenis dan menjalaninya dengan serius serta membuat komitmen
hanya dengan seseorang yang khusus walaupun tidak berlanjut ke jenjang pernikahan dikarenakan perbedaan budaya dan agama.
Shavreni Oktadi Putri : Kesiapan Menikah Pada Wanita Dewasa Madya Yang Bekerja, 2010.
“Iya kerja PJTKI, yang punya perusahaan abang. Wiraswasta lah ya bisa dibilang. Pertamanya saya bantu-bantu abang, sekarang karena saya
merasa sudah bisa, jadi saya ngurus sendiri.”
komunikasi interpersonal, Mei 2009 “Hikmah sendiri ini ya ada juga, kita merasa lebih tegar, tapi kalau lebih
daripada orang ya enggak, rasanya kita lebih tegar kalau ada masalah. ... rasa-rasa ibu kalau sendiri ini, kita kalau kemana-mana gak ada yang
melarang, keputusan semua kita ambil sendiri. Aku masih bisa ini...aku bisa itu.....”
komunikasi interpersonal, Mei 2009 “....Ibu kalau punya masalah selama ini bisa diselesaikan sendiri.”
komunikasi interpersonal, Mei 2009
Pengalaman hidup sendiri juga dapat kita lihat dari hasil wawancara peneliti dengan MI 44 tahun seorang pegawai swasta:
“Ya udah bina aja keluarga yang ada, keluarga aja banyak, banyak keponakan-keponakan yang bisa dibantu. Kasih aja uang sama keponakan-
keponakan.”
komunikasi interpersonal, Mei 2009 “Jadi... banyak kawan-kawan ibu dari kuliah dulu yang ngedeketi ya gitu
aja. Tapi gimana ya kawan-kawan ibu cowok semua, rasa-rasanya kayaknya biasa aja lagi, tapi gombal-gombalin orang ibu suka, giliran
diapain. Kadang gini juga begini pula yang jadi pasangan aku nanti, bisa gak dia ngapain aku. Nah, pikiran ke depannya itu terlalu banyak.
Terakhir...paling ah cuma begini ajanya dia, gak bisa melindungi. Jangan- jangan aku pula nanti yang ngelindungi dia, ah bagus tak usah, aku juga
bisa melindungi diriku sendiri.”
komunikasi interpersonal, Mei 2009
Dilihat dari pengalaman hidup sendiri, responden dapat melakukan sesuatu dengan mandiri baik dalam segi finansial maupun dalam mengambil keputusan
untuk hidupnya. Responden merasa dapat menyelesaikan masalah yang muncul tanpa menyusahkan orang lain baik dari segi pekerjaan atau kehidupan pribadi
bahkan membantu keuangan anggota keluarganya yang lain. Responden juga telah
Shavreni Oktadi Putri : Kesiapan Menikah Pada Wanita Dewasa Madya Yang Bekerja, 2010.
mengetahui hal apa yang sesuai dengan dirinya, seperti kriteria pasangan yang sesuai dengan diri responden untuk dijadikan calon suami.
Apabila kita meninjau dari aspek kesiapan menikah situasi, maka wanita dewasa madya yang bekerja dapat dikatakan telah memenuhi kesiapan finansial.
Hal ini terlihat dari hasil wawancara peneliti dengan AI dan MI : “Kalau ekonomi cukuplah sendirian ini. Tapi yang lain gak cukup karna
gak ada pasangan aja. Tinggal itu ajalah”. komunikasi interpersonal, Mei 2009
“Kalau dari penghasilan Alhamdullilah cukup, sedikit pun cukup, banyak pun cukup, jadi gak ada lebihnya. Kalau bisa lebih banyak lagi.”
komunikasi interpersonal, April 2009 Wawancara di atas memperlihatkan bahwa para responden telah merasa cukup
secara ekonomi dalam memenuhi kebutuhan hidupnya walaupun masih ada harapan adanya peningkatan dalam hal penghasilan.
Berdasarkan penjelasan-penjelasan sebelumnya yang ditinjau dari aspek kesiapan menikah maka wanita dewasa madya yang bekerja dapat dikatakan telah
siap dalam hal usia, kematangan emosi, kematangan sosial, dan finansial untuk menjalani suatu pernikahan, tetapi mengapa di usianya yang telah cukup matang
ini wanita dewasa madya yang bekerja belum juga melakukan pernikahan. Banyaknya media massa yang menyorot fenomena wanita dewasa yang masih
melajang dapat diartikan bahwa masalah penundaan pernikahan merupakan hal yang penting untuk diteliti, apalagi yang dilakukan oleh wanita yang memang
lebih mendapat tekanan dari lingkungan sekitar. Melihat fenomena seperti yang dipaparkan di atas, dengan adanya
keterlambatan dalam pemenuhan tugas perkembangan pada masa dewasa dini di
Shavreni Oktadi Putri : Kesiapan Menikah Pada Wanita Dewasa Madya Yang Bekerja, 2010.
usia yang telah memasuki masa dewasa madya yang dialami wanita bekerja, membuat peneliti tertarik untuk mengetahui alasan apa yang membuat wanita
dewasa madya yang bekerja belum juga menikah dan apakah wanita bekerja dewasa madya telah siap untuk menikah.
B. PERUMUSAN MASALAH