Gain ternormalisasi Teknik Analisis Data

Gambar 1. Prosedur pelaksanaan penelitian

G. Teknik Analisis Data

1. Nilai akhir Nilai akhir pretest atau posttest dirumuskan sebagai berikut: Nilai akhir = ∑ skor yang diperoleh siswa skor maksimum × Data yang diperoleh kemudian dianalisis dengan menghitung gain ternormalisasinya kemudian digunakan untuk mencari nilai rata-rata gain ternormalisasinya.

2. Gain ternormalisasi

Untuk mengetahui efektivitas pembelajaran problem solving dalam meningkatkan keterampilan menayatakan hubungan sebab akibat dan negasi siswa, maka dilakukan analisis skor gain ternormalisasi. Perhitungan ini bertujuan untuk menentukan peningkatan keterampilan menyatakan hubungan sebab akibatdan negasi siswa berdasarkan hasil pretes dan postes pada subyek. Menurut Hake dalam Meltzer, 2002 rumus n-gain yang digunakan adalah sebagai berikut: n − gain = Skor �� � − Skor � � � Skor Maksimum Ideal − Skor � � � Hasil perhitungan gain kemudian diinterpretasikan dengan menggunakan klasifikasi dari Hake seperti terdapat pada tabel berikut: Tabel 4 Klasifikasi gain g Berdasarkan klasifikasi dari Hake di atas, jika nilai n-gain 0,7 maka dikatakan model pembelajaran problem solving efektif dalam meningkatkan keterampilan menyatakan hubungan sebab akibat dan negasi dengan kriteria tinggi; 0,3n-gain 0,7 maka dikatakan model pembelajaran probem solving efektif dalam meningkatkan keterampilan menyatakan hubungan sebab akibat dan negasi dengan kriteria sedang; n-gain 0,3 maka dikatakan model pembelajaran problem solving efektif dalam meningkatkan keterampilan menyatakan hubungan sebab akibat dan negasi dengan kriteria rendah. Besarnya g Interpretasi g 0.7 Tinggi 0,3 g ≤ 0,7 Sedang g ≤ 0,3 Rendah

II. TINJAUAN PUSTAKA A.

Pembelajaran Konstruktivisme Teori-teori baru dalam psikologi pendidikan dikelompokkan dalam teori pem-belajaran konstruktivis constructivist theories of learning. Teori konstruktivis ini menyatakan bahwa siswa harus menemukan sendiri dan mentransformasikan informasi kompleks, mengecek informasi baru dengan aturan-aturan lama dan merevisinya, apabila aturan-aturan itu tidak lagi sesuai. Sedangkan bagi siswa, agar benar-benar memahami dan dapat menerapkan pengetahuan, mereka harus bekerja memecahkan masalah, menemukan segala sesuatu untuk dirinya, berusaha lebih bekerja keras dengan ide-ide. Teori ini berkembang dari kerja Piaget, Vygotsky, teori-teori pemrosesan informasi, dan teori psikologi kognitif yang lain, seperti teori Bruner Slavin dalam Atika, 2002. Konstruktivisme merupakan landasan berpikir pendekatan kontekstual, yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas dan tidak sekonyong-konyong. Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep, atau kaidah yang siap untuk diingat. Manusia harus mengkonstruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata . Siswa perlu dibiasakan untuk memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya, dan bergelut dengan ide-ide. Guru tidak akan mampu memberikan semua pengetahuan kepada siswa. Siswa harus mengkonstruksikan pengetahuan dibenak mereka sendiri. Esensi dari teori konstruktivis adalah ide bahwa siswa harus menemukan dan mentrans-formasikan suatu informasi kompleks ke situasi lain, dan apabila dikehendaki, informasi itu menjadi milik sendiri Trianto dalam Atika, 2011. Piaget menyatakan bahwa ilmu pengetahuan dibangun dalam pikiran seorang anak dengan kegiatan asimilasi, akomodasi dan ekuilibrasi. Asimilasi ialah pe-maduan data baru dengan struktur kognitif yang ada. Akomodasi ialah penye-suaian struktur terhadap situasi baru, dan equilibrasi ialah penyesuaian kembali yang telah dilakukan antara asimilasi dan akomodasi Bell, 1994. Prespektif kognitif-konstruktivis, yang menjadi landasan Pembelajaran Problem Solving, banyak meminjam pendapat Piaget 1954,1963. Prespektif ini mengatakan bahwa pelajar dengan umur berapapun terlibat secara aktif dalam proses men-dapatkan informasi dan mengonstruksikan pengetahuannya sendiri. Pengetahuan tidak statis, tetapi berevolusi dan berubah secara konstan selama pelajar mengon-struksikan pengalaman-pengalaman baru yang memaksa mereka untuk mendasar-kan diri pada dan memodifikasi pengetahuan sebelumnya. Keyakinan Piaget ini berbeda dengan keyakinan Vygotsky dalam beberapa hal penting. Bila Piaget memfokuskan pada tahap-tahap perkembangan intelektual yang dilalui anak terlepas dari konteks sosial atau kulturalnya, Vygotsky menekankan pentingnya aspek sosial belajar. Vygotsky percaya bahwa interaksi sosial dengan orang lain memacu pengonstruksian ide-ide baru dan meningkatkan perkembangan intelektual pelajar. Salah satu ide kunci yang berasal dari minat Vygotsky pada aspek sosial pembelajaran adalah konsepnya tentang zone of proximal development. Menurut Vygotsky, pelajar memiliki dua tingkat perkembangan yang berbeda yakni tingkat perkembangan aktual dan tingkat perkembangan potensial. Tingkat perkembangan aktual, menentukan fungsi intelektual individu saat ini dan ke-mampuannya untuk mempelajari sendiri hal-hal tertentu. Individu juga memiliki tingkat perkembangan potensial, yang oleh Vygotsky didefinisikan sebagai tingkat yang dapat difungsikan atau dicapai oleh individu dengan bantuan orang lain, misalnya guru, orang tua, atau teman sebayanya yang lebih maju. Zona yang terletak

Dokumen yang terkait

EFEKTIVITAS METODE PEMBELAJARAN HYPNOTEACHING DALAM MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERPIKIR KREATIF DAN BERPENDAPAT PADA MATERI KELARUTAN DAN HASIL KALI KELARUTAN

1 26 50

EFEKTIVITAS MODEL PEMBELAJARAN ADVANCE ORGANIZER DALAM MENINGKATKAN KETERAMPILAN MENGEMUKAKAN HIPOTESIS DAN MENARIK KESIMPULAN PADA MATERI KELARUTAN DAN HASIL KALI KELARUTAN

0 12 51

EFEKTIVTAS MODEL PEMBELAJARAN ADVANCE ORGANIZER DALAM MENINGKATKAN KETERAMPILAN MENDEFINISIKAN DAN MENARIK KESIMPULAN PADA MATERI KELARUTAN DAN HASIL KALI KELARUTAN

2 9 50

EFEKTIVITAS MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM SOLVING PADA MATERI KELARUTAN DAN HASIL KALI KELARUTAN DALAM MENINGKATKAN KETERAMPILAN MEMBERIKAN ALASAN DAN MENGIDENTIFIKASI KESIMPULAN

0 12 45

Analisis Keterampilan Memprediksi dan Mengkomunikasikan Pada Materi Kelarutan dan Hasil Kali Kelarutan Menggunakan Model Pembelajaran Inkuiri Terbimbing

0 7 52

EFEKTIVITAS MODEL PEMBELAJARAN CORE DALAM MENINGKATKAN KETERAMPILAN MENGKOMUNIKASIKAN DAN PENGUASAAN KONSEP KELARUTAN DAN HASIL KALI KELARUTAN

11 101 131

EFEKTIVITAS MODEL PEMBELAJARAN INKUIRI TERBIMBING PADA MATERI KELARUTAN DAN HASIL KALI KELARUTAN DALAM MENINGKATKAN PENGUASAAN KONSEP

0 5 45

EFEKTIVITAS MODEL PEMBELAJARAN CREATIVE PROBLEM SOLVING BERBANTUAN BUKU SAKU PADA HASIL BELAJAR KIMIA MATERI KELARUTAN DAN HASIL KALI KELARUTAN SISWA SMAN 1 AMBARAWA

0 38 237

PERBEDAAN MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM SOLVING DENGAN PEMBELAJARAN KONVENSIONAL TERHADAP HASIL BELAJAR SISWA PADA MATERI POKOK KELARUTAN DAN HASIL KALI KELARUTAN.

1 2 28

PENGARUH MODEL COOPERATIVE PROBLEM SOLVING TERHADAP HASIL BELAJAR PADA MATERI KELARUTAN DAN HASILKALI KELARUTAN

0 0 13