THE GROWTH OF OIL PALM SEEDLINGS (Elaeis guineensis Jacq.) WITH THE APPLICATION OF DIFFERENT ARBUSCULAR MYCORRYZA FUNGI AND VARIOUS PHOSPHATE AND ORGANIC MATTER DOSAGES PERTUMBUHAN BIBIT KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq.) DENGAN APLIKASI JENIS FUNGI M

(1)

ABSTRACT

THE GROWTH OF OIL PALM SEEDLINGS (Elaeis guineensis Jacq.) WITH THE APPLICATION OF DIFFERENT ARBUSCULAR

MYCORRYZA FUNGI AND VARIOUS PHOSPHATE AND ORGANIC MATTER DOSAGES

By KRISNARINI

The effectiveness of Arbuscular Mycorryza Fungi (AMF) depend on the type of AMF, plant and application of phosphate and organic matter. The aim of this research are suitable to determine (1) the best type of AMF in enhancing growth of oil palm seedling, (2) the suitable dosage of phosphate and organic matter for the growth of oil palm seedling, (3) whether the oil palm seedling responses to the application of AMF type is determined by dosage of phosphate and organic

material used, (4) the best dosage of phosphate and organic matter for each type of AMF to produce the best oil palm seedling growth.

The experiment 1 was factorial experiment (4x3) with five replications. The first factor was types of AMF (M), consisted of 4 levels: without mychorrizal

inoculation (m0), Gigaspora sp. Isolate MV16 (m1), Glomus sp. Isolate MV7 (m2), Gigaspora sp. Isolate MV16 + Glomus sp. Isolate MV7 (m3). The second factor was application of phosphate fertilizer, consisted of 3 levels: 1/3 recommended dosage SP36/polibag (p1),2/3 recommended dosage SP36/polibag (p2), 3/3 recommended dosage SP36/polibag (p3).

The experiment 2 was factorial experiment (4x3) with five replications. The first factor was type of mychorrizal, consisted of 4 levels (same with the experiment 1). The second of factor was application organic matter based on volume in


(2)

media planting consisted of : 1 part organic matter : 3 part subsoil (b1),1 part organic matter : 2 part subsoil (b2), 1 part organic matter : 1 part subsoil (b3). Treatments were arranged in a Completely Randomized Block Design. Homogenity of variance was tested using Bartlet test and the additivity of data was tested using Tukey test. All data were subjected to analysis of variance, and further mean separation was done using Least Significant Difference (LSD) at 5% level.

Results of experiment showed that (1) application of all AMF type had the same growth of oil palm seedling, however the seedling growth are better than control, (2) phosphate 3/3 treatment produced the highest seedling growth, whereas organic matter treatment was not affected the seedling growth, (3) responses of seedling to the application of AMF type was not determined by dosage of phosphate used, however responses of seedling to the application of AMF was determined by dosage of organic matter. The growth of non mychorrizal seedling was influenced by dosage of organic matter, while the mychorrizal seedlings were not affected by dosage of organic matter, and (4) there was no the best treatment combination of AMF and the dosage of phosphate in enhancing growth of oil palm seedling; the best best organic matter for non mycorrhizal seedlings were 1:1 and 1:2 and for mycorrhizal seedling, dosage of organic matter didnot affected seedling growth.

Key words: Oil palm seedlings, mycorrhizal fungi arbuskular types, phosphate, organic matter.


(3)

ABSTRAK

PERTUMBUHAN BIBIT KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq.) DENGAN APLIKASI JENIS FUNGI MIKORIZA ARBUSKULAR

PADA BERBAGAI DOSIS FOSFAT DAN BAHAN ORGANIK Oleh

KRISNARINI

Efektivitas FMA (Fungi Mikoriza Arbuskular) selain tergantung dari jenis FMA juga sangat tergantung pada jenis tanaman, pemberian fosfat dan bahan organik. Tujuan penelitian adalah untuk menentukan (1) jenis FMA yang paling baik untuk pertumbuhan bibit kelapa sawit; (2) dosis fosfat dan bahan organik yang paling baik untuk pertumbuhan bibit kelapa sawit; (3) apakah respons bibit kelapa sawit terhadap pemberian jenis FMA ditentukan oleh dosis fosfat dan bahan organik yang digunakan ; (4) menentukan dosis fosfat dan bahan organik untuk masing-masing jenis FMA yang menghasilkan pertumbuhan bibit kelapa sawit terbaik.

Penelitian 1 disusun dalam rancangan faktorial (4x3) dengan 5 ulangan. Faktor pertama yaitu jenis mikoriza (M) yang terdiri dari 4 taraf yaitu Tanpa inokulasi mikoriza (m0), Gigaspora sp. Isolat MV16 (m1), Glomus sp. Isolat MV7 (m2), Gigaspora sp. Isolat MV16 + Glomus sp. Isolat MV7 (m3). Faktor kedua yaitu pemberian pupuk fosfat (P) yang terdiri dari 3 taraf yaitu 1/3 dosis anjuran SP36/polibag (p1),2/3 dosis anjuran SP36/polibag (p2), 3/3 dosis anjuran

SP36/polibag (p3). Penelitian 2 disusun dalam rancangan faktorial (4x3) dengan 5 ulangan. Faktor pertama yaitu jenis mikoriza (M) yang terdiri dari 4 taraf (sama dengan penelitian 1). Faktor kedua yaitu pemberian bahan organik


(4)

berdasarkan volume dalam media tanam (B) yang terdiri dari 3 taraf yaitu 1 bahan organik : 3 subsoil (b1),1 bahan organik : 2 subsoil (b2), 1 bahan organik : 1 subsoil (b3). Perlakuan di-terapkan ke dalam satuan percobaan menggunakan Rancangan Kelompok Teracak Sempurna (RKTS). Kehomogenan ragam diuji dengan uji Bartlet dan keaditifan data diuji dengan uji Tukey, selanjutnya data dianalisis ragam dengan mem-bandingkan F hitung dengan F tabel pada taraf 5% dan dilanjutkan dengan Uji Beda Nyata Terkecil (BNT) pada taraf 5%.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) semua jenis FMA yang diaplikasikan menghasilkan pertumbuhan bibit kelapa sawit yang sama, akan tetapi lebih baik dibandingkan dengan kontrol; (2) dosis fosfat 3/3 yang diaplikasikan menghasil-kan pertumbuhan bibit tertinggi; sedangmenghasil-kan setiap dosis bahan organik yang di-aplikasikan tidak mempengaruhi pertumbuhan bibit; (3) respons bibit terhadap pemberian jenis FMA tidak ditentukan oleh dosis fosfat yang digunakan; respons bibit terhadap pemberian jenis FMA ditentukan oleh dosis bahan organiknya. Pertumbuhan bibit yang tidak bermikoriza dipengaruhi oleh dosis bahan organik, sedangkan bibit yang bermikoriza tidak dipengaruhi oleh dosis bahan organik dan (4) tidak terdapat kombinasi perlakuan terbaik antara FMA dan dosis fosfat untuk pertumbuhan bibit; kombinasi perlakuan terbaik antara FMA dan dosis bahan organik untuk pertumbuhan bibit yaitu jika bibit tidak bermikoriza, maka dosis bahan organik yang terbaik adalah 1:1 dan 1:2. Jika bibit bermikoriza, maka dosis bahan organik tidak mempengaruhi pertumbuhan bibit.


(5)

PERTUMBUHAN BIBIT KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq.) DENGAN APLIKASI JENIS FUNGI MIKORIZA ARBUSKULAR

PADA BERBAGAI DOSIS FOSFAT DAN BAHAN ORGANIK

Oleh KRISNARINI

Tesis

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar MAGISTER SAINS

Pada

Program Pascasarjana Magister Agronomi Fakultas Pertanian Universitas Lampung

PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER AGRONOMI FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG


(6)

(7)

(8)

(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kota Metro Provinsi Lampung pada tanggal 7 Mei 1974. Penulis merupakan anak ke lima dari enam bersaudara dari pasangan Bapak S. Sargono dan Ibu Murniati.

Tahun 1986 penulis menyelesaikan pendidikan di Sekolah Dasar (SD) Negeri II Yosomulyo Kota Metro, Sekolah Menengah Tingkat Pertama (SMP) Kristen I Kota Metro pada tahun 1989, dan Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri I Kota Metro pada tahun 1992.

Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Budidaya Pertanian, Sekolah Tinggi Pertanian (STIPER) Dharma Wacana Metro, lulus pada tahun 1997. Selanjutnya pada tahun 2009 penulis mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan ke program S2 pada Program Studi Magister Agronomi Universitas Lampung. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari BPPS.

Penulis bekerja sebagai staf pengajar pada Program Studi Agronomi, Sekolah Tinggi Pertanian (STIPER) Dharma Wacana Metro sejak tahun 1999.


(10)

Semua manusia berada dalam keadaan merugi apabila dia tidak mengisi waktunya dengan perbuatan yang baik (Al-Quran inti Surat Al-Asr).

Mungkin kita tidak bisa lebih baik dari orang lain, tetapi jika kita masih mau untuk terus belajar, kita pasti lebih baik dari hari kemarin (Penulis)


(11)

PERSEMBAHAN

Puji syukur kepada Allah SWT, Tesis ini kupersembahkan kepada:

1. Ayahanda S. Sargono (Alm) dan Ibunda Murniati tercinta 2. Bapak/Ibu Saeri (Alm/Almh), mertua tercinta

3. Mas Teguh Budiono, suami tercinta

4. Ananda Farhan, Rizqi, Alfi, anak-anakku tersayang 5. Saudara-saudara dan sahabat-sahabatku tersayang


(12)

Krisnarini

SANWACANA

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian serta menyusun tesis ini.

Selama penelitian dan penyusunan tesis ini, penulis telah banyak mendapatkan bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada:

1. Ibu Dr. Ir. Maria Viva Rini, M.Sc., selaku Pembimbing Pertama, Ketua Tim Penguji atas kesabaran, bantuan, arahan dan bimbingan yang telah diberikan kepada penulis.

2. Bapak Dr. Ir. Paul B. Timotiwu, M.S., selaku Pembimbing Kedua, Sekretaris Tim Penguji atas kesabaran, bantuan, arahan, dan bimbingan yang telah diberikan kepada penulis

3. Ibu Prof. Dr. Ir. Sri Yusnaini, M.Si. selaku Penguji Bukan Pembimbing yang telah memberikan saran, kritik dan arahan kepada penulis.

4. Bapak Dr. Ir. Dwi Hapsoro, M.Sc., selaku Ketua Program Studi Magister Agronomi yang telah memberikan saran, bimbingan dan motivasi kepada penulis.

5. Bapak Prof. Dr.Ir. Wan Abbas Zakaria, M.S. selaku Dekan Fakultas Pertanian, dan Bapak Prof. Dr. Sudjarwo, M.S selaku Direktur Program Pascasarjana Universitas Lampung yang telah mengesahkan tesis ini


(13)

Krisnarini 6. Bapak Ibu Dosen dan staf di lingkungan Pascasarjana Program Studi

Magister Agronomi Universitas Lampung atas pendidikan, pelayanan administrasi, dan bantuan yang diberikan.

7. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi yang telah memberikan beasiswa BPPS.

8. Yayasan Pendidikan dan Kebudayaan Dharma Wacana Metro yang telah memberikan bantuan moril dan materil kepada penulis.

9. Bapak Ketua, Staf Pengajar, dan Pegawai STIPER Dharma Wacana Metro yang telah memberikan bantuan, motivasi, dan kebijaksanaan selama penulis menempuh studi.

10.Mbak Anggun, Mbak Vida, Mbak Tri, Mas Gery, Ibu Fatma, Ifah, Mbak Palupi, Mas Rio atas kebersamaan, bantuan, saran, dan motivasi selama penelitian di Laboratorium Mikoriza

11.Ibunda Murniati, Bapak Saeri (Alm), suami dan anak-anak tercinta, serta saudara-saudaraku, atas segala do’a, pengertian, motivasi, dan

pengorbanan selama penulis menempuh studi.

12.Semua pihak yang telah membantu baik secara langsung maupun tidak langsung dalam penulisan tesis ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Penulis sangat menyadari bahwa dalam penyusunan tesis ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis tetap terbuka terhadap saran, masukan maupun kritik yang sifatnya membangun.

Akhir kata, penulis berharap semoga tesis ini dapat berguna bagi pengembangan ilmu pengetahuan, dan semua pihak yang membutuhkan.

Bandar Lampung, Mei 2014 Penulis


(14)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR GAMBAR ... xii

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang dan Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah Penelitian ... 6

1.3 Tujuan Penelitian ... 7

1.4 Manfaat Penelitian ... 8

1.5 Kerangka Teoritis .. ... 8

1.5.1 Landasan Teori .. ... 8

1.5.2 Kerangka Pemikiran .. ... 14

1.5.3 Hipotesis ... 17

II TINJAUAN PUSTAKA ... 19

2.1 Botani dan Persyaratan Tumbuh Kelapa Sawit ... 19

2.2 Fungi Mikoriza Arbuskular (FMA) ... 21

2.2.1 Definisi FMA ... 21

2.2.2 Struktur FMA ... 23

2.2.3 Manfaat FMA ... 25

2.2.4 Jenis FMA ... 28

2.3 Pupuk Fosfat ... 30

2.4 Bahan Organik ... 32

III METODE PENELITIAN ... 35

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ... 35

3.2 Alat dan Bahan ... 35

3.3 Metode Penelitian 1 ... 37

3.4 Pelaksanaan Penelitian ... 39


(15)

3.6 Pelaksanaan Penelitian .. ... 47

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN... 50

4.1. Penelitian 1 ... 50

4.1.1 Hasil ... 50

4.1.1.1 Tinggi Tanaman ... 51

4.1.1.2 Jumlah Daun yang telah Membuka Sempurna .... 52

4.1.1.3 Bobot Segar Tajuk ... 53

4.1.1.4 Bobot Kering Tajuk ... 54

4.1.1.5 Jumlah Akar Primer ... 55

4.1.1.6 Bobot Basah Akar Primer ... 56

4.1.1.7 Bobot Kering Akar Primer ... 57

4.1.1.8 Bobot Basah Akar Sekunder ... 58

4.1.1.9 Bobot Kering Akar Sekunder ... 59

4.1.1.10 Total Bobot Kering Akar ... 60

4.1.1.11 Total Bobot Kering Tanaman ... 61

4.1.1.12 Rasio Tajuk/akar ... 62

4.1.1.13 Volume Akar ... 63

4.1.1.14 Infeksi Akar . ... 64

4.1.2 Pembahasan ... 65

4.2 Penelitian 2 ... 72

4.2.1 Hasil ... 72

4.2.1.1 Tinggi Tanaman ... 73

4.2.1.2 Jumlah Daun yang telah Membuka Sempurna .... 74

4.2.1.3 Bobot Segar Tajuk ... 75

4.2.1.4 Bobot Kering Tajuk ... 76

4.2.1.5 Jumlah Akar Primer ... 77

4.2.1.6 Bobot Basah Akar Primer ... 78

4.2.1.7 Bobot Kering Akar Primer ... 79

4.2.1.8 Bobot Basah Akar Sekunder ... 80

4.2.1.9 Bobot Kering Akar Sekunder ... 81

4.2.1.10 Total Bobot Kering Akar ... 82

4.2.1.11 Total Bobot Kering Tanaman ... 83

4.2.1.12 Rasio Tajuk/akar ... 84

4.2.1.13 Volume Akar ... 85

4.2.1.14 Infeksi Akar ... 86

4.2.2 Pembahasan ... 87

4.2.3 Pembahasan Umum ... 93

V KESIMPULAN DAN SARAN 98 5.1 Kesimpulan ... 98


(16)

5.2 Saran ... 100 DAFTAR PUSTAKA ... 101 LAMPIRAN ... 108


(17)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Deskripsi 2 jenis FMA yang diuji ... 36

2. Standar dosis pemupukan bibit kelapa sawit ... 40

3. Jadwal Pemupukan (Penelitian 1) ... 41

4. Jadwal Pemupukan (Penelitian 2) ... 48

5. Rekapitulasi analisis ragam data penelitian ... 51

6. Pengaruh jenis mikoriza dan dosis pupuk fosfat pada tinggi tanaman .... 52

7. Pengaruh jenis mikoriza dan dosis pupuk fosfat pada jumlah daun yang telah membuka sempurna ... 53 8. Pengaruh jenis mikoriza dan dosis pupuk fosfat pada berat basah tajuk 54 9. Pengaruh jenis mikoriza dan dosis pupuk fosfat pada bobot kering tajuk ... 55 10. Pengaruh jenis mikoriza dan dosis pupuk fosfat pada jumlah akar primer ... 56 11. Pengaruh jenis mikoriza dan dosis pupuk fosfat pada bobot basah akar primer ... 57 12. Pengaruh jenis mikoriza dan dosis pupuk fosfat pada bobot kering akar primer ... 58 13. Pengaruh jenis mikoriza dan dosis pupuk fosfat pada bobot basah akar sekunder ... 59 14. Pengaruh jenis mikoriza dan dosis pupuk fosfat pada bobot kering akar sekunder ... 60 15. Pengaruh jenis mikoriza dan dosis pupuk fosfat pada total bobot kering akar ... 61 16. Pengaruh jenis mikoriza dan dosis pupuk fosfat pada total bobot kering tanaman ... 62 17. Pengaruh jenis mikoriza dan dosis pupuk fosfat pada rasio tajuk/akar ... 63

18. Pengaruh jenis mikoriza dan dosis pupuk fosfat pada volume akar ... 64

19. Pengaruh jenis mikoriza dan dosis pupuk fosfat pada infeksi akar ... 65

20. Korelasi infeksi akar oleh FMA dengan beberapa variabel pengamatan ... 70 21. Rekapitulasi analisis ragam data penelitian ... 73

22. Pengaruh jenis mikoriza dan bahan organik pada tinggi tanaman ... 74

23. Pengaruh jenis mikoriza dan bahan organik pada jumlah daun yang telah membuka sempurna ... 75 24. Pengaruh jenis mikoriza dan bahan organik pada bobot basah tajuk ... 76


(18)

25. Pengaruh jenis mikoriza dan bahan organik pada bobot kering tajuk ... 77 26. Pengaruh jenis mikoriza dan bahan organik pada jumlah akar primer ... 78 27. Pengaruh jenis mikoriza dan bahan organik pada bobot basah akar

primer ... 79 28. Pengaruh jenis mikoriza dan bahan organik pada bobot kering akar

primer ... 80 29. Pengaruh jenis mikoriza dan bahan organik pada bobot basah akar

sekunder ... 81 30. Pengaruh jenis mikoriza dan bahan organik pada bobot kering akar

sekunder ... 82 31. Pengaruh jenis mikoriza dan bahan organik pada total bobot kering

akar ... 83 32. Pengaruh jenis mikoriza dan bahan organik pada total bobot kering

tanaman ... 84 33. Pengaruh jenis mikoriza dan bahan organik pada shoot/root ... 85 34. Pengaruh jenis mikoriza dan bahan organik pada volume akar ... 86 35. Pengaruh jenis mikoriza dan bahan organik pada infeksi akar ... 87 36. Korelasi % infeksi FMA pada akar dengan peubah pertumbuhan

lainnya. ...

93 37. Hasil analisis tanah penelitian 1 ... 108 38. Rekapitulasi uji homogenitas ragam ... 108 39. Data tinggi tanaman bibit kelapa sawit pada umur 7 bulan setelah

aplikasi FMA dan pupuk P ... 109 40. Analisis ragam tinggi tanaman bibit kelapa sawit pada umur 7 bulan

setelah aplikasi FMA dan pupuk P ... 109 41. Analisis ragam tinggi tanaman bibit kelapa sawit pada umur 7 bulan

setelah aplikasi FMA dan pupuk P (Transformasi √x) ... 110 42. Data jumlah daun yang telah membuka sempurna pada bibit kelapa

sawit umur 7 bulan setelah aplikasi FMA dan pupuk P ... 110 43. Analisis ragam jumlah daun yang telah membuka sempurna pada

bibit kelapa sawit umur 7 bulan setelah aplikasi FMA dan pupuk P ... 111 44. Analisis ragam jumlah daun yang telah membuka sempurna pada

bibit kelapa sawit umur 7 bulan setelah aplikasi FMA dan pupuk P (Transformasi √x) ...

111

45. Data bobot segar tajuk bibit kelapa sawit pada umur 7 bulan setelah aplikasi FMA dan pupuk P ...

112 46. Analisis ragam bobot segar tajuk bibit kelapa sawit pada umur 7 bulan

setelah aplikasi FMA dan pupuk P ... 112 47. Data bobot kering tajuk bibit kelapa sawit pada umur 7 bulan setelah

aplikasi FMA dan pupuk P ... 113 48. Analisis ragambobot kering tajuk bibit kelapa sawit pada umur 7

bulan setelah aplikasi FMA dan pupuk P ... 113 49. Analisis ragam bobot kering tajuk bibit kelapa sawit pada umur 7

bulan setelah aplikasi FMA dan pupuk P (Transformasi √x) ... 114 50. Data jumlah akar primer bibit kelapa sawit pada umur 7 bulan setelah

aplikasi FMA dan pupuk P ... 114 51. Analisis ragam jumlah akar primer bibit kelapa sawit pada umur 7


(19)

52. Analisis ragam jumlah akar bibit kelapa sawit pada umur 7 bulan setelah aplikasi FMA dan pupuk P (Transformasi √x) ...

115 53. Data bobot basah akar primer bibit kelapa sawit pada umur 7 bulan

setelah aplikasi FMA dan pupuk P ... 116 54. Analisis ragam bobot basah akar primer bibit kelapa sawit pada umur

7 bulan setelah aplikasi FMA dan pupuk P ... 116 55. Analisis ragam bobot basah akar primer bibit kelapa sawit pada umur

7 bulan setelah aplikasi FMA dan pupuk P (Transformasi √x) ... 117 56. Data bobot kering akar primer bibit kelapa sawit pada umur 7 bulan

setelah aplikasi FMA dan pupuk P ... 117 57. Analisis ragam bobot kering akar primer bibit kelapa sawit pada umur

7 bulan setelah aplikasi FMA dan pupuk P ... 118 58. Analisis ragam bobot basah akar primer bibit kelapa sawit pada umur

7 bulan setelah aplikasi FMA dan pupuk P (Transformasi √x) ... 118 59. Data bobot basah akar sekunder bibit kelapa sawit pada umur 7 bulan

setelah aplikasi FMA dan pupuk P ... 119 60. Analisis ragam bobot basah akar sekunder bibit kelapa sawit pada

umur 7 bulan setelah aplikasi FMA dan pupuk P ... 119 61. Analisis ragam bobot basah akar sekunder bibit kelapa sawit pada

umur 7 bulan setelah aplikasi FMA dan pupuk P (Transformasi √x) ... 120 62. Data bobot kering akar sekunder bibit kelapa sawit pada umur 7 bulan

setelah aplikasi FMA dan pupuk P ... 120 63. Analisis ragam bobot kering akar sekunder bibit kelapa sawit pada

umur 7 bulan setelah aplikasi FMA dan pupuk P ... 121 64. Analisis ragam bobot kering akar sekunder bibit kelapa sawit pada

umur 7 bulan setelah aplikasi FMA dan pupuk P (Transformasi √x) ... 121 65. Data total bobot kering akar bibit kelapa sawit pada umur 7 bulan

setelah aplikasi FMA dan pupuk P ... 122 66. Analisis ragam total bobot kering akar bibit kelapa sawit pada umur 7

bulan setelah aplikasi FMA dan pupuk P ... 122 67. Data total bobot kering tanaman pada bibit kelapa sawit umur 7

bulan setelah aplikasi FMA dan pupuk P ... 123 68. Analisis ragam total bobot kering tanaman pada bibit kelapa sawit

umur 7 bulan setelah aplikasi FMA dan pupuk P ... 123 69. Data rasio tajuk/akar bibit kelapa sawit pada umur 7 bulan setelah

aplikasi FMA dan pupuk P ... 124 70. Analisis ragam rasio tajuk/akar bibit kelapa sawit pada umur 7 bulan

setelah aplikasi FMA dan pupuk P ... 124 71. Data volume akar bibit kelapa sawit pada umur 7 bulan setelah

aplikasi FMA dan pupuk P ... 125 72. Analisis ragam volume akar bibit kelapa sawit pada umur 7 bulan

setelah aplikasi FMA dan pupuk P ... 125 73. Analisis ragam volume akar bibit kelapa sawit pada umur 7 bulan

setelah aplikasi FMA dan pupuk P (Transformasi √x) ... 126 74. Data infeksi akar bibit kelapa sawit pada umur 7 bulan setelah

aplikasi FMA dan pupuk P ... 126


(20)

75. Analisis ragam infeksi akar bibit kelapa sawit pada umur 7 bulan

setelah aplikasi FMA dan pupuk P ... 127

76. Analisis ragam infeksi akar bibit kelapa sawit pada umur 7 bulan setelah aplikasi FMA dan pupuk P (Transformasi √x) ... 127 77. Data hasil analisis tanah ... 128

78. Data hasil analisis bahan organik ... 128

79. Komposisi bahan organik ... 128

80. Rekapitulasi uji homogenitas ragam ... 129 81. Data tinggi tanaman bibit kelapa sawit pada umur 7 bulan setelah

aplikasi FMA dan bahan organik ... 130 82. Analisis tinggi tanaman bibit kelapa sawit pada umur 7 bulan setelah

aplikasi FMA dan bahan organik ... 130 83. Analisis ragam tinggi tanaman bibit kelapa sawit pada umur 7 bulan

setelah aplikasi FMA dan bahan organik (Transformasi √x) ... 131 84. Data jumlah daun yang telah membuka sempurna pada bibit kelapa

sawit umur 7 bulan setelah aplikasi FMA dan bahan organik ... 131 85. Analisis jumlah daun yang telah membuka sempurna pada bibit

kelapa sawit umur 7 bulan setelah aplikasi FMA dan bahan organik .... 132 86. Data bobot basah tajuk bibit kelapa sawit pada umur 7 bulan setelah

aplikasi FMA dan bahan organik ... 132 87. Analisis ragam bobot basah tajuk bibit kelapa sawit pada umur 7

bulan setelah aplikasi FMA dan bahan organik ... 133 88. Data bobot kering tajuk bibit kelapa sawit pada umur 7 bulan setelah

aplikasi FMA dan bahan organik ... 133 89. Analisis ragam bobot kering tajuk bibit kelapa sawit pada umur 7

bulan setelah aplikasi FMA dan bahan organik ... 134 90. Data jumlah akar primer bibit kelapa sawit pada umur 7 bulan setelah

aplikasi FMA dan bahan organik ... 134 91. Analisis ragam tinggi tanaman bibit kelapa sawit pada umur 7 bulan

setelah aplikasi FMA dan bahan organik ... 135 92. Analisis ragam jumlah akar primer bibit kelapa sawit pada umur 7

bulan setelah aplikasi FMA dan bahan organik (Transformasi √x) ... 135 93. Data bobot basah akar primer bibit kelapa sawit pada umur 7 bulan

setelah aplikasi FMA dan bahan organik ... 136 94. Analisis ragam bobot basah akar primer bibit kelapa sawit pada umur

7 bulan setelah aplikasi FMA dan bahan organik ... 136 95. Analisis ragam bobot basah akar primer bibit kelapa sawit pada umur

7 bulan setelah aplikasi FMA dan bahan organik (Transformasi √x) .... 137 96. Data bobot kering akar primer bibit kelapa sawit pada umur 7 bulan

setelah aplikasi FMA dan bahan organik ... 137 97. Analisis ragam bobot kering akar primer bibit kelapa sawit pada umur

7 bulan setelah aplikasi FMA dan bahan organik ... 138 98. Data bobot basah akar sekunder bibit kelapa sawit pada umur 7 bulan

setelah aplikasi FMA dan bahan organik ... 138 99. Analisis ragam bobot basah akar sekunder bibit kelapa sawit pada

umur 7 bulan setelah aplikasi FMA dan bahan organik ... 139 100. Analisis ragam bobot basah akar sekunder bibit kelapa sawit pada


(21)

umur 7 bulan setelah aplikasi FMA dan bahan organik (Transformasi

√x) ... 139

101. Analisis ragam bobot kering akar sekunder bibit kelapa sawit pada umur 7 bulan setelah aplikasi FMA dan bahan ...

140 102. Analisis ragam bobot kering akar sekunder bibit kelapa sawit pada

umur 7 bulan setelah aplikasi FMA dan bahan organik ... 140 103. Analisis ragam bobot kering akar sekunder bibit kelapa sawit pada

umur 7 bulan setelah aplikasi FMA dan bahan organik (Transformasi √x) ...

141

104. Analisis ragam total bobot kering akar bibit kelapa sawit pada umur 7 bulan setelah aplikasi FMA dan bahan organik ...

141 105. Analisis ragam total bobot kering akar bibit kelapa sawit pada umur 7

bulan setelah aplikasi FMA dan bahan organik ... 142 106. Analisis ragam total bobot kering akar bibit kelapa sawit pada umur 7

bulan setelah aplikasi FMA dan bahan organik (Transformasi √x) ... 142 107. Data total bobot kering tanaman bibit kelapa sawit pada umur 7 bulan

setelah aplikasi FMA dan bahan organik ... 143 108. Analisis ragam total bobot kering tanaman bibit kelapa sawit pada

umur 7 bulan setelah aplikasi FMA dan bahan organik ... 143 109. Data rasio tajuk akar bibit kelapa sawit pada umur 7 bulan setelah

aplikasi FMA dan bahan organik ... 144 110. Analisis ragam rasio tajuk/ akar bibit kelapa sawit pada umur 7 bulan

setelah aplikasi FMA dan bahan organik ... 144 111. Analisis ragam rasio tajuk/ akar bibit kelapa sawit pada umur 7 bulan

setelah aplikasi FMA dan bahan organik (Transformasi √x) ... 145 112. Data volume akar bibit kelapa sawit pada umur 7 bulan setelah

aplikasi FMA dan bahan organik ... 145 113. Analisis ragam volume akar bibit kelapa sawit pada umur 7 bulan

setelah aplikasi FMA dan bahan organik ... 146 114. Analisis ragam volume akar bibit kelapa sawit pada umur 7 bulan

setelah aplikasi FMA dan bahan organik (Transformasi Log x) ... 146 115. Data infeksi akar bibit kelapa sawit pada umur 7 bulan setelah

aplikasi FMA dan bahan organik ... 147 116. Analisis ragam volume akar bibit kelapa sawit pada umur 7 bulan

setelah aplikasi FMA dan bahan organik ... 147 117. Analisis ragam volume akar bibit kelapa sawit pada umur 7 bulan


(22)

iii DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Penampang Longitudinal Akar yang Terinfeksi FMA ... 24 2. Taksonomi Fungi Mikoriza Arbuskular ... 28 3. Taksonomi Fungi Mikoriza Arbuskular ... 29 4. Tata letak percobaan 1 di lapangan ... 38 5. Tata letak percobaan 2 di lapangan ... 46 6. Pertumbuhan bibit sawit terhadap pemberian jenis mikoriza yaitu tanpa

inokulasi mikoriza (m0), Gigaspora sp. Isolat MV16 (m1), Glomus sp. Isolat MV7 (m2), Gigaspora sp. Isolat MV16 + Glomus sp. Isolat MV7 (m3) pada dosis fosfat 1/3 dosis (P1) ... 68 7. Pertumbuhan akar tanaman bibit sawit terhadap pemberian jenis

mikoriza yaitu tanpa inokulasi mikoriza (m0), Gigaspora sp. Isolat MV16 (m1), Glomus sp. Isolat MV7 (m2), Gigaspora sp. Isolat MV16 + Glomus sp. Isolat MV7 (m3) pada dosis pupuk fofat 1/3 dosis (p1) ... 68 8. Akar bibit kelapa sawit yang tidak terinfeksi FMA ... 69 9. Akar bibit kelapa sawit yang terinfeksi FMA... 69 10. Bibit kelapa sawit dengan perlakuan jenis mikoriza yaitu tanpa

Mikoriza (m0), Glomus sp. Isolat MV7 (m1), Gigaspora sp. Isolat MV16 (m2), Glomus sp. Isolat MV7 + Gigaspora sp. Isolat MV16 (m3) dan bahan organik 1 : 1 (b3) ... 89 11. Bibit kelapa sawit dengan perlakuan Glomus sp Isolat MV7 (m1) dan

bahan organik 1 : 1 (b3), 1:2 (b2), 1: 3 (b1) ... 91 12. kelapa sawit dengan aplikasi Glomus sp. Isolat MV7 dan bahan


(23)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang dan Masalah

Kelapa sawit sebagai tanaman penghasil minyak sawit dan inti sawit merupakan salah satu primadona tanaman perkebunan yang menjadi sumber penghasil devisa non migas bagi Indonesia (Departemen Perindustrian, 2007).

Minyak kelapa sawit mempunyai daya saing yang cukup kompetitif dibandingkan dengan minyak nabati lainnya karena (1) produktivitas per hektar cukup tinggi, (2) merupakan tanaman tahunan yang cukup handal terhadap berbagai perubahan agro-klimat, dan (3) ditinjau dari aspek gizi, minyak kelapa sawit tidak terbukti sebagai penyebab meningkatnya kadar kolesterol bahkan mengandung beta karoten sebagai pro-vitamin A (Sinaga, 2009).

Industri minyak kelapa sawit merupakan salah satu industri strategis, karena ber- hubungan dengan sektor pertanian (agro‐based industry) yang banyak ber-kembang di negara‐negara tropis seperti Indonesia, Malaysia, dan Thailand. Hasil industri minyak kelapa sawit bukan hanya minyak goreng saja, tetapi juga bisa digunakan sebagai bahan dasar industri lainnya seperti industri makanan, kosmetika, dan industri sabun (Departemen Perindustrian, 2007).


(24)

2

Konsumsi minyak nabati dunia selalu melebihi produksinya sehingga ke-cenderungan harga minyak nabati dunia akan selalu naik. Konsumsi minyak nabati dunia pada periode 2008-2012 diperkirakan 132 juta ton, sedangkan produksinya hanya 108 juta ton sehingga perlu pasokan baru sebesar 24 juta ton (Sinaga, 2009). Tahun 2011, produksi minyak nabati dunia mencapai 128,9 juta ton dan pada tahun 2012,

mencapai 134,06 juta ton. Dari total produksi minyak nabati dunia, produksi minyak sawit Indonesia mencapai 53,16 juta ton atau berkontribusi 39,6% dari total produksi. Sementara, tingkat konsumsi minyak nabati dunia tahun 2012 mencapai 132,21 juta ton, naik 3,4% dari konsumsi 2011 sebesar 127,9 juta ton (Siregar, 2013)

Untuk meningkatkan produksi dan produktivitas tanaman salah satu aspek agronomi yang sangat berperan adalah pembibitan. Produktivitas yang tinggi berawal dari kualitas bibit yang baik. Demikian halnya dengan komoditi kelapa sawit, komoditi yang tengah menjadi primadona ini diharapkan mampu mem-berikan keuntungan ekonomis bagi petani Indonesia. Pahan (2011) menyatakan bahwa investasi yang sebenarnya bagi perkebunan komersial terletak pada bahan tanaman (benih/bibit) yang akan ditanam, karena merupakan sumber keuntungan pada perusahaan kelak.

Kelapa sawit di Indonesia umumnya ditanam di lahan masam dan kendala yang dihadapi pada tanah masam adalah ketersediaan unsur P. Menurut Bintoro dkk. (1997), salah satu cara untuk meningkatkan ketersediaan fosfat adalah dengan inokulasi fungi pembentuk mikoriza, sebab mikoriza mempunyai kemampuan meningkatkan penyerapan fosfor dan unsur hara lainnya, dan mikoriza sangat responsif pada tanah masam. Menurut Lynch (1989), peran mikoriza akan efektif


(25)

3

dalam meningkatkan pertumbuhan tanaman pada tanah yang kekurangan fosfat. Lebih lanjut Marsi dkk. (1997) melaporkan bahwa P tersedia tanah awal yang tinggi menyebabkan mikoriza tidak aktif melakukan aktivitasnya untuk melarut-kan senyawa kompleks menjadi bentuk P-tersedia tanah. Hal ini karena tanaman dengan pemupukan P yang tinggi akan menyebabkan permeabilitas membran akar menjadi rendah.

Aplikasi fungi mikoriza arbuskular (FMA) pada akar tanaman kelapa sawit akan menghasilkan simbiosis mutualisme antara kelapa sawit dengan FMA. Menurut Sieverding (1991), proses kolonisasi FMA akan mudah terjadi pada akar-akar dengan permeabilitas membran yang tinggi.

Pada simbiosis tersebut hifa FMA akan membantu akar kelapa sawit dalam

meningkatkan serapan unsur fosfor (P) pada masa pembibitan. Peningkatan serapan unsur P pada awal pertumbuhan diharapkan mampu membantu serapan unsur P pada pertumbuhan kelapa sawit selanjutnya. Hal ini karena infeksi FMA pada bibit kelapa sawit akan memperbaiki sistem morfologi dan arsitektur akar sehingga terjadi

peningkatan penyerapan unsur P yang secara umum tidak mudah bergerak atau tersedia dalam tanah masam.

Efektivitas FMA selain tergantung dari jenis FMA juga sangat tergantung dari jenis tanaman dan jenis tanah serta interaksi antara ketiganya (Brundrett dkk., 1996). Setiap jenis tanaman memberikan respons yang berbeda terhadap FMA, demikian juga dengan jenis tanah yang berhubungan erat dengan pH dan tingkat kesuburan tanah. Keefektifan FMA ditentukan oleh karakteristik FMA yaitu kemampuan


(26)

4

untuk menginfeksi akar secara cepat agar simbiosis sudah terbentuk saat umur tanaman masih relatif muda. Menurut Heijden (2001) yang dikutip oleh Muzakkir (2011), efektivitas FMA bergantung pada kompatibilitas antara fungi dan tanaman. Oleh karena itu, variasi genetik tanaman maupun fungi mem-pengaruhi efektivitas simbiosis. Oleh sebab itu, apabila kolonisasi telah terjadi dengan baik maka akan terjadi simbiosis mutualistik untuk pertumbuhan tanaman dan FMA.

Simbiosis FMA dengan akar dapat meningkatkan kemampuan tanaman menyerap unsur hara makro, terutama unsur fosfat (P), maupun unsur hara mikro dari dalam tanah (Gunawan, 1993). Hal ini karena benang-benang hifa FMA memiliki akses dan jangkauan lebih luas dalam mengeksploitasi nutrisi di dalam tanah (Smith dan Read, 2008).

Berdasarkan hal di atas perlu dicari dosis pemupukan P yang tepat agar tanaman dapat tumbuh, sistem perakaran, dan eksudasi akar yang baik sehingga dapat dimanfaatkan oleh FMA.

Selain aplikasi mikoriza dan pupuk fosfat, upaya lain yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kualitas bibit pada pembibitan kelapa sawit adalah pemberian bahan organik. Usaha untuk meningkatkan kandungan C organik tanah yaitu dengan penambahan bahan organik ke dalam tanah. Kompos adalah bahan organik yang berasal dari bermacam-macam sumber yang telah mengalami proses dekomposisi di bawah kondisi mesofilik dan termofilik (Sutanto, 2002). Kompos merupakan salah


(27)

5

satu sumber pupuk organik bagi tanaman. Telah terbukti penggunaan kompos hingga takaran tertentu dapat meningkatkan hasil tanaman.

Bahan organik merupakan salah satu komponen penyusun tanah yang penting disamping air dan udara. Jumlah spora FMA tampaknya berhubungan erat dengan kandungan bahan organik di dalam tanah. Jumlah maksimum spora ditemukan pada tanah yang mengandung bahan organik 1-2 persen sedang-kan pada tanah-tanah berbahan organik kurang dari 0.5 persen kandungan spora sangat rendah (Anas, 1997).

Karbon merupakan komponen paling besar dalam bahan organik sehingga pem-berian bahan organik akan meningkatkan karbon tanah. Tingginya karbon tanah ini akan mempengaruhi sifat tanah menjadi lebih baik secara fisik, kimia, dan biologi (Utami, dan Handayani, 2003). Sieverding (1991) menyatakan adanya tambahan bahan organik akan meningkatkan jumlah mikoriza akibat peningkatan aerasi tanah.

Pada dasarnya kandungan bahan organik dalam tanah dapat ditingkatkan dengan pemberian pupuk organik. Bahan organik akan meningkatkan kinerja FMA, karena karena pemberian bahan organik akan membuat aerasi dan perakaran tanaman menjadi lebih baik, serta eksudat yang dibutuhkan FMA tersedia. Hal ini akan memberikan kesempatan yang lebih tinggi bagi FMA untuk bersimbiosis dengan tanaman.


(28)

6

Berdasarkan hal tersebut di atas, perlu dilakukan pengujian untuk mencari jenis mikoriza, dosis pemupukan P, dan dosis bahan organik yang tepat pada pembibitan kelapa sawit.

1.2 Rumusan Masalah Penelitian 1.2.1 Rumusan Masalah Penelitian 1

Berdasarkan identifikasi dan pembatasan masalah, penelitian ini dilakukan untuk menjawab masalah yang dirumuskan dalam pertanyaan sebagai berikut:

1. Jenis FMA manakah yang paling baik untuk pertumbuhan bibit kelapa sawit? 2. Dosis pupuk P manakah yang paling baik untuk pertumbuhan bibit kelapa sawit?

3. Apakah respons bibit kelapa sawit terhadap pemberian jenis FMA ditentukan oleh dosis pupuk P?

4. Kombinasi perlakuan manakah yang paling baik untuk pertumbuhan bibit kelapa sawit.

1.2.2 Rumusan Masalah Penelitian 2

Berdasarkan identifikasi dan pembatasan masalah, penelitian ini dilakukan untuk menjawab masalah yang dirumuskan dalam pertanyaan sebagai berikut:


(29)

7

2. Dosis bahan organik manakah yang paling baik untuk pertumbuhan bibit kelapa sawit?

3. Apakah respons bibit kelapa sawit terhadap pemberian jenis FMA ditentukan oleh dosis bahan organik?

4. Kombinasi perlakuan manakah yang paling baik untuk pertumbuhan bibit kelapa sawit.

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Penelitian 1

Berdasarkan identifikasi dan perumusan masalah maka penelitian dilakukan dengan tujuan sebagai berikut:

1. Untuk menentukan jenis FMA yang paling baik untuk pertumbuhan bibit kelapa sawit.

2. Untuk menentukan dosis pupuk P yang paling baik untuk pertumbuhan bibit kelapa sawit.

3. Untuk menentukan apakah respons bibit kelapa sawit terhadap pemberian jenis FMA ditentukan oleh dosis fosfat yang digunakan?

4. Untuk menentukan kombinasi perlakuan yang paling baik untuk pertumbuhan bibit kelapa sawit.


(30)

8

Berdasarkan identifikasi dan perumusan masalah maka penelitian dilakukan dengan tujuan sebagai berikut:

1. Untuk menentukan jenis FMA yang paling baik untuk pertumbuhan bibit kelapa sawit.

2. Untuk menentukan dosis bahan organik yang paling baik untuk pertumbuhan bibit kelapa sawit.

3. Untuk menentukan apakah respons bibit kelapa sawit terhadap pemberian jenis FMA ditentukan oleh dosis bahan organik yang digunakan?

4. Untuk menentukan kombinasi perlakuan yang paling baik untuk pertumbuhan bibit kelapa sawit.

1.4 Manfaat Penelitian

Bagi peneliti dan ilmuwan, penelitian ini bermanfaat untuk memilih kombinasi yang tepat dalam pemberian jenis FMA dan dosis pupuk P dalam media pem-bibitan kelapa sawit, memilih kombinasi yang tepat dalam pemberian jenis FMA dan dosis bahan organik dalam media pembibitan kelapa sawit. Bagi Petani, penelitian ini bermanfaat dalam meningkatkan kualitas bibit kelapa sawit. Bagi Pemerintah, penelitian ini bermanfaat dalam penyediaan pupuk hayati dalam sistem pertanian berkelanjutan sehingga akan membantu meningkatkan per-tumbuhan dan hasil tanaman sawit.


(31)

9

1.5.1 Landasan Teori

Untuk menyusun penjelasan teoretis terhadap pertanyaan yang telah diajukan, penulis menggunakan landasan teori sebagai berikut:

Simbiosis mutualisme antara tanaman inang dan mikroba tanah merupakan dasar pokok dalam mengembangkan bioteknologi mikoriza. Dalam pertumbuhan

hidupnya, inang akan mendapatkan unsur hara lebih banyak dari dalam tanah dengan bantuan penyerapan lebih luas dari organ-organ mikoriza pada sistem perakaran dibandingkan yang diserap oleh rambut akar biasa. Hanya inang yang berfotosintesis, sebagai imbalannya, sebagian hasil fotosintat (berupa karbohidrat cair) pada daun berklorofil didistribusikan ke bagian akar inang, dan mikoriza di jaringan korteks akar inang mendapatkan aliran energi untuk hidup dan ber-kembangbiak di dalam tanah. Proses simbiosis mutualistis ini berlangsung terus menerus dan saling menguntungkan seumur hidup inang (Santoso dkk., 2006).

Fungi Mikoriza Arbuskular membentuk spora di dalam tanah dan dapat ber-kembang baik jika berasosiasi dengan tanaman inang. Asosiasi dimulai saat hifa tanah

merespons akar diikuti pertumbuhan hifa, membangun suatu kontak dan tumbuh di sepanjang permukaan akar. Penetrasi akar dimulai dengan pem-bentukan apresorium pada permukaan akar oleh hifa eksternal. Hifa eksternal ini berasal dari spora yang berkecambah ataupun akar tanaman yang sudah terinfeksi. Hifa FMA akan masuk ke dalam akar menembus atau melalui celah antar sel epidermis, kemudian hifa aseptat akan tersebar baik secara interseluler maupun intraseluler di dalam sel korteks


(32)

10

sepanjang akar. Kadang terbentuk jaringan hifa yang rumit di dalam sel-sel kortikal luar. Setelah proses-proses tersebut ber-langsung, selanjutnya terbentuk arbuskula, vesikel, dan akhirnya spora (Brundrett dkk., 1996).

Enzim hidrolitik (selulase, pektinase, xyloglukanase) juga terlibat dalam penetrasi dan perkembangan FMA dalam akar tanaman serta meningkatkan proteksi terhadap patogen (Garcia-Garrido dkk., 2000).

Sieverding (1991) melaporkan bahwa mikoriza dapat berasosiasi dengan tanaman tingkat tinggi. FMA yang menginfeksi sistem perakaran tanaman inang akan

memproduksi jalinan hifa secara intensif sehingga tanaman bermikoriza akan mampu meningkatkan kapasitasnya dalam menyerap unsur hara dan air. Smith dan Read (2008) menyatakan bahwa kemampuan menginfeksi itu sangat ber-gantung pada spesies mikoriza dan spesies tanaman inang, sehingga kesesuaian jenis FMA yang diinokulasikan pada tanaman sangat menentukan hasil kerjasama antara tanaman dengan fungi dalam bersimbiosis.

Perbedaan lokasi dan rhizosfer menyebabkan perbedaan keanekaragaman spesies dan populasi FMA. Tanah yang didominasi oleh fraksi lempung (clay) merupa-kan kondisi yang diduga sesuai untuk perkembangan spora Glomus, dan genus Gigaspora ditemukan dalam jumlah tinggi pada tanah berpasir. Pada tanah ber-pasir, pori-pori tanah terbentuk lebih besar dibanding tanah lempung dan keadaan ini diduga sesuai untuk perkembangan spora Gigaspora yang berukuran lebih besar daripada spora Glomus (Baon, 1998).


(33)

11

Sundari dkk. (2011) melaporkan bahwa dari hasil identifikasi spora yang di-lakukan, genus Glomus dominan dijumpai pada semua lokasi penelitian (area persawahan desa Bunder, desa Konang, dan desa Sentol, Kabupaten Pamekasan, Madura). Hal ini menunjukkan bahwa Glomus mempunyai tingkat adaptasi yang cukup tinggi terhadap lingkungan baik pada kondisi tanah yang masam maupun netral. Menurut Hasbi (2005), Glomus mempunyai kemampuan adaptasi dengan jenis tanaman budidaya yang lebih luas jika dibandingkan dengan genus lainnya.

Clark (1997) mengemukakan bahwa Gigaspora adalah genus yang toleran ter-hadap tanah masam dan aluminium tinggi. Hal ini menunjukan bahwa Gigaspora mampu beradaptasi pada tanah masam dengan bersimbiosis dengan tanaman inangnya.

Fosfor merupakan unsur hara essensial, sehingga tanaman harus mendapatkan fosfor secara cukup untuk pertumbuhannya secara normal. Fungsi penting fosfor untuk tanaman yaitu terlibat dalam proses fotosintesis, respirasi, transfer dan menyimpan energi, pembelahan serta pembesaran sel, perkembangan akar, dan pembentukan bunga dan buah, juga biji (Hanafiah, 2005 ).

Tanaman di Indonesia sebagian besar tidak dapat memanfaatkan pupuk secara maksimal. Hal ini disebabkan tingginya curah hujan yang menyebabkan banyak unsur hara dalam bentuk kation-kation basa yang ikut tercuci. Kondisi ini

menyebabkan tanah menjadi banyak mengandung ion H+ dan tanah menjadi masam (Yuwono, 2006).


(34)

12

Pada kondisi tanah yang masam, banyak kation Al 3+ dan Fe 3+ di dalam tanah yang dapat mengikat ion H2PO4- yang berasal dari pupuk P, akibatnya sebagian kecil saja pupuk P yang dapat diserap tanaman (Hakim dkk., 1986). Pada kondisi tanah dengan curah hujan rendah seperti di Nusatenggara, biasanya tanah banyak mengandung kapur (tanah alkalin), kation Ca 2+ yang banyak pada tanah tersebut akan mengikat unsur P, akibatnya ketersediaan P dalam tanah juga rendah (Setiawati, 2005).

Pada ketersediaan hara yang rendah, hifa dapat menyerap hara dari tanah yang tidak dapat diserap oleh akar sehingga pengaruh FMA terhadap serapan hara tinggi. Tetapi, pada kondisi P tersedia yang tinggi dalam tanah, akar tanaman dapat berperan sebagai organ penyerap hara sehingga tanaman mengakumulasi P dalam jumlah yang tinggi. Pada keadaan ini FMA tetap mendapatkan senyawa C dari tanaman sehingga terjadi respons yang negatif terhadap kolonisasi yang mempengaruhi metabolisme tanaman. Dengan demikian, kandungan P tersedia yang sangat tinggi menjadi pembatas pertumbuhan tanaman (Smith dan Read, 2008).

Tanaman bermikoriza menunjukkan pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan tanaman tidak bermikoriza, terutama pada keadaan fosfor tersedia sedikit (Imas dkk., 1989). Kecepatan masuknya P ke dalam hifa FMA dapat mencapai enam kali lebih cepat daripada kecepatan masuknya P melalui rambut akar (Bolan, 1991).

Menurut Smith dan Read (2008), terdapat 3 mekanisme FMA dalam meningkat-kan serapan P, yaitu (1) modifikasi kimia oleh FMA terhadap akar tanaman sehingga FMA dapat mengeluarkan enzim fosfatase dan asam-asam organik. Enzim fosfatase


(35)

13

merupakan suatu enzim yang dapat memacu proses mineralisasi P anorganik dengan mengkatalisis pelepasan P dari kompleks anorganik; (2) dengan adanya hifa eksternal FMA, jarak difusi ion-ion fosfat tersebut dapat diperpendek sehingga proses difusi menjadi lebih cepat; dan (3) kemampuan hifa FMA untuk tumbuh melampaui zona deplesi dan men-distribusikan P ke akar merupakan efek positif terhadap serapan P dan per-tumbuhan tanaman. Proses ini terjadi karena afinitas hifa eksternal yang tinggi terhadap P sehingga terjadi pe-ningkatan daya tarik menarik ion-ion fosfat yang menyebabkan pergerakan P lebih cepat ke dalam hifa FMA.

Sieverding (1991) melaporkan bahwa FMA yang menginfeksi sistem perakaran tanaman inang akan memproduksi jalinan hifa secara intensif sehingga tanaman bermikoriza akan mampu meningkatkan kapasitasnya dalam menyerap unsur hara dan air. Terjadinya peningkatan penyerapan unsur hara dan air pada tanaman yang bermikoriza akan membantu memperbaiki pertumbuhan tanaman. Namun, derajat infeksi FMA yang tinggi tidak selalu menjamin pertumbuhan tanaman yang baik. Hal ini diduga karena FMA untuk tetap hidup membutuhkan karbohidrat, sehingga transfer karbohidrat untuk tanaman inang menjadi ber-kurang. Aliran karbohidrat ini tergantung pada spesies tanaman inang dan spesies FMA, namun ditaksir sekitar 1-17% dari total karbohidrat yang digunakan untuk membentuk biomas akar digunakan oleh FMA untuk perkembangan dan aktivitasnya.

Menurut Foth (1991) yang dikutip oleh Chairuman (2008), bahan organik ber-peran penting dalam tanah karena dapat memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah. Kehadiran bahan organik cukup besar peranannya di dalam tanah yaitu (1)


(36)

14

memperbaiki agregasi dan meningkatkan kemampuan tanah menahan air, (2) meningkat-kan kapasitas tukar kation dan ketersediaan hara bagi tanaman, (3) mengurangi aktivitas Al dan Fe dalam memfiksasi P, dan (4) merupakan sumber energi atau makanan bagi mikroorganisme. Sieverding (1991) menyatakan adanya tambahan bahan organik akan meningkatkan jumlah mikoriza akibat peningkatan aerasi tanah.

Murbandono (1995) yang dikutip oleh Jayanegara (2011) menyatakan bahwa

pemberian kompos akan memperbaiki sifat fisik tanah yang menyebabkan tanah lebih gembur dan kandungan airnya lebih tinggi, sehingga proses pengambilan unsur hara dan air dari akar ke daun berlangsung lebih baik. Dengan terbentuknya daun, maka aktivitas fotosintesis akan berlangsung, sehingga dibutuhkan unsur hara yang tersedia bagi tanaman.

FMA bersifat sangat aerobik, kekurangan oksigen akan menghambat perkembang-an tanaman maupun simbiosis mikoriza (Harley dan Smith, 1983 yang dikutip oleh Saidi, 2006)

1.5.2 Kerangka Pemikiran

Berdasarkan landasan teori, penulis menyusun kerangka pemikiran untuk mem-berikan penjelasan teoretis terhadap perumusan masalah sebagai berikut. Untuk mendapatkan bibit kelapa sawit yang berkualitas dibutuhkan faktor-faktor per-tumbuhan yang mendukung perper-tumbuhan bibit, salah satunya adalah kemampuan


(37)

15

akar bibit sawit dalam menyerap unsur hara. Akar bibit sawit mempunyai

ke-terbatasan dalam menyerap unsur hara, sehingga untuk meningkatkan jangkauan akar dalam menyerap unsur hara dapat dilakukan dengan pemberian FMA.

Pemberian FMA dilakukan pada saat tanaman masih muda (bibit berumur 1 bulan) karena epidermis akar masih tipis sehingga FMA dapat menginfeksi akar tanaman. Pada saar akar tanaman diinokulasi dengan spora FMA di sekitar akar tanaman, maka spora akan ber-kecambah dan dengan bantuan appresorium (penebalan massa hifa yang menyempit), hifa melakukan penetrasi dengan me-nembus sel epidermis melalui permukaan akar atau rambut–rambut akar secara mekanis dan enzimatis (enzim hidrolitik ). Enzim hidrolitik yaitu enzim yang memecah polisakarida, lipid, fosfolipid, asam nukleat, dan protein.

Penetrasi ini terjadi jika keadaan rizosfir (lingkungan tumbuh tanaman) sesuai untuk FMA. Keadaan rizosfir ditentukan oleh tanaman inang yang menghasilkan eksudat dalam jumlah dan jenis yang berbeda. Hifa tersebut akan tumbuh dan berkembang dengan memanfaatkan eksudat akar dengan menempel pada sel bagian luar epidermis akar, kemudian menembus sel epidermis akar, dan ber-kembang dalam jaringan korteks. Selain berkembang dalam sel (arbuskular), hifa juga berkembang pada ruang antar sel dan menggelembung membentuk vesikular. Hifa juga berkembang di luar akar. Hifa ini mampu menyerap unsur hara dari media tanam untuk

ditranslokasikan ke akar tanaman melalui arbuskular yang merupakan tempat FMA menerima senyawa karbon hasil fotosintesis dari tanaman inang. Hifa yang


(38)

16

untuk perbanyakan FMA. FMA memanfaatkan sekresi akar tanaman atau zat-zat yang dikeluarkan akar tanaman karena mengandung gula sebagai sumber karbon untuk pertumbuhan hifanya di awal proses infeksi.

Jika akar bibit tanaman sawit dapat menyerap unsur hara P sehingga kandungan P dalam sel akar cukup tinggi, maka hal tersebut menyebabkan permeabilitas dinding sel akar menjadi rendah, sehingga eksudat yang dikeluarkan berkurang. Hal tersebut menyebabkan hifa FMA kekurangan sumber energi untuk pertumbuhannya dan gagal menginfeksi akar.

Bibit tanaman sawit yang mendapatkan pupuk P yang rendah mempunyai

ke-mampuan untuk menghasilkan nutrisi (eksudat akar) yang dibutuhkan FMA, dengan jumlah eksudat akar yang cukup maka hifa yang keluar dari spora yang berkecambah dapat berkembang dan menginfeksi akar tanaman, kemudian FMA akan tumbuh dan ber-kembang membentuk hifa-hifa yang panjang dan bercabang di dalam jaringan akar maupun di luar akar, sehingga asosiasi akar dan FMA akan segera terbentuk dan mampu meningkatkan eksplorasi akar ke tanah, serta mem-percepat gerakan ion-ion hara terutama P ke permukaan akar.

Hifa FMA memperpanjang daya jelajah akar bibit sawit dalam mencari unsur hara dan air di dalam tanah. Luas rizosfir (lingkungan tumbuh) tanaman bermikoriza menjadi lebih besar dari tanaman Tanpa mikoriza. Akar tanaman yang ber-mikoriza akan memiliki kapasitas yang lebih tinggi dalam penyerapan unsur hara dan air.


(39)

17

Bahan organik dapat menghasilkan asam organik yang dapat mendetoksifikasi Al dan Fe pada tanah masam. Kompos yang diberikan sebagai sumber bahan organik akan memberikan kondisi yang lebih baik bagi perkembangan FMA, karena akan membuat struktur dan tata udara tanah menjadi lebih baik bagi ruang hidup FMA yang

membutuhkan oksigen untuk proses metabolisme dalam menghasilkan energi untuk memperbanyak diri. Hal ini akan membantu bibit tanaman sawit untuk mendapatkan unsur hara lebih banyak dari dalam tanah dengan bantuan penyerapan yang lebih luas dari organ-organ FMA pada sistem perakaran karena jaringan hifa FMA di luar akar mempunyai jangkauan yang jauh lebih luas daripada jangkauan akar tanaman. Sedangkan hasil fotosintat (berupa karbohidrat) dari daun bibit tanaman sawit

didistribusikan ke bagian akar tanaman sawit, sehingga FMA di jaringan korteks akar bibit tanaman sawit mendapatkan energi untuk hidup dan berkembangbiak di dalam tanah. Dengan tersedianya unsur hara yang cukup maka pertumbuhan bibit tanaman sawit menjadi lebih sehat dan berpotensi unggul.

1.5.3 Hipotesis

1.5.3.1 Hipotesis Penelitian 1

1. Pemberian FMA jenis Glomus sp. Isolat MV7akan meningkatkan pertumbuhan bibit kelapa sawit.

2. Aplikasi pupuk P 3/3 dosis akan lebih baik untuk pertumbuhan bibit kelapa sawit.


(40)

18

3. Jenis FMA yang terbaik untuk bibit kelapa sawit ditentukan oleh dosis pupuk P-nya.

1.5.3.2 Hipotesis Penelitian 2

1. Pemberian FMA jenis Glomus sp. Isolat MV7akan meningkatkan pertumbuhan bibit kelapa sawit.

2. Aplikasi bahan organik 1:1 akan lebih baik untuk pertumbuhan bibit kelapa sawit 3. Respons pertumbuhan bibit kelapa sawit terhadap pemberian jenis FMA


(41)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Botani dan Persyaratan Tumbuh Kelapa sawit

Kelapa sawit memiliki banyak jenis. Berdasarkan ketebalan cangkangnya kelapa sawit dibagi menjadi jenis Dura, Pisifera, dan Tenera. Dura merupakan sawit yang buahnya memiliki cangkang tebal sehingga dianggap memperpendek umur mesin pengolah namun biasanya tandan buahnya besar‐besar dan kandungan minyak pertandannya berkisar 18%. Pisifera buahnya tidak memiliki cangkang namun bunga betinanya steril sehingga sangat jarang menghasilkan buah. Tenera adalah persilangan antara induk Dura dan Pisifera. Jenis ini dianggap bibit unggul sebab melengkapi kekurangan masing‐masing induk dengan sifat cangkang buah tipis namun bunga betinanya tetap fertil. Beberapa tenera unggul persentase daging perbuahnya dapat mencapai 90% dan kandungan minyak pertandannya dapat mencapai 28% (Departemen Perindustrian, 2007).

Klasifikasi kelapa sawit adalah sebagai berikut : Divisi Embryophyta

Siphonagama, Kelas Angiospermae, Ordo Monocotyledonae, Famili Arecaceae (dahulu disebut Palmae), Subfamili Cocoideae, Genus Elaeis, Spesies Elaeis guineensis Jacq., Elaeis oleifera (H.B.K) Cortes, Elaeis odora (Pahan, 2011).


(42)

20

Kelapa sawit merupakan tanaman monoecious (berumah satu). Bunga muncul dari ketiak daun. Bunga betina akan menjadi brondolan setelah antesis. Panjang infloresen betina dapat mencapai 30 cm atau lebih jika diukur pada saat mekar, bunga jantan mempunyai panjang 3-4 mm dan lebarnya 1.5-2.0 mm (Pahan, 2011). Akar serabut tanaman kelapa sawit mengarah ke bawah dan samping. Selain itu juga terdapat beberapa akar napas yang tumbuh mengarah ke samping atas untuk mendapatkan tambahan aerasi (Departemen Perindustrian, 2007).

Batang tanaman kelapa sawit diselimuti bekas pelapah hingga umur 12 tahun. Setelah umur 12 tahun pelapah yang mengering akan terlepas sehingga menjadi mirip dengan tanaman kelapa (Departemen Perindustrian, 2007).

Daun kelapa sawit terdiri dari kumpulan anak daun (leaflets) yang mempunyai helaian (lamina) dan tulang anak daun (midrib). Rachis merupakan tempat anak daun melekat dan tangkai daun (petiole) merupakan bagian antara daun dan batang. Seludang daun (sheath) berfungsi sebagai perlindungan dari kuncup dan memberi kekuatan pada batang (Pahan, 2011). Daun kelapa sawit merupakan daun majemuk. Daun berwarna hijau tua dan pelepah berwarna sedikit lebih muda. Penampilannya sangat mirip dengan tanaman salak, hanya saja dengan duri yang tidak terlalu keras dan tajam (Departemen Perindustrian, 2007).

Mangoensoekarjo dan Semangun (2005) menyatakan bahwa tanaman kelapa sawit akan mulai berbunga pada umur 12-14 bulan. Bunganya termasuk monocious yang berarti bunga jantan dan betina terdapat pada satu pohon tetapi tidak pada tandan yang sama dan tanaman kelapa sawit melakukan penyerbukan silang.


(43)

21

Mangoensoekarjo dan Semangun (2005) menyatakan bahwa kelapa sawit dapat tumbuh di daerah antara 100 LU-120 LS. Ketinggian tempat yang optimum untuk pertumbuhan kelapa sawit berkisar 0-400 meter di atas permukaan laut. Curah hujan optimal yang dikehendaki sekitar 2000-2400 mm per tahun dengan penyebaran merata sepanjang tahun.

Intensitas penyinaran matahari optimum antara 5-12 jam per hari dan suhu optimum berkisar antara 240 – 280 C. Kelapa sawit dapat tumbuh di berbagai jenis tanah seperti tanah podsolik coklat, podsolik kuning, hidromorfik kelabu, alluvial, regosol, dan organosol (tanah gambut). Keasaman tanah (pH) sangat menentukan ketersediaan dan keseimbangan unsur hara dalam tanah. Kelapa sawit dapat tumbuh pada tanah dengan pH 5-7, dengan pH optimum antara 5-6 (Pahan, 2011).

Kelapa sawit dapat tumbuh pada bermacam-macam tanah, asalkan gembur, aerasi dan drainasenya baik, kaya akan humus dan tidak mempunyai lapisan padas, pH tanah antara 5,5 - 7,0 dengan C/N ratio mendekati 10, kandungan C organik 1% dan N 0.1%. Daya tukar Mg dan K berada pada batas normal, yaitu untuk Mg 0.4-1.0 me/100 g, sedangkan K 0.15-1.20 me/100 g (Balai Informasi Irian Jaya, 1992).

2.2 Fungi Mikoriza Arbuskular (FMA) 2.2.1 Definisi FMA

Mikoriza merupakan bentuk hubungan simbiosis mutualisme antara fungi dengan akar tumbuhan tingkat tinggi. Dalam simbiosis ini, tanaman inang memperoleh


(44)

22

hara/nutrisi dan air dari fungi sedangkan fungi memperoleh senyawa karbon hasil fotosintesis dari tanaman inang (Smith dan Read 2008).

Karakteristik utama dari FMA adalah fungi bersifat biotrof obligat yang berarti bahwa setiap daur hidupnya harus berasosiasi dengan tanaman hidup (Imas dkk., 1989). Pada umumnya, tanaman dan FMA membentuk simbiosis mutualistis, yaitu tanaman dan fungi membantu tanaman dalam menyerap hara dan air dari tanah, tanaman memberikan karbon dari fotosintat untuk pertumbuhan dan per-kembangan FMA. Jasa paling utama diberikan oleh FMA kepada tanaman adalah pengambilan dan translokasi nutrisi di luar zona rhizosfir ke akar tanaman, dan tugas tersebut dilaksanakan oleh ekstraradikal miselium FMA (Johansen dkk., 1993 dan Ezawa dkk., 2002 yang dikutip oleh Widiastuti dkk., 2003).

Smith dan Read (2008) membagi mikoriza ke dalam dua subdivisi besar yaitu ektomikoriza dan endomikoriza. Ektomikoriza dicirikan dengan mantel dan jaring Hartig hifa interselular di akar tanaman, sedangkan endomikoriza memiliki ciri hifa intraselular. Endomikoriza terdiri atas fungi mikoriza arbuskula (FMA), ericoid mikoriza, arbutoid mikoriza, monotropoid mikoriza, ektendomikoriza dan orchid mikoriza.

Struktur anatomi endomikoriza berbeda dengan ektomikoriza. Akar yang ber-simbiosis dengan ektomikoriza memiliki struktur khas berupa mantel (lapisan hifa) yang dapat dilihat dengan mata telanjang. Struktur mikoriza tersebut ber-fungsi sebagai pelindung akar, tempat pertukaran sumber karbon dan hara serta tempat cadangan karbohidrat bagi fungi. Hifa fungi ektomikoriza. tidak masuk ke


(45)

23

dalam dinding sel tanaman inang. Sedangkan akar yang bersimbiosis dengan endomikoriza harus diamati dibawah mikroskop, karena struktur arbuskular atau vesikular terbentuk di dalam sel tanaman inang dan hanya dapat diamati di bawah mikroskop setelah dilakukan perlakuan khusus dan pewarnaan (Novriani dan Madjid, 2009).

Fungi mikoriza arbuskula termasuk golongan endomikoriza merupakan fungi yang bersimbiosis dengan akar tanaman. Sebagian fungi ini membentuk vesikula dan arbuskula di dalam korteks tanaman sehingga disebut juga dengan fungi mikoriza vesikula arbuskula. Vesikula merupakan ujung hifa berbentuk bulat, berfungsi sebagai organ penyimpanan, sedangkan arbuskula merupakan hifa yang berperan dalam transfer hara dari tanah ke tanaman (Setiadi, 2001).

2.2.2 Struktur FMA

Endomikoriza dicirikan oleh hifa yang intraseluler, yaitu hifa yang menembus kedalam sel-sel korteks dan dari sel yang satu ke sel yang lain. Di antara sel-sel terdapat hifa yang membelit atau struktur hifa yang bercabang-cabang yang di-sebut arbuskula dan pembengkakan yang terbentuk pada hifa yang mengandung minyak yang disebut vesikula. Vesikula berfungsi sebagai tempat penyimpanan yang diameternya lebih kecil dari 1 mm, sedangkan arbuskula tersebut berperan dalam transfer hara dari tanah ke tanaman dan fungsinya yang lebih utama adalah menyediakan unsur hara (terutama P) menjadi tersedia yang dapat dimanfaatkan oleh tanaman. Walaupun seolah-olah fungi ini melakukan penetrasi langsung ke dalam sitosol sel korteks membentuk struktur vesikula-arbuskula, tetapi


(46)

24

sesungguhnya terdapat pembatas antara vesikula dan arbuskula dengan sitosol sel korteks yakni suatu membran plasma (Lakitan, 2000).

Ciri utama fungi mikoriza arbuskular adalah terdapatnya arbuskula di dalam sel korteks akar. Awalnya fungi tumbuh di antara sel-sel korteks, tetapi kemudian segera menembus dinding sel inang dan berkembang di dalam sel. Istilah umum bagi semua tipe mikoriza yang funginya berkembang di dalam sel korteks adalah endomikoriza, sebagaimana perkembangan fungi, sel membran inang mem-bungkus fungi (Brundrett dkk., 1996). Struktur umum dari FMA dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Penampang Longitudinal Akar yang Terinfeksi FMA (Sumber : Brundett dkk., 1996).


(47)

25

2.2.3 Manfaat FMA

a. Meningkatkan serapan hara dan air

Pertumbuhan dan produksi tanaman dapat dibantu oleh FMA. Peran utama FMA adalah membantu akar tanaman dalam penyerapan hara dan air. Dijelaskan oleh Brundrett dkk. (1996) bahwa FMA yang bersimbiosis dengan akar tanaman inang akan memproduksi hifa internal dan eksternal secara intensif sehingga tanaman bermikoriza akan mampu meningkatkan kemampuannya dalam menyerap hara dan air. Hal ini juga didukung oleh Smith dan Read (2008) yang menyatakan bahwa FMA berperan dalam meningkatkan penyerapan air dan hara (P, Zn, Cu, Ni, NH4+), dan hasil penelitian Kartika (2006) menunjukkan bahwa serapan P lebih tinggi pada bibit kelapa yang diberi FMA dibandingkan dengan yang tidak diberi. Disamping serapan hara melalui aliran masa, serapan P yang tinggi juga disebabkan karena hifa. Fungi juga mengeluarkan enzim fosfatase yang mampu melepaskan P dari ikatan-ikatan spesifik, sehingga tersedia bagi tanaman

Penanaman kelapa sawit pada tanah masam akan mudah mengalami kekeringan terutama pada musim kemarau. Hal ini terjadi karena tanah masam mempunyai kemampuan menahan air yang rendah. Kartika (2006) melaporkan bahwa bibit sawit yang mengalami cekaman kekeringan tetapi diinokulasi FMA memberikan nisbah tajuk/akar yang lebih rendah dibandingkan bibit Tanpa FMA. Hal ini mengindikasi-kan bahwa bibit yang bermikoriza memiliki perkembangan akar lebih baik, sehingga lebih mampu menyerap air dan unsur-unsur hara yang sangat diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangan bibit kelapa sawit tersebut.


(48)

26

b. Meningkatkan daya tahan tanaman terhadap serangan patogen Mikoriza dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman melalui perlindungan tanaman dari patogen akar dan unsur toksik (Wani et al., 1991). Mikoriza

menggunakan hampir semua kelebihan karbohidrat dan eksudat lainnya, sehingga tercipta lingkungan yang tidak cocok untuk patogen. Fungi mikoriza dapat mengeluarkan antibiotik yang dapat mematikan patogen. Akar tanaman yang sudah diinfeksi fungi mikoriza, tidak dapat diinfeksi oleh fungi patogen yang menunjukkan adanya kompetisi.

Infeksi jamur mikoriza dapat meningkatkan induksi ketahanan tanaman karena terjadinya lignifikasi dan peningkatan kandungan fenol (Soenartiningsih, 2013). Lignifikasi adalah pertahanan dari dinding sel terhadap infeksi patogen, akumulasi atau terjadinya lignin selain di akar juga dapat terjadi di daun atau pada umbi. Peningkatan senyawa fenol menyebabkan terjadinya peningkatan enzim lyase. Peningkatan enzim ini penyebab terjadinya induksi ketahanan (Soenartiningsih, 2011).

Linderman (1988) menduga bahwa mekanisme perlindungan mikoriza terhadap patogen berlangsung sebagai berikut: 1) fungi mikoriza memanfaatkan

karbohidrat lebih banyak dari akar, sebelum dikeluarkan dalam bentuk eksudat akar, sehingga patogen tidak dapatberkembang, 2) terbentuknya substansi yang bersifat antibiotik yang disekresikan untuk menghambat perkembangan patogen, 3) memacu perkembangan mikroba saprofitik di sekitar perakaran.


(49)

27

c. Meningkatkan daya tahan tanaman terhadap kekeringan

Brundrett dkk. (1996) menyatakan bahwa adanya mikoriza akan membantu kerja perakaran tanaman. Mikoriza juga mampu meningkatkan toleransi tanaman terhadap keadaan lingkungan yang tidak menguntungkan seperti kekeringan dan salinitas tinggi. Bahkan pada penelitian Yusnaini dkk. (1999) dilaporkan bahwa penggunaan FMA ini dapat meningkatkan produksi jagung yang mengalami kekeringan sesaat pada fase vegetatif dan generatif. Anas (1997) menyatakan bahwa tanaman yang bermikoriza lebih tahan terhadap kekeringan daripada yang tidak bermikoriza. Rusaknya jaringan korteks akibat kekeringan dan matinya akar tidak akan permanen pengaruhnya pada akar yang bermikoriza. Setelah periode kekurangan air (water stress), akar yang bermikoriza akan cepat kembali normal. Hal ini disebabkan karena hifa fungi mampu menyerap air yang ada pada pori-pori tanah saat akar tanaman tidak mampu lagi menyerap air. Penyebaran hifa yang sangat luas di dalam tanah menyebabkan jumlah air yang diambil

meningkat.

d. Memperbaiki agregat tanah

Fungi mikoriza arbuskula memiliki peranan yang penting dalam perbaikan struktur tanah yaitu dengan cara mengikat partikel-partikel tanah melalui per-kembangan miselliumnya yang intensif (Sieverding, 1991).

Menurut Hakim dkk. (1986), faktor-faktor yang terlibat dalam pembentukan struktur tanah adalah organisme, seperti benang-benang jamur yang dapat


(50)

28

dari hifa-hifa eksternal pada jamur mikoriza, sekresi dari senyawa-senyawa polysakarida, asam organik dan lendir yang diproduksi juga oleh hifa-hifa eksternal, akan mampu mengikat butir-butir primer/agregat mikro tanah menjadi butir sekunder/agregat makro. Agen organik ini sangat penting dalam

menstabilkan agregat mikro dan melalui kekuatan perekat dan pengikatan oleh asam-asam dan hifa tadi akan membentuk agregat makro yang mantap (Subiksa, 2002).

2.2.4 Jenis FMA

Filogeni perkembangan dan taksonomi FMA dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 2.Taksonomi Fungi Mikoriza Arbuskular

http://www.darmstadt.de/fb/bio/bot/schuessler/amphylo/amphylogeny.html

Pada Gambar 2 terlihat genus FMA berjumlah 10 genus, namun pada saat ini ber-kembang 18 genus dengan berber-kembangnya teknologi dan DNA (Gambar 3).


(51)

29

Gambar 3.Taksonomi Fungi Mikoriza Arbuskular

Schubler dan Walker (2010) yang dikutip oleh Kruger (2011).

Menurut Abbott dan Robson (1984) yang dikutip oleh Tanjung (2009), setiap spesies FMA mempunyai innate effectiveness atau kemempanan spesifik.

Keefektifan (effectiveness) diartikan sebagai kemampuan FMA dalam meningkat-kan pertumbuh-an tanaman pada kondisi tanah yang kurang menguntungmeningkat-kan. Setidaknya ada empat faktor yang berhubungan dengan keefektifan dari suatu spesies FMA, yaitu:

(a) kemampuan FMA untuk membentuk hifa yang ekstensif dan penyebaran hifa yang baik di dalam tanah, (b) kemampuan FMA untuk membentuk infeksi yang ekstensif pada seluruh sistem perakaran yang berkembang dari suatu tanaman, (c) kemampuan hifa FMA untuk menyerap fosfor dari larutan tanah, dan (d) umur


(52)

30

dari mekanisme transpor sepanjang hifa ke dalam akar tanaman (waktu hidup akar yang dikolonisasi diperpanjang).

Setiap jenis FMA mungkin berbeda-beda dalam kemampuannya membentuk hifa di dalam tanah, baik distribusi maupun kuantitas hifa tersebut. Di samping itu sudah dipastikan bahwa perkembangan infeksi FMA berhubungan dengan kemampuan FMA untuk meningkatkan pertumbuhan tanaman. Namun belum diketahui secara pasti apakah pertumbuhan hifa eksternal adalah bersifat khusus, artinya tidak tergantung pada perkembangan infeksi di dalam akar (Delvian, 2005).

Smith dan Read (2008) menyatakan bahwa ketersediaan hara yang rendah mengakibatkan meningkatnya kolonisasi mikoriza pada akar tanaman dan produksi spora. Hal ini karena dengan rendahnya unsur hara maka aktivitas mikoriza semakin meningkat sedangkan ketersediaan hara yang tinggi dalam tanah dapat merubah simbiosis mutualistik antara mikoriza dengan tanaman inang menjadi bentuk parasitisme.

2.3 Pupuk Fosfat

Fosfat merupakan unsur hara essensial bagi pertumbuhan tanaman dan merupakan unsur yang kritis setelah N (Hakim dkk., 1986). Peranan P dalam tanaman antara lain adalah dapat mempercepat pertumbuhan akar semai, mempercepat dan memperkuat pertumbuhan tanaman, meningkatkan produksi biji-bijian, dan memperkuat tubuh tanaman sehingga tidak mudah rebah (Salisburry dan Ross, 1995).


(53)

31

Unsur P diambil tanaman dalam bentuk ion orthofosfat primer dan sekunder (H2PO4- atau HPO42-). Proporsi penyerapan kedua ion ini dipengaruhi pH area perakaran tanaman. Pada pH rendah, tanaman lebih banyak menyerap ion

orthofosfat primer, tetapi pada pH yang lebih tinggi ion orthofosfat sekunder yang lebih banyak diserap tanaman (Hanafiah, 2005).

Fosfor tersedia di dalam tanah dapat berupa P tanah yang larut dalam air, dan ketersediaannya sangat dipengaruhi oleh pH tanah. Ketersediaan P maksimum dijumpai pada pH 5,5-7,0. Ketersediaan P akan menurun bila pH tanah lebih rendah dari 5,5 atau lebih tinggi dari 7,0. Tanah yang kekurangan fosfor tidak baik bagi tanaman. Gejala kekurangan P berupa tanaman akan berwarna hijau kelam dan sering warna kemerahan, daun bagian bawah lambat laun berubah menjadi kuning mengering hingga berwarna hitam, dan buahnya menjadi kerdil (Sutrisno, 1989).

Kekurangan unsur P mengakibatkan pertumbuhan tanaman terhambat karena pembelahan sel terganggu, daun berwarna hijau tua atau coklat mulai dari ujung daun terutama pada bagian tanaman yang masih muda. Tanaman yang kekurang-an unsur P disebabkkekurang-an oleh jumlah P tersedia dalam tkekurang-anah sedikit, karena sebagikekurang-an P terdapat dalam bentuk yang tidak dapat diserap oleh tanaman akibat terjadinya fiksasi oleh Al pada tanah masam atau Ca pada tanah alkalis (Rosmarkam dan Yuwono, 2002).

Menurut Hanafiah (2005), pemberian P yang cukup akan merangsang

per-kembangan sistem perakaran tanaman tanaman, dan berperan dalam pembentukan biji dan buah.


(54)

32

Menurut Novizan (2005), jika terjadi kekurangan P, tanaman menunjukkan gejala pertumbuhan sebagai berikut: (a) pertumbuhan lambat dan kerdil, (b)

per-kembangan akar terhambat, (c) gejala pada daun sangat beragam, beberapa tanaman menunjukkan warna hijau tua mengkilap yang tidak normal, (d) pe-matangan buah terhambat, (e) perkembangan bentuk dan warna buah buruk, dan (f) biji berkembang secara tidak normal.

2.4 Bahan Organik

Bahan organik merupakan salah satu komponen tanah yang penting disamping air dan udara. Bahan organik dapat mengurangi kemampuan berkecambah dari spora baik pada media agar maupun media tanah tidak steril. Ketersediaan nitrogen dan P yang rendah akan mendorong pertumbuhan FMA. Akan tetapi kandungan bahan organik yang terlalu rendah atau tinggi menghambat per-tumbuhan FMA. Perkecambahan spora tidak hanya bergantung pada spesies dari FMA tetapi juga kandungan bahan organik di dalam tanah (Islami dan Wani, 1995).

Bahan organik merupakan salah satu komponen penting dalam menentukan jumlah spora FMA. Jumlah maksimum spora ditemukan pada tanah-tanah yang mengandung bahan organik 1-2% sedangkan pada tanah-tanah berbahan organik kurang dari 0,5% kandungan spora sangat rendah. Ameliorasi tanah dengan bahan organik sisa tanaman atau pupuk hijau merangsang perkembangbiakan FMA (Anas, 1997)


(55)

33

Efek jangka panjang dari aplikasi pupuk organik ke dalam tanah yaitu meningkat-nya kandungan humus tanah yang merupakan hasil akhir proses dekomposisi bahan organik. Humus memiliki peran dalam menyuburkan sifat fisik, kimia, dan biologi tanah (Sutanto, 2002).

Secara umum, pupuk organik (kompos) merupakan dekomposisi bahan-bahan organik atau proses perombakan senyawa yang kompleks menjadi senyawa yang sederhana dengan bantuan mikroorganisme. Kompos berfungsi memperbaiki struktur tanah, tekstur tanah, aerase dan peningkatan daya resap tanah terhadap air. Kompos juga berfungsi sebagai stimulan untuk meningkatkan kesehatan akar tanaman dan menyediakan makanan untuk mikroorganisme yang dapat menjaga tanah dalam kondisi sehat dan seimbang. Penggunaan kompos mampu mengatasi kelangkaan pupuk anorganik yang mahal (Isroi, 2008).

Pupuk organik (kompos) memiliki kandungan unsur hara yang terbilang lengkap karena mengandung unsur hara makro dan mikro, namun jumlahnya relatif kecil dan bervariasi tergantung dari bahan baku, proses pembuatan, bahan tambahan, tingkat kematangan dan cara penyimpanan. Kualitas kompos tersebut dapat ditingkatkan dengan penambahan mikroorganisme yang bersifat menguntungkan (Simamora dan Salundik, 2006).

Kompos dapat menjadi sumber unsur hara yang dapat diserap tanaman. Di

samping itu, kompos juga mampu meningkatkan penyerapan dan daya simpan air di dalam tanah. Simamora dan Salundik (2006) menyatakan bahwa kompos pada umumnya mengandung unsur hara kompleks (makro dan mikro) walaupun dalam jumlah sedikit, selain itu secara fisik kompos juga mampu menggemburkan tanah,


(56)

34

memperbaiki aerase, meningkatkan penyerapan dan daya simpan air (water holding capacity). Secara kimia, kompos dapat meningkatkan kapasitas tukar kation (KTK), dan meningkatkan ketersediaan unsur hara dan asam humat. Secara biologi, kompos dapat melindungi perakaran tanaman dari patogen. Peran bahan organik dalam menekan perkembangan patogen tidak hanya dengan meningkat-kan aktivitas mikrobia tanah, juga dengan meningkatmeningkat-kan kesehatan akar sehingga menjadikan tanaman lebih tahan terhadap penyakit (Manici dkk., 2005).

Pemberian media kompos yang merupakan hasil pelapukan bahan-bahan yang berasal dari tumbuh-tumbuhan dan hewan, selain sebagai gudang nutrisi bagi tanaman juga dapat memperbaiki struktur tanah, aerasi dan efek pengikat partikel tanah. Pengaruhnya pada sifat biologis tanah adalah dapat menciptakan media menjadi lebih sesuai, sehingga baik bagi perkembangan perakaran tanaman dan bagi perkembangbiakan mikroorganisme (PPKS, 2008).


(57)

III. METODE PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Produksi Perkebunan dan rumah kaca Fakultas Pertanian Unila Bandar Lampung antara bulan Desember 2010 sampai dengan September 2012.

3.2 Alat dan Bahan

Peralatan yang digunakan adalah autoclave, mikroskop, gelas preparat, cawan petri, timbangan elektrik, pinset mikro, nampan plastik, botol film, gembor, meteran, oven listrik, cangkul, saringan (ukuran 250 μm, 150 μm, dan 63 μm), ember, gunting, dan alat-alat tulis. Bahan-bahan yang digunakan adalah benih kelapa sawit (D x P) Dumpy, polibag, pupuk Urea, SP-36, KCl, FMA jenis Glomus sp. Isolat MV7 dan Gigaspora sp. Isolat MV16 , air, larutan KOH 10%, HCL 1%, glycerol, thrypan blue, dan akuades.


(58)

36

Tabel 1. Deskripsi 2 jenis FMA yang diuji.

No Keterangan Isolat MV7 Isolat MV16

1 Spesies Glomus sp. Isolat

MV7

Gigaspora sp. Isolat MV16

2 Bentuk Bulat-tidak beraturan Bulat-tidak beraturan

3 Ukuran Kecil Besar

4 Warna Cream—Kuning Putih-Kuning

5 Sporocarp Tidak ada Tidak ada

6 Sporiferous saccule TIdak ada Tidak ada 7 Spora di dalam/di luar

akar atau keduanya

Di luar akar Di luar akar 8 Cara subtending hifa

melekat ke dinding spora

Tanpa sekat Bersekat

9 Bulbose suspensor Tidak ada Ada

10 Auxiliary cells Tidak ada Ada

11 Germination Shield Tidak ada Tidak ada 12 Reaksi terhadap

Melzer

Negatif Positif

13 Media Perbanyakan Pasir Pasir+zeolit 14 Tanaman inang Rumput gajah+

jagung + PJ

Setaria, Jagung, Rumput gajah

15 Asal Sekampung Udik.

Lampung

Bangunsari Banyuwangi, Jawa Timur

Asal sampel L 287 (0; 44,9%) single

S 38 (32/20 g) 16 Gambar spora dalam

PVLG

17 Gambar spora dalam Melzer


(59)

37

Penelitian 1.

Pertumbuhan bibit kelapa sawit dengan aplikasi 2 jenis FMA dan 3 dosis fosfat

3.3 Metode penelitian 1

Untuk menjawab rumusan masalah dan menguji hipotesis maka perlakuan disusun secara faktorial (4x3) dengan 5 ulangan. Faktor pertama yaitu jenis mikoriza (M) yang terdiri dari 4 taraf yaitu Tanpa inokulasi mikoriza (m0), Gigaspora sp. Isolat MV16 (m1), Glomus sp. Isolat MV7 (m2), Gigaspora sp. Isolat MV16 + Glomus sp. Isolat MV7 (m3). Faktor kedua yaitu pemberian pupuk fosfat (P) yang terdiri dari 3 taraf yaitu 1/3 dosis anjuran SP36/polibag (p1),2/3 dosis anjuran

SP36/polibag (p2), 3/3 dosis anjuran SP36/polibag (p3).

Perlakuan diterapkan ke dalam satuan percobaan menggunakan Rancangan Kelompok Teracak Sempurna (RKTS) seperti terlihat pada Gambar 4.

Kehomogenan ragam diuji dengan uji Bartlet dan keaditifan data diuji dengan uji Tukey, selanjutnya data dianalisis ragam dengan membandingkan F hitung dengan F tabel pada taraf 5% dan dilanjutkan dengan Uji Beda Nyata Terkecil (BNT) pada taraf 5%.


(1)

102 Pertumbuhan dan Produksi Padi Gogo di Tanah Ultisol. Tesis. Universitas Sumatra Utara. Medan. 100 hlm.

Clark, R. B. (1997). Arbuscular mycorrhizal adaptation, spore germination, root colonization, and host plant growth and mineral acquisition at low pH. Plant Soil, 192: 15-22.

Corkidi, L., E.B. Allen, D. Merhaut, M.F. Allen, J. Downer, J. Bohn and M. Evans. 2004. Assessing The Infectivity of Commercial Mycorrhizal Inoculants in Plant Nursery Conditions. J. Environ. Hort, 22(3):149-154.

Darmstadt. 2010. Taxonomy of arbuscular mycorrhizal fungi.

http://www/darmstadt.de/fb/bio/bot/schuessler/amphylo/amphylogeny.hml. Diakses tanggal 20 April 2013.

Delvian 2005. Respon Pertumbuhan dan Perkembangan Cendawan Mikoriza Arbuskula dan Tanaman Terhadap Salinitas Tanah.

http://library.usu.ac.id/download/fp/hutan-delvian.pdf [17 Juni 2009]. 21 hlm. Departemen Perindustrian. 2007. Gambaran Sekilas Industri Minyak Kelapa Sawit. Sekretariat Jenderal Departemen Perindustrian. 23 hlm.

Djazuli, M. 2011. Pengaruh pupuk P dan mikoriza terhadap produksi mutu simplisia purwoceng. Bul. Littro, 22(2):147-156.

Garcia-Garrido, J.M., M. Tribak, A. Rejon-Palomares, J.A. Ocampo, and I. Gracia-Romera. 2000. Hydrolytic enzymes and ability of arbuscular mycorrhizal fungi to colonize roots. J. of Exp. Bot, 51(349):1443-1448.

Gardner, P., R.B. Pearce, dan R.L. Mitchell. 1991. Fisiologi Tanaman. Diterjemahkan oleh Susilo, H. dan Subiyanto. Penerbit Universitas Indonesia. 424 hlm.

Gunawan, A.W.1993. Mikoriza Arbuskula. Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat. IPB Bogor.

Gusnidar, Y. Fatmawita, dan R. Nofianti, 2011. Pengaruh kompos asal kulit jengkol (Phitecolobium jiringa (Jack) Prain ex King) terhadap ciri kimia tanah sawah dan produksi tanaman padi. Jurnal Solum, 8(2): 17-27.

Hakim, N., A.M. Lubis, M.A. Pulung, M.Y. Nyakpa, M.G. Amrah, dan G.B. Hong. 1986. Pupuk dan pemupukan. Diterbitkan oleh Badan Penerbit Universitas Lampung untuk BKS-PTN/USAID WUAE-Project. Bandar Lampung. 288 hlm.

Hanafiah, K.A. 2005. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Raja Grafindo Persada. Jakarta. 360 hlm.


(2)

103 Hasbi R. 2005. Studi diversitas cendawan mikoriza arbuskula (CMA) pada

berbagai tanaman budidaya di lahan gambut Pontianak. Jurnal Agrosains, 2 (1): 46-50.

Imas, T., R.S. Hadioetomo, A.W. Gunawan, dan Y. Setiadi. 1989. Mikrobiologi Tanah II. Institut Pertanian Bogor. Jawa Barat. 145 hlm.

Indriani, N.P., Mansyur, I. Susilawati, dan L. Khairani. 2006. Pengaruh pemberian bahan organik, mikoriza, dan batuan fosfat terhadap produksi, serapan fosfor pada tanaman kudzu tropika (Pueraria phaseoloides Benth. Jurnal Imu Ternak, 6(2): 158-162.

Indriaty. 2006. Respons Cendawan Mikoriza Arbuskular pada Aquilaria spp. Program Studi Biologi Fakultas MIPA. IPB. Bogor. 14 hlm.

Islami dan Utomo, 1995. Hubungan Tanah, Air dan Tanaman. IKIP Semarang. 288 hlm.

Islami, T. dan H.U. Wani. 1995. Hubungan Tanah, Air dan Tanaman. IKIP Semarang Press. Semarang. 297 hlm

Isroi. 2008. Kompos. Peneliti pada Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia. http://isroi.files.wordpress.com/2008/02/kompos.pdf. Bogor. Diakses 3 Maret 2012.

Jayanegara, C.M., 2011. Pengaruh Pemberian Mikoriza Vesikular Arbuskular (MVA) dan Berbagai Dosis Pupuk Kompos terhadap Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Sorgum (Sorghum bicolor (L.) Moench). Skripsi. Fakultas Pertanian. Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta. 112 hlm.

Kartika, E. 2006. Tanggap Pertumbuhan, Serapan Hara, dan Karakter Morfofisiologi terhadap Cekaman Kekeringan pada Bibit Kelapa Sawit yang Bersimbiosis dengan CMA. Disertasi. Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor. 188 hal. Kruger, M. 2011. Molecular phylogeny, taxonomy and evolution of arbuscular mycorrhizal fungi, DNA-base characterization and identification of

Glomeromycota. Disertasi Fakultas Biologi. Universitas Munchen.

Lakitan, B. 2000. Dasar-dasar Fisiologi Tumbuhan. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. 244 hlm.

Linderman. 1988. Mycorrhizal interactions with the rhizozphere microflora: The mycorrhizosphere effect. Phytopathologi, 78: 366-371.

Lynch, J.M. 1989. The Rhizosphere. A Wiley-Interscience Publication. 441 hlm. Mangoensoekarjo, S. dan H. Semangun. 2005. Manajemen Agrobisnis Kelapa Sawit. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 605 hlm.


(3)

104 Manici, L.M., F. Caputo and G. Baruzzi. 2005. Additional experiences to

elucidate microbial component of soil suppressiveness towards strawberry black root rot complex. Annual Applied Biolog, 146: 421-431.

Marschner, H. 1995. Mineral Nutrition of Higher Plants. Academic Press. New York. 889 hlm.

Marsi, Sabaruddin, dan M.A. Diha. 1997. Peranan Fungi Mikoriza dalam Peningkatan Efisiensi Pemupukan N dan Pemupukan P Tanah: Ketersediaan N dan P Tanah. Dalam Prosiding Seminar Nasional. Identifikasi Masalah Pupuk Nasional dan Standardisasi Mutu yang Efektif. Bandar Lampung. 22 Desember 1997. Hlm 123-131.

Muzakkir. 2011. Efektivitas Berbagai Fungi Mikoriza Arbuskular Indigenous terhadap Pertumbuhan Tanaman Jarak Pagar (Jatropha curcas L.). Jurnal Jerami, 4(1): 40-44.

Novizan. 1999. Pemupukan Yang Efektif. Makalah Pada Kursus Singkat Pertanian. PT Mitratani Mandiri Perdana. Jakarta.

Novizan. 2005. Petunjuk Pemupukan yang Efektif. Agromedia Pustaka. Jakarta. 130 hlm.

Novriani dan Madjid. 2009. Peran dan Prospek Mikoriza.

http://www.scribd.com/doc/22391846/Peran-Dan-Prospek-Mikoriza. Diakses tanggal 12 April 2011.

Pahan, I. 2011. Panduan Teknis Budidaya Kelapa Sawit. Penerbit Swadaya . Jakarta. 218 hlm.

Pamuna, K., S. Darman, dan Y.S. Pata’dungan. 2013. Pengaruh pupuk SP-36 dan fungi mikoriza arbuscular terhadap serapan fosfat tanaman jagung (Zea mays L.) pada oxic distrudepts Lemban Tongoa. J. Agrotekbis, 1(1):23-29.

PPKS. 2008. Kompos Bio Organik Tandan Kosong Kelapa Sawit. Pusat Penelitian Kelapa Sawit. Medan.

Purlasyanko, N. 2012. Pengaruh Jenis Fungi Mikoriza Arbuskular pada Pertumbuhan Bibit Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) yang Ditanam pada Media Steril dan Tidak Steril. Skripsi Universitas Lampung. Bandar Lampung. 56 hlm.

Rosmarkam, A. dan N.W. Yuwono. 2002. Ilmu KesuburanTanah. Kanisius. Yogyakarta. 224 hlm.


(4)

105 Saidi A.B. 2006. Status Mikoriza Hutan Pantai dan Hutan Mangrove Pasca Tsunami Studi Kasus di Nanggroe Aceh Darussalam dan Nias. Tesis. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor.

Salisbury, F.B., C.W. Ross. 1995. Fisiologi Tumbuhan. Jilid I. Penerbit ITB. Bandung. 241 hlm.

Santoso, E., M. Turjaman, R.S.B. Irianto. 2006. Aplikasi Mikoriza untuk Meningkatkan Kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan Terdegradasi. Dalam Prosiding Ekspose Hasil-Hasil Penelitian: Konservasi dan Rehabilitasi Sumberdaya Hutan tanggal 20 September 2006. Padang. Hlm. 71-80.

Setiadi, Y. 2001. Peranan mikoriza arbuskular dalam rehabilitasi lahan kritis di Indonesia. Prosiding Seminar Nasional Mikoriza. Asosiasi Mikoriza Indonesia Cabang Jawa Barat. Hal. 1-12.

Setiyaningsih, L., S.W. Budi, dan Y. Setiadi. 2008. Potensi Fungi Mikoriza Arbuskular dan Kompos Aktif untuk Meningkatkan Pertumbuhan Semai Mindi (Melia adarach Linn.) pada Media Tailing Tambang Emas. Prosiding Seminar Nasional. Silvikultur Rehabilitasi Lahan :Pengembangan Strategi untuk

Mengendalikan Tingginya Laju Degradasi Hutan. Wanagama I. 24-25 November 2008. Fakultas Kehutanan Universitas Gajah Mada Yogyakarta.

Setiawati, M.R. 2005. Pupuk Biologis Dari Mikroba Pelarut Fosfat. http://www.Pikiran. Rakyat.com. Diakses tanggal 20 April 2013.

Sidabutar, R.M. 2006. Pengaruh Pemberian Pupuk Organik terhadap Produksi Sawi (Brassica juncea L.) dan Beberapa Sifat Kimia Tanah Andisol. Skripsi. Universitas Sumatra Utara. Medan.

Sieverding, E. 1991. Function of Mycorrhiza Vesicular Arbuscular Mycorrhiza Management in Tropical Agrosystems. Eshborn, Germany. p. 57-70.

Simamora, S. dan Salundik. 2006. Meningkatkan Kualitas Kompos. Agromedia Pustaka. Jakarta.

Sinaga, E. 2009. Crude Palm Oil. http://www.e7naga-id.tk/2009/04/crude-palm-oil.html. Diakses tanggal 18 April 2011.

Siregar, S. 2013. Minyak Sawit Sumbang 39,6% Produksi Minyak Nabati Dunia 2012.

http://www.indonesiafinancetoday.com/read/42570/Minyak-Sawit-Sumbang-396-Produksi-Minyak-Nabati-Dunia-2012. (Diakses tanggal 30 Mei 2013)

Smith, S.E. dan D.J. Read. 2008. Mycorrhizal Symbiosis. London. Academic Press. 90 hlm.


(5)

106 Soenartiningsih. 2011. Infeksi Jamur Mikoriza Arbuskular Berdampak dalam Meningkatkan Ketahanan Tanaman Jagung. Seminar dan Pertemuan Tahunan XXI PEI, PFI Komda Sulawesi Selatan dan Dinas Perkebunan Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan tanggal 7 Juni 2011 di Hotel Singgasana Makassar 4. Soenartiningsih. 2011. Potensi cendawan mikorizaaArbuskular sebagai media pengendalian penyakit busuk pelepah pada jagung. Iptek Tanaman Pangan, 8(1): 48-53

Subiksa, IGM. 2002. Pemanfaatan Mikoriza untuk Penanggulangan Lahan Kritis. Makalah Falsafah Sains (PPs 702). Edisi April 2002. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor.

Sundari, S., T. Nurhidayati, dan I. Trisnawati. 2011. Isolasi dan Identifikasi Mikoriza Indigenous dari Perakaran Tembakau Sawah (Nicotiana tabacum L.) di Area Persawahan Kabupaten Pamekasan Madura. Paper. Jurusan Biologi. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Institut Teknologi Sepuluh Nopember. Surabaya.

Sutanto, R. 2002. Pertanian Organik Menuju Pertanian Alternatif dan Berkelanjutan. Kanisius. Yogyakarta.

Sutrisno, T.C. 1989. Pemupukan dan Pengolahan Tanah. CV. Armico. Bandung.

Tanjung, A.F. 2009. Pengaruh Konsentrasi NaCl terhadap Perkecambahan Spora FMA. Tesis Sekolah Pascasarjana USU, Medan. 67 hlm. (tidak dipublikasikan). Tisdall, J.M. 2001. Fungal hyphae and structural stability of soil. Aust. Journal Soil. Res. 29:729-743.

Utami, S.N., dan S. Handayani. 2003. Sifat Kimia Entisol pada Sistem Pertanian Organik. Ilmu Pertanian : 10(2): 63-69.

Wani S.P., W.B. McGill and J.P. Tewari. 1991. Mycorrhizal and common root-rot infection and nutrient accumulation in barley grown on breton loam using N from biological fixation or fertilizer. Biology and Fertility of Soils, 12(1): 46-54. Widiastuti, H., N. Soekarno, L.K. Darusman. D.H. Goenadi, S. Smith dan E. Guhardja, 2003. Penggunaan Spora Cendawan Mikoriza Arbuskula sebagai Inokulum untuk Meningkatkan Pertumbuhan dan Serapan Hara

Bibit Kelapa Sawit. Jurnal Menara Perkebunan, 73(1):26-34.

Widiastuti, H., E. Guhardja, N. Sukarno, L.K. Darusman, D.H. Goenadi, S. Smith. 2003. Arsitektur akar bibit kelapa sawit yang diinokulasi

beberapa cendawan mikoriza arbuskula. Jurnal Menara Perkebunan, 71(1): 28-43.


(6)

107 Wood, M. 1995. Environmental Soil Biology. Chapman and Hall, London.

Yusnaini, S., A. Niswati, S. G. Nugroho, K. Muludi, dan A. Irawati. 1999.

Pengaruh inokulasi mikoriza vesikular arbuskular terhadap produksi jagung yang mengalami kekeringan sesaat pada fase vegetatif dan generatif. Jurnal Tanah Tropika, 9:1-6.

Yuwono, N.W. 2006. Pupuk Hayati. http://www.nasih@ugm.ac.id. Diakses tanggal 20 April 2013.


Dokumen yang terkait

Pendugaan Cadangan Karbon Pada Tegakan Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) Umur 10 Tahun di Perkebunan Kelapa Sawit PT. Putri Hijau, Kabupaten Langkat

3 83 102

Respon Morfologi dan Fisiologi Pada Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) Terhadap Aplikasi Pupuk Magnesium Dan Nitrogen

3 97 84

Respon Pertumbuhan Bibit Kelapa Sawit (Elaeis guineensis jacq) Terhadap Pupuk Cair Super Bionik Pada Berbagai Jenis Media Tanam di Pembibitan Utama

0 30 78

Indeks Keragaman Jenis Serangga pada Pertanaman Kelapa Sawit (Elais guinensis Jacq.) di Kebun Rambutan

1 58 50

Ketahanan Papan Komposit Dari Limbah Batang Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq) Dan Plastik Polipropilen (PP) Terhadap Fungi Pelapuk Kayu(Pycnophorus sanguinius FR dan Schizophyllum commune FR)

2 61 68

Kemampuan AntiFungi Bakteri Endofit Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) Terhadap Ganoderma boninenese Pat

5 53 66

Indeks Keanekaragaman Jenis Serangga Pada Pertanaman Kelapa Sawit (Elaeis Guineensis Jacq.) Di Kebun Tanah Raja Perbaungan PT. Perkebunan Nusantara III

6 91 53

Perubahan Pola Pertumbuhan Bibit Kelapa Sawit (Elaeis guineensis, Jacq) Dengan Pemberian ZPT Atonik Pada Media Campuran Pasir Dengan Blotong Tebu Di Pre Nursery

4 33 67

Model pendugaan cadangan karbon pada kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) umur 5 tahun di perkebunan kelapa sawit PT. Putri Hijau, Kabupaten Langkat.

6 77 76

Pendugaan Cadangan Karbon Pada Tegakan Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) Umur 15 Tahun di Perkebunan Kelapa Sawit Putri Hijau, Besitang Sumatera Utara

5 61 75