PENGAMATAN SIFAT FISIK UBI JALAR (ASAL GISTING KABUPATEN TANGGAMUS DAN JATI AGUNG KABUPATEN LAMPUNG SELATAN) PADA DUA METODE PENYIMPANAN

(1)

PENGAMATAN SIFAT FISIK UBI JALAR (ASAL GISTING KABUPATEN TANGGAMUS DAN JATI AGUNG KABUPATEN

LAMPUNG SELATAN) PADA DUA METODE PENYIMPANAN

Oleh

ANISA NARULLITA

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

Pada

Jurusan Teknik Pertanian

Fakultas Pertanian Universitas Lampung

FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2013


(2)

ABSTRAK

PENGAMATAN SIFAT FISIK UBI JALAR (ASAL GISTING KABUPATEN TANGGAMUS DAN JATI AGUNG KABUPATEN

LAMPUNG SELATAN) PADA DUA METODE PENYIMPANAN

Oleh

ANISA NARULLITA

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengamati sifat fisik dua asal ubi jalar pada dua variasi kondisi penyimpanan: suhu 30-32°C dengan kelembaban 58–70% dan suhu 25-26°C dengan kelembaban 80-95%. Ubi jalar yang digunakan sebagai sampel uji adalah ubi jalar asal Gisting dengan umur panen 6-7 bulan dan ubi jalar asal Marga dengan umur panen 3-4 bulan. Parameter kualitas: susut bobot, kadar air, jumlah dan panjang tunas, dan total padatan terlarut, diamati selama 8 minggu penyimpanan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa selama penyimpanan, suhu dan kelembaban udara penyimpanan menunjukkan data yang relatif stabil. Penyimpanan dingin (25-26°C; RH 85-90%) mampu menekan susut bobot dan meningkatkan total padatan terlarut (⁰Brix) pada kedua sampel ubi jalar. Kedua asal ubi jalar tidak menunjukkan perbedaan yang nyata dalam penurunan kadar air selama penyimpanan. Semakin banyaknya jumlah, tinggi mata tunas, semakin meningkat susut bobot pada ubi jalar. Ubi jalar dari Gisting lebih lama disimpan dibandingkan ubi jalar dari Marga dilihat dari batas susut bobot normal.


(3)

(4)

(5)

(6)

(7)

(8)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Jenis umbi-umbian banyak terdapat di Indonesia. Salah satu jenis umbi yang dikenal adalah ubi jalar (Ipomoea batatas). Ubi jalar merupakan jenis umbi dengan masa panen 3 – 4 bulan dan dapat berproduksi lebih dari 30 ton/ha, tergantung dari varietas, sifat tanah dan pemeliharaannya (DPTP Jabar, 2012). Pada tahun 2011, produksi ubi jalar di Indonesia mencapai 2.196.033 ton/tahun. Khususnya di Lampung, produksi ubi jalar mencapai 47.239 ton/tahun (BPS, 2011).

Ubi jalar merupakan salah satu tanaman rakyat yang dihasilkan di banyak negara-negara berkembang. Posisinya menduduki peringkat kesembilan di antara tanaman terpenting lainnya (Sarwono, 2005). Di Indonesia, biasanya ubi jalar disajikan sebagai makanan penyelang atau hidangan ringan. Ubi jalar biasanya dinikmati dengan secangkir kopi panas atau dikonsumsi setelah direbus, digoreng, atau dikukus (Sarwono, 2005).

Pemanfaatan ubi jalar sebagai alternatif bahan pangan semakin diperhitungkan dalam upaya diversifikasi pangan di Indonesia. Hal ini karena ubi ubi jalar mengandung kalori dan karbohidrat yang tinggi. Rukmana (1997) menyatakan


(9)

2

bahwa ubi jalar memiliki potensi kalori sebesar 215 kal/ha/hari sedangkan padi dan jagung berturut – turut hanya 176 kal/ha/hari dan 110 kal/ha/hari. Ubi jalar juga mengandung berbagai vitamin dan mineral serta kandungan gizi lain seperti protein dan lemak. Karena itulah ubi jalar merupakan satu komoditas pertanian penghasil karbohidrat yang penting sebagai cadangan pangan bila produksi padi dan jagung tidak mencukupi lagi. Di daerah yang memiliki produksi ubi jalar tinggi, ubi jalar dapat dijadikan bahan pangan alternatif untuk menggantikan beras dan jagung (Juanda dan Cahyono, 2000). Sebagaimana jenis tanaman pangan lain menurut Setiawati dkk (1994), kendala utama dalam penggunaan ubi jalar sebagai bahan baku industri makanan yaitu tidak tersedianya ubi sepanjang tahun.

Dari kandungan gizi dan manfaatnya, ubi jalar memiliki potensi yang dapat dipertimbangkan sebagai komoditas pertanian yang tinggi di pasaran. Rukmana (1997) menyebutkan bahwa ubi jalar memiliki potensi ekonomi dan sosial yang cukup tinggi sebagai bahan makanan yang efisien pada masa mendatang, sebagai bahan pakan ternak, dan bahan baku berbagai industri. Tidak hanya di pasar dalam negeri, pemanfaatan ubi jalar juga tinggi di negara lain, seperti Jepang, Korea, dan Amerika. Rukmana (1997) menyatakan bahwa ubi jalar amat potensial dianjurkan sebagai komoditas ekspor nonmigas.

Namun demikian ubi jalar merupakan komoditi yang mudah rusak (perishable) karena banyak mengandung air (berkisar antara 75%-80%), seperti halnya buah dan sayuran. Kerusakan umum yang terjadi adalah memar, terpotong, adanya tusukan-tusukan, bagian yang pecah, dan lecet serta kerusakan yang dihasilkan oleh respirasi dan transpirasi. Kerusakan dapat pula dikarenakan stress metabolat


(10)

(seperti getah), atau terjadinya perubahan warna coklat dari jaringan rusak atau induksi gas etilen yang dapat memacu proses kemunduran mutu produk. Kerusakan fisik memacu kerusakan fisiologis maupun patologis atau serangan mikroorganisme pembusuk. Kerusakan fisik juga dapat terjadi pada seluruh tahapan dari kegiatan sebelum panen, selama pemanenan, penanganan, grading, pengemasan, transportasi, penyimpanan, dan akhirnya sampai ke tangan konsumen (Imade, 2001).

Upaya untuk mempertahankan mutu ubi jalar adalah dengan menekan kehilangan air dari dalam umbi. Suhu, kelembaban relatif udara, pergerakan udara, dan tekanan udara adalah empat komponen lingkungan yang berpengaruh terhadap laju kehilangan air pada komoditi. Jika suhu tinggi, kelembaban relatif udara rendah, pergerakan udara yang cepat atau penurunan tekanan udara akan meningkatkan laju respirasi dan transpirasi produk (Imade, 2006). Respirasi menghasilkan CO2 yang menyebabkan terjadinya peningkatan suhu dan meningkatkan uap air. Sehingga proses kemunduran mutu seperti kehilangan air, pelayuan, dan pertumbuhan mikroorganisme akan semakin meningkat. Kehilangan air atau transpirasi selama penyimpanan berpengaruh terhadap penampakan yang diakibatkan oleh pelayuan atau pengeriputan sehingga produk menjadi kurang menarik, dengan tekstur yang jelek dan mutu menurun. Setiawati dkk (1994) menyatakan bahwa tunas pada ubi jalar akan tumbuh setelah penyimpanan selama 1 minggu tanpa perlakuan khusus.

Ubi jalar sebaiknya disimpan dalam suhu rendah dan kelembaban udara tinggi yaitu 24°C-27°C dan 85%-90% selama 15-20 hari untuk merangsang


(11)

4

terbentuknya lapisan gabus peridermis di bawah bagian yang rusak (Thompson and Scheuerman, 1993). Pencapaian kondisi lingkungan penyimpanan yang optimum merupakan satu masalah utama di daerah tropis karena suhu yang tinggi dan kelembaban udara rendah. Untuk mempertahankan mutu atau mempertahankan kandungan ubi jalar seperti dalam keadaan segar perlu dikembangkan suatu teknologi penyimpanan yang dapat memperlambat atau mengurangi pengaruh faktor-faktor yang dapat menyebabkan terjadinya penurunan mutu selama penyimpanan. Oleh karena itu perlu dilakukan penyimpanan pada kondisi suhu dan kelembaban udara yang berbeda sehingga dapat dilihat pengaruhnya terhadap mutu fisik ubi.

B. Rumusan Masalah

Pada saat panen raya, jumlah produksi ubi jalar melimpah sehingga umumnya harga jual ubi jalar di pasaran turun. Penyimpanan merupakan upaya mempertahankan kualitas ubi jalar agar tetap segar. Ubi jalar umumnya disimpan dalam ruang berventilasi minimal atau disimpan dalam karung. Selama penyimpanan dalam ruang berventilasi atau dalam karung ubi jalar masih melakukan respirasi yang menghasilkan panas sehingga suhu ruang menjadi meningkat dan mempercepat pembusukan ubi. Pencapaian kondisi suhu yang rendah dan kelembaban udara yang tinggi merupakan suatu masalah utama di daerah tropis. Pengkondisian suhu yang rendah dan kelembaban udara yang tinggi dapat merangsang terbentuknya lapisan gabus di bawah bagian yang rusak serta menekan laju respirasi dan transpirasi.


(12)

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang dirumuskan, tujuan dari penelitian ini adalah mengamati sifat fisik ubi jalar (asal Gisting dan Marga) pada dua metode penyimpanan (ruang dan suhu dingin).

D. Manfaat Penelitian

Mengetahui dan memberikan informasi kepada khalayak tentang pengaruh dua metode penyimpanan (ruang dan dan suhu) terhadap sifat fisik ubi jalar.


(13)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Ubi Jalar

Ubi jalar (Ipomoea batatas) atau ketela rambat atau “sweet potato” diduga berasal dari Benua Amerika. Para ahli botani dan pertanian memperkirakan daerah asal tanaman ubi jalar adalah Selandia Baru, Polinesia, dan Amerika Bagian Tengah. Ubi jalar menyebar ke seluruh dunia terutama negara-negara beriklim tropika, diperkirakan pada abad ke-16. Orang-orang Spanyol dianggap berjasa menyebarkan ubi jalar ke kawasan Asia terutama Filipina, Jepang dan Indonesia (Rukmana, 1997).

Ubi jalar merupakan tanaman ubi – ubian dan tergolong tanaman semusim (berumur pendek) dengan susunan utama terdiri dari batang, ubi, daun, buah dan biji. Tanaman ubi jalar tumbuh menjalar pada permukaan tanah dengan panjang tanaman dapat mencapai 3 m, tergantung pada kultivarnya. Batang tanaman berbentuk bulat, tidak berkayu, tidak berbuku-buku dan tipe pertumbuhannya tegak atau merambat. Daun berbentuk bulat sampai lonjong dengan tepi rata atau berlekuk dangkal sampai berlekuk dalam, sedangkan bagian ujungnya meruncing (Rukmana, 1997). Tanaman ubi jalar yang sudah berumur kurang lebih 3 minggu setelah tanam biasanya sudah membentuk ubi. Bentuk dan ukuran ubi merupakan salah satu kriteria untuk menentukan harga jual di pasaran. Bentuk ubi yang ideal


(14)

dan bermutu baik adalah bulat lonjong agak panjang dan tidak banyak lekukan dengan bobot antara 200 g – 250 g per ubi (Rukmana, 1997).

Ubi jalar adalah tanaman yang tumbuh baik di daerah beriklim panas dan lembab, dengan suhu optimum 27°C berkelembaban udara 50% – 60% dan lama penyinaran 11-12 jam per hari dengan curah hujan 750 mm – 1500 mm per tahun. Produksi dan pertumbuhan yang optimal untuk usaha petani ubi jalar yang cocok adalah pada saat musim kemarau (kering). Tanaman ini dapat tumbuh sampai ketinggian 1.000 meter di atas permukaan laut. Ubi jalar masih dapat tumbuh dengan baik di dataran tinggi (pegunungan) tetapi umur panen menjadi panjang dan hasil yang didapat rendah (Rukmana, 1997).

B. Jenis-Jenis Ubi Jalar

Menurut Andrianto dan Indarto ( 2004), berdasarkan tekstur, ukuran, warna kulit, dan warna umbi yang sangat bervariasi tergantung varietasnya. Warna ubi jalar terdiri dari ubi jalar kuning, ubi jalar oranye, ubi jalar putih, ubi jalar jingga dan ubi jalar ungu. Ubi jalar berwarna jingga atau oranye mengandung betakaroten tinggi dari pada ubi lainnya. Sementara varietas ubi jalar yang digunakan untuk pangan berdasarkan tekstur daging ubi jalar dapat dibedakan dalam dua golongan, yaitu umbi berdaging lunak karena banyak mengandung air tidak berserat (agak berair, berdaging manis) dan umbi berdaging keras karena banyak mengandung pati dan serat (banyak mengandung tepung) (Sarwono, 2005).


(15)

8

Gambar 1. Ubi jalar Oranye

Jenis umbi ubi jalar yang memiliki harga jual yang tinggi umumnya umbi yang berwarna dibandingkan umbi putih. Ubi jalar yang tergolong bernilai ekonomis adalah ubi Cilembu, ubi Gunung Kawi, dan ubi Jepang. Ubi jalar yang pernah dihasilkan oleh pemerintah Indonesia antara lain: Daya (1977), Borobudur (1982), Prambanan (1982), Mendut (1989), Kalasan (1991), Muara Takus (1995) (Sarwono, 2005). Sedangkan varietas - varietas yang baru dihasilkan tahun 2001 antara lain: Cilembu yang berasal dari Sumedang Jawa Barat dengan warna umbinya krem kemerahan/kuning, Sari yang berasal dari Persilangan Genjah Rante dan Lapis dengan warna umbi kuning, Jago yang berasal dari famili klon B 0059-3 dengan warna umbi kuning muda, Boko berasal dari persilangan no. 14 denagan MLG1258 dengan warna umbi krem dan Kidal yang berasal dari persilangan bebas induk Inaswang dengan warna umbi kuning tua (DPTP Jabar, 2012).


(16)

C. Ubi Jalar Asal Marga dan Asal Gisting

Ubi jalar dapat tumbuh pada dataran rendah maupun dataran tinggi. Salah satu faktor utama yang berpengaruh pada pertumbuhan tanaman ubi jalar adalah temperatur, kelembaban udara, curah hujan, penyinaran matahari, keadaan angin, keadaan tanah, letak geografi tanah, tofografi tanah dan sifat tanah (Juanda dan Cahyono, 2000). Namun, hasil ubi jalar di dataran rendah (< 500 m dpl) lebih tinggi dari pada di dataran tinggi (> 900 m dpl). Suhu udara yang dingin di dataran tinggi menyebabkan pertumbuhan tanaman ubi jalar kurang optimal (Rauf dan Lestari, 2009).

Penelitian ini menggunakan dua asal ubi jalar. Dalam hal ini petani yang saya datangi tidak mengetahui dengan jelas varietas ubi jalar yang digunakan. Petani hanya menyebutkan ubi jalar yang mereka tanam dengan sebutan ubi jalar kuning (mantang kuning) asli lokal daerah Gisting dan Marga. Untuk membedakannya, dalam penelitian ini saya menyebutkan kedua sampel ubi jalar tersebut dengan sebutan ubi jalar Marga dan ubi jalar Gisting. Ubi jalar Marga tumbuh di dataran rendah sementara ubi jalar Gisting tumbuh di dataran tinggi. Ubi jalar yang digunakan ini sama - sama merupakan ubi jalar berdaging kuning tua atau orange. Kulit ubi jalar asal Marga kulit berwarna merah sedangkan kulit ubi jalar asal Gisting berwarna kuning kecoklatan. Umur panen asal Marga 3 – 4 bulan lebih pendek dibandingkan ubi jalar asal Gisting 6 – 7 bulan.

Ubi jalar Marga memiliki kriteria mirip dengan varietas Sari yang merupakan hasil persilangan rantai x lapis tahun 2001. Sari, produktivitasnya mencapai 30-35 ton/ha. Bentuk umbi bulat telur membesar pada bagian ujung, tangkai umbi


(17)

10

sangat pendek. Warna kulit umbi merah dan warna umbinya kuning tua atau orange. Rasa enak, manis, kandungan bahan kering 28 %, kandungan pati 32,48 %, kandungan gula 5,23 %, kandungan protein 1,91 %, vitamin C 21,52 mg/100 gr, kandungan beta karoten 381 mkg/100 g, agak tahan hama boleng, dan penyakit kudis. Varietas Sari ini beradaptasi luas dan berkembang di daerah sentra produksi ubi jalar di Malang dan Mojokerto, Jawa Timur serta di Karanganyar, Jawa Tengah. Umbi dari varietas Sari cocok digunakan untuk campuran industri saos tomat. Umur panen 3,5-4,0 bulan (DPTP Jabar, 2012).

Ubi jalar asal Gisting memiliki panjang tangkai dan berdaun pendek serta bentuk umbi elip membulat ciri – ciri memiliki kesamaan dengan varietas Lokal Papua. Varietas Lokal Papua kandungan nutrisi pada ubi jalar ini adalah abu 0,73 %, protein 2,12 %, serat 4,93 %, gula total 4,87 %, beta karoten 533,8 mg/100 g, bahan kering umbi 32,8 %. Potensi hasil ubi jalar ini antara 30 ton/ha dengan umur panen 6 bulan. Warna kulit kuning kecoklatan, umbi kuning tua, bentuk elip membulat dianjurkan pada lahan sawah dan tegalan di daerah pegunungan dengan minimal ketinggian tempat 1000 m dpl (DPTP Jabar, 2012).

D. Komposisi Kimia Ubi Jalar Segar

Ditinjau dari komposisi kimia, ubi jalar potensial sebagai sumber karbohidrat, mineral zat besi (Fe), fosfor (P), dan kalsium (Ca) dan vitamin A, vitamin C, vitamin B1, dan riboflavin. Menurut Juanda dan Cahyono (2000), warna daging ubi jalar jingga kemerah – merahan memiliki hubungan dengan kandungan beta karoten lebih tinggi dari pada jenis ubi jalar lainnya. β-karoten berfungsi untuk mencegah dan menanggulangi penyakit mata. Tetapi tidak semua ubi jalar


(18)

mengandung β-karoten yang tinggi. Ubi jalar yang umbinya berwarna kuning atau putih memiliki kandungan β-karoten lebih rendah. Dari kandungan gizinya yang cukup lengkap ubi jalar dapat melengkapi kebutuhan gizi bagi kesehatan tubuh. Zat yang terkandung di dalam ubi jalar dapat mencegah berbagai penyakit, mengahasilkan energi, membangun sel – sel dalam tubuh, serta meningkatkan proses metabolisme tubuh.

Di dunia, peringkat ubi jalar menduduki tingkat kesembilan di antara tanaman pangan penting lainnya. Ubi jalar merupakan pemanfaatan sumber kalori, dibandingkan padi, kentang, kedelai, nilai gizi ubi jalar dapat dilihat komposisi zat gizinya (Sarwono, 2005). Adapun komposisi zat gizi ubi jalar dapat dilihat pada Tabel 1.


(19)

12

Tabel 1. Komposisi zat gizi ubi jalar dan beberapa bahan pangan per 100 g bahan

Zat Gizi Padi Ubi Jalar Kentang Kedelai

Air (g) 13 70 67 8

Serat (g) 0,5 0,3 0,1 18

Kalori (Kal) 354 113 75 325

Protein (g) 6,5 2,3 2,3 36,8

Fe (mg) 0,6 1,0 0,7 7,4

Ca (mg) 15 46 7 216

Vitamin A (IU) 0 7,1 0 20

Vitamin B1 (mg) 0,11 0,08 0,07 0,44

Vitamin B2 (mg) 0,24 0,05 0,04 0,31

Niasin (mg) 1,4 0,9 1,0 3,2

Vitamin C (mg) 0 2,0 7 0

Sumber: Sarwono, 2005.

E. Penanganan Pasca Panen Ubi Jalar

Perlakuan pasca panen bertujuan untuk memberikan penampilan yang baik dan kemudahan - kemudahan untuk konsumen, memberikan perlindungan produk dari kerusakan dan memperpanjang masa simpan. Sukses penanganan pascapanen memerlukan koordinasi dan integrasi yang hati - hati dari seluruh tahapan dari operasi pemanenan sampai ke tingkat konsumen untuk mempertahankan mutu produk awal. Ubi jalar mulai dapat dipanen pada saat berumur 3–4 bulan setelah ditanam, tergantung pada jenis atau varietasnya. Penundaan waktu panen hanya dapat dilakukan paling lama 1 bulan, karena jika melebihi batas waktu tersebut


(20)

maka risiko adanya serangan hama boleng cukup tinggi. Di samping itu, penundaan waktu panen tersebut tidak akan dapat meningkatkan hasil panennya (Sarwono, 2005).

Menghindari kerusakan selama panen sangat penting karena kondisi fisik ubi jalar mudah rusak. Setelah panen, umbi sebaiknya dihindarkan dari sengatan sinar matahari dan kekeringan. Mutu umbi ditentukan oleh derajat masak dan kerusakan pada saat panen. Derajat masak ditentukan oleh kadar air dan kadar zat gizi. Kerusakan umbi pada saat panen dan pengangkutan dapat berupa luka, lecet, memar, goresan, busuk, dan tumbuh tunas (Sarwono, 2005). Kerusakan tersebut mengakibatkan umbi kurang tahan untuk disimpan. Umbi yang luka sebaiknya dipisahkan, lalu secepatnya dikonsumsi atau dikeringkan menjadi gaplek agar tidak busuk. Kerusakan umbi selama dalam penyimpanan disebabkan serangan cendawan rhyzopus sp. Umbi yang memar atau luka memudahkan cendawan mudah masuk ke dalam daging umbi sehingga memperpendek masa simpan. Kerusakan juga dapat dipicu oleh tumbuhnya tunas. Ubi jalar tidak memiliki dormansi alamiah sehingga cepat memulai pertumbuhan tunas jika suhu dan kelembaban sesuai. Tingkat kerusakan juga dipengaruhi oleh umur panen untuk tiap kultivar. Jika panen melebihi umur optimal, kadar gula dan pati menurun, sedangkan kadar seratnya meningkat. Semakin lama penyimpanan dilakukan (dalam batas tertentu), ubi jalar akan memiliki rasa yang lebih enak dan manis (Sarwono, 2005).


(21)

14

F. Fisiologi Ubi Jalar

Respirasi adalah proses perombakan senyawa yang lebih kompleks di dalam sel seperti pati, gula dan asam organik, dengan menggunakan oksigen, sehingga menghasilkan molekul yang lebih sederhana seperti karbondioksida dan air, serta menghasilkan energi dan molekul lain yang dapat digunakan oleh sel untuk reaksi sintesa. Proses respirasi yang terjadi saat tersedianya oksigen yang digunakan untuk merombak senyawa–senyawa tersebut adalah respirasi aerob, dimana dihasilkan karbondioksida, air dan energi. Apabila tidak tersedia oksigen sama sekali maka yang terjadi adalah respirasi anaerob yang menghasilkan ethanol dan kalor. Proses respirasi anaerob yang terjadi di dalam sel akan menyebabkan terjadinya perubahan atau kerusakan cita rasa dan bau. Respirasi anaerob akan memengaruhi kualitas, tetapi sejauh ini belum ada laporan hal yang dapat membahayakan kesehatan manusia (Hartanto, 2002).

Menurut Imade (2001), laju respirasi dipengaruhi oleh suhu. Hal ini mengikuti hukum Ven Hoff yang menyatakan bahwa laju reaksi kimia dan biokimia meningkat dua sampai tiga kali lipat untuk setiap kenaikan suhu sebesar 10oC. Jadi, setiap kenaikan suhu sebesar 10oC laju respirasi akan meningkat menjadi dua atau tiga kali lebih besar. Laju respirasi menentukan potensi pasar dan masa simpan yang berkaitan erat dengan; kehilangan air, kehilangan kenampakan yang baik, kehilangan nilai nutrisi dan berkurangnya nilai cita rasa. Masa simpan produk segar dapat diperpanjang dengan menempatkannya dalam lingkungan yang dapat memeperlambat laju respirasi dan transpirasi melalui penurunan suhu


(22)

produk, mengurangi ketersediaan O2 atau meningkatkan konsentrasi CO2, dan menjaga kelembaban nisbi yang mencukupi dari udara sekitar produk tersebut. C6H12O6 + O2 ---> CO2 + H2O + energi + panas

Transpirasi adalah proses fisik dimana uap air lepas dari jaringan tanaman berevaporasi ke lingkungan sekitar. Peranan dari transpirasi adalah melepaskan air keluar struktur tanaman untuk mengatur suhu bahan tetap normal melalui proses pendinginan evaporatif. Proses fisiologis ini menggunakan energi dari respirasi untuk merubah air menjadi uap air. Di dalam proses perubahan dari cair menjadi gas dibutuhkan energi. Transpirasi, secara prinsip terjadi pada daun melalui struktur yang dinamakan stomata. Sebagai proses tipikal yang terjadi pada jaringan hidup, transpirasi dipengaruhi oleh aktivitas fisiologis produk (Imade, 2006). Laju kehilangan air ini dipengaruhi oleh bentuk dan struktur lapisan. Kondisi fisik morfologis produk juga berpengaruh terhadap transpirasi atau penguapan air dari produk itu sendiri. Kehilangan berat sebanyak 5% untuk produk sayuran dan 10% untuk buah atau umbi – umbian akibat transpirasi akan mengakibatkan berkurangnya nilai komersial secara berarti (Imade, 2006).

Pada fase pematangan setelah dipanen akan terjadi penurunan asam organik, peningkatan jumlah gula–gula sederhana yang memberi rasa manis dan kenaikan zat–zat atsiri yang memberi flavor yang khas (Pantastico, 1989). Kandungan asam askorbat dalam ubi jalar mengalami perubahan selama proses penyimpanan. Pada tahap awal penyimpanan, kandungan asam askorbat pada ubi jalar akan berkurang. Tingkat berkurangnya asam askorbat ini berbeda–beda, tergantung pada varietas dan proses penyimpanannya.


(23)

16

G. Suhu dan Kelembaban Udara (RH)

Pengendalian suhu dan kelembaban udara adalah cara yang paling penting untuk menjaga mutu produk hortikultura pascapanen. Pada suhu di atas 30°C aktivitas enzim pada buah dan sayur – sayuran akan mengalami penurunan. Suhu 35°C beberapa enzim masih akan tetap aktif tetapi, pada suhu 40°C sebagian besar enzim mengalami inaktif. Perlakuan suhu di atas 35°C akan mengakibatkan metabolisme tidak normal dan merusak integritas struktur membran dengan kerusakan organisasi selular dan mempercepat kerusakan produk. Sebaliknya penurunan suhu menyebabkan penurunan laju perubahan beberapa parameter seperti respirasi, perubahan tekstur atau kehilangan vitamin C (Hartanto, 2002).

Pengelolaan suhu dapat dibagi menjadi dua fase. Pertama adalah fase pendinginan untuk melepaskan panas lapang dan kedua adalah menjaga produk pada suhu optimum selama pendistribusiannya. Kebanyakan produk, terutama yang mempunyai laju respirasi sangat tinggi, memerlukan pendinginan segera setelah panen untuk memaksimumkan retensi mutu dan masa simpan (Imade, 2006). Suhu optimal akan bervariasi untuk masing-masing jenis produk. Umumnya semakin rendah suhu semakin menimbulkan kerusakan berpengaruh terhadap: laju respirasi, laju kehilangan air, aktivitas patologi, aktivitas insekta, pertumbuhan dan perkembangan pasca panen, dan produksi etilen.

Kelembaban didefinisikan sebagai persentase uap air dalam udara. Jika bahan yang mengandung air, seperti buah yang ditempatkan pada ruang tertutup berisi udara kandungan air dalam ruang akan meningkat atau menurun hingga tercapai


(24)

suatu keseimbangan. Keseimbangan terjadi apabila jumlah molekul air yang masuk dan meninggalkan pada fase uap yang sama (Hartanto, 2002).

Penyimpanan ubi jalar sebaiknya disimpan dalam suhu rendah dan kelembaban udara tinggi yaitu 27°C-30°C dan 85 % - 95 % selama 4 – 7 hari untuk merangsang terbentuknya lapisan gabus peridermis di bawah bagian yang rusak (Rubatzky dan Yamaguchi, 1998). Tetapi kelembaban udara yang tinggi dapat merangsang proses pembusukan terutama jika terjadi perubahan atau variasi dalam ruangan (Komar dkk, 2001).

Gambar 2. Bagian kulit dan daging ubi (Bauwkamp, 1985 dalam Mumpuni, 2006). Keterangan :

Ep = epidermis (kulit ari)

co = cortex (lapisan kulit getah) lac = lacuna

ca = cambium (lapisan gabus/kambium) par = parenkim

en = endodermis xy, ph = xylem, phloem

Kelembaban udara (RH) merupakan batasan umum untuk menggambarkan jumlah uap air yang terdapat di dalam udara. Jumlah uap air yang bisa dihasilkan oleh


(25)

18

udara tergantung pada suhu. Udara semakin hangat dapat memegang air lebih banyak. Contohnya, udara pada suhu 30°C dan 90 % (RH) adalah lebih kering dibandingkan dengan udara pada suhu 25°C dan 90 % (RH), sederhana karena dapat menghasilkan uap air lebih banyak (Imade, 2006).


(26)

III. METODOLOGI PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilakukan pada bulan September - November 2012 di Laboratorium Rekayasa Bioproses dan Pasca Panen Jurusan Teknik Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung.

B. Alat dan Bahan 1. Alat

Peralatan yang digunakan adalah hygrometer / thermometer, timbangan digital, timbangan mekanik, refraktometer (Atago model PR 201α), kotak plastik, oven listrik (Venticell), karung goni, kipas angin, timer, stopwatch, penggaris, spons pembersih, pisau stainless, pemarut ubi jalar, desikator, mangkuk, cawan, nampan plastik, tisu dan kamera.

2. Bahan

Penelitian ini menggunakan dua asal ubi jalar. Untuk menghindari kerancuan atau kesalahan penggunaan varietas maka dalam penelitian ubi jalar yang digunakan akan disebut dengan asal diprolehnya sampel yakni ubi jalar Gisting dan ubi jalar Marga. Ubi jalar Gisting diperoleh langsung dari petani ubi jalar dari Kampung


(27)

20

Way Tebu Kecamatan Gisting Kabupaten Tanggamus dan ubi jalar Marga dari Kampung Marga Agung Kecamatan Jati Agung Kabupaten Lampung Selatan masing – masing sebanyak 114 buah.

Gambar 1. Ubi jalar Gisting dan ubi jalar Marga

C. Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan perbedaan dua parameter penyimpanan yaitu tingkat suhu dan kelembaban udara ruang (laboratorium) serta suhu dan kelembaban dingin dengan dua asal yang berbeda. Masing - masing variasi perlakuan dilakukan 3 kali sebagai ulangan yaitu:

R1 : Penyimpanan ubi jalar asal Gisting di dalam kotak plastik dengan suhu dan RH ruang (30°C dan 58% - 70%).

R2 : Penyimpanan ubi jalar asal Marga di dalam kotak plastik dengan suhu dan RH ruang (30°C dan 58% - 70%).

C1 : Penyimpanan ubi jalar asal Gisting di dalam kotak plastik dengan suhu dan RH dingin (25°C dan 85% - 90%)

C2 : Penyimpanan ubi jalar asal Marga di dalam kotak plastik dengan suhu dan RH dingin (25°C dan 85% - 90%)


(28)

D. Prosedur Penelitian

Langkah-langkah yang akan dilakukan dalam penelitian ini adalah: 1. Tahap persiapan

a. Menyiapkan ubi jalar 114 buah masing – masing sampel yang dipanen secara langsung dari lahan pertanian.

b. Mendiamkan ubi jalar dalam ruang terbuka selama 1 hari untuk menyesuaikan suhu ubi jalar terhadap lingkungan.

c. Menyiapkan kotak plastik dengan ukuran panjang 48 cm, lebar 36 cm, dan tinggi 16,7 cm digunakan untuk penyimpanan ubi jalar.

d. Menyiapkan kotak plastik untuk penyimpanan ubi jalar dengan suhu dan kelembaban udara ruang (30°C, 58% – 70%).

e. Menyiapkan karung goni yang dibasahi dengan air dengan menyelupkan karung ke dalam ember hingga basah lalu karung goni diperas agar air tidak menetes untuk menutup ubi jalar dalam kotak plastik. Karung goni dibasahi bertujuan untuk mengkondisikan suhu dingin 25-26°C dan kelembaban udara 85-90% dengan interval waktu pembasahan satu jam sekali agar karung tidak kering. Jika karung kering maka karung dicelupkan kembali ke dalam ember sedangkan jika karung masih lembab maka karung hanya disemprot dengan air ± 500 ml hingga basah. Karung goni yang basah diberi kipas agar tidak terjadi titik jenuh pada kelembaban udara.


(29)

22

Berikut ini adalah ilustrasi gambar penyimpanan ubi jalar dalam plastik (kotak):

Gambar 2. Model penyusunan ubi jalar selama penyimpanan kondisi lingkungan. a

b 48cm

36 cm

16,7 cm

a b 48 cm

36 cm


(30)

Gambar 3.Model pengkondisian lingkungan penyimpanan ubi jalar dengan karung goni.

Keterangan : a. Kotak plastik b. Ubi jalar

c. Tutup kotak (karung goni) d. Alas (karung goni)

2. Tahap pelaksanaan

Tahap pelaksanaan penelitian ada beberapa tahapan yaitu :

a. Tahap pertama yang dilakukan dalam penyimpanan ubi jalar adalah memilih ubi jalar yang segar dengan kondisi baik (tidak terluka, memar, tidak bertunas, dan tidak terserang hama penyakit).

a

b c


(31)

24

b. Melakukan trimming dan grading pada ubi jalar untuk menghilangkan bagian ubi jalar yang tidak diperlukan dan pemilihan ubi jalar yang benar–benar sesuai kriteria.

c. Menimbang ubi jalar dan memberi label ubi jalar.

d. Memasukan ubi jalar ke dalam kotak plastik masing– masing perlakuan mengisi 10 buah ubi jalar untuk pengamatan tunas dan susut bobot masing – masing 3 ulangan, 3 buah ulangan ubi jalar yang dirusak (destruktif) per minggu dalam setiap perlakuan untuk pengamatan TPT (total padatan terlarut) dan kadar air selama 8 minggu.

e. Membiarkan ubi jalar di dalam wadah kotak plastik dengan suhu dan RH ruang (30°C, 58% - 70%) masing – masing dengan dua asal ubi jalar yang berbeda.

f. Mengkondisikan ubi jalar di dalam wadah kotak plastik dengan suhu dan RH dingin (25-26°C; 80 % - 95% ) masing – masing dengan dua asal ubi jalar yang berbeda.

g. Mengecek suhu dan RH setiap hari serta pengamatan penurunan bobot dan tunas setiap satu minggu selama tiga kali.

h. Pengambilan data Total Padatan Terlarut (TPT) serta kadar air ubi jalar selama penyimpanan setiap minggu, dan menganalisis data.


(32)

Diagram alir tahap penyimpanan ubi jalar dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 4. Diagram alir pengamatan ubi jalar. Membuang akar (trimming) dan mengelompokan

ubi jalar (grading)

Menimbang dan memberi label pada ubi jalar.

Menaruh ubi jalar di dalam kotak dengan suhu 25°C dan RH 85 % – 90% masing – masing asal ubi jalar.

Memilih atau menyortir ubi jalar masing – masing asal ubi jalar.

Mulai

Selesai

Membiarkan ubi jalar dalam suhu dan RH ruang masing –

masing asal ubi jalar.

Pengamatan dan pengambilan data


(33)

26

3. Pengamatan

Pengamatan yang dilakukan meliputi: suhu dan RH, penurunan bobot ubi jalar (bobot ubi jalar sebelum penyimpanan dan bobot ubi jalar hingga hari ke- n), Total Padatan Terlarut (% Brix), pertumbuhan tunas serta kadar air. Pengamatan dihentikan ketika kondisi ubi jalar berumur 8 minggu dalam tempat penyimpanan.

a. Suhu dan Kelembaban Udara (RH)

Pengukuran suhu dan kelembaban udara dilakukan dengan menggunakan thermometer / hygrometer. Suhu dan RH lingkungan penyimpanan dikondisikan dan diamati setiap satu jam sekali dalam sehari, yaitu antara pukul 09.00 sampai dengan pukul 17.00 sore. Pengukuran suhu dan RH di dalam kotak plastik yang ditumpuk dilakukan pada bagian tengah. Ini dilakukan untuk mewakili suhu dan RH bagian atas dan bawah. Pengukuran suhu dan RH dilakukan setiap hari.

b. Susut Bobot Ubi Jalar

Pengamatan terhadap susut bobot ubi jalar menggunakan timbangan mekanik. Pengamatan dilakukan tiga kali dalam satu minggu untuk mengetahui perubahan bobot ubi jalar sejak awal penyimpanan sampai pada bobot ubi jalar hari ke- n penyimpanan. Pengamatan bobot ubi jalar yaitu dengan mengambil sampel 10 buah ubi jalar dengan tiga kali ulangan, kemudian ditimbang dengan menggunakan timbangan mekanik untuk setiap perlakuan. Bobot ubi jalar awal (w0) adalah ubi jalar sebelum disimpan, sedangkan bobot ubi jalar hari ke-n (wn) adalah bobot ubi jalar selama penyimpanan. Perhitungan susut bobot ubi jalar


(34)

dilakukan berdasarkan persen (%) bobot hari ke-n dibandingkan dengan bobot hari ke-0. Berikut adalah rumus untuk perhitungan susut bobot.

x 100% ... (1)

Keterangan :

SB = Susut bobot (%)

w0 = Bobot bahan pada hari ke-0 (g) wn = Bobot bahan pada hari ke- (g)

c. Total Padatan Terlarut (TPT)

Total padatan terlarut diukur dengan menggunakan refractometer (Atago model PR 201α) dengan skala pengukuran 0 – 60 % (⁰Brix) satu kali dalam seminggu. Sampel ubi jalar diparut dan diambil cairannya, kemudian diletakkan di atas lensa refractometer untuk dilakukan pembacaan hasil. Total Padatan Terlarut (TPT) ubi jalar akan langsung dibaca oleh alat. Setelah selesai menguji, lensa dibersihkan dengan menggunakan aquades dan dikalibrasi setiap kali dilakukan pembacaan hasil. Setiap sampel diukur sebanyak tiga kali sebagai ulangan.

d. Tunas

Pengamatan dilakukan dengan melihat perubahan panjang, mata dan jumlah yang bertunas dari awal sebelum ubi disimpan sampai ubi tumbuh tunas selama 8 minggu pada ubi jalar. Pertumbuhan tunas diamati sesuai perubahan masing – masing asal ubi jalar dan perlakuan dengan cara mengukur memakai penggaris dan menghitung panjang, mata dan jumlah yang bertunas 2 kali dalam seminggu


(35)

28

dengan jumlah sampel 10 buah setiap ulangan dan 3 ulangan untuk setiap perlakuan. Penentuan tunas jika panjang tunas berukuran 0,5 cm ini dilakukan untuk memastikan benar – benar tunas atau bukan sehingga tidak terjadi kesalahan dalam mengukur panjang tunas. Pada sampel juga dilakukan penghitungan berapa banyak yang sudah bertunas dan banyak mata tunas yang terdapat pada ubi setiap buahnya.

e. Kadar Air

Pengukuran kadar air bertujuan untuk mengetahui jumlah air yang terkandung pada bahan dengan menggunakan oven listrik satu kali dalam seminggu. Pengukuran kadar air dilakukan dengan metode gravimetri yaitu menimbang bobot sampel sebelum dan sesudah pengovenan. Pengukuran kadar air sebelum pengovenan, dilakukan dengan menimbang tiga buah sampel ubi jalar yang diiris tipis dan dimasukkan ke dalam cawan. Hasil penimbangan tersebut dinyatakan sebagai bobot awal. Pengeringan dilakukan sampai diperoleh bobot konstan pada suhu pengovenan 105°C (dengan lama waktu ± 24 jam). Pengurangan bobot bahan awal dan bobot akhir merupakan banyaknya air dalam bahan yang teruapkan. Perhitungan kadar air menggunakan basis basah. Perhitungannya dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

... (2) Keterangan :

= kadar air basis basah (%)

= bobot sampel awal (g) = bobot sampel kering (g)


(36)

4. Analisis data

Data – data hasil pengukuran parameter suhu dan kelembaban udara, susut bobot, total padatan terlarut, pertumbuhan tunas, dan kadar air dianalisis dan disajikan dalam bentuk tabel dan grafik.


(37)

V. SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Berdasarkan dari hasil penelitian dan pembahasan maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Selama penyimpanan suhu dan kelembaban udara baik penyimpanan dingin ataupun ruang menunjukan data yang relatif stabil. Penyimpanan dingin (25-26°C; RH 85-90%) mampu menekan susut bobot dan total padatan terlarut (⁰Brix) meningkat pada kedua jenis ubi jalar. Namun demikian penurunan kadar air bahan tidak berbeda nyata pada kedua sampel ubi jalar pada penyimpanan dingin dan ruang.

2. Semakin banyaknya jumlah, tinggi dan mata yang bertunas, susut bobot pada ubi jalar semakin meningkat. Ubi jalar asal Gisting lebih lama disimpan dibandingkan ubi jalar asal Marga dilihat dari batas susut bobot normal.

B. Saran

Saran dari penelitian ini yaitu perlu dilakukannya penelitian lebih lanjut pada media lain (bahan) serta merancang penyimpanan suhu dan kelembaban udara secara stabil agar hasil penyimpanan lebih baik lagi.


(38)

DAFTAR PUSTAKA

Andrianto,T. T. dan N. Indarto. 2004. Budi daya dan analisis usaha tani ubi jalar- kentang. Absolut. Yogyakarta. 124 hlm.

Asgar, A. dan L. Marpaung. 1998. Pengaruh Umur Panen dan Lama Penyimpanan Terhadap Kualitas Umur Kentang Goreng. J. Hortikultura. 8(3): 1208-1216. BMKG. 2013. Prakiraan Cuaca Propinsi Lampung. Deputi Bidang Meteorologi

Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika. Jakarta.

BPS. 2011. Data Stasistik Produksi Ubi Jalar Indonesia. Jakarta: Statistik Indonesia.

DPTP Jabar. 2012. Petunjuk Teknis Pengelolaan Produksi Ubi Jalar. Jawa Barat. Bandung. 65 hlm.

Edmunds, B., M. Boyette., C. Clark., D. Ferrin., T. Smith., and G. Holmes. 1989.

Postharvest Handling of Sweetpotatoes. State University. U.S. Pp

56.

Hartanto, R. 2002. Diktat Fisiologi Pasca Panen Buah dan Sayur – Sayuran. Teknik Pertanian. Universitas Lampung. Lampung. 50 hlm.

Imade, S. U. 2001. Penanganan Pascapanen Buah dan Sayuran Segar.

Makalah dibawakan pada “Forum Konsultasi Teknologi” Teknologi

Pertanian. Universitas Udayana, Denpasar, Bali. 21 November 2001.13 hlm. Imade, S. U. 2006. Peranan Teknologi Pascapanen Untuk Fresh Produce

Retailing. Makalah Dipresentasikan pada Seminar Nasional “Pentingnya Teknologi Pascapanen dalam Meningkatkan Daya Saing Produk

Hortikultura Indonesia”. Teknologi Pertanian. Universitas Udayana, Denpasar, Bali. 28 Agustus 2006. 15 hlm.

Juanda , D. J. dan B. Cahyono. 2000. Ubi Jalar: Budi Daya dan Analisis Usaha Tani. Kanisius. Yogyakarta. 92 hlm.


(39)

48

Komar, N. dan S. Rakhmadiono., K. Lina. 2001. Teknik Penyimpanan Bawang Merah Pasca Panen di Jawa Timur. Jurnal Teknologi Pertanian. 2(2): 79-95.

Mumpuni. C. E. 2006. Kendali Stabilitas Beta Karoten Selama Proses Produksi Tepung Ubi Jalar (Ipomoea batatas L.). (Skripsi). IPB. Bogor. 76 hlm. Onggo, T. M. 2006. Perubahan Komposisi Pati dan Gula Dua Jenis Ubi Jalar

Nirkum “Cilembu” Selama Penyimpanan. Jurnal Bionatura. 8(2): 161-170. Pantastico, E. B. 1989. Fisiologi Pasca Panen, Penanganan dan Pemanfaatan

Buah-buahan dan Sayur-sayuran Tropika dan Sub Tropika. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 887 hlm.

Priyanto, G. dan S. Yunaldo., B. Hamzah. 2006. Perubahan Mutu Chips ”Bulartaka" Selama Penyimpanan dalam Kaitannya dengan Tingkat

Sustitusi Bubur Ubi Jalar Terhadap Tapioka. Jurnal Agribisnis dan Industry Pertanian. 5(2): 113-121.

Rauf, A. W. dan Lestari, M. S. 2009. Pemanfaatan Komoditas Pangan Lokal Sebagai Sumber Pangan Alternatif di Papua. Jurnal Litbang Pertanian. 28(2): 54-62.

Rubatzky, V. E. dan M. Yamaguchi. 1998. Sayuran Dunia 1: Prinsip Produksi dan Gizi. Institut Teknologi Bandung. Bandung. 320 hlm.

Rukmana, R. 1997. Ubi jalar: budi daya dan pascapanen. Kanisius. Yogyakarta. 68 hlm.

Sartika, R. dan R. Poerwanto. 2009. Pengaruh Suhu dan Kelembaban Udara Terhadap Shelf-Life dan Karakteristik Buah Manggis (Garcinia mangostana L.) Selama Penyimpanan. Makalah Seminar Departemen Agronomi dan Hortikultura. IPB. Bogor. 6 hlm.

Sarwono, B. 2005. Ubi Jalar: Cara Budi Daya yang Tepat, Efisien dan Ekonomis. Penebar Swadaya, Jakarta. 84 hlm.

Setiawati, J., Sudaryono., A. Setyono. 1994. Study Penyimpanan Ubi Jalar Segar. Balai Penelitian Tanaman Pangan Malang. Malang. 5 hlm.

Thompson , J. F. and R. W. Scheuerman. 1993. Curing and Storing California Sweetpotatoes. Biological and Ag Engineering Dept. California. Pp 5.


(1)

27

dilakukan berdasarkan persen (%) bobot hari ke-n dibandingkan dengan bobot hari ke-0. Berikut adalah rumus untuk perhitungan susut bobot.

x 100% ... (1) Keterangan :

SB = Susut bobot (%)

w0 = Bobot bahan pada hari ke-0 (g) wn = Bobot bahan pada hari ke- (g)

c. Total Padatan Terlarut (TPT)

Total padatan terlarut diukur dengan menggunakan refractometer (Atago model PR 201α) dengan skala pengukuran 0 – 60 % (⁰Brix) satu kali dalam seminggu. Sampel ubi jalar diparut dan diambil cairannya, kemudian diletakkan di atas lensa refractometer untuk dilakukan pembacaan hasil. Total Padatan Terlarut (TPT) ubi jalar akan langsung dibaca oleh alat. Setelah selesai menguji, lensa dibersihkan dengan menggunakan aquades dan dikalibrasi setiap kali dilakukan pembacaan hasil. Setiap sampel diukur sebanyak tiga kali sebagai ulangan.

d. Tunas

Pengamatan dilakukan dengan melihat perubahan panjang, mata dan jumlah yang bertunas dari awal sebelum ubi disimpan sampai ubi tumbuh tunas selama 8 minggu pada ubi jalar. Pertumbuhan tunas diamati sesuai perubahan masing – masing asal ubi jalar dan perlakuan dengan cara mengukur memakai penggaris dan menghitung panjang, mata dan jumlah yang bertunas 2 kali dalam seminggu


(2)

28

dengan jumlah sampel 10 buah setiap ulangan dan 3 ulangan untuk setiap perlakuan. Penentuan tunas jika panjang tunas berukuran 0,5 cm ini dilakukan untuk memastikan benar – benar tunas atau bukan sehingga tidak terjadi kesalahan dalam mengukur panjang tunas. Pada sampel juga dilakukan penghitungan berapa banyak yang sudah bertunas dan banyak mata tunas yang terdapat pada ubi setiap buahnya.

e. Kadar Air

Pengukuran kadar air bertujuan untuk mengetahui jumlah air yang terkandung pada bahan dengan menggunakan oven listrik satu kali dalam seminggu. Pengukuran kadar air dilakukan dengan metode gravimetri yaitu menimbang bobot sampel sebelum dan sesudah pengovenan. Pengukuran kadar air sebelum pengovenan, dilakukan dengan menimbang tiga buah sampel ubi jalar yang diiris tipis dan dimasukkan ke dalam cawan. Hasil penimbangan tersebut dinyatakan sebagai bobot awal. Pengeringan dilakukan sampai diperoleh bobot konstan pada suhu pengovenan 105°C (dengan lama waktu ± 24 jam). Pengurangan bobot bahan awal dan bobot akhir merupakan banyaknya air dalam bahan yang teruapkan. Perhitungan kadar air menggunakan basis basah. Perhitungannya dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

... (2)

Keterangan :

= kadar air basis basah (%) = bobot sampel awal (g) = bobot sampel kering (g)


(3)

29

4. Analisis data

Data – data hasil pengukuran parameter suhu dan kelembaban udara, susut bobot, total padatan terlarut, pertumbuhan tunas, dan kadar air dianalisis dan disajikan dalam bentuk tabel dan grafik.


(4)

V. SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Berdasarkan dari hasil penelitian dan pembahasan maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Selama penyimpanan suhu dan kelembaban udara baik penyimpanan dingin ataupun ruang menunjukan data yang relatif stabil. Penyimpanan dingin (25-26°C; RH 85-90%) mampu menekan susut bobot dan total padatan terlarut (⁰Brix) meningkat pada kedua jenis ubi jalar. Namun demikian penurunan kadar air bahan tidak berbeda nyata pada kedua sampel ubi jalar pada penyimpanan dingin dan ruang.

2. Semakin banyaknya jumlah, tinggi dan mata yang bertunas, susut bobot pada ubi jalar semakin meningkat. Ubi jalar asal Gisting lebih lama disimpan dibandingkan ubi jalar asal Marga dilihat dari batas susut bobot normal.

B. Saran

Saran dari penelitian ini yaitu perlu dilakukannya penelitian lebih lanjut pada media lain (bahan) serta merancang penyimpanan suhu dan kelembaban udara secara stabil agar hasil penyimpanan lebih baik lagi.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Andrianto,T. T. dan N. Indarto. 2004. Budi daya dan analisis usaha tani ubi jalar- kentang. Absolut. Yogyakarta. 124 hlm.

Asgar, A. dan L. Marpaung. 1998. Pengaruh Umur Panen dan Lama Penyimpanan Terhadap Kualitas Umur Kentang Goreng. J. Hortikultura. 8(3): 1208-1216. BMKG. 2013. Prakiraan Cuaca Propinsi Lampung. Deputi Bidang Meteorologi

Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika. Jakarta.

BPS. 2011. Data Stasistik Produksi Ubi Jalar Indonesia. Jakarta: Statistik Indonesia.

DPTP Jabar. 2012. Petunjuk Teknis Pengelolaan Produksi Ubi Jalar. Jawa Barat. Bandung. 65 hlm.

Edmunds, B., M. Boyette., C. Clark., D. Ferrin., T. Smith., and G. Holmes. 1989.

Postharvest Handling of Sweetpotatoes. State University. U.S. Pp

56.

Hartanto, R. 2002. Diktat Fisiologi Pasca Panen Buah dan Sayur – Sayuran. Teknik Pertanian. Universitas Lampung. Lampung. 50 hlm.

Imade, S. U. 2001. Penanganan Pascapanen Buah dan Sayuran Segar. Makalah dibawakan pada “Forum Konsultasi Teknologi” Teknologi

Pertanian. Universitas Udayana, Denpasar, Bali. 21 November 2001.13 hlm. Imade, S. U. 2006. Peranan Teknologi Pascapanen Untuk Fresh Produce

Retailing. Makalah Dipresentasikan pada Seminar Nasional “Pentingnya Teknologi Pascapanen dalam Meningkatkan Daya Saing Produk

Hortikultura Indonesia”. Teknologi Pertanian. Universitas Udayana, Denpasar, Bali. 28 Agustus 2006. 15 hlm.

Juanda , D. J. dan B. Cahyono. 2000. Ubi Jalar: Budi Daya dan Analisis Usaha Tani. Kanisius. Yogyakarta. 92 hlm.


(6)

48

Komar, N. dan S. Rakhmadiono., K. Lina. 2001. Teknik Penyimpanan Bawang Merah Pasca Panen di Jawa Timur. Jurnal Teknologi Pertanian. 2(2): 79-95.

Mumpuni. C. E. 2006. Kendali Stabilitas Beta Karoten Selama Proses Produksi Tepung Ubi Jalar (Ipomoea batatas L.). (Skripsi). IPB. Bogor. 76 hlm. Onggo, T. M. 2006. Perubahan Komposisi Pati dan Gula Dua Jenis Ubi Jalar

Nirkum “Cilembu” Selama Penyimpanan. Jurnal Bionatura. 8(2): 161-170. Pantastico, E. B. 1989. Fisiologi Pasca Panen, Penanganan dan Pemanfaatan

Buah-buahan dan Sayur-sayuran Tropika dan Sub Tropika. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 887 hlm.

Priyanto, G. dan S. Yunaldo., B. Hamzah. 2006. Perubahan Mutu Chips ”Bulartaka" Selama Penyimpanan dalam Kaitannya dengan Tingkat

Sustitusi Bubur Ubi Jalar Terhadap Tapioka. Jurnal Agribisnis dan Industry Pertanian. 5(2): 113-121.

Rauf, A. W. dan Lestari, M. S. 2009. Pemanfaatan Komoditas Pangan Lokal Sebagai Sumber Pangan Alternatif di Papua. Jurnal Litbang Pertanian. 28(2): 54-62.

Rubatzky, V. E. dan M. Yamaguchi. 1998. Sayuran Dunia 1: Prinsip Produksi dan Gizi. Institut Teknologi Bandung. Bandung. 320 hlm.

Rukmana, R. 1997. Ubi jalar: budi daya dan pascapanen. Kanisius. Yogyakarta. 68 hlm.

Sartika, R. dan R. Poerwanto. 2009. Pengaruh Suhu dan Kelembaban Udara Terhadap Shelf-Life dan Karakteristik Buah Manggis (Garcinia mangostana L.) Selama Penyimpanan. Makalah Seminar Departemen Agronomi dan Hortikultura. IPB. Bogor. 6 hlm.

Sarwono, B. 2005. Ubi Jalar: Cara Budi Daya yang Tepat, Efisien dan Ekonomis. Penebar Swadaya, Jakarta. 84 hlm.

Setiawati, J., Sudaryono., A. Setyono. 1994. Study Penyimpanan Ubi Jalar Segar. Balai Penelitian Tanaman Pangan Malang. Malang. 5 hlm.

Thompson , J. F. and R. W. Scheuerman. 1993. Curing and Storing California Sweetpotatoes. Biological and Ag Engineering Dept. California. Pp 5.