aktualisasi memori Anni, 2006:4.
2. Hakikat Pembelajaran Sejarah
Sejarah berasal dari kata benda Yunani, istoria yang berarti ilmu. Dalam penggunaannya oleh filsuf Yunani Aristoteles, Istoria berarti suatu
penelaahan sistematis mengenai seperangkat gejala alam, entah susunan kronologis merupakan faktor atau tidak di dalam penelaahan; penggunaan itu
meskipun jarang, masih tetap hidup di dalam bahasa Inggris yang disebut ‘natural history’ Gottschalk, 1986:27. Menurut Wasino 2007:2 sejarah
Inggris: history; Perancis: histoire; Latin: historia berasal dari bahasa Yunani “istoria” yang mulanya berarti pencarian, penyelidikan, penelitian
inquiry, investigation, research. Sejarah dapat diartikan sebagai kejadian- kejadian yang dibuat manusia atau yang mempengaruhi manusia, perubahan
atau kejadian yang berubah dari satu keadaan ke keadaan yang lainnya. Sejarah sebagai ilmu dapat berkembang dengan berbagai cara: 1
perkembangan dalam filsafat, 2 perkembangan dalam teori sejarah, 3 perkembangan dalam ilmu-ilmu lain, dan 4 perkembangan dalam metode
sejarah Kuntowijoyo, 2005:21, sehingga perkembangan dalam sejarah selalu berarti bahwa sejarah selalu responsif terhadap kebutuhan masyarakat akan
informasi. Jika diinterpretasikan, pembelajaran Sejarah adalah perpaduan antara aktivitas belajar dan mengajar yang didalamnya mempelajari tentang
peristiwa masa lampau yang erat hubungannya dengan masa kini Widja, 1989:23.
Menurut Sartono Kartodirjo 1992:265 tujuan yang luhur dari sejarah untuk diajarkan pada semua jenjang sekolah adalah menanamkan semangat
kebangsaan, cinta tanah air, bangsa dan negara, serta sadar untuk menjawab untuk apa yang ia lahirkan. Pelajaran sejarah merupakan salah satu unsur
utama dalam pendidikan politik bangsa. Pembelajaran sejarah mempunyai fungsi strategis dalam pembangunan bangsa, pengetahuan sejarah nasionallah
yang mampu membangkitkan kesadaran akan pengalaman kolektif bangsa Indonesia beserta segala suka dukanya, kemenangan, serta kekalahan dalam
perjuangan bersama, tak berlebih-lebihan kalau kebersamaan itulah menciptakan sense of belonging atau solidaritas nasional.
I Gde Widja 1989 menyatakan bahwa sifat uraian sejarah perlu pula diorientasikan ke arah uraian yang tidak hanya deskriptif saja, tetapi juga ke
arah uraian analistis. Dengan demikian, siswa tidak lagi mendapatkan kesan bahwa pelajaran sejarah semata-mata bersifat hafalan, tetapi juga memerlukan
kemampuan analistis terutama dalam usaha menemukan dasar-dasar kausatif sebab akibat dalam rangkaian peristiwa sejarah.
3. Model pembelajaran