Keberlanjutan Ketersediaan Beras Dimensi Ekonomi

104 kelelahan lahan, yang dicirikan antara lain oleh respon pemupukan yang semakin tidak signifikan dan tanah yang semakin keras. Hal yang sama dikemukakan juga oleh Balai Penelitian Tanah 2006 bahwa dalam tiga dasawarsa terakhir penggunaan pupuk yang intensif dalam jumlah besar telah menyebabkan kejenuhan hara terutama P di tanah sawah intensifikasi, hal ini mengakibatkan hara di dalam tanah tidak seimbang sehingga pupuk yang diberikan terutama P tidak lagi meningkatkan produktivitas secara nyata. Oleh karena itu efisiensi pemupukan menjadi rendah karena suatu hara diberikan secara berlebihan, sementara unsur hara lainnya diberikan lebih rendah dari yang dibutuhkan tanaman. Pemberian pupuk yang tidak tepat dapat menurunkan produktivitas serta menyebabkan pencemaran lingkungan tanah dan perairan. Untuk mengatasi hal ini agar keberlanjutan sistem produksi dan dari sisi lingkungan menekan pencemaran lingkungan dari badan air Nitrat dan dalam tanah logam berat dari pupuk perlu pemakaian pupuk yang tepat dan berimbang, sesuai dengan kebutuhan spesifik lokasi. Produktivitas padi antar wilayah berbeda di Indonesia dimana Jawa tertinggi yaitu 4.943 ton per hektar, disusul oleh Sulawesi 4.245 ton per hektar. Sementara Sumatera, Kalimantan dan Wilayah lainnya berturut turut adalah 3.666, 2.922 dan 3.828 ton per hektar. Kesesuaian lahan merupakan atribut yang sensitif mempengaruhi ketersediaan padi. Oleh karena itu untuk keberlanjutan sistem yang dikaji harus memperhatikan faktor kesesuaian lahan terutama pada saat menentukan pencetakan sawah, yang secara teknis sangat mempengaruhi produktivitas padi.

5.2.2. Keberlanjutan Ketersediaan Beras Dimensi Ekonomi

Tabel 32 dan Gambar 21 menunjukkan bahwa indeks keberlanjutan ketersediaan beras untuk dimensi ekonomi tingkat nasional sebesar 43.48 dengan kategori kurang berkelanjutan, sedangkan di beberapa wilayah di Indonesia nilai indeks keberlanjutan ketersediaan beras dimensi ekonomi bervariasi antar wilayah berkisar 33.53 - 70.51. Berbeda dengan hasil analisis pada dimensi ekologi, untuk wilayah Jawa justru mempunyai nilai keberlanjutan ketersediaan beras dimensi ekonomi yang tertinggi yaitu 70.51 dengan kategori cukup berkelanjutan sedangkan yang terendah adalah Kalimantan dengan nilai 33.53 atau kategori kurang berkelanjutan. Indeks keberlanjutan ketersediaan beras dimensi ekonomi untuk Sumatera juga cukup tinggi yaitu 66.68 dengan kategori cukup berkelanjutan. Sedangkan indeks keberlanjutan ketersediaan 105 beras untuk wilayah Sulawesi dan wilayah lain adalah 43.47 dan 37.55 dengan kategori kurang berkelanjutan. Tabel 32. Indeks dan Status Keberlanjutan Ketersediaan Beras Dimensi Ekonomi di Berbagai Wilayah Indonesia Wilayah Indeks Keberlanjutan Kategori Stress R 2 Nasional 43.48 Kurang 0.126 0.949 Regional 0.135 0.924 1. Jawa 70.52 Cukup 2. Sumatera 66.86 Cukup 3. Sulawesi 43.47 Kurang 4. Kalimantan 33.53 Kurang 5. Lain-lain 37.55 Kurang Nilai Stress dari analisis keberlanjutan ketersediaan beras dimensi ekonomi untuk tingkat nasional dan regional dapat dilihat pada Tabel 33, nilai stress masing-masing sebesar 0.126 dan 0.135 0.25 dan koefisien determinasi R 2 sebesar 0.949 dan 0.924 mendekati 1. Dengan demikian dari kedua parameter ini menunjukkan bahwa seluruh atribut yang digunakan dalam analisis dimensi keberlanjutan ekonomi di tingkat nasional dan regional cukup baik dalam menerangkan sistem ketersediaan beras. Titik referensi utama Titik referensi tambahan Gambar 21. Analisis Keberlanjutan Ketersediaan Beras Dimensi Ekonomi dan Faktor Sensitif Yang Mempengaruhi Keberlanjutan Ketersediaan Beras Dimensi Ekonomi Berdasarkan hasil analisis leverage sebagaimana terlihat pada Gambar 21, dari 12 atribut yang dianalisis ada 5 atribut yang sensitif mempengaruhi besarnya nilai indeks keberlanjutan ketersediaan beras dimensi ekonomi, yaitu: 1 RAPRICE Ordination DOWN UP BAD GOOD -60 -40 -20 20 40 60 20 40 60 80 1 120 Sumbu X Setelah Rotasi: Skala Sustainability Sum