Kebutuhan Beras KERAGAAN PENYEDIAAN DAN KEBUTUHAN BERAS DI INDONESIA

79

4.2. Kebutuhan Beras

Kebutuhan atau permintaan beras untuk konsumsi rumah tangga selain dipengaruhi oleh jumlah penduduk juga dipengaruhi oleh konsumsi beras per kapita. Kebutuhan konsumsi per kapita pada periode 1990 – 2004 meningkat dengan pertumbuhan 3.08 persen per tahun. Dari 127.7 kilogram per kapita per tahun pada tahun 1990 meningkat menjadi 138.0 kilogram pada tahun 2002 dan selanjutnya menjadi 152.3 kilogram per kapita per tahun pada tahun 2004. Dari Tabel 20 terlihat bahwa peningkatan laju pertumbuhan total konsumsi per kapita lebih disebabkan karena adanya peningkatan yang cukup tinggi dari permintaan antara yaitu permintaan yang mencakup dari penyediaan jasa boga, seperti rumah makan, hotel dan restoran. Sedangkan konsumsi beras dalam RT selama periode 1990 – 2004 justru mengalami penurunan sebesar 2.75 persen pertahun dari 117.7 kilogram per kapita per tahun menjadi 99.4 kilogram per kapita per tahun. Hal ini menunjukkan bahwa pola konsumsi RT saat ini mulai berubah, ada kecenderungan bahwa banyak anggota RT yang makan di luar rumah dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Tabel 20. Perkembangan Konsumsi Beras Per Kapita di Indonesia Periode 1990 - 2004 Kg Kapita Tahun Tahun Konsumsi Beras Dalam Rumah Tangga Permintaan Antara Total Konsumsi Per Kapita 1990 117.7 10.0 127.7 1993 116.8 17.4 134.2 1996 111.2 23.6 134.8 1999 103.5 26.6 130.0 2002 100.5 37.5 138.0 2004 99.4 52.9 152.3 Pertumbuhan 1990 – 2004 thn -2.75 34.06 3.08 Sumber : Departemen Pertanian, 2005 Keterangan : - Konsumsi per Kapita 1990, 1993, 1996, 1999,2002 dari Susenas; 2004 perkiraan - Permintaan antara mencakup industri pengolahan, hotel, rumah makan dan penyediaan jasa boga, diestimasi berdasarkan Tabel Input-Output Beras selain untuk konsumsi di dalam rumah tangga, hotel, rumah makan dan jasa boga, juga digunakan untuk kegiatan lain seperti industri tepung beras dan bihun, penambahan stok pemerintah, program bantuan pangan dan ekspor. 80 Namun yang terbesar adalah kebutuhan beras untuk konsumsi rumah tangga dibandingkan dengan yang lainnya. Menurut Suryana 2002 a total permintaan beras rumah tangga dan industri pada tahun 2002 mencapai 142 kg per kapita per tahun. Untuk negara Asia, rata-rata konsumsi beras per kapita per tahun untuk Myanmar dan Laos adalah cukup besar di atas 150 kg, sedangkan Thailand, China dan India sekitar 100 kg per kapita per tahun karena mereka mempunyai kemampuan menghasilkan produk pangan yang makin beragam dan Jepang dengan pendapatan mencapai US 32.350 konsumsi berasnya hanya 60 kg Pambudy et al., 2002. Secara agregat tingkat partisipasi konsumsi beras di indonesia hampir mencapai 100 persen atau di berbagai wilayah pada tahun 1999 berkisar antara 91.4 – 99.8 atau rata-rata desa kota adalah 97.07 persen Tabel 21 dan Tabel 22, hal ini menunjukkan bahwa hampir semua rumah tangga mengkonsumsi beras. Kecenderungan ini tidak hanya terjadi pada rumah tangga di perkotaan tetapi juga di pedesaan, namun umumnya tingkat partisipasi konsumsi beras di desa lebih beragam antar wilayah dibandingkan tingkat partisipasi konsumsi di kota. Kecenderungan ini juga menunjukan bahwa pola pangan pokok masyarakat desa lebih bervariasi daripada di kota. Diduga bahwa pola pangan pokok masyarakat pedesaan adalah umbi umbian, jagung atau pisang, masyarakat kota lebih memilih mi sebagai pengganti beras. Tabel 21. Tingkat Partisipasi Konsumsi Beras Wilayah Kota di Indonesia, Tahun 1990 - 1999 Wilayah kota 1990 1993 1996 1999 Laju Pertumbuhan Sumatera 99.9 99.9 99.8 97.7 -0.73 Jawa 99.9 99.9 99.8 92.7 -2.40 Kalimantan 99.7 100 99.9 96.8 -0.97 Sulawesi 99.7 99.9 99.4 98.5 -0.40 Lain-lain Maluku+papua 100 99.6 99.8 97.7 -0.77 Sumber: Susenas 1990 – 1999 Tingkat partisipasi konsumsi beras ini dihitung dari jumlah rumah tangga yang mengkonsumsi beras terhadap total rumah tangga contoh, sedangkan tingkat konsumsi per kapita menunjukkan jumlah beras yang dikonsumsi oleh rumah tangga dalam satu tahun. Informasi tersebut disajikan pada Tabel 21 dan Tabel 22. 81 Tabel 22. Tingkat Partisipasi Konsumsi Beras Wilayah Desa di Indonesia, Tahun 1990 -1999 Wilayah Desa 1990 1993 1996 1999 Laju Pertumbuhan Sumatera 100 99.9 99.8 99.8 -0.07 Jawa 97.6 98.6 99.7 98.2 0.21 Kalimantan 100 99.9 100 99.5 -0.17 Sulawesi 98.5 99.5 99.1 98.4 -0.03 Lain-lain Maluku dan Papua 80.7 78.6 80.2 91.4 4.47 Sumber: Susenas 1990 – 1999 Bila dibandingkan laju pertumbuhan tingkat partisipasi konsumsi antara wilayah desa dan wilayah kota di berbagai kepulauan di Indonesia pada periode 1990 – 1999 menunjukkan pola yang berbeda, dimana di wilayah perkotaan cenderung terjadi penurunan dengan kisaran 0.40 – 2.40, penurunan konsumsi yang cukup tinggi terjadi di Jawa yaitu 2.40 persen sedangkan yang terendah terjadi di Sulawesi. Pola ini berbeda di daerah pedesaan justru di Jawa meningkat dengan laju pertumbuhan yang positif yaitu sebesar 0.21 persen, bahkan di wilayah desa Maluku dan Papua meningkat sangat tinggi yaitu dengan laju pertumbuhan sebesar 4.47 persen Tabel 22. Pola konsumsi pangan pokok rumah tangga ditentukan oleh sumbangan energi dari setiap pangan pokok terhadap total energi yang berasal dari pangan pokok. Pola pangan pokok bertumpu beras bila sumbangan energi dari beras lebih besar dari 90 persen dan pola pangan pokok beras + komoditas lain bila masing-masing komoditas lain menyumbang lebih dari 5 persen Pusat Penelitian Agro Ekonomi, 1989. Dari 11 jenis pola pangan pokok rumah tangga di Indonesia, pola pangan pokok beras adalah yang dominan di setiap provinsi Tabel 23 di samping umbi-umbian, jagung, sagu dan pisang. Dominasi beras dalam pola pangan pokok tidak tergantikan oleh jenis pangan pokok lain. Perubahan jenis pangan pokok hanya terjadi pada komoditas bukan beras, seperti antara jagung dengan umbi-umbian dan sebaliknya. Walaupun diversifikasi pangan sudah sejak lama dicanangkan, namun belum terlihat indikasi penurunan konsumsi beras yang signifikan Departemen Pertanian, 2005. Hal ini menunjukkan bahwa preferensi rumah tangga terhadap beras besar dan sulit diubah. Untuk komoditas selain beras, preferensi masyarakat dapat berubah sesuai dengan kondisi yang ada seperti ketersediaan, selera, kemudahan memasak dan daya beli. Kecenderungan tersebut juga terjadi pada provinsi-provinsi yang pola pangan pokok utamanya bukan beras. Beras 82 mempunyai kelebihan dibandingkan pangan sumber karbohidrat lainnya yaitu mempunyai cita rasa yang lebih enak, lebih mudah diolah dan komposisi zat gizinya lebih baik dibanding pangan lainnya Ariani, 2004. Hal ini antara lain yang menyebabkan terjadinya perubahan pangan pokok utama dari non beras ke beras, namun sulit mengubah dari beras ke non beras. Tabel 23. Distribusi Provinsi Menurut Pola Konsumsi Makanan Pokok di Indonesia 1979, 1984 dan 1996 Pola Makanan Pokok 1979a 1984a 1996b Beras Kalsel, DKI, NAD, Sumbar DKI, NAD, Sumbar, Bengkulu NTB, Kalbar, Kalteng, Kalsel, Kaltim, Sulut, Sulteng, Sulsel Beras+Umbi-umbian Jatim, NTB, Kalteng, Kalbar, Bali, DIY, Lampung, Bengkulu, Jambi, Riau, Sumsel, Sumut, Sumbar, Jabar Kaltim, Kalteng, Kalbar, Kalsel, Sumut, Sumsel, Riau, Jambi, Jabar Beras+Jagung+Umbi- umbian Sulut, NTT Sulut, Jateng, Tim-Tim, Jatim Sultra Beras+Umbi- umbian+Jagung Sulsel, Jateng, Jatim NTT, Lampung, DIY, Bali Beras+Umbi- umbian+Sagu+Pisang Maluku Maluku Beras+Sagu+Umbi-umbian Papua Beras+Umbi- umbian+Sagu+Jagung Papua Beras+Sagu Sulteng Maluku, Papua Beras+Jagung NTB, Sulsel, Sultra Beras+Jagung+Sagu+Umbi- umbian Sultra Beras+Sagu+Umbi- umbian+Jagung Sulteng Sumber: Rachman, 2001 Beras bukan hanya sebagai pangan pokok utama, tetapi juga merupakan pangan pokok tunggal. Pada tahun 1979, di Kawasan Timur Indonesia KTI, provinsi yang mempunyai pola pangan pokok tunggal beras hanya Kalimantan Selatan, namun pada tahun 1996 sudah menjadi 8 provinsi yaitu Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Selatan Rachman, 2001. Dengan adanya perubahan pola pangan tersebut, maka peran pangan 83 daerah, terutama pangan sumber karbohidrat non beras, dalam pembentukan pola konsumsi pangan masyarakat di daerah tersebut menjadi lemah. Makin kuatnya peran beras sebagai pangan pokok ditunjukkan pula oleh masyarakat berpendapatan rendah di Jawa Tengah, NTB dan Bengkulu, beras merupakan indikator ketahanan pangan mereka. Mereka menganggap bila ketersediaan beras untuk konsumsi keluarga cukup, mereka termasuk dalam kategori tahan pangan dan sebaliknya Ariani, 2004 Tingkat konsumsi beras di Indonesia cenderung menurun. Pada tahun 1996, terdapat 11 provinsi dengan konsumsi beras lebih dari 120 kilogram per kapita per tahun, dan pada tahun 1996 tinggal 3 provinsi. Namun, kebijakan pangan yang bias pada beras mengakibatkan pola konsumsi makanan pokok yang semula beragam menjadi hanya beras. Fenomena yang juga perlu diperhatikan adalah tergesernya pangan lokal dan makin meningkatnya konsumsi mi. Walaupun tingkat konsumsi per kapita menurun, total konsumsi beras tetap meningkat karena jumlah penduduk terus bertambah. Meningkatnya permintaan beras juga didorong oleh bertambahnya permintaan dari industri pengolahan, hotel dan restoran permintaan antara. Tabel 24. Pengelompokkan Provinsi di Indonesia Menurut Tingkat Konsumsi Beras di Indonesia Tahun 1996 dan 1999 Tingkat Konsumsi Beras kgkapth 1996 1999 Jumlah Propinsi Nama Propinsi Jumlah Propinsi Nama Propinsi 120 11 NAD, Sumut, Sumbar, Jambi, Bengkulu, Jabar, Bali, NTB, Kalteng, Sulsel, Sultra 3 NAD, Sumut, NTB 100 – 1200 9 Riau, Sumsel, Lampung, NTT, Kalbar, Kalsel, Kaltim, Sulut, Sulteng 15 Sumbar, Riau, Jambi, Sumsel, Bengkulu, Lampung, Jabar, NTT, Kalbar, Kalteng, Kalsel, Sulut, Sulteng, Sulsel, Sultra 100 6 DKI, Jateng, DIY, Jatim, Maluku, Papua 8 DKI, Jateng, DIY, Jatim, Bali, Kaltim, Maluku, Papua Bila dilihat dari Tabel 25 konsumsi beras antara desa dan kota pada periode 1993 – 2004 konsumsi di desa lebih tinggi dibandingkan di kota, pada tahun 1993 konsumsi di desa 113.7 kilogram per tahun turun menjadi 98.3 84 kilogram pada tahun 2004 dengan laju penurunan sebesar 5.53 persen, sedangkan konsumsi di kota 113.5 kilogram per tahun dan turun menjadi 81.8 kilogram pada tahun 2004 dengan laju penurunan sebesar 7.83 persen, dari Tabel 25 dapat dilihat bahwa laju penurunan konsumsi beras per kapita di kota ini lebih besar dibandingkan dengan di desa . Tabel 25. Perkembangan Konsumsi Beras Periode Sebelum, Masa dan Pasca Krisis Ekonomi di Indonesia, 1993 - 2004 Tahun Desa Kota 1993 1996 1999 2002 2004 113.7 121.0 111.8 109.6 98.3 113.5 108.9 96.0 89.7 81.8 Laju Pertumbuhan 1993 – 1996 1996 – 1999 1999 – 2002 2002 – 2004 1993 - 2004 -2.2 -7.6 -2.0 -10.3 -5.53 -4.1 -11.8 -6.6 -8.8 -7.83 Sumber: BPS, Susenas 1993, 1996, 1999, 2002, 2004 diolah Sumber: Dewan Ketahanan Pangan, 2005 Gambar 17. Penggunaan Produksi Padi GKG di Indonesia, 2005 Penggunaan padi tertinggi adalah untuk diolah menjadi beras sebesar 92.7 persen, benih 0.9 persen, bahan baku industri 0.56 persen, pakan ternak 0.44 persen dan susut atau tercecer sebesar 5.4 persen. Berdasarkan Gambar 17 diketahui bahwa penggunaan padi tertinggi adalah untuk diolah menjadi beras, bila dilihat lebih jauh, produksi beras ini sebagian besar digunakan untuk konsumsi yaitu sebesar 96.67 persen, untuk industri non makanan sebesar 0.66 Susut tercecer 5.4 Pakan Ternak 0.44 Bibit benih 0.9 GKG yang diolah menjadi beras 92.7 Bahan baku industri 0.56 85 persen, pakan ternakunggas sebesar 0.17 persen dan susuttercecer sebesar 2.5 persen. Sumber: Dewan Ketahanan Pangan, 2005 Gambar 18. Penggunaan Beras Untuk Konsumsi dan Penggunaan Non Pangan di Indonesia 2005 Kebutuhan atau permintaan beras untuk konsumsi rumah tangga sangat dipengaruhi oleh jumlah penduduk dan tingkat konsumsi per kapita. Penduduk Indonesia bila dilihat dari perkembangannya terus meningkat. Dari hasil sensus penduduk 2000, jumlah penduduk Indonesia pada Juni 2000 adalah 206 264 595 orang. Angka pertumbuhan per tahun selama periode 1990 – 2000 adalah sebesar 1.49 persen per tahun. Angka ini jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan rata-rata laju pertumbuhan penduduk periode sebelumnya 1980 – 1990 yang mencapai 1.97 persen per tahun. Faktor yang mempengaruhi dalam penurunan laju pertumbuhan penduduk selama periode 1990 – 2000 adalah menurunnya tingkat kelahiran dan juga tingkat kematian. Sedangkan faktor perpindahan dianggap tidak berpengaruh karena jumlahnya kecil dan berimbang BPS, 2001 b . Walaupun akhir-akhir ini angka pertumbuhan penduduk telah menurun, namun peningkatan jumlah penduduk masih terus berlangsung, bahkan hingga pada abad 21 Ananta dan Adioetama, 1990; Suryana, 2002 c . Tercecer susut 2.5 Industri non makanan 0.66 Pakan ternak unggas 0.17 Produksi beras DN utk konsumsi 96.67 86

4.3. Perkembangan Harga Beras