Pendapatan dan Kelayakan Usaha

sehingga kemampuannya masih relatif prima untuk menjelajahi daerah penangkapan ikan yang tidak terlalu jauh, walaupun umur kapal berbeda.

5.3.7 Daerah penangkapan Fishing ground

Daerah pe nangkapan Fishing ground adalah lokasi tempat dimana terjadi operasi pemancingan dilakukan. Dalam Operasi penangkapan ikan cakalang di perairan Kota Tidore Kepulauan umumnya dilakukan disekitar rumpon namun kadangkala dilakukan penangkapan diluar dari lokasi penempatan rumpon. Berdasarkan analisis model fungsi produksi ternyata daerah penangkapan tidak berpengaruh nyata terhadap hasil tangkapan. Hal ini diduga karena operasi penangkapan ikan dilakukan pada wilayah perairan yang tidak terlalu luas sehingga daerah penangkapan ikan antar kapal hampir berdekatan dan umumnya sama-sama beroperasi di sekitar rumpon.

5.4 Pendapatan dan Kelayakan Usaha

Pendapatan nelayan selain tergantung pada biaya-biaya yang dikeluarkan selama operasi penangkapan juga tergantung pada banyaknya hasil tangkapan dan harga ikan. Harga ini ditentukan oleh perusahaan sebagai mitra kerja ataupun nelayan pengumpul sebagai pedagang ikan yang memasarkan secara lokal kepada konsumen lokal. Demikian halnya dengan kelayakan usaha, selain tergantung pada besarnya biaya yang dikeluarkan selama operasi penangkapan juga tergantung kepada harga ikan yang berdampak pada tingkat pendapatan dan kesejahteraan nelayan. Dalam perhitungan ekonomi penentuan harga ikan umumnya tergantung pada keseimbangan pasar berdasarkan jumlah penawaran dan permintaan. Apabila produksi melimpah sedangkan permintaan menurun maka harga ikan akan menurun dan sebaliknya apabila produksi berkurang dan permintaan meningkat maka harga ikan akan meningkat. Nelayan dan pemilik kapal dalam usaha perikanan cakalang di Kota Tidore Kepulauan tidak terlalu berperan dalam penentuan harga ikan karena harga telah ditentukan oleh perusahaan mitra berdasarkan ukur an size ikan dengan ketentuan yang disepakati bersama. Ketentuan harga ikan ini berbeda antara perusahaan yang bergerak pada usaha penangkapan cakalang. Dari hasil survei dan wawancara dengan pedagang pengumpul, harga ikan di pasar-pasar lokal dengan ukuran yang disamakan dengan ukuran perusahaan, ternyata terjadi perbedaan harga. Perbedaan harga ini menyebabkan pemilik kapal lebih memilih menjual hasil tangkapannya kepada pedagang pengumpul dibandingkan menyerahkan kepada perusahaan. Sedangkan pedagang pengumpul akan menjual hasil tangkapan tersebut ke konsumen dengan harga yang lebih tinggi dari harga yang dibeli. Tingginya harga cakalang yang dibeli oleh pedagang pengumpul disebabkan karena permintaan pasar lokal yang cukup besar terhadap ikan cakala ng. Tingkat konsumsi dan selera terhadap ikan cakalang sangat tinggi dibandingkan ikan lain baik dalam skala rumah tangga maupun pengusaha restoran. Dengan kondisi tersebut pendapatan nelayan yang menjual hasil tangkapannya ke pedagang pengumpul lebih tinggi dibandingkan kepada perusahaan sehingga sering timbul konflik antara nelayan plasma dengan perusahaan inti karena nelayan tidak menepati perjanjian yang telah disepakati bersama. Akibatnya sistem dalam usaha perikanan cakalang dengan pola PIR tidak berjalan sebagaimana mestinya. Pendapatan nelayan dengan harga ikan yang diberikan oleh pedagang pengumpul sebesar Rp 533.007 per bulan. Sedangkan pendapatan nelayan dengan harga ikan yang diberikan perusahaan sebesar Rp 337.751 per bulan. Di samping harga ikan, faktor lain yang menyebabkan perbedaan pendapatan yang diterima nelayan adalah biaya operasional yang dikeluarkan selama proses produksi dan kualitas ikannya. Hal ini disebabkan karena ketersediaan sarana produksi seperti BBM, es, air tawar, bahan kons umsi dan lain- lain, diperoleh dengan harga yang relatif tinggi karena sulit didapatkan di Kota Tidore dibandingkan di luar Kota Tidore. Selain itu penempatan kantor cabang perusahaan induk keberadaannya di Kota Ternate sehingga nelayan harus mengeluarkan biaya lebih besar untuk mendapatkannya di luar Kota Tidore Kepulauan setiap kali beroperasi. Di samping itu sarana dan prasarana produksi lainnya seperti cold storage untuk menjaga kualitas ikan tidak dipunyai oleh nelayan ataupun perusahaan inti. Bahkan pelabuhan perikanan atau minimal PPI tidak tersedia padahal merupakan salah satu sarana yang sangat penting dalam suatu usaha perikanan. Hasil analisis kelayakan usaha diperoleh nilai Net BC ratio untuk pedagang pengumpul sebesar 2.85 dan perusahaan sebesar 2.03 sehingga usaha yang dijalankan masih layak usaha dikembangkan. Nilai BEP untuk nilai produksi dengan harga ikan pedagang pengumpul dan perusahaan masing-masing sebesar 295 kg dan 494 kg. Selanjutnya berdasarkan nilai jual hasil tangkapan masing- masing sebesar Rp 3.281.581 per bulan dan Rp 1.344.191 per bulan. Pada kenyataannya volume produksi rata-rata unit pole and line sebesar 4140 kg per tahun dengan rata-rata nilai jual hasil tangkapan berdasarkan harga ikan yang ditetapkan perusahaan dan pedagang pengumpul masing- masing sebesar Rp 13.081.987 per bulan dan Rp 19.001.042 per bulan. Hal ini menunjukan bahwa usaha yang dijalankan masih memperoleh keuntungan dan layak untuk dikembangkan. Jika dihubungkan dengan periode pengembalian modal maka dengan harga ikan yang ditetapkan perusahaan, pengembalian investasi kapal dilakukan setelah usaha yang dijalankan 8 tahun. Sedangkan dengan harga ikan yang diberikan pedagang pengumpul maka pengembalian investasi kapal setelah usaha yang dijalankan 5 tahun 5 bulan. Menghadapi kondisi seperti di atas seharusnya perusahaan dapat mengambil suatu kebijakan dengan kembali merevisi harga ikan yang telah ditentukan sebelumnya sehingga sistem usaha perikanan cakalang yang ada di Kota Tidore Kepulauan dapat diperta hankan bahkan berkembang dan saling menguntungkan diantara para pelaku sistem.

5.5 Kendala Optimalisasi dan Pengembangan Sistem Usaha Perikanan