Kebencian Klasifikasi Emosi Tokoh Joyo Dengkek

napas panjang. Istrinya yang terlihat menggendong anaknya tersebut didekati. Ada rasa iba, karena selama ini belum bisa membuat bahagia mereka.’

4.3.4 Kebencian

Kebencian yang pertama pada Joyo Dengkek terjadi karena istrinya memaksa ia agar mau meminta bantuan kepada Mbah Kenci agar keinginan menjadi lurahnya dapat terwujud. Ia tidak setuju dengan usulan dari istrinya tersebut karena menurut ia, istrinya sudah melanggar tata kehidupan yang ia jadikan pedoman hidupnya selama ini. Hal ini dapat disimak dalam kutipan di bawah ini. “Mbokne …, aku pancen sruwa-sruwi sarwa kekurangan. Tegese, kurang rupa, kurang bandha, dalah kurang kepinteran. Ning aku emoh, nek dikon maen dhukun-dhukunan. Kuwi jenenge ora beres. Gelem ngene ora gelem ya uwis. Pokoke aku arep mlaku kanthi jejeg apa anane. Prekara gagal ya uwis, ning kanthi apa anane.” Sirah, 71 ‘Bu …, saya memang serba kekurangan. Seperti kurang tampan, kurang harta, bahkan juga kurang pandai. Tapi saya tidak mau, jika disuruh main dukun-dukunan. Itu namanya tidak beres. Mau tidak mau ya sudah. Pokoknya saya akan berjalan lurus apa adanya. Masalah gagal ya sudah, tapi dengan apa adanya.’ Kebencian yang kedua pada diri Joyo Dengkek terjadi ketika Mbah Kenci datang ke rumahnya untuk menagih janjinya yang dulu, yaitu mengijinkan istrinya untuk menemani Mbah Kenci tidur pada tanggal lima belas Jawa setelah dirinya terpilih menjadi lurah. Namun ia menyangkal dirinya pernah berjanji seperti itu kepada Mbah Kenci lalu ia pun mengusir Mbah Kenci dari rumahnya sambil memaki-makinya. Hal itu dapat dicermati dalam kutipan berikut ini. “O, Mbah Kenci ta?” “Sokur nek isih kelingan. Bojomu arep tak jak saiki.” “Aja waton bisa ngucap. Kowe wong tuwa. Aku wes krungu sakabehing pangucapmu ing ngarepe Senik, bojoku. Kok dadi lancang he?” “Kowe rak janji …” “He, aku mbiyen pancen njaluk tulung kowe amrih bisaa dadi lurah. Ning aku rak menehi opah karo kowe ta?” “Opah apa?” Mbah Kenci katon kaget. “Ha ya opah dhuwit. Apa godhong?” Joyo Dengkek sengak. “Wis-wis. Dadi pokoke kowe ki cidra janji ngono ta?” “Ngati-ngati kowe ngomong. Aku ki pejabat. Yen kowe mitenah ateges bisa tak jebloske neng kunjara. Ngerti?” Sirah, 252-253 ‘O, Mbah Kenci ya?” “Syukur jika masih ingat. Istrimu mau saya ajak sekarang.” “Jangan asal bicara. Kamu orang tua. Saya sudah dengar semua ucapan kamu di depan Senik, istriku. Kok jadi berani ya?” “Kamu kan janji …” “He, saya dulu memang minta tolong agar saya bisa jadi lurah. Tapi kan saya sudah ngasih kamu upah kan?” “Upah apa?” Mbah Kenci terlihat kaget. “Ya upah uanglah. Masa daun?” Joyo Dengkek ngelunjak. “Sudah, sudah. Jadi intinya kamu ingkar janji begitu kan? “Hati-hati jangan asal bicara. Saya ini pejabat. Jika kamu memfitnah itu berarti saya bisa masukkan kamu ke penjara. Paham?’

4.3.5 Cinta